Part 32: Untouchable
Happy reading! ^^ jangan lupa vote and comment ya
Aku kembali berada di ruangan music. Tenggelam dalam alunan harpa yang kumainkan di ruangan sunyi ini. Cahaya sore meresap masuk menghangatkan pelupukku yang terpejam.
"Aku tidak tahu kau bisa memainkan harpa, Aurielle." Aku mengenali suara tegas yang enak didengar itu. Will-Aku sadar ini hanya mimpi, namun ini adalah pertama kalinya aku memimpikan Will setelah hampir dua minggu mimpiku kosong. Aku tak peduli kenapa Will memanggilku begitu. Kalau ada yang membangunkanku sekarang, aku akan mengumpatinya.
Aku membuka mata, sedikit terkejut suasana di sekitarku bukan lagi studio music. Harpa dihadapanku memiliki ukiran rumit yang indah. Pandanganku langsung tertuju pada seorang pemuda yang bersandar di ambang pintu megah dengan kusen berukir klasik. Ia mengulas senyum padaku, pandangannya tampak lembut dan intens seolah sedang memandang hal paling berarti dalam hidupnya-Hal mustahil yang sangat kudambakan dari Will di kehidupan nyata.
"Kau kira hanya Seraphine saja yang bisa." Aku tersenyum miring.
Will tertawa dan berjalan kearahku. "Well, dia yang pertama kali mengangkut harpa ini kemari." Lalu, senyumnya berubah masam, "Untuk membuat para malaikat iblis jengkel. Dengan sengaja dia memainkan nada acak keras-keras, tak peduli kami sedang istirahat."
Aku tertawa geli menyambung ucapannya. Sementara Will yang sudah berada dihadapanku segera meraih kedua tanganku dengan lembut, menarikku berdiri.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," Will berkata sambil menarikku semakin dekat. Sesekali ia mengusap rambutku.
"Kemana?" Aku bertanya penasaran.
"Tour ke Underworld... ?" Ia mengangkat sudut bibirnya, melihatku mengangkat alis tak percaya. "Kau pernah berkata ingin mengenalku lebih dekat. Aku akan mengusahakan itu sekarang."
Alisku semakin menukik naik. Aku pernah berkata begitu? Pasti aku sudah gila! oh... atau mungkin itu saat-
"Aku tahu waktu itu aku menolaknya mentah-mentah. Namun, aku serius sekarang." Suara Will memutus pikiranku, rautnya menegas. Salah satu tangannya mengusap puncak kepalaku, dengan perlahan ia mempersempit jarak diantara kami, lalu berkata lirih, "Aku mulai menyukaimu, Aurielle." Ia mengecup keningku dengan ringan. Aku terperanjat tak membalas apapun. Ini tidak benar, batinku. Bukannya perasaan hangat, rasa dinginlah yang menjalari kulitku-
Momen mimpi yang membuatku ingin berhibernasi itu terputus oleh kepingan kejadian acak. Aku mengerang kesal. Diriku didalam mimpi benar-benar kaku. Aku ingin menggerakkan tangan untuk memeluk Will, menumpahkan semua kerinduanku. Sayangnya aku hanya orang ketiga yang terperangkap, sementara diriku disitu sepenuhnya memiliki pikiran sendiri. Apakah itu mungkin? Setahuku kita seharusnya masih bisa mengendalikan diri di dalam mimpi.
Kepingan mimpi lain mulai merebak semakin jelas.
Aku berjalan melintasi koridor batu dengan obor-obor berjajar rapi di sepanjang dinding. Underworld jauh berbeda dengan Caleum yang serba berkilau. Langkah penasaran membuatku berada di depan ruang tahta yang sangat luas, sementara Will tadi masih disibukkan seorang malaikat iblis yang menyampaikan sesuatu yang penting.
Semakin jauh aku melangkah masuk, semakin terkagum oleh kemegahan ruangan ini. Walaupun memancarkan kesan gelap, namun memiliki keindahannya sendiri.
Suara dua pasang langkah kaki terdengar mendekat. Insting menyuruhku bersembunyi saat aku mendengar suara berat seorang pemuda. "Siapa gadis yang membuat perhatian Will teralih, Azura?"
"Seorang malaikat bernama Aurielle. Mereka bertemu di Confinium, Your Majesty." Suara wanita yang menjawab itu terdengar gelisah. Tubuhku mengejang, pemuda itu tak lain adalah raja Underworld. Aku semakin merapatkan diri dibalik pilar raksasa yang menyangga langit-langit batu, mencoba bernafas sepelan mungkin.
"Itu buruk," timpal Gregory, gusar. "Namun, sisi positifnya membuatku tak akan ragu lagi mengejar ambisiku."
"Tolong jangan katakan anda kembali terpikir ritual curang untuk mendapatkan kekuatan Lucifer." Wanita itu membalas was-was. Terdengar suara tawa jahat dari Gregory.
"Apa bunyi peraturannya Azura? 'Seseorang yang sangat kubenci, tapi sangat dicintai oleh satu-satunya orang yang berhubungan darah denganku'? Aku akan sabar menunggu." Gregory terkekeh kejam. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, menghasilkan bekas kuku di telapak tanganku. Seorang iblis tetaplah iblis, batinku dengan kebencian hingga ke ubun-ubun.
Untungnya beberapa saat kemudian, aku mendengar mereka meninggalkan ruangan ini. Dengan emosi berkecamuk, aku melangkah dari balik pilar.
"Kau mendengar semuanya, Angels?" Wanita dengan mata biru gelap menusuk, berambut merah, menghadangku. Deg! Sang oracle. Mataku membelalak ngeri-
"-Isabelle, Isabelle! Bangun!" samar-samar suara Lizzie semakin jelas. Ia mengguncang-guncang tubuhku. Aku terduduk sambil mengatur nafasku. Lizzie sudah duduk dikasurku dan menyalakan lampu tidur. Sebuah benda terasa hangat di leherku. Tanganku secara otomatis terangkat menyentuh kalungku.
"Hanya mimpi buruk." Aku menjawab raut cemas sepupuku. Detak jantungku berangsur melambat. Lizzie masih memandangku khawatir.
"Kau menyebutkan nama Will beberapa kali." Kening Lizzie berkerut. Ugh! Inilah yang kukhawatirkan jika ada orang lain di kamarku. "Dengar Isabelle, kau harus benar-benar melupakan Will," ia melanjutkan dengan nada mendesak.
Aku mendesah. Jangan nasihat itu lagi. Entah ada apa dengan Lizzie. Ia terus berkata tentang 'Will tak seperti yang kaupikirkan. Dia bisa saja punya sisi mengerikan' atau 'Bersyukurlah kau terlibat terlalu jauh dengan Will'. Padahal sebelumnya Lizzie selalu menggodaiku tentang Will. Kalau diingat-ingat lagi, sikapnya mulai berubah sejak hari aku menyatakan perasaanku pada Will.
Satu-satunya alasan yang terpikir adalah Lizzie mencemaskanku yang bertepuk sebelah tangan dan tidak bisa move on.
Aku menghembuskan nafas panjang. "Aku sedang mengusahakannya, ok?" Berusaha menenangkannya dan diriku sendiri.
Lizzie mengangguk. "Dia tak pantas mendapatkanmu."
***
Gerombolan para siswa memenuhi lapangan parkir seusai sekolah. Aku bersandar di samping limousine Bernard. Sementara Lizzie sedang mencari pemiliknya. Sudah beberapa hari ini hampir setiap pulang sekolah, Bernard dan Kyle berkunjung ke mansionku. Nick tidak ikut karena pertemanannya dengan Kyle sedang dalam fase 'Break', sedangkan aku lebih membutuhkan Kyle daripada Nick-Sorry, Nick.
Aku begitu bersemangat untuk memulai mencari bukti rekaman cctv pada hari Dad meninggal dan melaporkan pada The Nox. Simple, namun rasanya aku seperti menabrak tembok. Bagaimana aku harus memulainya? The Nox juga tidak akan memasang informasi kontak di Google begitu saja. Bahkan hampir semua isu tentang The Nox di kesampingkan sebagai hoax. Aku mengetahui keberadaannya dari forum-forum terselubung komunitas indigo dan cerita Mom tentang organisasi itu. Aku tidak ragu Mom bisa mencari organisasi tersembunyi itu melalui jaringan kekuasaanya.
Saat itulah aku sadar, aku membutuhkan bantuan orang lain. Dan siapa yang mengerti serba-serbi dunia Demons?-selain Will. Tentu saja Kyle. Aku menceritakan semuanya pada Kyle. Aku semakin tercengang mengetahui ia bahkan pernah ke kantor mereka, namun aku sadar Kyle enggan bercerita alasannya. Dibalik kelakuan hura-huranya, entah apa yang disimpan Kyle. Aku tahu batasanku dan tak mengungkit hal itu lebih lanjut.
Kyle yang pertama menghampiriku, melintasi lalu lalang para siswa. "Kau masih belum menyerah menemukan rekaman cctv itu?" Ia berdecak.
"Tidak." Aku menggeleng tegas. Sekali aku bertekad, aku tak akan mundur. "Tinggal satu ruangan lagi yang belum kugeledah. Dan hari ini aku sudah mengusahakan ruangan itu tak terkunci," lanjutku, tersenyum penuh arti.
Kyle berlagak lelah. "Hari ini Natasha semakin menggila. Ia hampir menggundang tiga kelas penuh untuk berpesta di rumahmu."
"Itu semakin bagus agar semua security dan pelayan di rumahku teralihkan." Aku tersenyum senang.
Oh yeah, sebenarnya bukan tanpa alasan aku menerima tamu hampir setiap sore. Kegemaran Lizzie berpesta akhirnya menguntungkan juga, ia menerima posisi EO dengan kegirangan. Mom tidak masalah dengan pesta outdoor sore hari, asal saat Mom sampai dirumah, pesta itu harus mulai bubar. Aku berusaha membuat kesan aku ingin menghabiskan waktu dengan teman-temanku, sebelum kembali ke London. Semua sudah tahu kepindahanku seminggu lagi.
Tak lama setelah Bernard dan Lizzie muncul, kami langsung menuju ke Mansion Cleveland. Sudah cukup banyak mobil yang terparkir di lapangan parkir mansionku. Para security berlalu lalang mengecek penumpang, memastikan mereka siswa Riverdale High.
"Miss Cleveland." Seorang security menghormat sekilas saat kaca mobil Bernard terbuka.
Sekilas, Bernard bergumam iri tentang enaknya punya mansion. Keluarganya sendiri tinggal di hotel termewah milik group Milton. Hanya satu orang disini yang tidak jelas asal-usulnya.
"Sebenarnya kau tinggal dimana sih?" Bernard seolah menyuarakan pertanyaanku pada Kyle.
"Dibanding kalian, aku hidup sederhana di salah satu apartment biasa." Kyle menjawab dengan senyum ramah yang dibuat-buat. Mata birunya berkilat jenaka.
"Mobil sportmu itu pasti sangat mencolok di apartment biasa." Aku memicing tak percaya. Kyle hanya tertawa.
"Aku akan menginvasi tempat tinggalmu kapan-kapan," Bernard memutuskan, yang langsung ditimpali oleh decakan tak setuju dari Kyle.
"Only girls allowed, Bernard." Kyle berkata dengan nada penuh canda, membuat Bernard langsung berlagak akan menghajarnya. Aku dan Lizzie hanya menggeleng melihat tingkah mereka.
Percakapan tentang tempat tinggal itu berlangsung selama beberapa waktu diantara Lizzie, Bernard dan Kyle. Lizzie berandai-andai tinggal di Mansion keluarga Riverton-keluarga terkaya dibenua ini dan menikahi salah satu anak Lorraine Riverton. Bernard langsung menghempas impiannya dengan berkata wanita pewaris tunggal keluarga itu sudah bersumpah tak akan menikah dan memiliki anak. Kyle menanggapi dengan dengusan kesal, entah kenapa ia terlihat memiliki dendam kesumat dengan keluarga Riverton. Sementara aku diam saja, memikirkan kejadian apa yang harus kubuat untuk menyingkirkan security dari ruang pantau cctv.
Lizzie dengan ramah langsung memandu semua tamu ke halaman belakang yang luas lengkap dengan kolam renang. Aku menyuruh sebagian besar pelayan untuk standy by di halaman belakang.
"Kau sudah dapat ide kreatif?" Kyle tiba-tiba berada di sampingku. Berdiri di balkon, menatap halaman belakang. "Aku tidak mau menjadi pengalih perhatian lagi, kurasa Derrick ingin muntah saat melihatku," ia menambahkan.
Aku mendesah. Awalnya Kyle cukup waras mengajak para security itu berbicara tanpa henti, sementara aku menggeledah perpustakaan rumah ini. Namun, semakin lama ide Kyle menjadi terlalu kreatif. Terakhir kali Kyle melakukan ide gila, ia 'tak sengaja' menumpahkan segentong minuman manis penuh buah yang ia sisihkan untuk para security di dalam ruangan itu. Membuat Derrick-kepala security yang selalu berjaga di ruangan cctv, mengomel muntab. Aku kehabisan kata-kata. Kyle berada diantara terlalu gila atau cerdas.
"Tunggu, kau mengundang Harold Becker?" Kyle bertanya tiba-tiba. Pandangannya tertuju pada seorang pemuda jangkung berkacamata yang tampak sedang bercerita panjang lebar penuh percaya diri. Rautnya terlihat pintar. Yang kutahu ia langganan menyabet piala olimpiade akademik.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah, Lizzie yang mengatur semuanya. Kenapa?" Kuperhatikan raut Kyle berubah sumringah. Tanda ide baru menyeruak.
"Well, aku tidak terlalu suka Harold, tapi aku membutuhkannya hari ini. Kudengar ia tertarik berbicara tentang sistem keamanan canggih." Senyum Kyle semakin lebar. "Harold akan mengutak atik dan berkomentar tentang ruang pantau mansionmu, lalu ups! Sebuah tangan lain tak sengaja mematikan layar." Ia mengangkat tangannya sendiri, memasang raut bangga. Aku tak kuat menahan tawa.
Pada akhirnya kami kembali ke tugas awal. Kyle berusaha membuatku tak terlihat di layar dan sebisa mungkin menghentikan pantauan. Sementara aku menyelinap ke kamar Mom, feelingku berkata rekaman itu pasti tersimpan disini. Sejak awal aku sudah menduga Mom tak mungkin menyimpannya di kantor karena benda itu terlalu penting.
Aku tahu Mom orang yang teliti, ia tak segan melihat pantauan cctv mansion. Mungkin sedikit paranoid seseorang akan menyusup kemari. Karena itulah aku tahu Mom selalu menyimpan rekaman itu dalam sederet flashdisk berlabel tanggal.
Baru saja aku membuka pintu ganda menuju kamar Mom, aku hampir menabrak meja hiasan dan menjatuhkan guci yang terpajang disana. Aku sama sekali tak berbakat mengendap-endap. Tidak juga dengan menjadi pengalih perhatian. Kyle sempat bertaruh aku pasti keceplosan dalam beberapa menit pertama. Akhirnya diputuskan, lebih baik aku yang menggeledah. Jauh berbeda denganku, Kyle tampak berpengalaman dalam hal-hal seperti itu. Diatas semua ide gilanya, ia cocok menjadi detektif.
Aku langsung menggeledah seluruh laci di dalam kamar Mom. Cukup lama hingga aku menemukan sebuah laci berpassword di dalam walk in closet. Harapanku hampir saja menguap, namun aku menyadari laci itu tidak tertutup sempurna karena terganjal sesuatu. Aku menahan diri untuk tidak bersorak. Laci itu terbuka begitu saja menampakkan beberapa barang random di dalamnya. Diantaranya adalah benda yang kucari.
***
Aku mondar mandir di sekitar sofa di dalam kamarku, dengan was-was aku memastikan Lizzie masih menikmati kamar mandiku untuk melakukan ritual perawatan. Sekali lagi aku mengecek ponsel, menunggu telfon dari Kyle.
Tadi sebelum pulang, Kyle menyarankan ia yang mengecek rekaman itu. Ada baiknya, karena aku tidak tahu dimana aku harus menyetelnya diam-diam dan aku tak akan sanggup melihat momen saat Dad terbunuh tanpa menjerit dalam tangisan.
Getaran ponsel di dalam genggamanku membuatku tersentak. Aku langsung menerima sambungan.
"Bagaimana?" tanyaku, setengah berbisik.
"Kau tak akan percaya siapa yang ada dalam rekaman."
Kyle menceritakan ia berasal dari salah satu keluarga berpengaruh di Amerika. Sebenarnya seseorang yang kukenal juga. Ia terdengar mengulur-ulur, aku semakin mendesak penasaran.
"Zachary Milton. Ayah Bernard." Ungkap Kyle akhirnya. Ia mendesah berat.
Aku memejamkan mata sejenak, rasanya tiba-tiba lantai tempatku berpijak menghilang dan aku terjatuh ke lantai satu. Kenapa diantara begitu banyak keluarga-!
"-Isabelle? Halo?" Kyle terdengar khawatir.
"Aku masih disini," lirihku.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Ia bertanya dengan nada was-was.
"Aku tetap akan menyerahkan bukti itu pada The Nox." Aku terkejut oleh keyakinan dalam suaraku sendiri. Ya, tak peduli siapapun, aku harus menuntut penjelasan kenapa ia mengincar keluargaku. Aku menyadari di seberang sambungan, Kyle terdiam. Aku merasa bersalah Kyle jadi terjebak dalam situasi serba salah ini. "Kau tidak perlu terlibat lagi Kyle. Terima kasih atas semuanya."
Aku hendak menutup sambungan, saat tiba-tiba Kyle berkata, "Sebenarnya Isabelle... kau tidak bisa menemukan The Nox tanpa bantuanku."
***
Aku menyusuri sepanjang jalan fifth avenue. Disekelilingku suasana sejuk tanpa sinar matahari, berkebalikan dengan suasana didalam diriku yang penuh kekacauan. Antara lega dan gelisah. Aku tak tahu harus memilih yang mana.
Aku berbohong pada Kyle saat pulang dari kantor The Nox yang terletak di salah satu puncak gedung pencakar langit mewah di Manhattan-aku tak mengingat detail lokasinya. Aku berkata akan pulang ke rumah. Nyatanya, taksi yang kutumpangi menuju Fifth Avenue. Aku masih menyusuri trotoar mencari gedung modern dengan fasad aluminum mengkilat dan design high class, sementara benakku mengulang peristiwa kunjunganku ke The Nox barusan.
Aku terkejut saat seorang detektif yang menangani konsultasiku tersenyum menyerah. "Ibumu, Alyson Cleveland pernah mengajukan kasus ini. Kami sudah menolaknya dan sampai kapanpun kami tak akan menanganinya."
"Kenapa?" Aku terperanjat.
"Kalau kau mengira menangkap penjahatnya hanya semudah menahan Zachary Milton, kau salah. Kami memutuskan Mr. Milton tak ada hubungannya dengan semua ini. Ia hanya pion yang kebetulan datang ke lokasi dan dimanfaatkan secara tidak sadar oleh sang pelaku saat itu juga."
Aku dan Kyle berpandangan bingung, namun setitik perasaan lega mengisi hatiku. Keluarga Bernard tak terlibat. Bahkan Zachary Milton tak akan ingat ia sedang berkunjung ke Mansion Cleveland pada saat kejadian itu. Inilah salah satu alasan Mom membuat berita kematian Dad se tertutup mungkin.
Penjelasan selanjutnya dari detektif itulah yang membuatku merasa tak berdaya dan kesal.
Langkah kakiku telah berhenti di depan gedung yang kucari. Kata-kata detektif tadi terulang lagi.
"Ia Demons kuat. Tak tersentuh. Bagaimanapun The Nox terdiri dari manusia, kami memiliki batasan terendiri. Berusaha melawan penyihir sepertinya, sama saja melemparkan diri ke liang kubur. Lupakan kasus ini, Miss Cleveland. Seperti yang dilakukan oleh ibumu."
Aku membaca plat dari aluminium yang terpampang di dinding gedung. Moorson Group. Bahkan reputasinya di dunia manusia pun tidak menyenangkan. Nama pemiliknya, Mark Moorson terkenal sebagai mafia kelas kakap. Aku tahu aku seharusnya menuruti saran detektif tadi, namun pada akhirnya perasaan kesal yang meluap-luap mendorongku. Kenapa? Kenapa menyuruhku menyingkir dari New York? Kenapa ia mengincar keluargaku?!
Akhirnya aku melangkah masuk.
Terkutuklah rasa penasaran dan kenekatanku yang tak tertahankan. Entah apa yang terjadi selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro