Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Truth

Esok paginya mereka melanjutkan perjalan mereka seperti biasa, tetapi Devis dan Hayate sedikit menjauh dari sekitar teman-temannya walaupun mereka masih berada di lingkup teman-temannya.

Beberapa pertarungan telah terlewati, itu membuat Devis semakin yakin kalau yang bersama mereka bukanlah Deva yang asli. Sedangkan Hayate masih merasa ada janggal dari tingkah laku Deva.

Malamnya, mereka beristirahat dan mendirikan rumah lipat di suatu tempat. Di dekat sana ada sebuah sungai kecil yang mengalir dengan tenangnya. Di sana ada Deva yang duduk di pinggir sungai sambil mencelupkan kakinya.

Ia hanya diam sambil melihat bayangannya yang memantul di atas air sungai itu. Ia tetap terdiam entah memikirkan apa.

"Maafkan aku teman-teman," katta Deva pelan.

"Untuk apa?" Tanya seseorang di belakang Deva.

Dengan cepat Deva berbalik, terdengar semak-semak saling bergesekan lalu tak lama munculah Devis yang menaruh kedua tangannya di saku celananya. Devis berhenti beberapa langkah di belakang Deva sambil tersenyum bingung.

"Apa maksudmu?" Tanya Deva yang meneteskan keringat dingin.

Devis terdiam sebentar lalu tertawa yang membuat Deva kaget. "Hanya orang bodoh yang menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Jadi apa yang sebenarnya maksud dari perkataanmu?" Tanya Devis sambil berjalan lalu duduk di sebelah Deva.

"Oh, ituloh saat aku pergi sendiri. Mereka mencariku sampai seperti itu," kata Deva sambil tertawa kecil.

Devis POV

Sampai seperti itu? Bukankah saat itu Edward sudah mengatakan "menyesal panik"?

"Begitukah? Aku kira kau akan mengatakan akhirnya ada yang mencariku! Atau mereka terlalu berlebihan, seperti itu?" Tanyaku kepadanya.

"Iya... tetapi aku tetap tidak enak membuat mereka seperti itu," katanya sambil membuang wajahnya.

Sifatnya aneh, apa hanya perasaanku saja? Tidak tidak, ia memang terlihat aneh belakangan ini.

"Wah tak bisa tertebak kau akan berbicara seperti itu. Sudahlah, lebih baik kau beristirahat. Ini sudah terlalu larut, walaupun kau akhir-akhir ini tidak banyak bergerak saat bertarung tetapi perjalanan masih panjang," kataku sambil berdiri, berbalik dan berjalan menjauhinya.

Apakah ia sadar dengan apa yang aku katakan?

Author POV

Sementara Devis menjauh, Deva hanya terdiam melihat kearah Devis sampai punggung Devis tak terlihat lagi. Ia kembali melihat pantulannya dengan raut wajah sedih. Ia merogoh sesuatu dari kantung celananya yang ternyata itu semacam tab.

Baru saja ia menyalakan tabnya, terlihat bahwa ia menerima pesan masuk. Saat melihat siapa pengirimnya, ia memutuskan untuk menelepon dengan memasang seperti earphone di salah satu kupingnya.

"Ah aku tidak mengira kau akan menelepon."

"Mereka semua sudah tertidur, jadi aku rasa tak masalah."

"Bagaimana kondisi disana?"

"Tidak ada masalah."

"Apakah ada yang menyadarinya?"

Terjadi keheningan sejenak sampai akhirnya Deva membuka mulutnya, "aku rasa tidak."

"Bagus, kau masih ingat misimu bukan?"

"Tentu saja, master."

"Anak pintar, aku serahkan kepadamu."

Sambungan telepon itu terputus begitu saja. Deva menaikan kepalanya, melihat langit malam yang berhias bintang-bintang dan bulan yang terang. Sejenak ia menutup matanya, mencoba untuk menangkan pikirannya lalu ia mulai beranjak dari tempatnya berdiri.

🍀

Esok siangnya, mereka dihadapkan dengan musuh yang lebih besar daripada tinggi mereka sendiri. Bahkan melebihi Leo yang (untuk sekarang) paling tinggi diantara yang lainnya.

Deva dan Eric bersiap siaga membantu teman-temannya dari belakang sedangkan yang lainnya menyerang di baris depan. Mereka merasa kesusahan saat melawan musuh yang berbentuk setengah banteng yang membawa pentungan kayu itu. Dikarenakan kelincahan para setengah banteng itu yang bisa saja serangan mereka mengenai kawan mereka sendiri.

Chloe yang berada di tengah merasa kesusahan melawan musuh di depannya, ia hanya bisa menahan dan menyingkir. Edward hanya berani memunculkan es dari tanah, tidak lebih. Hayate mengeluarkan api dari tangannya dan berusaha keras menghantam musuh yang dengan lincah menghindar. Shafira sudah mencoba membuat air di sekitar kepala musuhnya, tetapi musuhnya masih bisa bergerak walaupun tak bernafas. Rose yang telah melihat Shafira melakukan hal itu membuat ia menjadi tak yakin apa yang ia ingin lakukan.

Devis menabrakan punggungnya ke punggung Katryson pelan, "tunggu aba-abaku untuk menyerang," bisik Devis.

Katryson yang menyadari itu langsung mengangguk mantap sambil melihat musuh di depannya. Lawan Devis mulai mengayunkan pemukulnya ke arah Devis, tetapi tertahan oleh pedang yang milik Devis yang masih tersaring rapi. Setelah mendorong pemukul itu dari atasnya, Devis langsung berlari ke arah Eric.

"Kau lindungi yang lainnya dengan tanahmu, tunggu aba-abaku," bisik Devis tepat di sebelah Eric.

Eric yang mendengar itu mengangguk dan bersiap dengan kuda-kudanya. Devis tersenyum kecil melihat itu lalu pandangannya melihat Deva yang juga sedang melihatnya seperti meminta arahan, tetapi Devis menggeleng sambil menutup mata.

Devis berlari cepat sambil mengayunkan pedang beserta sarung pedangnya cepat untuk membantu teman-temannya saat menuju Leo. Ia kembali menabrakkan punggungnya dengan punggung Leo yang sedang sedikit kesal.

"Pak, kau yang ketiga. Bersiaplah," bisik Devis.

Tampak Leo terdiam sejenak lalu tersenyum penuh arti, "aku mengerti."

Devis tersenyum sinis lalu dengan cepat ia menusuk tanah di depannya, "Eric! Sekarang!" Teriak Devis sambil melihat Eric.

Tanah langsung membentuk sebuah kubah yang melindungi Devis dan yang lainnya. Sebelum tanah itu benar-benar tertutup, Devis melihat Katryson yang dibalas anggukan oleh yang dilihat. Katryson meletakkan tangannya didinding kubah tanah itu dan membuat gelombang suara yang menganggu pendengaran yang berada diluar kubah dan membuat dinding kubah-kubah itu bergetar.

Setelah beberapa detik, Devis memukul sisi kubah tanahnya yang berhubungan langsung dengan Leo. Tak lama terdengar teriakan dari luar kubah yang tak lain adalah teriakan musuh-musuh mereka yang terkena sihir petir Leo. Setelah tak terdengar suara, Eric membuat kubah tanah itu menjadi tanah seperti semua. Terlihat musuh-musuh mereka yang telah tergeletak dan hangus di beberapa sisinya.

Sorakan gembira terdengar dari beberapa mulut mereka. Devis hanya tersenyum puas melihat musuh-musuh mereka yang sudah tak berdaya.

🍀

Malamnya setelah menyantap makanan yang dibuat oleh Shafira, semuanya langsung berjalan menuju kamar masing-masing untuk membersihkan diri dan merebahkan diri. Sedangkan Hayate memutuskan untuk berjalan menuju ujung tebing yang menunjukan pemandangan hutan di bawahnya dan bintang di langitnya.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari belakang Hayate yang mengarah kearahnya. Saat berbalik, ia menemukan Deva yang sedang tersenyum ragu kearahnya. Hayate membalas senyuman juga kearah Deva.

"Boleh aku duduk di sebelahmu?" Tanya Deva sambil menunjuk rerumputan di sebelah Hayate.

"Tentu saja," jawab Hayate yang masih tersenyum sambil menganggukan kepalanya.

Deva berjalan ke samping Hayate dan mereka teridam melihat pohon-pohon, langit gelap dan bintang di langit.

"Perlu api?" Tanya Hayate sambil memunculkan api dari ujung tangannya.

"Aku rasa tidak perlu, Bulan sudah cukup terang malam ini. Terimakasih," kata Deva sambil tersenyum tulus.

Hayate mengangguk mengerti sambil menghilangkan api di ujung jarinya. Keadaan kembali hening, terlihat dari wajah mereka yang tidak terganggu oleh keheningan itu.

"Um... hei," panggil Hayate terdengar ragu.

"Ya?" Tanya Deva sambil melihat Hayate bingung.

"Apa kau... bukan Deva?" Tanya Hayate yang membuat Deva tersentak.

"Eh? Ap-apa maksudmu?" Tanya Deva yang terlihat salah tingkah dengan menghindari kontak mata dari Hayate.

Bukannya menjawab, Hayate hanya tersenyum dan terus melihat Deva. Setelah beberapa detik akhirnya Deva melihat Hayate yang masih melihatnya.

Deva melihat pemandangan di depannya lalu menghembuskan nafas pelan, "ya, aku bukanlah Deva yang selama ini bersama kalian," katanya pelan.

"Lalu, Siapa namamu dan kenapa kau menjadi Deva?" Tanya Hayate.

"Mungkin dapat dikatakan aku bukanlah manusia," katanya sambil menunduk.

"Maksudmu?" Tanya Hayate bingung.

"Aku juga tidak tau. Aku hanyalah seseorang ah bukan, sesuatu yang dibuat oleh seseorang. Ia hanya memeberi tahukanku mengenai misiku dan identitas Deva dan kalian semua," katanya dengan wajah murung.


"Identitas... yang seperti apa?" Tanya Hayate hati-hati.

"Nama dan sihir. Ya, aku rasa hanya itu," kata Deva yang tampak berpikir.

"Ah, pantas saja berbeda," kata Hayate sambil terkekeh kecil.

"Apanya?"

"Sifat. Sifat Deva sesungguhnya tidak seperti sifat-sifat perempuan pada umumnya," kata Hayate sambil tersenyum.

"Karena itu kau merona?"

"Eh?! Aku merona?!" Tanya Hayate panik sambil memegang kedua pipinya.

Deva terkekeh melihat tingkah Hayate seperti itu, "ia sangatlah beruntung," katanya setelah meredakan tawanya.

"Maksudmu?" Tanya Hayate bingung.

"Ia memiliki banyak teman yang peduli dengannya, yang memikirkannya, dan orang yang mencintainya," kata Deva sambil melirik Hayate yang terlihat salah tingkah saat dikatakan seperti itu.

"Tetapi,ini karenanya juga. Secara tidak langsung, ialah yang menyatukan kami sampai dapat bertahan," kata Hayate sambil melihat ke langit malam yang penuh dengan Bintang.

Deva juga ikut menikmati langit malam yang baru akhir-akhir ini ia lihat.

"Oh iya, bagaimana aku memanggilmu sekarang? Saat tau kau bukanlah Deva?" Tanya Hayate sambil melihat kearah gadis di sebelahnya.

"Hm... itu terserah padamu, aku tidak tau harus dipanggil apa," katanya pasrah.

"Bagaimana kalau... Eva?"

"Terdengar Bagus," katanya sambil tersenyum simpul.

"Baiklah Eva, mohon bantuannya ya," kata Hayate sambil tersenyum dan menundukkan kepalanya sedikit.

"Ah, mohon bantuannya juga," kata Eva yang gelagapan dan ikut sedikit menunduk seperti Hayate.

"Em... jadi dimana Deva sekarang?" Tanya Hayate.

Eva tersenyum simpul, "akan aku beritahukan esok."

🍀

"HAH?!"

"APA?!"

"Kau bercanda?"

Eva menggeleng kuat, " aku tidak sedang bercanda, maaf," kata Eva takut.

"Tapi, tapi kau mirip sekali dengan Deva," kata Leo tak percaya.

"Dengan kebenaran seperti itulah aku bisa melaksanakan misiku," kata Eva sambil menunduk.

"Lalu wajahmu yang asli?" Tanya Katryson.

"Aku tidak tau," kata Eva sambil menggeleng pelan.

"Masa lalumu?" Tanya Edward.

Eva kembali menggeleng, "aku tidak tau."

Semuanya terdiam melihat Eva sambil memikirkan hal yang berbeda-beda. Leo tak sengaja melihat Devis dan Hayate yang berdiri dengan santainya.

"Apakah kalian sudah mengetahui hal ini?" Tanya Leo curiga.

"Tentu saja, ia terlalu feminim untuk ukuran Deva," kata Devis dengan santainya.

"Semalam aku sudah berbicara dengannya dan ia mengungkapkannya semalam," kata Hayate polos.

Semua tatapan tak percaya mengarah ke Hayate yang bingung dengan tatapan teman-temannya. Beberapa detik kemudian mereka menghembuskan nafas pasrah.

"Kalau mengenai cinta beda ya," kata Edward sambil mengalihkan pandangannya dari Hayate.

"Inilah namanya cinta," kata Devis jail.

"Jadi, bisa kau katakan dimana Deva sekarang?" Tanya Leo yang tidak peduli dengan anak-anak didiknya.(#hueeeek.)

"Itulah misiku, membawa kalian menemuinya," kata Eva serius.

"Siapa?

.
.
.
.

Maapkan daku atas kelambatan ini, cukup lama menunggu ide saya untuk menyapa. Lagi pula ni lagi masa2 ujian. Jadi daku mohon maapppppp banget.

-(14/03/2017)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro