Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14: Piece of Puzzle

She's insane, Will berpikir sambil mendengus tak percaya. Mors dan Morbus membungkuk saat ia melewati mereka. Anak tangga pualam mewah menyambut langkahnya. Isabelle sama sekali mengabaikan gertakan Will. Gadis itu bersikukuh tak mau menyerahkan kalungnya. "Terserah kalau kau akan menyebarkan berita itu pada seluruh sekolah. Aku tidak peduli." Jawab Isabelle atas ancamannya tadi.

Will tak percaya hampir sepanjang hari ini gadis itu memenuhi pikirannya. Pertama, Isabelle bisa melihat tanda Lucifer's Curse pada dirinya yang tidak mungkin bisa dilihat oleh manusia manapun. Kedua, ia mengenakan kalung yang Will kira tak akan pernah ia lihat lagi, sejak hari ketika Underworld meledak.

Ada satu hal yang ingin di konfirmasi Will tentang kalung itu. Will terus berjalan kearah Master Suite. Begitu masuk ia langsung menuju ke sebuah kotak batu kecil. Kotak yang selalu terletak di side table disamping kursi berlengan favouritenya. Will mengeluarkan seuntai kalung dari dalam kotak itu. Benda miliknya tersebut terlihat sama persis dengan yang dikenakan Isabelle, tidak mungkin salah. Will hafal setiap detail dari kalung itu. Pecahan kecil Baetylus Stone—batu terlarang yang hanya terdapat di Caleum—terpoles mengkilat. Bagian atas batu kecil itu terlilit oleh logam tempa yang tampak seperti kawat tipis.

"Halle," panggil Will di dalam kamar kosong itu. Ia tahu Halle bisa mendengar panggilannya dimanapun.

Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu kamarnya.

"Anda memanggil saya, Your Majesty?"

Will menggenggam kalung itu dengan hati-hati, ia berjalan untuk menggapai gagang pintu, lalu melangkah keluar. Halle menunggu dengan sopan mengarahkan pandangan ke bawah. Pembawaannya formal seperti biasa.

"Halle, kau menguasai sorcery. Apa kau mengenali benda ini?" Will bertanya sambil mengangkat kalung itu di hadapan Halle. Mata hijau Halle mengamati kalung tersebut dengan seksama, tanpa menyentuhnya.

"Tidak. Kekuatan yang terpancar dari benda itu sangat kuno, saya tidak mengenalinya sepanjang hidup saya," kata Halle, menggeleng, matanya kembali mengarah ke lantai.

"Kau benar, benda ini berumur ratusan ribu tahun," Will mengangguk. Ia baru teringat akan fakta kalau dirinya sudah hidup begitu lama, hampir tidak ada Demon yang hidup lebih lama darinya. "Kalau begitu tak ada pilihan lain. Halle, beritahu kepala penjaga tahanan, aku akan mengunjungi sel tertua yang ada di Underworld. Ia akan mengerti." Halle mengangguk, ia diam sejenak melakukan sambungan telepatinya.

"Cateno sudah menerima pesan anda," Halle menginformasikan. Will mengangguk.

"Baiklah, kau bisa pergi sekarang Halle," kata Will, ia melenggang pergi menyusuri koridor panjang menuju ruang baca.

Halle mengamati kepergian Will dengan sorot mata tak terbaca. Telapak tanganya basah oleh keringat dingin. Ia saling mencengkeram kedua tangannya, agar Demon paling ditakuti dihadapannya tidak menyadari tangan yang gemetar itu.

***

Seorang malaikat iblis berbadan kekar dan bermuka sangar telah berdiri menanti. Ia benar-benar memenuhi gambaran orang-orang tentang kepala penjaga tahanan yang menyeramkan.

"My King," Cateno menunduk hormat begitu melihat Will. Malaikat iblis itu bertugas memastikan tidak ada demon yang lolos dari tahanannya. Will melangkah menembus kerumunan di lobby seluas hanggar pesawat terbang ini. Mereka langsung menyibak secara otomatis saat ia lewat. Will mengangguk pada Cateno. Cateno memimpin jalan sementara Will mengikuti dibelakangnya.

Jauh di bagian kiri lobby luas ini adalah tempat antrian para jiwa dengan rantai di pergelangan mereka yang memiliki berbagai macam warna tag, menunjukkan hukuman apa yang akan mereka terima. Will paling tidak suka mendekat kesana. Sangat bising oleh lengkingan tangis penderitaan yang mengganggu. Para malaikat maut berjajar-jajar disana, membagi jiwa-jiwa itu didepan belasan pintu terowongan. Para jiwa itu satu per satu masuk sendirian ke dalam terowongan remang-remang di depan mereka, yang tak terlihat ujungnya. Tak ada malaikat maut ataupun malaikat penyiksa di dalam sana.

Siksaan yang mereka dapat di dalam sana akan berasal dari manifestasi pikiran mereka sendiri. Yang membedakan terowongan itu hanyalah tingkat siksaan yang akan mereka dapat. Di dalamnya, para jiwa tersebut akan merasa seolah ada yang memanggang atau mencabik tubuh mereka sesuai terowongan yang mereka tuju, seolah ada penyiksa yang melakukan siksaan tersebut. Namun, tak ada siapapun di dalam sana kecuali jiwa-jiwa menderita.

Tidak ada lagi lapangan penyiksaan seperti ratusan ribu tahun lalu. Inilah neraka yang sesungguhnya. Bahkan, tidak mungkin memohon pada sang penyiksa untuk berhenti. Will tahu, sebagian besar manusia hanya mendapat gambaran absurd. Neraka yang sesungguhnya akan jauh lebih mengerikan dari pengertian mereka.

Will dan Cateno mengarah ke bagian kanan lobby, dimana menampakkan sebuah terowongan luas yang cukup dilalui oleh jet pribadi. Terowongan super besar itu membuka ke sebuah lubang luas, menampakkan ratusan tingkatan bersusun kebawah yang masing-masing penuh kurungan para Demons. Inilah daerah kekuasaan Cateno. Void ditengahnya berbentuk oval, terlihat seperti lubang cacing yang sangat besar. Para malaikat iblis berjajar dengan jarak teratur di tepian lantai yang mengelilingi lubang, berpatroli di depan jeruji sel. Langit-langitnya masih berupa ilusi alam semesta tak terbatas, hanya saja ilusi itu dipenuhi pendar bintang merah.

Begitu Will sampai di tepian selasar, ia menerjunkan diri ke tengah lubang oval itu. Saat kakinya meninggalkan daratan, sayap hitam yang kokoh langsung mengembang, menghempas udara disekitarnya secara teratur. Para malaikat iblis yang berjejer di tepian serentak membungkuk kearahnya. Will dan Cateno terbang semakin jauh menuruni void raksasa itu, melewati lantai-lantai yang tampak seperti cincin disekeliling mereka.

Will membuat semua kurungan itu terkesan seperti penjara paling canggih yang mungkin ada di dunia manusia. Jika sampai ada Demon yang berhasil keluar dari kurungan mereka—yang sebenarnya hampir mustahil, salah satu bintang merah di langit-langit akan melesat turun dan membakar demon tersebut sebelum ia sempat memasuki terowongan.

Mereka berhenti di lantai terbawah penjara para Demons yang tampak menggantung. Begitu kaki Will menginjak daratan kembali, sayapnya otomatis menghilang. Sambil menyusuri selasar penjara, ia menengok ke lubang oval di samping kirinya yang masih berlanjut ke bawah, mengarah langsung ke Tartarus—penjara untuk monster yang membahayakan seluruh alam semesta. Jauh di bawah sana masih sama seperti ratusan ribu tahun lalu dan akan selalu sama sampai kapanpun, hingga tampak seperti alam lain.

Disanalah dasar dari Underworld. Dataran batu gersang dan dingin yang penuh bongkahan batu raksasa, membentuk tebing-tebing. Di dataran batu hitam itu terdapat retakan besar yang terlihat menyala dengan pendar merah, seperti luka parut raksasa. Jurang berpendar merah itulah Tartarus. Manusia menyebutnya inti bumi.

Samar-samar dari tempatnya berdiri, Will bisa melihat setitik nyala merah jauh dibawah sana. Perjalanan menuju dasar Underworld masih cukup panjang dari penjara para Demons ini. Will hanya pernah sekali menginjakkan kaki di dataran batu hitam itu dan berada sangat dekat dengan jurang Tartarus. Tanpa sadar, Will menyentuh kalung batu hitam—Baetylus Stone—yang tadi ia kenakan agar tidak terjatuh saat menuju kemari. Cepat-cepat Will berpaling dari lubang oval itu, sebelum ingatan lain merebak di benaknya.

Didepannya, Cateno sudah berhenti di hadapan salah satu sel. Sang kepala penjara itu meletakkan telapak tangan pada layar kecil yang tampak seperti scanner. Suasana di dalam sel tahanan para Demons ini berbeda dengan sel di dunia manusia. Alih-alih dikelilingi tiga sisi tembok dan satu sisi jeruji besi, tiap sel tampak berbeda-beda menyesuaikan Demons yang ada di dalamya. Ada yang tampak seperti lautan di dalam sana—bagi Demons air, ada pula yang tampak seperti kobaran api, atau hanya padang gersang yang luas.

Sel dihadapan Will bernuansa bebatuan kuno, persis seperti tempat terakhir yang dilihat Will sebelum ia meledakkan Underworld ratusan ribu tahun lalu. Tiruan Cruciatus Field. Dibalik jeruji, seorang wanita duduk sendirian diantara batu-batu itu, membelakanginya. Mendengar pintu jeruji besi yang menggeser membuka, wanita berambut merah tersebut menoleh, mata biru tuanya menatap Will kaget.

"Azura," panggil Will sambil tersenyum miring. "Kapan terakhir kali aku menemui mu? Ribuan tahun yang lalu?"

"Apa maumu?" Azura terlonjak berdiri, menatap Will was-was. Mantan oracle Underworld itu telah kehilangan semua kekuatannya saat Will memaksanya untuk hidup kembali dengan kekuatan iblis—Necromancy. Harus hidup dengan energi gelap didalam dirinya adalah hukuman tersendiri dari Will bagi Azura. Hanya satu tujuan Will waktu itu, untuk mengetahui semua rencana Gregory serta siapa saja yang terlibat. Dan juga karena Azura adalah orang terdekat Gregory, ia mengetahui hampir semua kejadian di Underworld.

Wanita yang tampak berusia tiga puluhan tahun itu memang telah kehilangan kekuatannya, namun ia masih memiliki pengetahuan akan hal-hal yang ada ratusan ribu tahun lalu. Dan sekarang, Will membutuhkan pengetahuan itu.

 Azura telah hidup selama dirinya. Jadi, hanya Azura yang berani melupakan segala aturan formalitas untuk berbicara dengan penguasa Underworld.

"Kau mengenali kalung ini?" Will meloloskan kalung itu dari atas kepalanya. Dengan langkah ragu, Azura mendekat. Kilat mengenali tampak di matanya.

"Tentu saja. Baetylus stone. Batu kehidupan milik Caleum. Apa yang ingin kau tanyakan?" Mata biru gelap itu masih dipenuhi kewaspadaan.

"Ini bukan pecahan biasa dari Baetylus Stone. Ada kekuatan lain didalamnya—"

"Aku tahu, kalung itu hanya sepasang bukan? Satu milikmu yang sedang kau bawa, satu lagi sudah hancur," Azura memotong, ia mengerti. Sebenarnya Azura sangat mengenali sepasang kalung itu.

Will mengangguk. Ia melanjutkan,

"Itulah yang kuingat dan kuyakini. Sampai hari ini, aku melihat kembaran kalung ini."

Azura tampak terkejut.

"Itu tidak mungkin," sahutnya spontan.

"Inilah yang ingin kutanyakan. Mungkinkah ada kembaran lainnya?" Tanya Will.

"Tidak," Azura menggeleng yakin.

"Kalau begitu, Bagaimana..?" Will tidak berani berharap terlalu jauh.

Dihadapanya, Azura melihat Will mengernyit dengan raut kebingungan dan sirat terluka saat kenangan akan kalung itu mungkin merebak dibenaknya.

"Bawa kembaran kalung yang kau lihat itu padaku," kata Azura akhirnya. "Bagaimana kalung itu masih ada, dipikirkan nanti saja, setelah aku memastikan kalung yang kau lihat itu benar-benar kalung yang seharusnya sudah hancur."

Will tertawa sekaligus mendengus. "Aku harus memikirkan cara untuk mengambilnya dari Isabelle. Hal ini tidak akan mudah." Azura tahu, Will tidak bisa asal mengambil kalung itu jika pemakainya menolak memberikan.

Tak lama kemudian, jeruji besi telah kembali di hadapan Azura. Will berkata ia akan kembali setelah mendapatkan kalung itu. Satu hal yang membuat Azura tak sanggup membenci Will meskipun ia mengurungnya di dalam jeruji ini, karena ia mengasihani Will. Pemuda itu tidak mengetahui kebenarannya, batin Azura. Walaupun Azura tidak mengetahui segalanya, ia tahu secuil dari kebenaran yang masih tersimpan rapat dari Will. Karenanya, Azura merasa bersalah. Ia tidak bisa menyalahkan perilaku Will terhadapnya.

Perkataan Will tentang kembaran kalung itu membuat Azura berpikir kembali dengan perasaan tak percaya. Kilasan ingatan-ingatan mengisi benak wanita itu. "Mungkinkah....?"

***

Aku sadar kalau aku kembali berada di dataran batuan hitam ini, entah untuk keberapa kalinya. Kakiku terus melangkah menuju jurang berpendar merah ituTartarus, seolah aku diperintahkan untuk menengok ke dalam sana. Disekelilingku, udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Bukan hanya karena suhu, namun ada hawa dingin lain yang terasa mencekam. Berulang kali aku berusaha memaksa tubuhku untuk berbalik, tapi aku merasa tak berdaya seperti tak memiliki kendali atas tubuhku sendiri. Seolah aku terjebak dalam tubuh orang lain. Kakiku masih terus melangkah hingga tiba ke tepi jurang, mencoba melihat apa yang di bawah sana.

Jantungku bertalu-talu.

Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini, namun aku tidak bisa menyingkir dari situ.

Terdengar suara bergemuruh dibawah sana. Entah kenapa kakiku tiba-tiba terasa lemas. Tanah tempatku berpijak bergetar.

Aku terjatuh.

Sekelebat siluet bersayap hitam kokoh menyambarkumungkinkah ia malaikat pelindungku?mendekapku dalam gendongannya. Namun, berbeda dengan kejadian sebelumnya, akhirnya aku dapat melihat wajah sang penolongku.

"You should've listened to me." Ia bahkan berbicara sekarang. Mata abu-abunya menatap lembut sekaligus tegas. Sorot abu-abu yang sangat kukenal hanya saja tidak ada cincin merah di irisnya.

Aku mengenali wajah itu! Raut yang serupawan pahatan seniman paling sempurna. Garis rahang yang tegas. Tulang pipi yang pas. Hidung mancung dan bulu mata yang mengepak menutup lalu membuka, membayangi mata abu-abu indahnya

Aku tersentak bangun dengan nafas tersengal-sengal. Sambil memaksakan diriku untuk duduk, aku meredakan jantungku yang bertalu-talu. Kamarku masih gelap, hanya cahaya remang-remang dari luar yang menerangi. Kurasa sekarang masih tengah malam atau dini hari. Lagi-lagi kalungku terasa menghangat.

Kau pasti gila Isabelle, batinku. Aku masih tak percaya wajah Will lah yang muncul sebagai penyelamatku. Sampai dunia kiamat, tidak mungkin cowok cuek, menyebalkan, dan arogan itu bisa berpikir untuk menyelamatkan orang lain.

Aku mengumpat pelan. Ini pasti gara-gara kejadian di balkon siang tadi. Sepanjang hari, kejadian tadi terus membayangiku. Setelah berkata dengan berani kalau aku tidak peduli Will mau menyebarkan rahasia kelamku, kata-kata itu terus menghantuiku. Batinku berperang hebat. Ia hanya mengancam, tak mungkin serius menyebarkannya, bisik suara hatiku di satu sisi. Tapi tampaknya Will bakal tega menyebarkan hal itu. Lebih parahnya ia cukup berpengaruh untuk menyuruh satu sekolah membullyku. Mereka semua akan tahu aku bukan putri keluarga Cleveland, aku bukan siapa-siapa. Haruskah aku memohon pada Will? Bisik suara lainnya. Pada akhirnya aku berpasrah. Dan sekarang wajahnya menghantui hingga kedalam mimpiku. Aku mendesah. Sebaiknya aku kembali tidur.

Saat aku hendak merebahkan diri kembali, sebuah gerakan di luar jendela tertangkap oleh sudut mataku, membuatku kembali waspada. Spontan aku menoleh ke arah jendela. Hanya sekilas, namun cukup untuk menangkap bayangan yang telah bergerak pergi. Apakah aku baru saja melihat bayangan sepasang sayap malaikat...? Aku tertegun. Tak berapa lama aku menggeleng. Tidak mungkin. Pasti itu hanya efek mimpi. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, dan kembali tertidur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro