Part 3: Cruciatus Field
Aku tidak tahu apa sekarang aku masih hidup atau sudah mati. Saat mataku mulai mengerjap terbuka, semuanya berbayang seperti melihat dari balik tirai air terjun. Pertama, aku merasakan pusing luar biasa seolah aku bisa merasakan bumi berputar, samar-samar terlihat jiwa-jiwa yang melayang dan berteriak melengking di sekelilingku. Lengkap dengan obor-obor neraka yang dibawa para demon. Apa dosaku sebesar itu karena mencintai seorang Demon? Dan sekarang aku masuk neraka? Beberapa saat kemudian sensasi berotasi itu sedikit mereda dan mataku benar-benar terbuka.
Begitu kesadaran dan ingatanku kembali, rasa sakit tusukan belati tadi langsung menyerangku lagi bagai ribuan pedang yang tiba-tiba dilemparkan dan semuanya menancap dalam tubuhku. Tidak mungkin! Aku seharusnya benar-benar mati karena racun Orcus. Bagaimana bisa..?! batinku. Aku mencoba menggerakan tubuhku. Tanganku terantai pada rantai baja besar yang tertanam di 2 pilar raksasa disamping kanan kiriku, begitu juga dengan kakiku. Lantai batu gelap, terasa dingin dibawah kulitku. Aku bisa merasakan sayapku masih terentang dengan lemas. Saat mencoba menyimpannya, sengatan menyakitkan membuatku menarik nafas tajam, mungkin ada bagian yang patah. Gaun putihku begitu kotor oleh noda darah yang menggelap. Seharusnya mereka membiarkan racun Orcus membunuhku! Seruku kesakitan dalam hati, tak ada lagi tenaga untuk berteriak.
"Tidakkah seharusnya kau berterima kasih padaku Aurielle?" Seseorang berbicara dengan nada senang. Aku mendongak, mendapati Gregory menatapku dengan binar puas yang keji.
Ia duduk di tahta kokoh terbuat dari perunggu, sekitar 10 meter jauhnya. Tahta perunggu yang terletak diatas panggung batu itulah yang membuatku menyadari tempat apa ini. Cruciatus Field! Teriak pikiranku, panik. Aku tidak pernah kemari sebelumnya. Bahkan, saat Will mengajakku berkeliling istana, ia tidak membawaku kemari. Dari cerita-cerita yang kudengar, Cruciatus Field diperuntukkan bagi jiwa-jiwa terburuk kaum manusia. Ini adalah lapangan penyiksaan, tepat seperti arti namanya.
"Oh lihatlah kau masih bisa membuka mata indahmu itu berkat penawar racun yang kuberikan. Kau tidak akan bisa merasakan racun itu membunuhmu sangat perlahan," lanjutnya lagi.
Aku tidak menjawab. Pikiranku mulai dipenuhi oleh Will lagi dan tanpa sadar pertanyaan itu meluncur. "Dimana Will? Apa yang kaulakukan padanya?" Aku berusaha berbicara cukup keras agar ia bisa mendegarku. Dan betapa kagetnya saat mendapati suaraku begitu lemah dan parau.
"Apa yang kulakukan padanya? Tentu saja tidak ada. Aku hanya mengirimnya untuk melakukan satu tugas mudah dan ia tidak akan kembali hingga besok. Secara kebetulan, tampaknya surat Will tidak sampai ketanganmu dan salah alamat hingga sampai kesini," katanya sambil tertawa puas dan kejam, mengacungkan sepucuk surat.
Mereka sudah merencanakan ini sejak awal, batinku. Will memang tidak akan datang malam ini di bukit Ivory. "Sekarang, kau tidak ingin memohon agar kematianmu berlangsung lebih cepat? Kau tahu, aku sudah tidak tahan untuk menusuk jantungmu dengan pedangku lalu merasakan kekuatan itu mengalir padaku," lanjutnya lagi.
"Aku tidak akan pernah memohon pada orang sepertimu." Aku berusaha berkata dengan nada sejijik mungkin.
Gregory menginginkan ritual itu sejak lama. Ritual untuk 'mencuri' kekuatan Lucifer dengan mengorbankan satu jantung orang yang paling dibencinya, namun harus sangat dicintai oleh orang yang berhubungan darah dengannya.
"Hmm..nada bicaramu sedikit menyinggungku," kata Gregory mengerucutkan bibirnya. "Orang-orang sering mengatakan bahwa kaum Angels sangat sabar. Bolehkah aku mengujinya?" Ia melanjutkan sambil tersenyum miring dengan kejam, melirik kearah para malaikat penyiksa yang ada didekatku, dan mengangguk.
Aku langsung menoleh untuk melihat apa yang direncanakannya. Tiga malaikat maju dan menggenggam cambuk yang sudah dicelupkan dalam bak berisi cairan hitam. Racun. Sedetik kemudian cambuk-cambuk itu menyengat tubuhku. Aku berteriak, dan tenggorokanku terasa sakit seolah akan putus. Masing-masing malaikat penyiksa itu berdiri di kedua sisiku, dan satu lagi dibelakangku. Gaun putihku yang sudah kotor kembali dialiri oleh darah segar yang baru. Air mataku bahkan tidak bisa keluar lagi. Cambukan-cambukan itu seolah tiada batas. Duniaku mulai berputar lagi penuh dengan sengatan-sengatan menyakitkan dan lengkingan suara kesakitan─suaraku, yang terasa jauh. Samar-samar, aku melihat Gregory menyeringai puas. Lama-lama aku mulai merasa tubuhku bukan tubuhku lagi, seiring sensasi berotasi ini semakin kuat dan kepalaku semakin berat. Pandanganku memburam dan nafasku pendek-pendek. Siksaan itu bertambah saat aku merasakan pembuluh darahku terbakar oleh racun.
"Gregory!!"Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang begitu penuh amarah.
Awalnya kukira itu teriakanku, lalu kusadari aku sudah tidak berteriak lagi. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku. "Aku akan menantangmu!" Sekarang ia berseru lagi. Aku memaksakan kepalaku mendongak dan menjernihkan pandangan.
Untuk sejenak, cambukan itu berhenti dan aku melihat seekor Drakon melayang dihadapanku. Sedetik kemudian tiba-tiba kepala Drakon itu terjatuh dengan keras di lantai batu, diikuti oleh tubuhnya. Seseorang berjubah hitam muncul dari balik Drakon itu. Sayap hitam mengkilatnya mengepak pelan dengan anggun, penuh aura kekuasaan. Ia menantang tahta Gregory dengan membunuh binatang peliharaannya. Ditengah pandangan yang memburan, aku melihatnya tiba-tiba menghambur kearahku.
Gregory meneriaki si malaikat penyiksa untuk tetap melanjutkan cambukannya, namun seseorang berjubah hitam tadi berseru, "Hentikan!"
Tiba-tiba saja aku berada dalam dekapan sosok itu. "Aurielle ... ," panggilnya. Saat itu aku mengenalinya. Dengan cepat ia melepas borgol yang menahan kedua tanganku.
"Will," bisikku penuh kelegaan sambil mendongak dan memaksakan seulas senyum. Meski seluruh tubuhku diliputi kesakitan tidak masuk akal, tapi sekarang aku merasa hatiku menghangat. Aku memaksakan tangan kananku untuk menyentuh wajah rupawannya yang dipenuhi sirat tersiksa dan sedih. Mengusap perlahan wajah yang seolah terpahat sempurna dengan lekuk tulang pipi yang pas.
"Oh Aurielle. Apa yang terjadi," bisiknya sambil memandangku dengan pandangan nanar. Satu lengannya melingkupiku, dan satu tangannya menangkup wajahku. "Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu sedetik pun," sesalnya lagi dengan sungguh-sungguh. Aku hanya menggeleng. Aku ingin berkata, sudahlah lupakan semuanya, yang terpenting adalah kau disini sekarang.
"Kau ada disini sekarang." Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Untuk sesaat seolah hanya ada aku dan Will. Tanpa sadar sebutir airmata akhirnya menetes dipipiku. Will langsung menghapusnya dengan lembut. Sedetik kemudian tiba-tiba ia mengernyit dan langsung mendekapku dengan protektif. Aku menyadari mereka mulai mencambuk lagi dan Will merelakan dirinya untuk menjadi perisaiku. Air mataku mengalir semakin deras. Jangan lakukan hal ini! Aku tidak ingin menyeretmu menderita bersamaku! Kau sudah berkorban terlalu banyak untukku. Aku hanya bisa berteriak dalam hati.
"Will... hentikan. Bagaimanapun aku akan mati. Jangan sampai kau ikut menderita," bisikku pelan didalam dekapannya.
"Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun membuatmu terluka lagi. Aku bersumpah!" katanya tepat di telingaku. Amarah mulai mewarnai suaranya.
Aku menyadari ia mendongak dan aku ikut mendongak tepat untuk melihat Will menarik salah satu cambuk itu dengan sigap, sekaligus menarik pemegangnya mendekat. Dengan cekatan ia mengambil belati dari balik jubah yang ia kenakan lalu menikam keras dan tepat ke jantung lawannya. Segera saja malaikat itu tumbang. Aku bisa melihat mata abu-abunya yang sempurna itu dipenuhi sarat benci dan amarah, dan tekad yang besar juga. Jemarinya yang memegang belati tampak memutih, menunjukkan betapa keras ia menggenggamnya. Sedetik kemudian Will sudah menoleh dengan sigap kesampingnya, lalu melempar belati itu dengan satu tangan. Membuatnya melesak ke jantung malaikat kedua hingga terjatuh kebelakang saat itu juga.
Will masih memelukku dengan satu tangan, sementara ia menghadapi satu pencambuk yang tersisa. Si malaikat penyiksa ini sudah mewaspadai tindakan Will. Ia mencoba mengarahkan cambuknya untuk mencekik leher Will, tapi dengan tangkas Will menangkap cambuk itu dan menariknya. Sayangnya demon itu sudah melepas cambuknya. Will mencampakkan cambuk, lalu dengan keras ia meninju tulang kering si demon sampai membuatnya jatuh berlutut dan setara dengannya. Kali ini, Will mengeluarkan pedangnya. Sekali lagi, menusuk jantung lawan dan menarik pedang itu dengan cepat. Demon terakhir tersebut tumbang seketika.
"Cukup. Jangan memerangi bangsamu sendiri," kataku, sekarang lebih kuat daripada sebelumnya karena sudah tidak ada cambukan-cambukan yang memaksa kesadaranku melayang.
"Bangsaku?" ulangnya dengan jijik. "Jangan samakan aku dengan para bawahan Gregory," lanjut Will sambil menggertakkan gigi. Ia sedang membuka borgol-borgol dikakiku dengan pedangnya. Will mencoba membantuku berdiri, namun aku merasa kakiku seolah patah dan tidak bisa menopang tubuhku. Aku hendak terjungkal saat Will dengan sigap memeluk pinggangku dan mendekapku lagi, menjadikan dirinya pedoman kakiku yang lemas. Telapak kaki telanjangku menyentuh batu dingin.
"Kau bisa berjalan? Aku ingin menggendongmu dan membawamu pergi dari sini sekarang juga, tapi kurasa Gregory tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Jadi aku perlu satu tangan untuk bertarung, Aurielle. Apa kau masih mampu menggerakkan kakimu?" Ia bertanya lagi. Aku hanya mengangguk meyakinkan dan berusaha menyeret kakiku selagi berpegangan padanya. Sebenarnya, aku merasa racun itu mulai membakar tubuhku dari dalam dan dengan cepat menuju jantung. Will mengecup keningku sekilas, lalu ia membantuku berjalan.
"Kau kira semudah itu kau bisa keluar dari sini? Aku mengingingkan jantung gadis ini!" seru Gregory.
"Tidak akan," kata Will dengan tenang mematikan.
"Will, sadarlah. Kau saudaraku satu-satunya. Bersama, kita bisa membangun kerajaan ini. Jangan melupakan fakta bahwa kaum Angels dan Demons tidak pernah ditakdirkan untuk bersatu. Lagipula, racun itu sudah menyebar dan waktunya tidak lama lagi." Gregory menenangkan suaranya sedikit, berusaha berdiplomasi. Will menggertakkan gigi mendengar tentang racun itu. Aku tahu ia khawatir. Wajahnya mulai mengeras.
"Aku merasa cukup baik," bisikku, sedikit berbohong. Aku tahu Will mendengar tapi ia tidak menjawab.
"Aku masih bisa menyelamatkannya," kata Will, tak tergoyahkan sama sekali. Ia hanya menatap Gregory dengan dingin dan datar.
"Well, teruskan jika itu memang pilihanmu William. Kurasa aku harus mengurus lebih lanjut tentang kau memenggal Drakon tepat di depan mataku. Sekarang kau menantangku untuk tahta ini?" kata Gregory dengan tawa kering. Matanya mulai menyala dengan amarah.
"Ya," jawab Will, mantap. Matanya penuh tekad dan selebihnya tak terbaca.
Aku menyadari sekarang kami berdua dikelilingi oleh lingkaran kecil malaikat dan aku bisa melihat Dean mempimpin pasukan itu. Will juga menyadari kehadiran Dean, menatapnya dengan kebencian, hingga membuatku merinding. Kemudian Will kembali menatap Gregory. "Ya. Aku akan menantangmu Gregory, dan memastikan kau tidak bisa mencelakai Aurielle lagi. Dan ucapanku akan kubuktikan dengan ini." secepat kilat Will melesat kesamping tepat ke arah Dean. Belum sempat Dean menarik pedangnya hingga benar-benar keluar, Will sudah menebas lehernya. Pedang Will menoreh leher Dean sangat dalam hingga memotong putus nadinya. Aku terkesiap dan kakiku terasa akan runtuh lagi karena sekarang aku berdiri sendiri. Namun sebelum itu terjadi, Will sudah kembali memelukku lagi. Ia bisa menjadi sangat mengerikan dan kuat kalau amarahnya tersulut.
"Will, hentikan, kumohon,"rintihku. Aku tidak bisa mengira kebenciannya sedalam apa.
"Aku harus menyelesaikan ini, Aurielle," katanya tanpa menoleh. Aku hanya pasrah. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
"KAU! Berani-beraninya!" seru Gregory murka. Ia bangkit dari tahtanya dan berderap maju, lalu berhenti. "Baiklah kalau kau benar-benar ingin tahta ini. Maju. Aku tidak akan menyerahkannya selama aku masih hidup," lanjutnya dengan penuh amarah.
"William..," aku memohon sambil mengucapkan namanya. Berusaha menatap matanya. Akhirnya ia berpaling kearahku.
"Aku tidak akan membunuh kakakku kalau itu yang kautakutkan, tapi aku jelas-jelas harus menyelesaikan masalah ini agar Gregory tidak akan pernah menyakitimu lagi," katanya. Tatapan Will melembut sedikit dan ia mengusap wajahku sekilas, untuk meyakinkanku. Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundak Will dan Sebastian muncul dihadapan kami.
"Pergilah. Klaim tahtamu. Aku akan menjaga Aurielle disini," kata Sebastian dengan senyum tulus penuh rasa persahabatan.
"Begitu juga denganku," kata Nathan, melangkah kesamping Sebastian. Aku bisa melihat Will tampak tersentuh dan sedikit terharu, karena ia menelan ludah dengan gugup.
"Aku tidak bisa berkata apapun, hanya... terima kasih," katanya sambil menyentuh pundak Sebastian dan memandang Nathan penuh kelegaan. Mereka mengangguk meyakinkan.
"Will, ingatlah satu hal. Menangkan dengan bermartabat, tanpa mengorbankan nyawa yang lain," pesan Nathan. Sebastian mengangguk setuju.
"Ok," jawab Will dengan susah payah, namun aku melihat sorot matanya sudah tenang. Sejurus kemudian, Will mengecup keningku lagi dan menyerahkanku dalam perlindungan Nathan dan Sebastian, lalu ia sendiri menghadapi Gregory.
Walaupun sekujur tubuh penuh luka dan racun sedang membakarku dari dalam, aku merasa sedikit damai. Mungkin aku dan Will masih punya masa depan yang indah. Tetapi, baru beberapa saat gambaran indah itu melintasi pikiranku, aku mendengar Will berteriak kesakitan. Tanpa diduga, Gregory membawa 2 pedang dan Will tidak mengantisipasi pedang yang lain. Aku melihat kakinya tersayat dengan menyakitkan dan ia terjatuh berlutut dengan keras. Dengan ngeri aku melihat Gregory mengangkat kedua pedangnya lagi..
"Tidak!!" jeritku.
Tanpa pikir panjang, aku melesat kearah Will. Memeluknya tepat saat pedang Gregory melayang turun.
Aku tidak merasa apa-apa lagi, hanya lega saat menatap mata Will dan tahu kalau ia sudah aman. Tapi yang kulihat dimata Will hanya kengerian, shock, dan kengerian lagi. Saat itulah aku menyadari satu pedang Gregory menyayat leherku dan satu lagi menusuk luka yang tadi sudah ada.
Rasa sakit yang hebat membungkamku.
Tiba-tiba aku merasa tuli dan dunia terasa berputar. Will mencengkeram lenganku berusaha mencegah agar seluruh tubuhku tidak menghantam lantai. Aku menatap matanya yang masih dipenuhi kengerian dan air mata. Lalu, kesunyian mendadak tadi berlalu. Aku mendengar Will meneriakkan namaku berkali-kali.
Aurielle! Aurielle! Aurielle!
Suaranya seolah menggema dalam kepalaku dan terasa jauh, seiring kesadaranku yang timbul tenggelam. Saat mataku kembali terbuka, aku sadar sedang berbaring di lantai batu yang dingin. Semua terjadi dengan cepat. Sorot kengerian Will berubah menjadi nyala murka. Sekilas aku melihatnya menusukkan pedang ke arah Gregory, lalu pedangnya berdentang jatuh.
Gelap sejenak.
Sedetik kemudian kesadaran dan inderaku kembali lagi, aku sudah ada dalam dekapan Will. Kakiku terkulai dilantai batu, sementara Will menahan punggungku, membuatku menatap wajahnya. Kedua tangannya melingkupiku.
"Apa yang kau lakukan Aurielle? Apa yang kau lakukan. Oh astaga," bisiknya penuh penderitaan. Mata abu-abunya tampak mencair dengan air mata yang tergenang dipelupuknya. Semua amarah itu benar-benar lenyap. Hanya kesedihan menyakitkan yang tersisa. Satu tangannya mengusap pipiku dengan sedikit gemetar. Telapak tangan Will bersimbah darah saat ia menyentuh leherku. Dan aku tahu waktuku tidak banyak lagi.
"Will...." Aku mencoba berbicara. "Jangan melakukan hal-hal bodoh hanya gara-gara aku mungkin meninggalkanmu setelah ini," lirihku, berusaha memperlihatkan sorot memaksa.
"Aku tidak tahu." Ia menggeleng pelan dan menutup matanya sejenak, mendekapku lebih erat. "Aurielle, kukira kita akhirnya akan berbahagia bersama setelah ini." Ia berkata lagi, setengah berbisik.
"Kita sudah cukup berbahagia dalam beberapa ratus tahun terakhir. Ingatlah itu, William," kataku sambil menangkup wajahnya dan mengusapnya pelan.
Tiba-tiba kegelapan itu menarikku lagi. Sesaat kemudian pandanganku kembali, namun kali ini lebih sulit untuk menahan tarikan kuat yang ingin membuatku tenggelam dalam kegelapan selamanya.
"─Aurielle!" Aku mendengar Will berteriak sambil menepukku pelan.
"Aku masih disini," bisikku setengah terjaga. "Will...," mulai ku lagi. "Jawabanku adalah, 'Ya'. In sickness and health, In rich and poor." Aku mencoba mengucapkan janji suci itu dengan nafasku yang sudah terputus-putus. Air mata mulai mengaliri pipiku. Will terus menghapusnya dengan lembut. Matanya tidak pernah melepas mataku.
"Teruskan," bisiknya lembut sambil mengusap pipiku.
Ia tahu ia masih tidak bisa mengucapkan kata-kata itu. Aku menyadari kalau mengucapkan kalimat terakhir ini akan sangat konyol, jadi aku menggantinya. "Hingga takdir benar-benar melarang kita untuk bertemu lagi, aku akan selalu mencintaimu." Aku mengulas senyum tulus. Will hanya memelukku sambil terus membisikkan namaku.
"Aku tidak bisa bersumpah dengan janji-janji itu, tapi aku akan mengucapkan ini, aku mencintaimu, Aurielle. Kau adalah satu-satunya alasan yang membuatku tetap hidup, benar-benar hidup," katanya dengan sungguh-sungguh. Aku tersenyum seraya tarikan itu semakin berat dan mataku mulai tertutup.
Dalam hati, aku menyuarakan kata-kata yang akhirnya tak mampu kukatakan pada Will sampai akhir, Maafkan aku. Maafkan aku untuk semua kebenaran yang kusimpan rapat-rapat darimu Will. Hal terakhir yang kutahu adalah Will memelukku erat dan ia terus membisikkan kalimat itu.
Aku mencintaimu, Aurielle.
Dan kegelapan itu menyambutku untuk selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro