Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 13: I Wish I Never Knew

Pintu ganda itu terbuka sedikit. Aku mulai mendorong pintu berat itu saat suara Mr.Norris membuat langkahku berhenti.

"Bagaimana keputusan anda soal sertifikat adopsi Miss Isabelle?" pertanyaan Mr.Norris membuatku mematung.

"Singkirkan semua record tentang proses adopsi itu. Semua warisanku dan Oliver nantinya akan beralih pada Isabelle. Aku tidak ingin ada yang menemukan soal adopsi itu dan memperumit hak warisnya atas seluruh asset Cleveland Group," Kata Mom.

"Bagaimanapun, panti asuhan itu mengetahuinya."

"Itu tidak penting. Hampir tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Lagipula mereka tidak akan tahu Isabelle sekarang. Ada hal lain yang lebih menggangguku—"

Setelah itulah aku tidak sanggup mendengarkannya lagi. Aku terlalu takut mengungkit hal ini pada Mom. Karena itu, aku tidak memprotes apapun begitu Mom memberiku tiket pesawat setelah pemakaman.

Desember tahun lalu, itulah kali pertama aku kembali ke New York lagi. Aku memutuskan untuk pura-pura tidak tahu, mungkin semuanya akan lebih baik begitu. Jauh didalam diriku, aku tahu aku terlalu penakut untuk mengakui fakta itu. Tidak lama lagi aku akan menginjak umur dimana aku sudah diijinkan tinggal sendiri menurut hukum. Aku akan jarang bertemu dengan Mom.

Dari jendela-jendela megah di dining room, salju terlihat turun perlahan. Bitnik-bintik putih itu kontras dengan warna langit yang biru kehitaman. Beberapa pelayan membawa masuk hidangan pembuka. Hampir sepanjang waktu kami makan dalam diam, sementara aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada Mom tentang kembali ke New York dan tinggal sendirian. Sebenarnya dari awal aku tidak mau pindah ke London, Dad lah yang membujukku untuk sekolah disana.

"Mom, aku tidak ingin kembali ke London lagi. Aku ingin kembali ke New York dan segera memiliki apartment ku sendiri," aku memulai.

"Tidak, Isabelle. Kau harus tetap di London." Mom langsung menjawab tanpa berpikir.

"Setidaknya pertimbangkan dulu, Mom—"

"Tidak ada yang perlu dipertimbangkan," Jawab Mom, menatap tegas ke arahku. Emosi mulai meluap di dadaku.

"Kenapa? Ini cara Mom untuk mengusirku jauh-jauh?" aku tak bisa menahan kata-kata itu lagi.

"Apa maksudmu?" Mom membelalak.

"Aku tidak akan kembali ke London, Mom. Tidak lama lagi aku sudah berhak untuk tinggal sendiri." Suaraku meninggi.

"Turuti kata-kataku, Isabelle!"

"Kalau Mom dan Dad menyayangiku, seharusnya kalian akan mendengarkan alasanku tidak ingin berada jauh di London," aku berkata diikuti isakan. Tiba-tiba saja ruangan ini terasa menyesakkan.

"Karena rasa sayang itu lah, Dad tidak mempedulikan nyawanya." Untuk pertama kali, aku mendapati mata Mom yang menatap kearahku dipenuhi rasa menyalahkan. Pandangan itu menghujam dengan menyakitkan.

"Dad...Dad.. pergi gara-gara aku?" tubuhku terasa lemas. Mom seolah baru sadar akan kata-katanya barusan. Matanya melebar panik melihat ekspresiku. Ia melonjak berdiri dari kursinya.

"Bu..bukan seperti itu Isabelle. Isabelle!" Aku tak lagi mendengarkan. Kakiku berlari secepatnya menuju kamar, mengambil koper yang belum sempat kubongkar, lalu berlari keluar Mansion sementara Mom mengejarku.

***

"Aku bukan putrimu. Aku bukan putri keluarga Cleveland."

Ruang tamu kantor kepala sekolah ini terasa sunyi menyesakkan. Mom merosot di kursi berlengan yang didudukinya, sementara aku masih berdiri dihadapan Mom. Kedua tanganku mengepal untuk menahan air mata yang siap membanjir.

"Aku tak pernah membayangkan kau mengatakannya seperti itu," Mom berkata lirih, tidak menyangkal ucapanku. Hatiku mencelos. "Sejak kapan kau tahu?" Tanyanya.

"Aku mendengar perkataan Mr.Norris tentang sertifikat adopsi." Mom mengangguk seolah memahami sesuatu, lalu berkata,

"Jadi, karena itu kau mengira aku mengusirmu." Saat menatap mataku lagi, tatapannya melembut. "Kau harus tahu Isabelle, Mom dan Dad benar-benar menyayangimu. Kami bahkan hampir tidak mengingat kalau kami mengadopsimu," kata Mom perlahan, sambil menatap nanar kearahku. Di dalam hati, aku tahu kata-kata Mom tulus, namun masih ada yang mengganjal.

"Kata-kata Mom tentang Dad waktu itu, apa maksud Mom? Apa penyebab sebenarnya Dad meninggal?" tanyaku, menuntut penjelasan.

"Kau sudah tahu dari berita. Terimalah itu, Isabelle. Lebih baik kau menganggapnya seperti itu, demi kebaikanmu sendiri," kata Mom, serius.

"Mom tidak akan memberitahuku?"

Mom memalingkan muka, dengan raut terluka. "Sebaiknya kau kembali ke kelasmu. Kita akan melanjutkan pembicaraan ini lagi, di waktu lain. Aku tidak akan melarang kalau kau tetap ingin tinggal di rumah Charlene," Mom akhirnya berkata, memasang kembali tameng raut seriusnya.

"Baiklah. Soal Dad, aku akan mencari tahu sendiri," kataku, berbalik sambil menghapus setitik air mata yang lolos dari pelupukku. Aku membuka pintu ganda dihadapanku, lalu membantingnya. Sejenak aku berdiri bersandar didepan kedua pintu itu, membiarkan air mata yang sudah tertahan di pelupukku mengucur turun.

***

Will masih bersandar di dinding sambil bersedekap tidak jauh disamping pintu ganda Headmaster Office. Ia menatap kearah Isabelle yang tidak menyadari keberadaannya. Gadis itu sedang memejamkan matanya sekarang, berusaha mengatur nafasnya. Will mendengar semua percakapan yang terjadi di dalam sana dengan jelas, berkat kemampuan mendengarnya yang jauh melebihi batas normal.

Ia masih menatap kearah Isabelle sambil menimbang-nimbang. Haruskah Will mengusirnya dari depan pintu agar ia bisa masuk, atau menunggu sampai gadis itu pergi? Cowok manusia pasti akan kasihan pada gadis itu, mungkin memeluk gadis itu untuk menenangkannya, namun tidak bagi Will. Apa yang bisa diharapkan dari Demon seperti dirinya? Ia tidak bisa lagi merasakan perasaan seperti itu. Ia hanya bisa mempertimbangkan perlakuan mana yang lebih pantas. Akhirnya Will memutuskan untuk menunggu sebentar lagi, demi kepantasan berperilaku.

Will mendengar Isabelle menarik nafas panjang lalu membuka matanya, dan langsung berpaling menatap mata Will yang mengarah padanya. Gadis itu tampak terkejut, lalu mendesah seolah Will adalah orang terakhir yang ingin ia lihat. Tidak masalah, karena akhirnya Will bisa masuk menyelesaikan urusan berkas ini. Tanpa berkata-kata, Isabelle melenggang pergi. Will tahu arah yang dituju Isabelle hanya berujung pada bagian gedung sekolah yang berisi lapangan olahraga dan ruang-ruang seni. Ia menatap kertas ditangannya, lalu menatap kearah Isabelle yang berjalan menjauh, menimbang lagi.

"Hey," Akhirnya Will memutuskan memanggil Isabelle. langkah gadis itu terhenti sejenak, lalu berlanjut lagi seolah tidak ingin menghiraukan Will. Bisa-bisanya masih jual mahal, batin Will. Ia berjalan cepat untuk mengejar langkah kecil Isabelle. "Kalau kau ingin menuju ke kelasmu berikutnya, bukan kearah sini," lanjut Will, berhenti di hadapan Isabelle, membuat gadis itu menatap kearahnya. Dari dekat ia bisa melihat mata turquoise itu meleleh oleh air mata yang masih menggenang. Ia merasa godaan aneh untuk menghapus air mata itu, lalu cepat-cepat Will mengepalkan tangannya yang hampir terangkat.

"Ikuti saja aku," kata Will, berjalan kearah berlawanan dengan Isabelle. Saat Will menoleh lagi, gadis itu berjalan diam disebelahnya. "Apa kelasmu setelah ini?" tanya Will.

"English. Kau?" Terdengar suara yang tidak bersemangat.

"Sama." Will tak percaya dengan jadwal mereka yang sering bebarengan.

Mereka berjalan dalam diam lagi saat melewati koridor lantai atas yang agak sepi.

"Will," Isabelle tiba-tiba memanggilnya.

"Apa?"

"Aku tidak mood ke kelas. Aku butuh tempat dimana aku bisa menyendiri beberapa saat," Isabelle menatapnya dengan mata sembab. Will ingin menjawab, ke toilet perempuan dilantai paling atas saja, namun ia sadar saran itu terlalu jahat.

"Di dekat kelas English ada koridor buntu yang menuju balkon," kata Will, namun Isabelle menatapnya tak mengerti. Tentu saja ia murid baru, batin Will.

"Aku akan menunjukannya kalau begitu," kata Will. Kelas English berada di lantai teratas, lantai lima gedung sekolah sisi timur. Sisi timur lebih digunakan untuk koridor kelas-kelas regular seperti jurusan science dan social. Sedangkan sisi barat dibuat lebih khusus untuk ruangan besar seperti lapangan-lapangan indoor dan ruang seni.

Jam istirahat hampir berakhir, namun koridor di lantai lima masih sepi. Will terus berjalan dengan Isabelle disampingnya, melewati kelas English. Tak lama ia berbelok ke koridor sempit dengan pintu besi abu-abu berada diujungnya.

Begitu Will membuka pintu itu, angin dingin awal musim semi menerpa mereka, membuat Isabelle mengeratkan coat yang ia kenakan. Will yang tak terpengaruh sama sekali oleh angin dingin itu, menutup pintu besi dibelakangnya. Ia baru menyadari, sarannya kemari bisa membuat Isabelle membeku.

"Aku lupa kalau sekarang masih awal musim semi. Kau yakin tidak membeku disini?" tanya Will. Isabelle menggeleng.

"Ini lebih baik, untuk mengeringkan air mataku," jawab Isabelle sambil menyandarkan diri di dinding. Balkon ini tidak terlalu lebar, namun memanjang jauh kesamping. Will menatap wajah Isabelle yang memandang jauh kedepan, ia masih tidak memahami kenapa mata turquoise yang basah oleh air mata itu begitu mengganggunya. Will tidak gampang terusik oleh sesuatu seperti ini, tidak sejak kutukan itu melekat pada dirinya. Semua Demons dimuka bumi ini menganggap Will sebagai pemusnah berdarah dingin jika amarahya tersulut. Karena itu hampir tidak ada Demons yang berani menatap matanya, seolah ada peringatan tak kasat mata. Bahkan, Caleum memperlakukannya dengan hati-hati. Namun, disinilah Will sekarang, mengepalkan tangannya berusaha tidak melakukan hal bodoh seperti menghapus air mata gadis itu.

"Kenapa kau masih disini?" Isabelle berpaling kearahnya. Will mengulang pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

"Aku akan pergi sekarang," kata Will, alih-alih menjawab pertanyaan itu. Ia memasukkan salah satu tangan ke saku, lalu berbalik pergi. Merasa sebuah tangan menarik ujung bajunya dari belakang, Will berhenti.

"Tidak, tunggu," kata Isabelle. Will menoleh ke belakang sambil mengangkat alis, menatap tangan yang menarik bajunya. Gadis itu segera menurunkan tangan. "Aku merasa tidak bisa menahan air mataku kalau sendirian." Apa sih maunya? Batin Will.

"Aku tetap disini hanya karena malas mengikuti kelas English," akhirnya Will menjawab, kembali bersanding di samping Isabelle. Ia baru saja mendengar bunyi bel pelajaran selanjutnya dimulai.

"Apa ini, kau bahkan tidak berusaha menghiburku dengan so-sweet atau meredakan air mataku," gadis itu mendengus, tabiat ceplas-ceplosnya muncul kembali.

"Jangan harap, aku bukan tipe yang seperti itu," Will mengangkat satu sudut bibirnya.

"Sejak kapan kau berdiri di depan tadi? Kau mendengar semua percakapanku?" Tanya Isabelle beberapa saat kemudian, sambil menundukkan kepala, membuat beberapa helaian rambut keemasan itu jatuh menutupi wajahnya.

"Ya. Tenanglah aku tidak akan menyebarkannya ke seluruh sekolah," kata Will.

"Sungguh?" Ia menatap tak percaya kearah Will. Will mengangguk, ia tidak se-nganggur itu untuk menyebarkan gossip.

"Aku akan segera drop out dari sekolah ini," jawab Will sambil mengedikkan bahu. Mata turquoise itu melebar heran. "Urusan keluarga," lanjut Will asal-asalan, sebelum Isabelle bertanya.

"Jadi itu alasanmu ke kantor kepala sekolah tadi?" Tanya Isabelle sambil menunjuk kertas yang dibawa Will.

"Ah, iya berkas ini," Will baru teringat lagi urusan sialan yang tertunda.

"Sayang sekali, aku kehilangan partnerku di kelas sejarah," senyum Isabelle mulai kembali.

"Kau tampak senang," kata Will sambil memicing, menghadap kearah gadis itu. Isabelle tak bisa menahan senyum gelinya, rautnya kembali sumringah. Gadis itu menyingkirkan rambut kebelakang seolah untuk membuang mood buruknya, menampakkan garis leher yang tak tertutup oleh coat. Saat itulah Will melihat benda yang ia kira tak akan pernah dilihatnya lagi, sebuah kalung tipis dengan liontin kecil berupa pecahan batu hitam mengkilat. Will tak pernah memperhatikan Isabelle mengenakan kalung—yang mungkin selama ini tertutup oleh helaian rambutnya. Mata Will melebar tak percaya. Rasa terkejut itu begitu kuat seolah seseorang baru memukul dadanya dengan beton.

"Jangan tersinggung Will, kau juga akan senang kalau aku—" ucapan Isabelle terputus oleh tarikan nafas terkejut. Seolah terhipnotis, tangan Will terulur untuk menyentuh kalung itu.

"Dari mana kau mendapat kalung ini?" Suaranya dipenuhi oleh emosi campur aduk. Tak percaya, terkejut, bingung, dan perasaan lain yang mulai menyerbu.

***

Mood burukku langsung lenyap seketika. Aku terlalu kaget untuk menjawab pertanyaan Will. Tubuhku semakin merapat ke dinding merespons insting untuk menghindar. Ia berdiri begitu dekat, hingga aroma maskulin segar yang menguar tipis darinya tertangkap indera penciumanku, membuat jantungku berdentum-dentum. Tangan kanannya menyentuh kalungku.

"Isabelle, jawab aku," desak Will, seolah jawabanku adalah hidup matinya. Ia merundukkan tubuh jangkungnya, hingga mata abu-abu gelap itu sejajar dengan mataku, menatapku dalam-dalam. Tangan kiri Will berada disamping kepalaku untuk menyanggah tubuhnya. Membuatku mustahil kabur dari tatapannya. Aku panik, jika ada seseorang yang tiba-tiba kemari, pasti ia mengira Will akan menciumku. Entah hanya perasaanku atau apa, namun lingkaran merah di irisnya tampak berkilat. Aku tidak pernah melihat rautnya yang seperti ini—tak percaya dan ada kilas penderitaan yang seolah terkubur jauh.

"Ak..aku sudah mengenakan kalung ini sejak kecil. Mungkin hadiah dari Mom dan Dad, aku tidak ingat," kataku, sambil menelan ludah gugup. Kakiku terasa lemas oleh aura mengintimidasinya. Will mengerutkan kening, garis-garis wajah rupawannya belum mengendur.

"Berikan padaku," pintanya tak terbantahkan, tanpa mengubah posturnya.

"Apa?" Aku tersentak heran. "Tidak," lanjutku tegas. Aku menatap balik tak kalah tajam. Will mengangkat satu alisnya yang sempurna.

"Kau tidak ingin menentangku, Isabelle," katanya dengan senyum sarkastik, tiba-tiba tatapan Will menjadi dingin. "Aku akan membuat seluruh sekolah tahu kau bukan putri kandung keluarga Cleveland."

Aku setengah membuka mulut tak percaya. Teganya ia menggunakan hal itu untuk mengancamku.

"Kau bilang sendiri kalau kau akan DO dari sekolah ini," kataku sambil menaikkan dagu.

"Aku berubah pikiran," kata Will. Dengan ringan, ia mengayunkan tubuhnya menjauh dariku, membuatku akhirnya bisa bernafas lega. Tanpa ragu, Will merobek berkas yang sedari tadi berada di tangan kirinya. Mataku membelalak. Kertas yang seharusnya dibawa Will ke kepala sekolah itu hanya tinggal sobekan-sobekan. Aku tidak tahu kenapa ia tiba-tiba menginginkan kalung ini, namun Will tampak tidak main-main.

Tatapannya kembali memerangkapku lagi. Dengan devilish smile menghiasi wajah rupawannya, ia bertanya,

"Jadi, kalung itu sebagai imbalan agar rahasiamu tetap tertutup?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro