Part 16: Terror
Tap. Tap. Tap. Suara langkahku begitu nyaring di lorong sepi ini. Setiap langkah yang kuambil terasa berat dan lorong ini seakan panjang sekali. Loker merah yang berderet tak habis-habis.
Aku terus menatap lurus kedepan.
Jantungku rasanya ingin melesak keluar saking kerasnya berdentum.
"Jadi, ternyata kau tidak bisa melihatku gadis manis?" kata si wanita ular, tak senang. Ia sedang dalam wujud Demonnya. Berbadan ular besar, dari dada keatas berwujud manusia.
Ini mimpi buruk. Aku benci ular.
Sekilas ia lewat di depanku, lalu mengitariku.
"Ia berkata, kau seharusnya bisa melihatku," wanita itu berdecak. Ia siapa? Jerit pikiranku. "Kalau begini, percuma." Dari sudut mata aku melihat si ular menggeliat-geliut di sekelilingku. Berusaha menatap mataku, namun aku terus fokus menatap jalan didepanku, berlagak setenang mungkin. Sedikit lagi koridor loker ini berakhir.
Betapa leganya aku ketika aku menyadari si wanita ular meliuk-liuk menjauh. Seluruh ototku yang menegang langsung lemas. Aku memperlambat langkahku sedikit. Beberapa menit kemudian aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku.
Tidak ada siapapun di belakangku.
Aku menoleh ke kiri. Hanya deretan loker merah yang diam.
Aku menoleh ke kanan—Deg! Sepasang mata kuning menghujam tajam tepat ke kearahku. Seringainya melebar menampakkan taring ular dan deretan gigi yang runcing mengerikan.
"Gotcha!" kata si wanita ular, mendesis senang. Aku mematung. Tidak mungkin! Aliran darah menyusut dari wajahku. "Kau pintar berpura-pura, namun kau tidak bisa membohongiku dengan raut pucat itu." Mulutku terkatup rapat.
Hanya ada pilihan terakhir, aku berlari sekencang-kencangnya.
***
"Kenapa kau membiarkan medusa berkeliaran di sekolah ini?" tuduh Kyle. Beberapa saat yang lalu, Kyle berlari tergesa-gesa menyusulnya ke lapangan parkir.
"Medusa?" Will mengangkat alis bingung.
"Wanita ular yang bisa mengubah siapapun yang melihatnya menjadi batu," Kyle menjelaskan tak sabar. Ekspresi memahami tampak di wajah Will.
"Maksudmu Gorgon?" mengetahui apa yang dimaksud Kyle. Klan Demon ular yang hidup di gua batu permata. Manusia dari berbagai peradaban menamai mereka dengan sebutan bermacam-macam. Medusa—Yunani, Nagas, Nidhogg—Nordic, Aapep—Mesir.
"Whatever," kata Kyle. "Apa ini rencanamu menyingkirkanku agar perjanjian itu batal? Aku tidak pernah melihat ada Demon seperti itu menghampiri sekolah ini. Kau bahkan dengan mencurigakan tiba-tiba batal DO," ia memicing curiga. Will hanya memutar bola mata.
"Aku sama sekali tidak pernah repot-repot menyusun rencana begitu. Berhentilah meragukan perjanjian itu. Aku jamin kau mendapat yang kau mau, aku mendapat apa yang kumau. Lagipula kalau aku benar-benar ingin menyingkirkanmu, percayalah, aku akan mengirim sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari Gorgon." Kyle mencari tanda-tanda pengkhianatan di wajah Will, dan akhirnya menyerah.
"Aku bahkan sampai memutar waktu saat melihatnya melintas di depan kelas dan cepat-cepat menyingkir sebelum ia datang."
"Sekarang ini, klan Demon ular hanyalah demon lemah, Kyle. Lagipula kau tidak akan otomatis berubah menjadi batu jika melihat mata mereka. Itu hanya terjadi jika mereka menghendaki," sahut Will santai, namun mau tidak mau ia merasa sedikit aneh ada demon yang berani mencari mangsa kemari. Seharusnya mereka bisa merasakan Will ada disekitar sini.
"Tetap saja mematikan bagi manusia yang bisa melihat mereka," kata Kyle. Tiba-tiba langkahnya berhenti mendadak, teringat akan sesuatu. "Tunggu, apa Isabelle berhasil menyingkir sebelum medusa itu muncul?"
"Kenapa dengannya?" Tanya Will, masih melenggang cuek melewati deretan mobil yang terparkir.
"Dia bisa melihat demon. Bagaimana kalau medusa itu menemukannya—"
"Gadis itu anomali. Aku pernah mengetesnya waktu di kelas sejarah. Entah bagaimana ia hanya bisa melihat Demon kuat. Gorgon itu tak akan terlihat olehya," sergah Will, tak peduli.
"Aneh," gumam Kyle.
"Begitulah," sahut Will sambil menekan tombol dalam genggamannya. Tak jauh dari sana, lampu depan sebuah mobil sport paling mahal di parkiran ini, mengedip sekali.
***
Nafasku terengah-engah. Aku merapat dibalik dinding empuk berperedam, disamping ambang pintu ruang serbaguna luas yang gelap gulita karena kedap cahaya dan suara.
"Kau membuatku jengkel gadis manis. Hentikan hide and seek ini. Aku hanya ingin berbicara denganmu," suara wanita ular itu terdengar merayu merdu. Bergema di koridor luar yang sudah kosong. Sebagian besar siswa telah meninggalkan sekolah ini.
"Aku berjanji tak akan menyakitimu," desisan yang merayu itu terdengar semakin dekat. Tubuhku menegang.
Semburat cahaya dari luar pintu merambat masuk. Disebelahku, sosok ular itu meliuk pelan memasuki ruang luas ini.
Mataku membelalak. Rasanya aku ingin melebur ke dinding.
Aku membekap mulutku sendiri agar nafasku tidak terdengar. Berdiri sediam patung, sementara wanita itu terus meliuk masuk ketengah ruangan. Untungnya ia tidak menoleh kesamping pintu.
"Aku tahu kau ada disini," Ia mendesis jengkel, menyusuri puluhan deretan kursi. "Keluar sekarang! kalau aku yang menemukanmu duluan, aku tak akan bisa menahan diri untuk tidak mencelakaimu," geram si wanita ular. Aku tak menghiraukannya.
Aku melihat kesamping. Pintu tadi tidak benar-benar tertutup, sebersit cahaya yang merambat masuk membuatku dapat melihat samar-samar. Si wanita ular sudah mendekat kearah podium jauh di depan.
Aku memperhitungkan kesempatan kaburku.
Pandanganku terfokus kearah pintu. Aku mengambil ancang-ancang. Dalam hati aku menghitung.
Satu—aku melihat si wanita ular masih terus menggeledah setiap ceruk podium.
Dua—aku menggeser tubuh dengan sangat perlahan kearah pintu. Geraman dan desisan marah menggaung dari arah podium. Sial! Makhluk itu mendengarku.
Tiga—Aku menjeblak pintu ke arah luar dan berlari keluar hanya untuk mendapati diriku menabrak seseorang.
Ia mencekal lenganku, membuatku spontan memberontak. Aku harus lari!
"Kau bohong! Kau bisa melihatnya," seru pemuda dihadapanku.
"Will!" Aku tak pernah se lega ini melihat cowok arogan itu. Ia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, namun geraman dan desisan marah memotongnya. Will menatap kesal kearah makhluk di belakangku—Tunggu, menatap makhluk itu?
Tanpa ragu, Will mengayunkan pintu yang kubuka tadi tepat saat kepala si wanita ular akan melewati ambang pintu.
Brak!
Pintu itu menghantam keras makhluk yang berada dibaliknya. Aku menatap tak percaya. Hentakan tangan Will yang menarikku untuk menyingkir dari sana, membuatku kembali tersadar.
Tak ada yang berkata-kata saat kami melangkah cepat meyusuri koridor—tepatnya aku berlari mengikuti langkah lebar Will. Dengan sigap Will membawaku ke dalam satu kelas kosong.
"Tunggu di dalam. Jangan coba-coba keluar. Tak peduli apapun yang kau dengar," kata Will, tenang dan tegas. Aku mengangguk menurut. Lalu, Will keluar dan membanting pintu kelas hingga tertutup. Tepat sebelum pintu sepenuhnya tertutup, sekilas aku melihat raut mengerikan si wanita ular yang sedang marah di antara celah pintu.
Aku meringkuk sendirian dengan nafas memburu di dalam kelas sunyi ini. Masih berusaha mencerna kehadiran Will. Aku tidak mengerti apa yang dilakukan Will diluar sana. Bagaimana bisa ia setenang itu?!
Tiba-tiba pekikan melengking memecah suasana sepi ini. Aku terlonjak dan menarik nafas tajam. Apa makhluk itu melampiaskan kekesalannya pada Will? Aku merapatkan telinga ke daun pintu. Tidak terdengar suara apapun dari Will. Pekikan melengking itu masih berlanjut.
Aku membelalak panik.
Walaupun Will menjengkelkan, tapi aku tak pernah berharap ia celaka. Tanpa pikir panjang, aku keluar, mengabaikan perintah Will tadi.
Begitu pintu terbuka, aku mendapati Will hanya bersedekap santai. Ia langsung menoleh kearahku dengan jengkel. Dibelakangnya, makhluk tadi menggeliat kesakitan.
"Isabelle! kenapa kau susah sekali menurut." Ia berteriak tak percaya. Aku hanya lega dirinya masih utuh.
Ketika aku akan menjawab, mulutku terasa terbungkam. Sesaat ketika tadi Will mengalihkan perhatiannya ke arahku, si wanita ular berhenti memekik. Saat aku melihat makhluk itu, mata si wanita ular mengunci tatapanku. Selama sepersekian detik, aku ingin mengalihkan pandangan tapi tidak bisa.
Kontak itu terputus begitu aku menyadari Will telah merengkuh kepalaku kearah dadanya. Menjadikan dirinya penghalang antara aku dan si wanita ular. Aku mengerjap linglung. Begitu Will melepaskan dekapannya, aku menyadari koridor ini sudah kosong.
"Dimana monster itu?" tanyaku was-was.
"Kabur," jawab Will, tampak kecewa. "Kau sadar, baru saja kau nyaris menjadi batu gara-gara kekeras kepalaanmu?" tuntutnya. Alisnya terangkat menantang, menatap ke arahku.
"Apa maksudnya?" Aku tak mengerti.
"Kau tidak tahu apa yang bisa dilakukan makhluk tadi?" Ia bertanya tak percaya. Aku hanya menggeleng. Untuk apa aku mempelajari tentang monster-monster. "Pengetahuanmu bahkan lebih parah dari Kyle. Tidak heran kau nekat keluar ruangan," kata Will sambil berdecak. Ia mulai berjalan pergi dan aku mengikutinya. Kesadaranku mulai kembali.
"Aku keluar karena mengkhawatirkanmu. Walaupun kau menjengkelkan aku tidak mungkin tega melihatmu dimakan monster," ceplosku. Tawa Will langsung pecah. Aku mendelik heran.
"Aku tak tahu harus berkata apa. Mengkhawatirkanku? Kau seharusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri, Isabelle Cleveland." Ia berkata, lalu tersenyum miring dan menggeleng tak percaya. Dasar arogan. Aku mengerucutkan bibir, tak menanggapinya.
***
"Will berkata begitu?" Aku memandang ke arah Will sambil mengangkat alis. Sementara ia tetap mengemudikan mobilnya, tak mempedulikanku.
"Ya. Tadi aku bertemu dengannya saat ia akan ke lantai atas untuk mencarimu. Katanya, sekarang tiap pulang sekolah ia akan mengantarmu," kata Lizzie di seberang sambungan telfon. Sesaat tadi aku hampir melupakan kelakuan aneh Will selama beberapa hari terakhir ini.
"Tapi—"
"Sudahlah Isabelle, aku tahu kau punya banyak cowok yang berderet mengantri hatimu, tapi jangan terlalu pilih-pilih. Will tampan, memiliki perawakan idaman para cewek, kaya raya. Ia juga tidak se playboy Kyle. Mungkin sifatnya cuek karena ia hanya setia pada satu orang saja. Aku akan mengataimu gila kalau kau menolaknya," kata Lizzie, membuatku mendegus. Entah hanya perasaanku saja atau tidak, aku melihat sudut bibir Will terangkat sedikit seolah ingin tersenyum. Tapi kurasa ia tidak mungkin bisa mendengar ucapan Lizzie.
"Bukan pilih-pilih, hanya mencari yang tepat. Ah sudahlah kita lanjutkan di rumah saja," kataku. Tak lama kemudian mematikan sambungan telfon.
Aku menatap Will yang masih fokus memandang kedepan.
"Thanks, Will. Untuk semuanya tadi," kataku memulai. Karena pembicaraan kami yang melantur tadi, aku sampai belum berterima kasih padanya.
"You're welcome," jawabnya ringan. "Kenapa waktu itu kau bohong? Kebohonganmu itu hampir mencelakakan dirimu sendiri. Kalau saja aku tidak kesana, entah apa yang terjadi." Ia melanjutkan. Aku mendesah menyerah. Aku tak menyangka ternyata Will sama denganku, bisa melihat makhluk-makhluk selain manusia.
"Aku takut kau mengolokku. Tidak semua orang indigo diperlakukan baik. Selama ini aku terbiasa menyembunyikannya dari semua orang," aku mengakui.
"Tidak ada yang salah dengan kemampuan itu," kata Will, sambil menatapku sekilas. Tanggapan Will sama sekali berbeda dengan bayanganku sebelumnya. Mungkinkah ia tak seburuk perkiraanku?
"Tadi kau menyinggung Kyle, apa ia juga...?"
"Sama sepertimu," jawab Will, ia kembali menatap ke depan. Sekarang, ucapan peringatan Kyle tentang makhluk mengerikan, akhirnya masuk akal.
"Aku tadi melihatmu, bagaimana kau sama sekali tidak takut?" tanyaku penasaran.
"Well.., aku sudah terbiasa," jawab Will, tanpa menoleh. Aku menatapnya heran. Apa dia benar-benar tak berperasaan? Sebaik apapun aku mengendalikan emosiku, aku masih merasa takut pada monster-monster yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Tak berapa lama kemudian, Will sudah menghentikan mobilnya di depan rumah Auntie Charlene.
"Sampai jumpa besok, Isabelle," kata Will setelah aku berpamitan. Mengulas senyum memikat. Aku khawatir lama-lama perasaanku tak kuat lagi menahan pesonanya.
***
Setelah melihat Isabelle menghilang dari pandangan, senyum itu lenyap dari wajah Will. Ia hanya menghembuskan nafas lega. Kalung yang dipakai Isabelle sudah aman.
Hanya satu hal yang membuat Will tidak jadi pulang tadi. Ia teringat Gorgon sering mengincar batu permata langka, dan Baetylus stone yang dikenakan Isabelle bisa memancing keserakahan klan Demon ular—penghuni gua batu permata di perut bumi.
Gorgon itu akan berusaha membunuh Isabelle, agar bisa mengambil kalungnya dengan mudah. Sempat terlintas dipikiran Will untuk membiarkan Gorgon itu merebut kalung Isabelle, setelah itu baru ia merebutnya dari si Gorgon. Namun, pikiran logis menyentaknya. Jika Gorgon itu sampai tertarik dengan kalung Isabelle, artinya kalung itu benar-benar spesial. Dan Will tidak bisa membiarkan Isabelle celaka sebelum ia mengetahui asal mula gadis itu bisa memiliki kalung tersebut.
Pemikiran itulah yang membuat Will kembali ke gedung sekolah. Dan betapa kagetnya Will tadi saat mendengar samar-samar dari lantai atas, si Gorgon berkata dengan nada merayu, "Kau membuatku jengkel gadis manis. Hentikan hide and seek ini. Aku hanya ingin berbicara denganmu." Saat itulah Will baru menyadari Isabelle bisa melihat si Gorgon. Ia mempercepat langkahnya untuk mengamankan gadis itu dan kalungnya tentu saja.
Sekarang, di balik kemudi mobil yang berpacu ke apartement termewah di New York, setelah memikirkan kembali kejadian tadi, sebuah pemikiran lain terbersit di benaknya.
"Gorgon itu sama sekali tak menyebut-nyebut tentang kalung Isabelle...," Will bergumam sendiri. Akhirnya ia memutuskan akan memberitahu Halle untuk memerintahkan seorang malaikat maut mencari Gorgon tadi untuk menginterogasinya.
***
Di suatu tempat yang kumuh dan sesak oleh asap yang keluar dari cerobong, demon yang berlalu lalang dengan pakaian kumal nyentrik, dan riuh celotehan berbagai bahasa gaib. Seseorang yang mengenakan tudung berjalan dengan kesal, menghindari segerombol Demon pemabuk. Di kanan kirinya, rumah-rumah kumuh berjajar seolah akan ambruk ke jalanan.
Tak beberapa lama ia berbelok ke gang yang lebih sepi dan temaram. Sosok wanita ular menunggu disana. Tidak berusaha menyembunyikan wujud setengah ularnya. Gorgon itu terlihat lemah.
"Kau ketahuan olehnya," tuduh sosok bertudung tadi.
"Ampuni kekalapanku, master," mohon si Gorgon. Si sosok bertudung mengumpat.
"Kau akan membuatnya curiga. Aku jadi harus segera membereskan tugas ini sebelum ia ikut campur," sahutnya.
"Bagaimana dengan imbalan yang anda janjikan Master," tanya si Gorgon takut-takut. Sang sosok bertudung menatap si Gorgon dengan dingin.
"Imbalan?" Ia tersenyum dingin. Tanpa di ketahui si Gorgon, jari-jarinya sedang melemaskan otot, sebuah kekuatan terkumpul ditangannya. Tanpa aba-aba ia menghempasnya ke arah si Gorgon.
Dengan teriakan tersiksa, Gorgon itu hancur menjadi debu.
"Kehancuran adalah imbalan untuk kegagalanmu." Rautnya menjadi dingin. Ia menurunkan tudungnya, lebih jauh menutupi wajahnya. Ia berjalan kembali ke keramaian yang sama sekali tidak peduli akan apa yang baru saja terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro