Part 39: A Truth Better Never Revealed
Sorry for late update! >.< part ini agak panjang dan gak aku bagi dua. Semoga terobati yah ;)
Happy reading! as always, jangan lupa vote and comment. Thank you
Dunia telah berubah menjadi tempat yang tak memiliki celah untuk bersembunyi. Teknologi pengintai bertebaran dimana-mana. Namun, bagi seseorang yang bisa menguasai teknologi itu, tak akan ada yang bisa melacaknya. Terselimuti dari satelit, tak ada sinyal yang memancar masuk maupun keluar. Sebagian besar tempat seperti itu digunakan untuk membuat proyek ilmiah yang sangat rahasia atau kejahatan berlevel tinggi.
Keberadaannya tersebar di bawah tanah. Salah satunya berada di bawah kota New York. Dengan dinding terbuat dari baja tebal dan lantai berbahan epoxy abu-abu, menampilkan kesan steril, kedap, dan dingin. Ruangan seluas dua kali lipat lapangan sepak bola itu dipenuhi ratusan makhluk dengan penampilan fisik paling beragam. Demons dari berbagai klan. Penyihir, Vampire, Werewolf, Siren, Gorgon, evil spirit dan segala jenis shape-shifter monster hampir dari setengah belahan dunia.
Meskipun jumlah mereka hanya sekian persen dari jumlah sesungguhnya Demons di dunia ini, namun mereka yang berada disini memiliki posisi berpengaruh bagi klan masing-masing.
Seorang pria bermata hijau tajam dengan setelan mahal dan rambut hitam tersisir rapi, menatap beragam tipe wajah yang menampakkan raut yang sama. Pertimbangan serius.
"Kami telah membantu menutup jejakmu. Sekarang, jelaskan bagaimana rencanamu ini bukan misi mendatangkan kiamat, Moorson?" Seorang Vampire pria dengan wajah panjang dan tulang pipi tinggi, memicing tajam. Rautnya begitu skeptis.
Pria bermata hijau yang menjadi sorotan para Demons, tersenyum licik. "Sebuah belati yang bisa memusnahkan semua makhluk akan berada di tanganku. Bahkan sang raja iblis yang sangat kalian takuti, tak akan selamat."
Terdengar tarikan nafas tajam dimana-mana dan gemuruh gumaman. Suasana tiba-tiba berubah segenting senar gitar yang ditarik kencang. Seruan-seruan datang bertubi-tubi.
"Bagaimana kami yakin kau tidak akan menggunakannya untuk memusnahkan klan kami?" seorang wanita berseru.
"Apa tujuanmu tiba-tiba merencanakan ini?"
"—kau berambisi menjadi raja yang baru!"
"Ladies and Gentleman!" Moorson angkat suara dengan lantang. "Kita memiliki satu misi yang sama. Mengakhiri Era di mana malaikat iblis dan Caleum mengatur kita."
Kalayak Demons terdiam. Tatapan hijau tajam Moorson menyusuri mereka, membiarkan kata-katanya meresap.
Moorson tahu apa yang diam-diam didambakan para Demons selama ini. Ia hanya perlu menggali keluar dan menyiramkan minyak, untuk membuat api keinginan itu berkobar ke angkasa. Menjadikan semua ini tunggangan untuk merebut kepentingannya sendiri—membalas dendam atas kematian Halle dan hidup sengsara mereka selama ini.
"Tidak ada lagi yang akan memperlakukan kita semua seperti hewan terantai, di bawah aturan para malaikat iblis dan Caleum." Moorson berhenti, lalu melanjutkan dengan kobaran yang membangkitkan. "Memulai Era baru dimana kita memiliki kebebasan independen untuk memimpin klan masing-masing tanpa sosok otoriter!" Beberapa mulai mengangguk semangat. Harapan yang terpendam sejak lama, akan memiliki kekuatan luar biasa.
"Apa langkah yang anda rencanakan?" Seorang wanita dengan suara menghanyutkan, bertanya. Matanya sehijau alga laut, kecantikannya memikat seperti semua siren lainnya.
"Meruntuhkan Underworld, setelah itu menyerbu Caleum. Tak ada yang bisa menghentikan kita." Moorson menjawab dengan yakin. Gaung perlawanan mulai bangkit. Beberapa menggemakan seruan 'Tak ada yang bisa menghentikan kita!'
Beberapa petinggi Demons itu saling bertatap muka, mencari kesepakatan. Akhirnya, Vampire berwajah tajam tadi menyalurkan hasil perundingan mereka. "Kami memutuskan untuk mengikuti semua rencanamu, menyiapkan pasukan berkali-kali lipat lebih banyak daripada saat ini. Setelah kau menunjukkan bukti, belati terkutuk itu."
Kesepakatan telah dibuat. Moorson berhasil.
Gelora peperangan mulai membakar darahnya. "Segera," jawabnya, membungkuk dramatis seolah mengakhiri sebuah pertunjukkan. Setelah aku melancarkan serangan pertama untuk menghancurkan rencana rapi gadis malaikat itu, batinnya.
Moorson tak peduli lagi. Tak ada setetespun air mata ketika ia mendengar Halle tiada, hanya kobaran tekad membara. Ia telah siap memulai perang untuk membalas kepergian hal terakhir yang berarti untuknya, Halle.
Ketika seseorang tak bisa kehilangan apapun lagi, ia bisa menjadi orang paling mengerikan di dunia ini.
***
Kepingan puzzle petunjuk yang mulai tersusun dengan benar menghantam Will seperti serbuan tembakan yang tak henti-henti. Semuanya mulai masuk akal kenapa mereka menganggap ingatan gadis itu begitu berbahaya—hingga menjauhkannya dari Will agar ingatan tersebut terpendam selamanya.
Namun untuk sesaat, kabar tentang Moorson menimbun semua itu. Jemari Will mencengkeram kemudi dengan erat. Will sudah bertekad akan membuat Moorson menyemburkan informasi tempat tinggal malaikat yang menyuruhnya. Tak peduli Silent Oath akan membakar habis jiwanya. Pada akhirnya hal itu juga akan terjadi. Gadis malaikat itu sangat mengenal Will, hanya ini cara—
CIITT!
Bekas roda yang berhenti mendadak, menggores aspal. Sebuah mobil sport abu-abu tiba-tiba melintang dihadapan Will. Jarak diantara keduanya hanya tinggal beberapa senti.
Apa-apaan?! Kesadaran Will kembali ke masa ini. Ia sangat mengenali mobil siapa itu. Posisi mereka hanya berjarak 2 rumah dari Mansion Cleveland. Kedua pengemudi mobil itu melangkah turun. Satu dengan ekspresi kesal, satunya dengan ekspresi serius yang jarang terlihat.
"Apa yang kau lakukan Kyle?!" seru Will, benar-benar tidak paham akan situasi ini.
"Aku yang seharusnya bertanya begitu padamu. Kau seharusnya bersama Isabelle dan yang lain."
Kerutan bingung di kening Will semakin dalam. "Kenapa aku merasa kau melarangku menuju mansion Cleveland?" Tiba-tiba pemikiran lain menyentaknya. Ia menatap Kyle tajam. "Kau diam-diam suruhan Moorson?" emosi Will melesat naik. "Kau mengkhianatiku?!"
"Apa?!" Sekarang Kyle yang terperanjat heran.
"Aku menerima laporan, Moorson akan menyerang kemari. Dan kau menghalangiku." Will tak kalah menuntut. Dibalik keterbukaannya, Kyle bisa jadi sangat pintar bersandiwara.
"Yeah, dan aku pasti sudah mati kalau penyihir itu kemari." Kyle memutar bola mata dengan sarkastik. Namun, sejurus kemudian ia tertegun, menyadari sesuatu, lalu memandang Will. "Ini yang diingankan Moorson," gumam Kyle. Dengan yakin Kyle memastikan semua itu informasi palsu, rencana Moorson.
Satu hal yang Will ketahui sekarang, pemuda manusia ini menyembunyikan sesuatu darinya. Ia mencengkeram kerah baju Kyle, menuntut alasannya berada disini. Sorot mata abu-abu dan biru itu beradu tajam. Namun, Kyle tak membalas apapun.
"Aku memang mengkhianatimu." Akhirnya Kyle mengaku begitu saja, tanpa emosi.
Kedua tangan Will bergetar emosi. Rahangnya mengatup kuat. Ia tak tahu harus berterima kasih atas kejujuran tanpa perlawanan itu, atau menghajarnya sekarang juga. Walaupun Will tak pernah mempercayai siapapun, ia tak pernah menyangka kalimat itu akan dilontarkan oleh Kyle. Namun, Will melepaskan kerah Kyle dengan kasar.
"Jelaskan semuanya," desis Will dari sela giginya.
Seperti tadi, Kyle masih bersikap tenang menjelaskan segalanya. Berkebalikan dengan Will dengan denyut kemarahan semakin intens ke ubun-ubun. Dengan gamblang Kyle berkata ia mengetahui siapa malaikat yang selama ini dicari Will. Ia mengingat wajah gadis malaikat itu saat terakhir kali kembali ke sepuluh tahun lalu dan secara tidak sengaja melihatnya di sekolah. Gadis itu menyamar tentu saja, namun lama-lama Kyle mengenalinya.
"Kenapa kau membantunya bersembunyi dariku?" selidik Will. Mereka berdua bersandar di kap mobil masing-masing.
Kyle mengingatkannya pada pertemuan mereka sebelum ibadah pemakaman orang tua Adelyn. Saat itu Kyle bertanya alasan Will mencari Orcus, dan Will menjelaskan belati itu bisa membunuh makhluk apapun yang terkena racunnya.
"Aku menyimpulkan kau bermaksud mengakhiri kutukanmu dengan belati itu. Aku tak peduli dengan urusanmu, hingga aku menyadari Isabelle menyukaimu dan sebaliknya, kau juga. Walaupun kau terus menyangkal." Kyle masih sempat tersenyum miring.
"Tidak mungkin hanya itu alasanmu." Will memicing curiga.
Lagi-lagi, Kyle mengangguk ringan. "Tentu saja, sampai gadis malaikat itu menjelaskan alasan lain kenapa belati itu tak boleh jatuh ke tanganmu. Aku tak percaya pada awalnya, dan berencana mendekati gadis itu untuk membuatnya mempercayakan belati tersebut padaku. Membiarkanku menyarankan dimana tempat aman untuk menyembunyikannya. Aku bertekad tetap memberikannya padamu sesuai perjanjian kita, membiarkan kau memutuskan yang terbaik." Pemuda itu berhenti sejenak, lalu memulai lagi. Mata birunya berkilat serius. "Hingga aku melihat langsung apa yang terjadi di masa depan. Semuanya lebih baik tak pernah terungkap dan belati itu tetap tersembunyi."
Apa yang tidak disadari Kyle, dari tadi Will memperhatikan gerak geriknya dengan jeli. Dengan telak Will berkata, "Karena itulah kau sedang berusaha menahanku sekarang."
Kyle tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
Jika ada seseorang yang bisa menyamai akal bulus Will, pasti Kyle lah orangnya. Hampir saja Will terlena dan melewatkan hal itu. Kyle dengan sukarela bercerita panjang lebar tentang semuanya dan secara diam-diam terus mengawasi jam. "Malaikat itu sedang berada di Mansion Cleveland saat ini?" Cecar Will.
Kyle langsung berdiri dengan sikap defensif. Will juga berdiri, meringsek maju ke arah Kyle, semakin yakin.
Kyle membalas, "Kau seharusnya sadar, jika Moorson menyebar informasi palsu agar kau menemukan malaikat itu disini, maka mengabulkannya adalah hal yang buruk—"
Will tak peduli, ia memotong dengan fakta baru yang disadarinya. "Apa ia sedang mengambil kembali belati itu disini ketika konflik dengan Moorson semakin pelik? Kau membantunya menyembunyikan Orcus di tempat yang sama sekali tak kuduga." Will terus meringsek maju. Suaranya meninggi. "Di mansion ini, rumah Isabelle. Tempat yang tak akan kucurigai!"
Deru nafas Will berhembus cepat seolah akan meledak. Kyle hanya diam menatapnya nyalang. Diam yang memastikan segala dugaan Will.
Ia tak menyangka Kyle bisa bertindak sejauh ini mengelabuinya. Kecerdikannya sungguh mengerikan. Jika saja memergoki malaikat itu secepatnya tidak lebih penting, Will sudah meledakkan emosinya pada Kyle sekarang.
Tak mempedulikan Kyle dan kedua mobil mereka yang melintang di jalanan sepi, Will melangkah gusar. Kedua sayapnya mengembang kokoh.
"Kau tak bertanya padaku siapa nama asli malaikat itu?" Kyle tiba-tiba bertanya.
Will berhenti melangkah. Tanpa menoleh, dengan tangan terkepal ia menjawab sinis, "Aku sudah memiliki dugaan gila di benakku. Hanya butuh bukti nyata untuk meyakinkan diriku sendiri."
Kaki Will menjejak tanah dengan kuat, mendorong tubuhnya ke udara.
"Semua masa depan yang kutemui, berakhir bencana antara kau atau Isabelle meninggalkan dunia ini." Seruan Kyle berhasil membuat Will melayang diam di udara. Seketika amarahnya pada Kyle menyusut.
"Sudah berkali-kali aku kembali ke masa ini." Kyle melanjutkan, saat Will menoleh. "Setiap masa depan yang kutemui tak pernah sama, hingga aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk mencegahnya. Kecuali memberimu peringatan terakhir." Mata biru Kyle penuh simpati. "Simpanlah semua dugaanmu untuk dirimu sendiri. Berbahagialah dengan Isabelle seperti saat ini, lupakan masa lalu."
Will terdiam, memikirkan semuanya sejenak.
"Apa di masa depan aku pernah berkata aku menyesal mengetahui semua kebenarannya?" Will bertekad akan berhenti bila Kyle menjawab 'iya'.
Ternyata Kyle menggeleng dengan senyum miris. "Tidak."
"Then, I won't stop now. Karena apapun yang terjadi aku tak akan menyesal."
Tak mempedulikan kamera CCTV yang mungkin menangkap wujudnya, Will melesat cepat menuju balkon kamar yang sangat ia kenal. Kyle memberitahu tempat dimana Orcus disembunyikan. Will tak bisa mengira bagaimana Kyle bisa menyelipkan belati itu disana, karena benaknya sedang penuh.
Ia sedang membongkar susunan puzzle lama dan menyusunnya kembali dari nol. Membalik setiap kepingan puzzle hingga membentuk gambaran baru.
Sebuah ingatan merebak di benak Will. Ingatan terakhir kali ia bertemu Seraphine, di tempat yang tak terduga. Beberapa hari sebelum insiden meledaknya Underworld terjadi.
Berlatar hamparan pedesaan manusia yang sepi dan damai, seorang gadis berambut pirang keemasan seperti kebanyakan malaikat lainnya berdiri disana. Sedang mengagumi sebuah rumah manusia sederhana. Berdinding batu rapi.
Will terkejut menyadari siapa gadis itu. "Seraphine?"
Seraphine berbalik kearahnya dengan mata membelalak, berekspresi tertangkap basah. "Will? apa yang kau lakukan disini?"
Will mengerutkan kening. "Seharusnya aku yang bertanya begitu. Ini rumah masa depanku di dunia manusia." Ia memutar bola mata. "Kau tak berniat menghancurkannya bukan?" Canda Will.
Seraphine hanya menanggapi dengan senyum masam. Dan mereka pun berakhir duduk di sebuah pagar batu yang membatasi ladang pertanian, tak jauh dari sana.
Tidak seperti biasanya, aura Seraphine begitu bersahabat. Seolah tameng ketidaksukaannya runtuh.
Aurielle pasti memamerkan rumah ini, hingga Seraphine penasaran datang kemari. Semua gadis sama saja, pikir Will. Tak peduli manusia atau malaikat.
"Kau membenciku?" Tiba-tiba Seraphine bertanya.
Will menaikkan alisnya. "Kukira kau yang membenciku."
Seraphine tersenyum lembut. Untuk sesaat, Will terpana menatapnya. Gadis yang selalu memusuhi Demons ini ternyata bisa tersenyum pada Will.
"Tidak," jawab gadis itu.
"Aku juga tidak. Sudah kubilang, kita bisa menjadi teman baik." Will menyunggingkan senyum miring. Seraphine selalu melayangkan tatapan tajam setiap kali ia berkata begitu, namun tidak saat ini.
"Sebenarnya, kau tak akan melihatku lagi setelah kau dan Aurielle mewujudkan impian kalian tinggal disini." Walaupun sangat samar, sirat kesedihan terlukis di wajah gadis itu.
"Kenapa?" Will merasa seperti kehilangan seseorang yang penting. Tak ada lagi yang bisa ia ajak berdebat atau raut jengkel yang menjadi hiburan bagi Will.
Alih-alih menjawab, Seraphine malah melontarkan candaan, "Kau ingin aku mengganggu kehidupan manusia-mu dan Aurielle hah?" tanyanya, mengangkat alis, menantang.
Will tertawa. "Sesekali gangguan sepertimu dibutuhkan agar hidup lebih berwarna," sahut Will, membuat Seraphine memutar bola mata. Entah sejak kapan ia merasa dekat dengan gadis malaikat ini. Mungkin sejak Will menerima Aurielle dalam hidupnya.
"Aku berharap kau dan Aurielle hidup bahagia di dunia manusia. Apapun yang terjadi jangan pernah meninggalkannya, Will." Seraphine menatapnya lekat-lekat. Will tertegun oleh kesungguhan dalam tatapan gadis itu.
"Tentu. Aurielle adalah segalanya bagiku."
Seraphine tersenyum lega.
Entah apa yang ia pikirkan, tiba-tiba Will terdorong menawarkan, "Kau ingin melihat ke dalam? Mungkin ada sesuatu untuk Aurielle yang bisa kau sarankan."
Seraphine menatapnya setengah tak percaya, berbinar senang. "Aku akan menjadi tamu pertama kalau begitu?"
Will tersenyum miring. "Bahkan Aurielle belum kuperbolehkan masuk kedalam."
Sekarang, potongan ingatan itu berarti lain bagi Will.
Will berusaha menyingkirkan gelombang penyesalan yang begitu kuat saat kakinya menapak balkon perlahan. Sudah ia duga, pintu teras sedikit terbuka. Isabelle tak pernah menguncinya lagi sejak Will sering datang hampir tiap malam.
Dengan langkah sesenyap mungkin, Will mendekat ke pintu kaca kamar Isabelle. Walaupun sudah tahu siapa yang akan ia lihat, Will tak bisa mencegah menarik nafas tajam saat menatap siluet yang sangat dikenalnya sedang membongkar laci meja TV kamar Isabelle. Gadis itu belum menyadari kehadiran Will.
Will begitu yakin dengan dugaan awalnya, hingga tadi, kepingan ingatan Isabelle merubah segalanya. Semua momen yang diceritakan gadis itu adalah kenangannya dengan Aurielle. Namun, ketika mendengar ingatan awal Isabelle saat bertemu dengan Will, gelombang syok menerpa Will.
Itu bukan pertemuan pertamanya dengan Aurielle.
Will sangat mengingat sebutan Grumpy Angel yang ia berikan pada malaikat yang membenci para Demons itu. Malaikat pertama yang berani menantangnya adu memanah. Dan itu bukanlah Aurielle.
Potongan perkataan Azura terulang kembali dibenak Will,
'Perasaan cinta yang begitu besar tak akan menghilang begitu saja. Mungkin kau tidak percaya, tapi kau akan tahu nanti—Ikuti kata hatimu, kau akan menemukan siapa yang sesungguhnya kau cintai, William.'
Sekarang ia mulai memahami makna kata-kata itu. Sejenak Will berusaha meraih kedalam perasaannya. Ia mencintai Isabelle, hal itu tak diragukan lagi. Hanya saja, itu berarti Will tak menyadari dengan siapa sesungguhnya ia jatuh cinta di masa lalu. Azura mengetahui, selama ini Will merindukan nama yang salah.
Will hanya memperhatikan dalam diam, bergelut dalam kebenaran yang menyakitkan. Hingga gadis berambut pirang itu melangkah keluar. Mata biru cerahnya menyadari Will ada disana.
Wajah gadis itu pucat pasi, memandang Will dengan horror. Untuk sesaat tak ada yang sanggup berbicara. Tanpa sadar Will juga menahan nafas sesaat.
"Will," lirihnya, begitu pasrah. Penuh rasa bersalah.
'Seseorang membuatku bersumpah bahkan tak bisa menyebutkan apapun tentangnya.' Will menyadari bukan nama Seraphine yang tak pernah disebutkan oleh Azura, Halle atau Moorson.
"Aurielle." Akhirnya nama itu terucap dari bibir Will. Sosok yang selalu ia pikirkan selama ini, siluet anggun yang Will kagumi. Ia akhirnya menemukan siapa dalang dibalik semua kejadian ini, namun tak ada kegembiraan. Tak ada kepuasaan yang Will harapkan.
Entah bagaimana seseorang bisa merubah wujud mereka, namun perasaan tak akan bisa dibohongi oleh penampilan fisik semata. Aurielle yang berada di hadapannya saat ini, bukanlah Aurielle yang ia kenal di masa lalu. Will merasa hampa, tidak seperti saat bersama Isabelle.
'Kutukan itu memang membuat perasaanmu membeku setelahnya. Namun, tidak berarti perasaan cinta yang pernah kau rasakan akan menghilang begitu saja.' Perkataan Azura terngiang lagi di pikirannya.
'Seraphine sudah tiada. Kau jangan berani-berani mencoreng namanya dengan menganggap semua ini adalah perbuatannya. Mungkin kau tidak tahu, namun Seraphine malaikat yang sangat kusegani. Tak banyak yang mengetahui jasanya menyelamatkan Caleum dan Underworld.' Leo tak berbohong waktu itu. Menyelamatkan Underworld dan Caleum, ulang Will dalam hati. Memunculkan kilasan ingatan seorang malaikat yang nekat mendekat ke bibir Tartarus demi menjatuhkan sebuah kotak besi kecil untuk menghentikan sesosok monster.
"Siapa yang terbunuh oleh Orcus hari itu?" tak pernah Will merasa suaranya bergetar seperti ini, menahan berbagai emosi yang akan meledak bersamaan.
Gadis itu jatuh berlutut dengan air mata mengalir deras dipipinya, seolah ingin meluruh kedalam lantai. Tak sanggup memandang Will.
"Siapa yang sesungguhnya kucintai?" Will bertanya lagi, tangannya mengepal begitu kuat.
"Kau sudah mengetahuinya saat kau tak terkejut melihatku," jawab gadis itu disela sesalnya.
"Aku ingin mendengar sendiri darimu." Will merasa tenggorokannya tercekat.
Mata biru berlinang air mata itu akhirnya menatap Will. "Seraphine," bisiknya. "Ia lah siapa Isabelle sesungguhnya di masa lalu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro