Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 35.1: Change of Plan

Hello again, Readers!!  here's another part panjang yang aku bagi jadi dua lagi. Jangan lupa vote & comment. Thank you ^^

Langit berwarna biru keabuan gelap diwarnai oleh lampu-lampu hias yang saling melintang. Spanduk berisi bermacam-macam ucapan semangat untuk berbagai bidang kompetisi antar sekolah, memenuhi halaman luas Riverdale High, tuan rumah tahun ini. Seorang wanita berambut rose gold yang sulit dilupakan, tersenyum lembut menandang para siswa yang mengerumuni stan-stan di sekelilingnya. Wanita itu terlihat seperti orang tua salah satu murid kaya, dengan mantel elegan dan langkah percaya diri. Ia terlihat puas dengan penampilan yang dipilihnya untuk sementara ini.

Mata hitam pekat wanita tersebut tak pernah lepas mengamati gadis berambut pirang keemasan yang dipanggil Isabelle itu. Gadis manusia yang sering memenuhi visinya akhir-akhir ini. Wanita itu menuju stan makanan yang ramai, menyibukkan diri dalam antrian. Cukup dekat untuk mendengarkan Isabelle bercakap-cakap dengan beberapa teman-temannya.

"Karena partisipasimu tahun ini, tim kita berhasil menyabet juara pertama, Isabelle." Seorang pemuda bersetelan rapi bertampang ramah, tersenyum lebar.

"Ini semua karena kerjasama kita, Nick!" balas Isabelle sama berbinarnya. Mereka saling memberikan pelukan selamat. Ketiga teman mereka yang lain juga bergantian memberikan pelukan selamat. Wanita itu merasa ini adalah momennya untuk melangkah masuk, menyela pemuda bernama Nick yang sedang menyayangkan Isabelle yang akan pergi ke London besok.

"Kalian tim orchestra bukan? Tadi itu benar-benar sempurna. Selamat!" Wanita berambut rose gold itu mengulurkan tangan. Kelima siswa itu serentak menoleh kearahnya. Nick membalas uluran tangannya dengan bangga, diikuti oleh Isabelle.

"Terima kasih, Mrs... ?" Gadis itu tersenyum cantik.

"Mrs. Johnson. Anakku bersekolah di sini juga." Wanita itu asal mengarang. Raut memahami dari mereka menyambut perkataannya. Begitu wanita itu melepaskan tangan Isabelle, sebuah visi melintas. Seorang malaikat iblis, sekaligus demon yang paling berkuasa di dunia ini, Will, jatuh berlutut. Seluruh egonya seolah meluruh ke lantai. Tubuh pemuda itu bergetar oleh kegetiran, kepalanya tertunduk. Ia bergumam lirih, "Aku memohon padamu."—sebuah gambaran lain menampakkan Isabelle memandang belati terkutuk, Orcus. Gadis itu tampak begitu shock. "Tidak!" bisiknya tajam—Gambaran terakhir begitu mengerikan. Api seperti lava merah menyala bergejolak liar dari dalam tartarus seolah hendak menyembur keluar dari retakan raksasa.

Tanpa sadar wanita itu menarik nafas tajam. Ia telah hidup begitu lama untuk bisa mengendalikan diri setiap melihat visi masa depan. Semua orang bahkan menyebutnya The Great Oracle. Namun, kilasan tentang gejolak tartarus itu berhasil menjebol ketenangannya. Beberapa visi lain masih melinatas di benak wanita itu saat ia memutuskan merogoh ke dalam tas tangan kosong yang ia bawa. Sebuah kotak logam silver kecil seolah muncul begitu saja di dalam tas tangan wanita tersebut.

"Anggap saja hadiah kecil untukmu." Wanita itu berhasil mengulas senyum sambil mengulurkan hadiahnya pada Isabelle.

"Well, thank you, Mrs. Johnson." Isabelle menerima walau terlihat kebingungan. Wanita itu hanya tersenyum menepuk tangan Isabelle sebelum berlalu pergi. Hadiah itu akan terbuka saat waktunya tiba, sesuai hal apa yang dibutuhkan gadis tersebut.

Untuk terakhir kali, wanita itu berbalik ke arah sekumpulan anak manusia tadi. Namun, kali ini ia akhirnya menatap seorang pemuda tampan berambut cokelat terang dengan mata biru yang sedang tersenyum mempesona. Raut wanita itu datar tak terbaca. Semoga saja semua ini tak berakhir lebih buruk lagi dan menyeret petaka lainnya, ia membatin.

***

Aku sudah menyerah membuka kotak silver berukir sederhana ini dan memasukkannya ke tasku. Kata Kyle, mungkin wanita asing berambut rose gold tadi sedang mengerjaiku. Aku tak peduli, karena perasaan senangku sedang meluap-luap hari ini. Semua berjalan lancar dan kabar baik lainnya adalah Kyle dan Nick sudah berdamai. Jessa mengerti, demi kebaikan bersama ia dan Nick memutuskan mengakhiri hubungan mereka.

Aku bisa merasa Nick mulai tulus membuka perasaannya pada Adelyn. Namun, aku tidak terlalu memahami Kyle. Perasaannya terhadap Adelyn waktu itu cukup serius, tetapi sekarang sudah ada seorang bernama Stacie McCarty—kudengar cewek itu aktif mengikuti ajang modelling—yang tiba-tiba datang menggamit lengan Kyle. Gadis berambut cokelat lurus panjang seperti iklan shampoo tersebut tidak menyebalkan, hanya saja tatapannya yang terlalu memuja Kyle itu sedikit mengganggu. Tentu saja siapa yang tidak kesenangan menggandeng Student Council President keren sekaligus anggota klub basket seperti Kyle—kecuali aku mungkin. Kyle hanya membiarkan Stacie menggelayuti lengannya.

Nick sudah pergi untuk mencari Adelyn dari tadi. Sementara aku, Lizzie, Kyle, Bernard, dan Stacie melanjutkan mampir ke satu stan ke stan lain. Semua kompetisi hari ini telah berakhir, sekarang waktunya bersenang-senang di bazaar. Jessa datang bergabung. Aku senang kapten cheerleaders itu kembali. Ia terlihat cukup baik-baik saja dengan bercanda malam ini adalah pesta patah hatinya.

"Really, Kyle? Sudah menggandeng cewek baru?" tanyaku tersenyum masam sambil mengambil busur dan anak panah. Kami sedang berhenti di stan game panahan. Stacie dan Jessa sedang membeli minuman.

Kyle mengangkat bahu, memasang raut innocent. "Kami hanya berkencan biasa. Stacie mendekatiku, aku tak sampai hati menolaknya."

Aku menggeleng tak percaya, kapan cowok ini akan serius. Dibanding kepribadian Will yang terasa seperti masuk di dalam piramida kuno penuh jebakan dan labirin menyesatkan, entah apa yang sesungguhnya ada di dalam, Kyle terkesan seperti pergelaran pameran. Ia terbuka dengan siapapun dan tak ada rasa canggung berteman dengannnya. Tidak ada rahasia tentang dirinya kecuali nama marganya. Namun, aku merasa dibalik semua itu ada pintu tersembunyi, tempat Kyle menyimpan perasaan sesungguhnya. Mungkin seseorang yang bisa menemukan pintu itu akan membuat Kyle merubah kelakuannya ini.

"Ayo taruhan. Siapa yang paling jauh dari target akan menraktir snack." Kyle tersenyum menantang, ia juga sudah menyiapkan busurnya.

"Siapa takut. Aku sangat ahli memanah." Aku berlagak sombong, membuat Kyle tertawa meremehkan.

Bersama-sama, aku dan Kyle meluncurkan anak panah pada masing-masing papan target kami. Entah kenapa aku jadi teringat mimpiku dan tanganku langsung bergerak otomatis mencari posisi yang tepat. Tiba-tiba aku merasa yakin aku benar-benar terampil.

"What the hell?! Kau tidak bercanda." Kyle lah yang pertama kali berseru syok melihat anak panahku tepat menancap ditengah. Aku terlalu terkejut untuk berkomentar. "Aku tak menyangka kau ahli memanah. Tahu begitu, aku tak mengajakmu taruhan." Kyle masih menatap tak percaya pada papan targetku.

"Ya." Hanya itu tanggapanku sambil mengerjap. Aku tak mempedulikan Jessa dan Stacie yang datang membawa beberapa minuman. Aku masih tertegun. Tidak, aku sama sekali tak pernah memanah sebelumnya. Mana bisa mimpi mempengaruhiku seperti ini. Tidak mungkin. Sambil menyingkirkan rasa merinding, aku mengikuti teman-temanku berjalan menjauh.

Malam itu aku berusaha tak memikirkannya lagi dan menghabiskan waktu sepenuhnya menikmati farewell party  ku sebelum berangkat ke London besok. Kyle berakhir menraktirku snack. Tak bisa kupungkiri, sesekali senyumku memudar, berharap Will ada disini sekarang. Mulai besok, Will hanya akan menjadi masa laluku di New York.

***

Aku dan Mom tiba di bandara John F. Kennedy sangat awal. Lizzie, Bernard, Jessa, Kyle, dan Nick ikut mengantar. Mom sedang sibuk mengurus kelima koper kami dan memberi beberapa instruksi kepada Ms. Paige. Untuk sejenak, aku menjauh dari mereka dengan alasan ke toilet, berusaha menenangkan kegelisahanku sejak pagi ini. Berkali-kali aku membuka ponsel dan hendak men-dial nomor Will, namun terus membatalkannya.

Aku berjalan semakin jauh hingga Mom dan teman-temanku tak tampak. Sekali lagi aku membuka daftar kontak. Paling tidak, aku masih bisa mengucapkan selamat tinggal pada Will bukan? Tidak, Will kan sudah mengucapkan selamat tinggal padamu, Isabelle, batinku menyahut. Aku mengerang frustasi. Tiba-tiba ponselku bergetar, membuatku hampir menjatuhkannya.

Aku mengerutkan kening menatap nomor tak dikenal. "Halo?" Aku menyapa penasaran.

"Miss Cleveland." Suara bernada licik yang familiar. Aku mematung.

Setelah menghela nafas, aku berkata, "Maafkan aku Mr. Moorson, aku memutuskan tak akan menghubungi anda lagi." Aku sudah menjauhkan ponsel, saat suara Mr. Moorson terdengar lagi.

"Kau sering bermimpi tentang Will dan dirimu sebagai malaikat bukan?" Kalimat terkesan random itu berhasil menarik perhatianku lagi.

"Apa maksud anda?" tanyaku was-was. Bagaimana pria itu bisa tahu?

"Bagaimana kalau aku berkata semua itu adalah kejadian nyata di masa lalu?" Kata-kata itu mengirimkan denyutan ke kepalaku. Aku setengah tertawa tak percaya. Apa penyihir ini gila?

"Aku tak percaya pada hal yang tak ada buktinya, Mr. Moorson." Aku terdengar meremehkan, namun sebenarnya kulitku terasa meremang.

"Oh kau tahu hal itu benar. Perlahan mimpi itu semakin nyata. Bahkan mempengaruhi kelakuanmu bukan?" Deg! Tiba-tiba aku teringat kejadian aneh saat permainan memanah kemarin. Kebisuan penuh keraguanku membuat Mr. Moorson terkekeh puas. "Kuberitahu alasannya, mimpi itu sebenarnya ingatan. Temui aku sekarang juga, aku akan menjelaskan semuanya termasuk alasanku mengincar keluargamu."

***

Langit senja tampak dari kaca-kaca lebar bandara. Dalam sekejap suasana menjadi begitu kacau. Hanya Kyle dan Alyson yang tetap di tempat awal di dekat pintu masuk utama bandara. Sementara yang lain berpencar untuk mencari Isabelle, dibantu oleh petugas bandara. Gadis itu tadi berkata ke toilet namun, lebih dari sejam kemudian, ia tak kunjung kembali. Parahnya, ponsel Isabelle tak bisa dihubungi dan ternyata ditemukan tertinggal di salah satu kursi tunggu.

Kyle menilik arlojinya, hanya tinggal lima belas menit lagi sebelum waktu check in berakhir. Pesawat mereka seharusnya berangkat pukul 19.30. Alyson masih sibuk menelfon, sementara Kyle sudah lelah menghubungi siapapun yang terpikir olehnya. Kemana gadis nekat itu pergi? Kyle curiga alasan Isabelle menghilang adalah karena niatnya sendiri. Kemungkinan diculik paksa di bandara hanya sekitar lima persen. Ia lebih percaya kalau Isabelle menemui Will sebelum pergi. Hal ini membuat Kyle berusaha menghubungi ponsel Will juga, hanya untuk mendapat pemberitahuan nomor sudah tidak aktif.

Kyle mendekatkan ponsel ke telinga lagi, meneruskan menerror resepsionis apartemen Will. Sialnya, yang berjaga bukan wanita, jadi Kyle tak bisa melancarkan rayuannya. Setelah ditolak suara datar pria itu pada tiga sambungan pertama, resepsionis sialan tersebut tak mengangkat sambungan lagi.

"Apa yang terjadi? Dimana Isabelle?" Kyle sempat mengira suara itu berasal dari sambungan telfon menggantikan si resepsionis, hingga ia berbalik dan menemukan Will disini. Iblis itu tampak heran melihat Alyson yang mondar mandir panik.

"Kenapa kau tiba-tiba kemari?" Kyle bertanya terkejut. Di lain waktu, ia akan merasa menang dan menertawai Will yang tak tahan menemui Isabelle di bandara, ala drama romantis. Tapi ia tak bisa tertawa sekarang. Tanpa menunggu alasan Will, Kyle membuka mulut untuk menjelaskan situasi. Namun, seruan Alyson Cleveland membuat Kyle dan Will langsung berpaling.

"Aku sudah menurutimu untuk pergi dari New York! Jangan sentuh putriku, Moorson!" Nama itu membuat Kyle dan Will saling bertatapan siaga. Ketegangan langsung meningkat drastis. Will tak butuh penjelasan lagi. Serentak mereka berdua berlari ke arah Alyson, saat wanita itu berteriak, "TIDAK!"

"Mrs. Cleveland, apa yang dikatakannya?" Walaupun ekspresi Will tampak mengeras, ia tampak luar biasa tenang. Kaki wanita itu tampak lemas hingga salah satu petugas bandara memegangi lengannya.

"Ia—iblis itu berkata, aku tak akan bertemu putriku lagi." Alyson berkata dengan suara gemetar, akibat berbagai emosi yang berkecamuk. Tangannya yang memegang ponsel terjatuh lemas. Air mata menuruni pipinya. "Semuanya sudah terlambat." 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro