Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 28: The Devil King

Sebuah ruangan luas yang terlihat mewah sekaligus sakral ini dipenuhi oleh para petinggi Underworld. Pilar-pilar marmer hitam berdiri kokoh, lantainya yang hitam mengkilat memantulkan langit-langit ruangan yang menampakkan langit malam bertabur bintang. Lagi-lagi sebuah ilusi, karena ruangan ini sebenarnya terletak jauh di dalam bumi. Will sengaja membuat ruangan ini untuk mengantar kepergian para Demon yang setia kepadanya.

Di tengah ruangan berdiri sebuah meja batu berpotongan modern-asimetris yang terpoles sempurna. Tubuh Azura terbaring diam diatasnya dalam balutan jubah beludru. Will berdiri disamping meja batu itu, mengamati wajahnya yang tampak tenang. Diatas tragedi pembunuhannya, mungkin Azura akhirnya bahagia meninggalkan dunia ini.

Tangan Will perlahan menyentuh kening Azura. Seketika itu api merah mulai menjalari tubuh wanita tersebut. Tidak seperti biasanya, kali ini Will sendiri yang membakar jasad itu. Inilah penghormatan terakhir yang bisa ia lakukan. Bagaimanapun, hanya Azura yang telah hidup selama dirinya diantara semua orang yang ada di Underworld. Tanpa sadar, kesamaan itu membuat Will merasa dekat.

Will mengamati dalam diam saat perlahan api tersebut mengubah tubuh Azura menjadi abu yang membuyar ke langit-langit malam. Setelah butiran abu terakhir membaur dengan ilusi langit malam, ia berbalik menatap para petinggi Underworld yang berkumpul. Cateno dan Halle termasuk yang berada di barisan depan.

Tatapan Will menyapu mereka semua. Ruangan terasa begitu sunyi mencekam. Bukan oleh suasana berkabung, namun lebih mirip kengerian sebelum badai. Sebagian diantara mereka bergerak gelisah, sisanya berpasrah menunggu amukan Will.

"Besok malam, kumpulkan semua malaikat iblis di ruang tahta. Tak peduli dimanapun meraka berada. Siapa yang menolak untuk datang, akan menemui ajalnya ditanganku. Tak terkecuali kalian yang ada disini," kata Will dengan ketenangan mengerikan, sementara amarah berkobar di dalam dirinya. Pengkhianat itu berulah tepat di tempat kekuasaannya. Siapapun itu adalah bagian dari Underworld. Tidak sembarang Demon bisa keluar masuk area tahanan.

Tanpa berkata-kata lagi, Will melenggang keluar, melalui kerumunan yang secara otomatis membuka jalan. Ia memikirkan kembali kronologi tragedi ini.

Tidak ada siapapun yang mengetahuinya. Semua penjaga sel seolah tersihir. Mereka tak menyadari apapun yang terjadi dalam kurung waktu sekitar dua jam. Begitu tersadar, mereka menemukan tubuh Azura yang sudah tak bernyawa. Seorang malaikat iblis tergesa-gesa menemui Will, menyela percakapannya dengan Cateno.

Untuk sesaat tadi, Will melupakan semua informasi mengejutkan yang disampaikan Cateno, langsung turun ke Underworld yang sudah ricuh.

Sekarang, setelah semuanya mulai mereda, ia mengingat kembali percakapannya dengan Cateno tadi di ruang perpustakaannya.

"Kalau kau menyembunyikan sesuatu dariku, sebaiknya bicara sekarang sebelum hukumanmu bertambah berat," kata Will. Ia sudah memendam kecurigaan besar pada Cateno sejak kejadian di sekolah siang tadi. Tidak, tepatnya sejak peristiwa Homecoming, Will sudah menyadari Cateno menyembunyikan sesuatu.

Cateno tampak terkejut. Rautnya berubah was-was dan tampak berpikir keras memikirkan jawaban.

"Sebenarnya, saya mengetahui informasi lain tentang Demon yang mengincar gadis manusia itu. Di suatu malam, di sekitar Madison Avenue saya menemukan Vampir yang sedang terlibat perjanjian dengan Demon tersebut. Ia sedang mengejar gadis manusia itu. Vampir itu mengatakan Demon yang menyuruhnya adalah seorang wanita, meski ia tak bisa melihat wajahnya dibalik tudung."

Untuk sesaat, Will diam saja. Pikirannya mulai bekerja.

"Kenapa kau baru mengatakan hal itu sekarang?" tanya Will, berusaha tidak menunjukkan emosi apapun.

"Karena...karena saya ingin memastikannya terlebih dahulu," jawab Cateno sedikit gugup, tidak seperti biasanya.

"Apa itu benar-benar alasanmu yang sesungguhnya?" tanya Will. Tiba-tiba seorang malaikat iblis menyela masuk dengan raut panik, melepaskan Cateno dari keharusan menjawab.

Tidak ada bukti apapun yang menjamin ucapan Cateno. Will tidak bisa langsung mempercayai semua yang disampaikannya. Terlebih, Azura baru saja terbunuh dan tidak ada yang tahu siapa pelakunya.

Tiba-tiba Will teringat sesuatu, ia mempercepat langkahnya.

Bukti. Ia membutuhkan bukti ucapan Cateno itu benar. Jika Cateno berbohong, tidak diragukan lagi ialah Demon dibalik semua ini.

Mungkin Cateno menyangka Will tidak bisa membuktikan ucapannya. Namun, Cateno tidak tahu ada seseorang yang bisa membuktikan apa isi percakapan mereka sesungguhnya.

Dengan sigap, Will mencari ponsel di kamarnya, dan langsung menghubungi seseorang. Setelah nada sambung ketiga, akhirnya terangkat.

"Aku tahu kau tidak butuh tidur, Will! Tapi semua manusia pasti sedang tidur dini hari begini. Ada apa?" Kyle menjawab dengan nada jengkel. Tak lagi peduli dirinya sedang bicara dengan iblis.

"Kau ingat pernah berkata melihat Cateno saat kau dan Isabelle dikejar vampir di Madison Avenue?" tanya Will tanpa basa basi. Kyle terdiam sejenak seolah berusaha mengingat.

"Ah iya."

"Aku membutuhkan bantuanmu. Kembalilah ke saat itu dan dengarkan apa yang Cateno dan vampir itu bicarakan," kata Will.

***

Aku menyantap makan siang dengan gelisah. Pandanganku tetap mengawasi ponsel sejak tadi. Will tidak masuk hari ini. Apa ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin? Apa Will akan menghindariku sekarang?

Tiba-tiba Lizzie merampas ponselku.

"Makan yang benar jangan lihat ponselmu terus," katanya sambil berdecak.

"Kau mulai terdengar seperti ibu-ibu, Liz," kataku, mengerucutkan bibir lalu mulai fokus menyendok makanan.

"Menunggu kabar dari Will?" tanya Kyle. Aku menoleh ke samping, mendapatinya sedang tersenyum jahil.

"Setidaknya ia memberi tahu kenapa tidak masuk," kataku, tidak menjawab secara langsung.

"Tumben mengaku," sahut Kyle, sambil mengangkat alisnya.

"Whoa, ada apa dengan kau dan Will? Ada sesuatu yang tidak kuketahui? Kemarin kau terlihat habis menangis," selidik Lizzie.

Aku diam saja, tiba-tiba tertarik menatap makananku lekat-lekat.

"Bersyukurlah ia tidak datang ke sekolah hari ini. Moodnya benar-benar sedang buruk," kata Kyle.

"Kenapa?" tanyaku spontan. Pengakuanku kemarin seburuk itukah?

"Seseorang yang dekat dengannya tenyata diam-diam berkhianat," jawab Kyle sambil memasang wajah bersimpati.

***

Halle berjalan mengikuti arus kerumunan para malaikat iblis dan beberapa Demons yang bertugas di Underworld, memasuki ruang tahta. Sudah sejak lama rajanya tak pernah menggelar pertemuan formal seperti ini. Semua orang yang memasuki ruangan ini tampak gelisah, dan Halle tak lepas dari itu.

Tanpa sadar ia mengepalkan tangan kuat-kuat, membuatnya merasakan benda kecil yang ada di dalam genggamannya menekan kulit. Benda yang sekilas terlihat seperti kancing berwarna platinum. Sebuah simbol terukir ditengahnya. Sama seperti Caleum, Underworld juga memiliki tanda pengenal serupa yang membedakan para Demons sesuai tugasnya.

Dan simbol ini menunjukkan divisi tahanan.

Tak lama kemudian, riuh rendah kerumunan ini tiba-tiba berhenti. Sang raja Underworld berjalan di tengah-tengah kerumunan menuju tahtanya. Halle mengira akan melihat raut murka di wajah rupawan itu. Namun Will tampak tenang. Ketenangan yang memendam amarah, yang justru membuatnya tampak mengerikan.

"Aku memberi kesempatan kalian mengaku terlebih dahulu," kata Will setelah duduk dengan nyaman di kursi tahta yang mengintimidasi itu. "Sebelum aku menyiksa pikiran kalian satu persatu untuk mendapatkan jawabannya. Kalian tahu, aku punya waktu yang tak terbatas," Will melanjutkan seraya mengulas devilish smile. Suasana semakin mencekik. Beberapa demon menarik nafas tajam.

Halle berdiri gelisah. Tangannya semakin kuat mencengkeram bukti kecil itu. Sebuah ingatan kejadian kemarin sore merebak di benak Halle.

"Halle!" seorang malaikat iblis menerobos masuk ke dalam ruangan kerja pribadinya. Membuyarkan pikirannya.

"Ada apa Ragnor?" tanya Halle. Ia mengenali wakil Cateno itu.

"Beritahu Cateno dan His Majesty. Salah seorang tahanan terbunuh," kata pemuda itu. Halle membelalakkan matanya.

"Kau kirim saja salah satu bawahanmu. Aku akan melihat ke lokasi langsung," kata Halle. Ia mengerti Will lebih sering menerima pesan melalui dirinya atau Cateno.

Ragnor mengangguk. Tanpa banyak bicara, mereka langsung menuju ke lokasi kejadian. Sekilas, Ragnor menceritakan selama dua jam terakhir semua orang yang berada di area tahanan seolah tersihir. Tak tahu apa yang terjadi.

Sesampainya di depan sel Azura, jerujinya sudah terbuka. Hanya ada dua orang malaikat iblis yang menjaga lokasi. Halle melangkah masuk. Ia langsung teringat sesuatu dan mengitari jasad wanita itu, serta mengamati ruangan untuk menemukan bukti apapun yang bisa menunjukkan siapa pelakunya.

"Siapa yang sudah kemari setelah sihir itu lenyap?" tanya Halle, saat matanya menangkap benda kecil familiar di dekat tubuh wanita itu.

"Hanya kau, aku dan dua bawahanku tadi. Bahkan Cateno belum tahu. Belum ada yang melihat Cateno kemari," jawab Ragnor.

"Kau yakin?" tanya Halle.

"Ya," jawab Ragnor.

Halle berlutut seolah mengecek Azura benar-benar sudah tiada, namun dengan perlahan tangannya mengambil sebuah benda kecil yang tertinggal disitu. Tanda pengenal yang menunjukkan simbol divisi tahanan. Bisa saja itu milik malaikat iblis manapun yang berjaga disini, sampai Halle baru menyadari pengenal itu berwarna platinum, yang hanya digunakan oleh para kepala divisi.

Cateno, Batin Halle.

Ingatan yang terulang itu terhenti. Halle kembali menyadari dirinya yang sedang berada di ruang tahta di tengah kesunyian mencekam. Belum ada yang bersuara menanggapi perkataan sang raja Underworld.

Sambil menghembuskan nafas panjang, Halle memberanikan diri melangkah maju ke barisan terdepan.

"Your Majesty," Halle memulai sambil membungkuk dan menenangkan detak jantungnya. Ia tak boleh terlihat gugup. "Saya tahu siapa pelaku dibalik semua ini," lanjut Halle, meyakinkan dirinya agar suaranya tidak gemetar.

Mata abu-abu Will menyambutnya dengan sorot mengintimidasi. Alis pemuda itu terangkat. "Akhirnya ada yang berbicara. Siapa, Halle?"

"Cateno," jawab Halle dengan mantap. Ia menyadari tak jauh dari situ, Cateno melayangkan tatapan menusuk padanya. "Saya memiliki bukti yang mendasari tuduhan ini," lanjut Halle, menunjukkan benda serupa kancing yang seharusnya tersemat di pakaian Cateno.

***

Will tidak terlalu terkejut mendengar tuduhan Halle. Tanpa bersuara, ia mendengarkan penjelasan Halle menemukan bukti itu di sel Azura, sementara tidak ada siapapun yang melihat Cateno kesana.

Setelah Halle selesai, Will memandang Cateno yang menatap marah pada Halle. Sementara gadis bermata hijau itu menundukkan kepala dengan sopan.

"Semuanya sudah jelas sekarang." Akhirnya Will menanggapi sambil menggertakkan gigi, setelah jeda beberapa saat. "Ragnor, mulai detik ini kau menggantikan Cateno. Tahan dia sekarang juga," kata Will tanpa basa basi.

Ragnor yang baru saja mendongak terkejut, langsung mengisyaratkan pada beberapa bawahannya untuk menahan Cateno yang meronta-ronta. Dari tahtanya Will menyaksikan Cateno berteriak pada Halle.

"Tunggu balasanku padamu, Halle!" seru Cateno murka. Para malaikat iblis yang menahan pemuda bertubuh kekar itu tampak sdikit kewalahan. Halle tanpak berjengit, namun terus menghindar tidak menatap Cateno. 

Ragnor yang mulai menyadari posisinya, segera membentak Cateno. "Diam!" lalu, kepala tahanan baru itu memberi perintah lain. "Bawa dia kedalam sel sekarang juga—"

"Tunggu," Will menyela perintah Ragnor. "Mengurungnya di Underworld sebelum pengadilan hanya akan membuatnya seperti berada di rumah. Kurung dia di Drakon Crypt," perintah Will.

Gemuruh gumaman terkejut langsung terdengar setelahnya. Cateno membelalak mendengar perintah Will. Semua mengenal nama tempat yang terabaikan sejak lama itu. Di suatu tempat yang tak terjangkau oleh manusia, tempat dimana binatang mistik purba seperti drakon, naga dan sejenisnya berasal sebelum mereka punah. Meskipun Drakon Crypt tak lagi berpenghuni, namun tidak ada Demons yang akan berkunjung ke dalam gua mencekam itu.

Ragnor juga tertegun sesaat, namun cepat-cepat mengangguk.

"Baik, Your Majesty," jawab Ragnor. Tanpa menunggu, ia mulai menyeret Cateno keluar dari Underworld.

***

Dari puncak sebuah gedung pencakar langit, seorang gadis berambut pirang dalam balutan terusan anggun, memandang hamparan gedung-gedung yang menjulang tinggi seperti stalagmit yang berusaha mencapai langit. Tangannya mencengkeram sebuah belati terkutuk, Orcus, yang berusaha ia jaga selama ratusan ribu tahun agar tidak jatuh ke tangan Will.

Suara langkah yang berasal dari balik punggungnya, membuat gadis bermata biru itu menoleh. Ia tersenyum lega, mendapati seseorang yang mengenakan tudung menghampirinya.

"Kau tidak perlu khawatir lagi, My Lady," kata sosok itu sambil membuka tudungnya. Mata hijaunya terlihat cerah.

"Halle," sapa gadis bermata biru itu.

"Aku sudah menyingkirkan orang yang berusaha membuka kedokku. Ternyata, orang yang mengikuti kita kemarin adalah Cateno. Sialnya ia menjatuhkan tanda pengenal itu, membuatku dengan mudah menuduhnya," kata Halle, tersenyum menang.

"Bagus," balasnya, sambil mengangguk. Ia teringat kembali peristiwa kemarin yang membuatnya gelisah, saat ia dan Halle hendak keluar penjara Underworld. Telinganya menangkap suara denting benda kecil yang jatuh ke tanah. Ia membiarkan Halle lah yang mengecek kembali, melihat sorcerer itu menurunkan tudung lebih jauh.

"Hanya sebuah tanda pengenal para malaikat iblis yang menggelinding jatuh di lantai batu yang tidak rata. Namun tidak ada siapa-siapa disana, dan semua penghuni penjara ini sedang dalam keadaan trans. Mungkin tertinggal di waktu lain," kata Halle, kembali kearahnya setelah mengecek sel Azura.

"Ambil saja pengenal itu. Kau bisa mengalihkan kesalahan pada pemiliknya," sahut gadis bermata biru itu.

"Tentu saja, aku tidak akan menyia-nyiakan kebetulan ini. Tapi tidak sekarang. Aku akan kembali lagi sebagai orang yang menginvestigasi lokasi kejadian," balas Halle, dengan senyum licik.

Sekarang, gadis berambut pirang itu merasa lega.

"Azura sudah tidak ada, Will sudah memvonis orang lain sehingga tak akan mencurigaimu lagi. Apapun informasi yang didapat Cateno tentangmu, Will tak akan percaya. Dan gadis itu, Isabelle, ia akan segera menyingkir dari sekitar Will," katanya, sambil memejamkan mata. Dengan damai merasakan angin malam yang menerpanya.

***

"Your Majesty," suara Ragnor yang memasuki ruang tamunya, menyela benak Will yang sedang berpikir keras. "Saya sudah membawa Cateno ke Drakon Crypt. Apa lagi yang harus saya lakukan? Maaf, semua ini terlalu mendadak, saya masih membiasakan diri dengan posisi ini. "

Will menoleh, menemukan pemuda itu sedang membungkuk kearahnya. Lalu ia melihat raut Ragnor yang tampak tertekan. Memang banyak hal yang terjadi sejak kemarin.

"Tidak usah tertekan begitu. Tenanglah, posisimu ini hanya sementara sampai Cateno kembali," kata Will, sambil tersenyum penuh arti.

Ragnor mendongak dengan raut heran, membuat senyum Will semakin mengembang.

"Kau tahu, Ragnor, ada sebuah kiasan yang berkata 'jagalah agar temanmu tetap dekat dan musuhmu lebih dekat'?" tanya Will.

Untuk sesaat Ragnor tercengang, namun kemudian ia tampak mengerti.

"Maksud anda, pelaku sesungguhnya masih ada disini?"

Will tersenyum senang dan mengangguk.

"Biarkan kemenangan membuatnya terlena, hingga tanpa sadar ia menemukan dirinya terjatuh dalam kekalahan yang lebih besar. Menarik serta seorang lagi yang berada dibalik semua ini," kata Will, ia berbalik menatap gemerlap dibalik dinding kacanya, matanya berkilat tajam. "Berani-beraninya mempermainkanku. Let's play then and see how it ends," gumam Will, mengulas devilish smile yang tampak serasi dengan kilat merah di irisnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro