Part 38.2: Fallen For You
Sorry for late update! ;) hope you guys enjoy this part!
----------------------------------------------------
Since I found you, my world seems so brand new
You've show me the love I never knew
Sejak aku menemukanmu, duniaku terasa seperti baru
Kau menunjukan padaku cinta yang tak pernah kutahu
[Will Blanford]
Since I found you, my life begin so new
Now who needs a dream when there is you.
For all of my dreams came true.
Sejak aku menemukanmu, hidupku dimulai seperti baru
Sekarang siapa yang membutuhkan mimpi ketika ada dirimu
karena semua mimpiku telah menjadi kenyataan
[Isabelle Cleveland]
My destiny is you
Forever true
I'm so in love with you
Takdirku adalah dirimu
Selamanya tak tergoyahkan
Aku sangat mencintaimu
----------------------------------------------------
Taburan bintang di angkasa yang hitam pekat, bersinar begitu tajam seperti berlian. Gemerlap langit malam terlihat semakin jelas saat Will terus naik menembus kabut berwarna oranye yang memantulkan lampu-lampu kota jauh di bawah sana. Udara dingin menusuk tulang, namun Will tak terpengaruh sama sekali. Seluruh inderanya terpusat pada gadis bermata turquoise cerah di dalam dekapannya. Isabelle tak hentinya membuka mulut terpesona memandang keindahan di angkasa.
"Semua ini sangat... " Isabelle mengerjap takjub, berpaling ke arah Will. "Dingin." Tiba-tiba meringis menyesal, memeluk Will semakin erat. Menyurukkan kepala ke ceruk leher Will, nafas gadis itu terasa dingin di kulitnya.
Will hanya mendengus geli. "Berterima kasilah aku menyuruhmu berpakaian seperti itu." Isabelle membalas dengan anggukan cepat, padahal beberapa menit yang lalu ia masih meratapi betapa bajunya sangat tidak romantis. Tidak seperti di film-film fantasi, terbang di langit malam dengan baju berkibar anggun—tipe manusia yang keracunan film fantasi, membuat Will memutar bola mata.
"Thanks, Will. Ini lebih baik daripada ide Bungee Jumping." Isabelle kembali menatapnya dengan cengiran lebar.
"Syukurlah."
"Tapi tak ada salahnya mencoba sekarang juga—"
"Isabelle." Will memperingatkan.
Gadis itu tertawa, terlihat begitu bahagia, mengalirkan perasaan hangat pada Will.
"Sebenarnya, aku baru teringat kembali, sejak kecil aku ingin mendaki ke puncak gunung. Untuk melihat langit penuh bintang seperti di foto-foto." Isabelle menjeda, tersenyum lembut. "Tak pernah kusangka impian masa kecilku terwujud seperti ini."
"Karena kau tak sanggup bermimpi memiliki pacar sepertiku." Will tersenyum miring, mengira gadis itu akan memutar bola mata. Namun, Isabelle tersenyum setuju.
Jemari rampingnya mengusap lembut wajah Wil, mengirimkan denyar aneh yang meresap ke perasaan Will. "Sebenarnya, kau adalah mimpiku yang menjadi kenyataan." Dibawah bulu mata lentik itu, sorot mata Isabelle begitu jernih, begitu gamblang menunjukkan perasaannya. Membuat Will tiba-tiba merasa tidak pantas.
"Kalau begitu kau sering bermimpi buruk, karena memimpikan Demons sepertiku." Kata-kata itu meluncur begitu saja dengan senyum pahit. Isabelle selalu berhasil membuat Will tanpa pertahanan, semua celahnya terpampang jelas.
"Tidak, Will." Isabelle merengkuh wajahnya cemas. "Kau telah melakukan lebih banyak kebaikan daripada yang kau ingat." Will tidak mengerti bagaimana Isabelle bisa menyimpulkan seperti itu. Namun, Will ingin memastikan sesuatu.
"Isabelle, apa kau pernah merasa menyesal bertemu denganku?"
Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir. "Well, sejak bertemu denganmu duniaku menjadi penuh dengan monster, makhluk-makhluk supernatural kuat mengincarku, dan mimpiku─" Isabelle berdeham seolah hampir keceplosan, lalu melanjutkan dengan yakin, "Namun, aku lebih menyesal jika tak pernah bertemu denganmu."
Will tak bisa menahan sudut bibirnya terangkat. "Kalau begitu mulai saat ini kau tak akan bisa mengusirku menjauh. Apapun yang terjadi aku tak akan melepaskanmu." Isabelle tertawa dan menjawab dengan hal serupa.
Will harus mengingatkan diri ia masih membopong Isabelle di ketinggian setara puncak salah satu gunung, agar tidak meluruh kedalam binar hidup di mata gadis itu.
Semua hal di dunia akan terasa berbeda tergantung apa yang kita pikirkan dan rasakan. Will menyadari hal itu sekarang. Semua akan terasa begitu buruk jika kita terpuruk dalam kebencian. Namun, ketika kita menerima cinta memenuhi setiap sudut relung hati kita, dunia yang cerah akan mulai merebak. Itulah yang dilakukan Isabelle pada dirinya.
Isabelle bersandar di bahunya sambil memandang ke angkasa. Rautnya tampak begitu damai, seolah ia menemukan surga. Namun taburan bintang itu tak membuat Will terpesona, karena ia lebih tertarik mengamati pantulan bintang di mata Isabelle. Detik itulah Will menyadari semuanya.
Tiba-tiba gadis itu menoleh, memergoki tatapan Will. "Will, bintangnya ada diatas sana, bukan diwajahku," Isabelle berkata geli.
Will tersenyum. "Aku tahu." Isabelle mengangkat alis, menunggu alasannya.
Dengan seluruh perasannya, Will melanjutkan, "Because I'm not fallen for the stars... I've fallen for you."
Will mengawasi saat sepasang mata turquoise itu membulat takjub. Perlahan air mata merebak disana. Sekarang Will mulai bisa memahami kenapa manusia begitu mudah menumpahkan air mata. Ketika perasaan kita terlalu terkejut menerima kebahagiaan atau kesedihan, dibutuhkan sebuah pelampiasan alami untuk menumpahkannya atau sesuatu akan terasa menyumbat tenggorokan. Seperti yang dirasakan Will saat ini.
"Kau ingat pernah bertanya padaku tentang imbalan apa yang kuminta dari Kyle?" Will bertanya.
Isabelle mengangguk bingung oleh perubahan topik tiba-tiba. Will lanjut menceritakan tentang usahanya mencari Orcus selama ini dan alasan di baliknya. Ia percaya hanya belati terkutuk itu yang dapat mengakhiri hidupnya.
Isabelle membelalak panik. "Aku tak akan membiarkanmu mendekati belati itu."
Will cepat-cepat menggeleng. "Walaupun aku masih mencari Orcus, aku sudah tak memikirkan rencana itu. Setidaknya tidak dalam waktu dekat."
Isabelle masih mengerut tak suka dengan topik ini.
"Karena aku sedang memikirkan rencana lain. Untuk menghabiskan hidup bersamamu." Will tersenyum samar. "Aku memang tak bisa menjadi manusia, namun aku akan menyerahkan Underworld dan segalanya untuk bisa bersamamu."
Beberapa tetes air mata mengalir di pipi Isabelle. "Kau akan melihatku menua dan buruk rupa."
"Itu tak bisa membuatku kabur."
"Aku bisa menjadi sangat bawel jika mood ku buruk dan melakukan tindakan gegabah."
"Aku sudah terbiasa." Will tersenyum miring.
"Aku akan menjadi keriput dan kau selamanya muda." Isabelle mengerucutkan bibir, merasa tidak adil.
Will tak bisa menahan tawa pelan. "Yeah, seharusnya kau tahu berapa umurku sesungguhnya." Akhirnya Isabelle tersenyum.
"Penampilan tak pernah berpengaruh bagiku. Begitu banyak Demons dan segala pesona mereka tak pernah membuatku merasa seperti ini. Hanya kau, Isabelle." Will menatapnya lebih serius sekarang, mencurahkan ketulusan di setiap kata-katanya, "Aku tak bisa membayangkan kembali ke kehidupan panjangku tanpa dirimu. Jika aku bisa mengakhiri kehidupanku dengan belati itu, aku akan pergi bersamamu saat kau meninggalkan dunia ini."
"Will...." Bisikan lembut itu membuat Will tak bisa membendungnya lagi. Begitu ia merunduk, Isabelle langsung menyambutnya. Ciuman mereka dipenuhi oleh rasa rindu yang akhirnya telah menemukan. Will semakin terlena saat aroma manis Isabelle memenuhinya. Jemari gadis itu menyusup lembut kedalam helaian rambutnya, mengusap wajahnya, berdiam di tengkuknya. Sebagai balasan, Will mengeratkan dekapannya. Menghilangkan celah diantara mereka sekaligus memastikan Isabelle tetap aman didalam gendongannya. Gadis itu adalah hal paling berarti baginya sekarang.
Will telah menemukan kepingan hilang yang ia butuhkan selama ini. Seperti itulah ia memahami cinta. Ketika seseorang membuatnya utuh kembali, membuatnya kembali hidup.
"Aku mencintaimu, Isabelle Cleveland," Bisiknya, mengakhiri dengan mengecup kening Isabelle lama.
"Aku juga mencintaimu, Will Blandford. Always." Isabelle mengucapkannya seolah ia telah memendam perasaan itu begitu lama.
Gadis itu membenamkan wajahnya di ceruk leher Will. Deru nafas mereka berhembus seirama. Sesekali, Will mengecup puncak kepala Isabelle lama. Untuk beberapa saat mereka berdiam seperti itu, melayang di tengah lautan bintang.
Ketika Isabelle kembali mendongak menatap Will, sorot turquoise itu dipenuhi oleh sebuah tekad. "Pertanyaanmu tentang mimpiku waktu itu, akan kujawab sekarang."
Isabelle melanjutkan dengan perlahan, "Mimpi itulah yang berhasil membuatku meninggalkan bandara saat Mr. Moorson berkata akan memberitahu kebenaran dibaliknya."
Will mengernyit mendengar nama itu. Membuat Isabelle berhenti sejenak, sebelum berkata lagi, "Ia berkata semua mimpi itu adalah ingatan masa laluku."
***
Aku memperhatikan tingkat syok Will semakin merambat naik, walaupun sebisa mungkin aku berusaha menceritakannya dengan perlahan. Aku mulai berpikir seharusnya membiarkan Will membawaku kembali memijak tanah dulu sebelum menceritakannya di situasi seperti ini. Lebih dari seribu meter diatas tanah, hanya berada di dalam dekapan Will.
Aku tahu, tidak semua kepingan ingatanku telah kembali. Beberapa terlalu samar untuk kuingat saat terbangun. Hanya perisitwa yang kuingat jelaslah yang kuceritakan pada Will.
"Sekarang dan di masa lalupun, pertemuan awal kita terlihat seperti awal perang. Kita beradu memanah demi giliran berjaga." Aku tertawa tak percaya. Will masih tertegun menatapku, raut terkejutnya belum hilang.
"Kau yakin semua itu adalah ingatan masa lalumu? Bukan ingatan orang lain? Moorson tidak berbohong?" Nada suaranya terdengar ragu, seolah semua ini hanya ilusi yang akan lenyap.
Aku menggeleng yakin dan menceritakan kejadian di bazaar hari itu. Mungkin ingatan itu juga yang membuatku tanpa sadar begitu suka dengan ketinggian.
"Bagaimana...." Tak pernah kulihat Will kehabisan kata-kata seperti ini.
Aku juga menyinggung tentang kalungku yang sepertinya berperan penting menyimpan ingatan tersebut, dan Will yang seolah memicunya merebak ke permukaan.
Berbagai macam emosi bercampur aduk di wajah Will dalam beberapa saat, hingga raut memahami terulas samar. Ia bergumam lirih, "Kurasa kepingan puzzle masa lalu itu mulai tersusun dengan benar."
***
Aku dan Will berakhir melangkah cepat menuju ke sebuah restoran mewah di daerah Upper East Side Manhattan. Untuk sesaat, semua momen tadi harus tertahan dulu. Aku hanya mengenakan sweater sekarang, meninggalkan coat serta jaketku di mobil Will.
Beberapa saat yang lalu, Will baru saja menjejakkan kaki di helipad apartmentnya, hendak mengambil pasangan kalung yang kukenakan. Tak pernah sekalipun di mimpi yang kuingat, menyiratkan kalung itu sepasang. Will berkata mungkin kedua benda itu bisa mengingatkanku tentang momen saat aku memberikan salah satu benda itu padanya. Menurut Will momen itu adalah petunjuk penting tentang sesuatu. Aku tidak terlalu mengerti apa yang sedang ia selesaikan saat ini.
Baru beberapa langkah kami mengarungi helipad luas, ponsel Will berbunyi. Aku langsung tahu itu adalah pertanda buruk ketika Will menatapku waspada. Ia menghindar sejenak untuk berbicara serius dan kembali dengan dering lainnya. Ternyata Lizzie. Kurasa ia berusaha menghubungi ponselku yang tertinggal di rumah. Will menjawab kalau aku bersamanya. Ternyata ia berniat mengajak kami untuk berkumpul di sebuah restaurant, bersama teman-temanku yang lain—Bernard, Nick, Kyle, dan mungkin Jessa. Tiba-tiba Will berekspresi seolah saran Lizzie itu adalah ide bagus.
Seperti itulah hingga kami berakhir disini. Will berjalan di sampingku, lebih banyak menatapku dalam diam dari tadi. Aku tak bisa mengartikan ekspresinya dengan jelas. Yang pasti pikirannya sedang kelabakan menerima semua ini—pengakuanku dan telfon dari bawahannya. Aku tak pernah terpikir, fakta itu bisa saja terasa seperti membuka luka yang sudah kering bagi Will. Aku hanya ingin ia terlepas dari perasaan tersiksanya selama ini.
Sebuah bangunan familiar mewujud dihadapanku. Tanpa sadar langkahku terhenti. Ditelingaku terngiang tawa seorang gadis kecil yang berada di gendongan ayahnya. "Happy Birthday, little princess." Itu kata yang selalu gadis itu dengar setiap memasuki bangunan tiga lantai bergaya klasik ini.
"Ada apa?" Will ikut berhenti di sampingku.
Aku tersenyum sedih. "Dad selalu mengajakku makan disini setiap ulang tahunku. Aku tak pernah kemari lagi sejak berangkat ke London."
Ketegangan di raut Will melunak sejenak. "Kau merindukan ayahmu?"
Tak bisa kupungkiri lagi, aku mengangguk. "Jika aku diberi kesempatan untuk membuat harapan kedua, aku akan meminta untuk bertemu dengannya lagi, tak peduli meski hanya untuk mengucapkan selamat tinggal."
"Sayangnya aku tak bisa mengabulkan hal itu. Ayahmu pasti menjadi tanggung jawab Caleum." Will menggenggam tanganku. Aku mengangguk mengerti.
"Tunggulah disini bersama yang lain." Will tiba-tiba berhenti, menghadapku, saat kami menaiki undakan menuju pintu utama.
"Kau tidak ikut masuk?" Aku mulai cemas.
Will menggeleng. "Aku akan menyusul nanti. Ada sesuatu yang harus kubereskan." Aku merasakan déjà vu. Suasana ini terasa seperti malam itu, sebelum bencana di Homecoming Party.
Hanya saja sekarang lebih serius, batinku ketika aku melihat sekitar selusin wanita dan pria berperawakan seperti polisi di film action dengan pakaian hitam-hitam—para malaikat iblis—memberi salam pada Will.
Will mengangguk pada mereka, lalu menjelaskan padaku, mereka akan berjaga tanpa mengusikku. Sehingga aku hanya perlu menikmati waktuku dengan Lizzie, hingga Will datang menjemput. Aku tak tahan lagi.
"Will, sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tuntutku cemas. Salah satu kebiasaan buruk Will adalah ia terbiasa menutup segala masalah dan menanganinya sendiri.
Will menatapku lekat-lekat, menimbang penuh perhitungan. "Kalau aku memberitahumu, berjanjilah kau tak akan meninggalkan gedung ini." Akhirnya ia berkata.
Aku langsung mengangguk, namun Will tampak tak percaya.
"Aku tahu sifatmu Isabelle, kau tak pernah menurut."
"Aku bersungguh-sungguh kali ini," tekadku. Aku menyadari keterlibatanku bisa semakin merugikan Will.
Sorot mata abu-abu itu menginvasiku, mencari tanda-tanda kebohongan. Hingga ia yakin dan mengungkapkan, "Singkatnya, seorang Demons memberi laporan Moorson sedang menuju lokasi dimana Mansionmu berada."
Hentakan kuat seolah menghantam rusukku. "Mom," seruku, spontan.
Will langsung menarikku kedalam pelukannya, tak peduli selusin pasang mata sedang menatap kami terkejut. "Aku tahu," bisiknya. "Karena itulah aku akan kesana sendiri, sekaligus memberi pelajaran pada penyihir itu." Will melanjutkan dengan geram.
Will melepaskan pelukannya, aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba Will tersenyum miring. "Jangan khawatir. Kau lupa siapa aku? "
Aku mendesah tak percaya, bisanya orang ini tetap bersikap arogan ditengah situasi begini.
"Dan kumohon, kali ini turuti kata-kataku, Isabelle." Will memperingatkan sekali lagi. Aku mengangguk meyakinkan, bertekad memenuhi ucapanku.
Will mengecup keningku lama, sejenak menangkan dentum jantungku, sebelum ia menuruni undakan. Namun, melihat punggungnya yang menjauh, kegelisahanku mulai memuncak lagi.
"Will," panggilku. "Berjanjilah padaku kau akan kembali."
"Sebelum kau selesai bergossip, aku sudah kembali menjemputmu," balasnya, sungguh-sungguh.
Aku memaksakan senyuman sebagai balasan, tetapi tak bertahan lama. Senyumku langsung memudar begitu Will tak tampak lagi. Aku hanya berharap kegelisahanku ini sekedar hal konyol. Tidak ada siapapun yang bisa mencelakakan Will kan? Aku seharusnya belajar mengkhawatirkan diriku sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro