14. Mampir
"Ngomong-ngomong kak Leo, kenapa bisa kita melewati penjara Timur dulu bukan rumah paman Roy?" Tanya Deva saat perjalanan.
"Ayo kita petanya terlebih dahulu." Ajak Leo sambil berhenti sejenak dan mengambil peta dari tabnya.
Semua langsung memberi Leo space dan melingkari peta yang di buka oleh Leo.
"Nah sekarang kita berada di sini," kata Leo sambil menunjuk arah yang tak jauh dari kotak yang bertuliskan penjara Timur. "Lalu rumah pamanmu ada di sini," kata Leo sambil menggeser jarinya sedikit lebih jauh dan sedikit turun lalu berhenti di persegi panjang coklat tanpa penjelasan. Di bawah persegi panjang itu tertampang tulisan Negara Putih.
"Lalu tujuan utama kita?" Tanya Devis.
Leo menggeser jarinya lagi ke atas lalu berhenti dipersegi panjang berwarna hitam, "di sini," katanya polos.
"Lalu buat apa ke rumah paman?!" Seru Deva kesal, seakan-akan ia ingin membanting meja tapi apa daya tak ada meja satupun di sana.
"Gampang saja, kita mampir dulu," kata Leo dengan senyum manisnya yang di balas ekspresi WTF oleh semuanya.
"Sebenarnya, membuka rumah lipat itu membutuhkan sihir kau tau. Bagaimana kalau aku kehabisan sihir di saat-saat penting? Apa kalian tak peduli denganku?" Tanya Leo dengan wajah memohon.
"Tidak." Jawab Deva dan Devis datar, singkat dan jelas.
"Yang aku tau Leo hanya memakai sihirnya tidak disetiap pertarungan." Kata Edward sambil melipat tangannya di depan dada.
"Iya, baru akhir-akhir ini saja." Kata Shafira menyetujui perkataan Edward.
"Bukan bermaksud apa-apa, hanya Leo biasanya melihat pertarungan. Bukan ikut bertarung." Tambah Chole gugup.
"Bahkan di sekolah pak Leo jarang menunjukan sihirnya." Tambah Katryson juga.
"Kedengaran seperti balas dendam." Kata Hayate pelan.
"Tetapi semua itu benar." Kata Deva sambil melihat Hayate dan tersenyum sinis.
"Kalian jahat sekali pada pembimbing kalian." Kata Leo pasrah.
"Anda baru mengetahuinya?" Tanya Devis sambil tersenyum jail lalu diiringi senyuman jail dan tawa kecil oleh mereka yang membuka suara.
"Sebenarnya apa yang telah kalian lewati?" Tanya Rose yang tidak mengerti topik pembicaraan yang ia dengar.
"Ada deh." Kata Deva sambil tersenyum jail.
"Kalian berhutang cerita kepada kami." Kata Eric datar.
"Itu bisa diatur setelah masalah kita selesai. Sekarang ayo kita berjalan lagi sebelum hari bertambah gelap." Kata Leo sambil menyimpan peta yang ia bawa.
.
.
Mereka mengikuti Leo dari matahari yang berada di atas kepala sampai matahari yang sedang melambai pergi. Baru saja Deva membuka mulutnya untuk bertanya, ia melihat sebuah rumah atau lebih tepatnya restoran bertingkat dengan bahan dasar kayu dari tempatnya berdiri. Akhirnya ia menutup mulutnya dan terus berjalan memikirkan reaksi yang akan diterimanya.
.
.
Saat yang lain galau karena cinta, di sini ada seorang anak kira-kira berur 7 tahun yang galau karena harus menemui sepupunya yang berada di lantai bawah. Ia berjalan layaknya setrika di ujung tangga.
Kadang ia berjalan menjauh dari tangga, kadang ia menggalau di ujung tangga. Akhirnya ia mengumpulkan segenap jiwa dan raganya untuk turun ke bawah, iakan tanggung resiko apapun yang sebenarnya tak mempunyai resiko apapun.
Sampai di bawah, ia melihat kedua orang tuanya sedang bercakap-cakap dengan 10 orang secara bergantian. Saat ia sampai di lantai bawah, salah satu perempuan yang memakai jaket melihatnya dan menyambutnya dengan semangat.
"Halo Roy, udah lama nggak ketemu. Kira-kira 2 tahun ya? Masih ingat padaku?" Tanya Deva sambil menunjuk-nunjuk dirinya.
"Oh, hm iya," kata Roy gugup sambil menganggukan kepalanya.
"Deva, makanlah dulu. Makananmu sudah siap." Kata Gita sambil menaruh nampan berisi makanan ke salah satu meja.
"Huh? Tetapi aku sama sekali tidak memesan apapun," kata Deva bingung sambil melihat tante Gita.
"Tentu saja khusus dibuat untuk kalian yang akan bertarung lagi bukan?" Tanya Gita ceria. "Roy, ayo kau boleh ikut makan. Bukankah kau belum makan?" Tanya Gita sambil menggerakan pegelangan tangannya naik lalu turun.
Roy mengangguk mengerti lalu mengikuti Deva mendekati meja yang sudah disusun berdempetan, agar semua bisa makan di tempat yang tak dipisah.
"Pak Leo, aku penasaran. Apakah habis ini kita akan langsung sampai ke tempat itu atau memerlukan waktu yang lebih lama lagi?" Tanya Devis setelah menelan makanannya.
"Tentu saja kita memerlukan waktu lebih. Kemungkinan sampai dua hari," kata Leo sambil mengira-ngira.
"Apakah kali ini akan lebih lama?" Tanya Chloe.
"Akan lebih cepat... mungkin... " kata Leo yang merasa mengecil.
"Tetapi bukankah itu tergantung pertarungannya?" Tanya Deva lalu melahap sesendok makanan itu.
"Ada benarnya... tunggu, haruskah aku yang menjawab pertanyaan masing-masing dari kalian?" Protes Leo yang merasa acara makannya terganggu.
"Karena hanya anda yang tau," kata Rose san Eric bersamaan dengan wajah datar yang dibalas anggukan oleh Devis, Deva, Hayate, Edward, Shafira, Chloe dan Katryson.
"Sudahlah, kalian makan saja dulu. Lupakan pertarungan itu hanya untuk malam ini saja," kata Agus sambil tersenyum.
"Tidak bisa om," kata Deva yang memberhentikan kegiatan makannya.
"Kenapa?" Tanya Agus bingung.
"Karena untuk mempersiapkan untuk pertarungan ini perlu energi dari tidur...-"
"Dan makan," tambah Deva.
"Kalau bisa memilih, aku tidak ingin menambah jam tidurku," kata Devis cuek.
"Kalau bisa memilih juga, aku tidak ingin makan," kata Deva yang juga cuek.
"Bahkan pak Leo yang jarang memakai sihirnya saja menghemat energi."
"Energi jaga-jaga, padahal ia biasanya. Melihat pertarungan kami dari jauh. Luar biasa."
"Apakah ia akan mulai memakai sihirnya?"
"Apa dia mau membiarkan kita yang melihat, ia yang bertarung?"
"Hei kau tau sendiri itu sangatlah tidak seru."
"Hm... kalau di pikir-pikir benar juga," kata Deva sambil terkekeh.
"Hei kalian diDe. Kalian tak bisa diam ya..." kata Leo geram.
"Ah, kak Leo itu barang milik orang," kata Deva dengan santainya sambil menunjuk tangan Leo.
"Terimakasih sudah mengingatkan." Kata Leo sambil meletakkan sendok yang ia genggam.
"Sama-sama," kata Deva dengan senyum jailnya.
"Sudahlah, kalian makan saja tak perlu berbicara," kata Shafira yang terlihat kesal.
"Maaf..." kata Deva pelan lalu melanjutkan makannya. Mereka melanjutkan makan masing-masing tanpa ada yang berbicara sepatah kata pun.
Setelah makan malam usai, Deva dan yang lainnya diantar oleh Gita dan Agus menuju kamar yang akan mereka tempati malam itu. Saat mereka menyentuh kasur, mereka sudah menyebrangi alam lain yang di sebut mimpi.
.
.
Keesokan paginya setelah bersiap-siap dan memakan sarapan bersama-sama, mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.
Setelah berpamitan, Deva dan teman-temannya mulai berjalan dengan Leo sebagai kepalanya. Setelah beberapa lama perjalanan, perjalanan mereka terputus karena jalan yang runtuh, menyisakan tebing di sebrang sana.
"Wah bagaimana ini?" Tanya Chloe sambil melihat sekeliling.
"Apa tidak ada jalan lain?" Tanya Edward kepada Leo.
"Tentu saja ada, tetapi bisa memakan waktu sebulan," kata Leo sambil melirik ke arah jurang itu.
Sontak perkataan Leo membuat beberapa dari mereka berteriak kaget. Sedangkan Deva dan Devis saling melihat ujung jurang tersebut.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tanya Shafira.
"Tentu saja menyebrang," kata Devis tanpa melihat teman-temannya.
"Bagaimana?" Tanya Eric bingung.
"Bertepilah sedikit," kata Deva yang tiba-tiba berada di paling belakang, membuat teman-temannya menepi untuk memberi Deva jalan.
Deva mengambil ancang-ancang untuk berlari lalu berlari sampai sekencang-kencangnya. Sebelum sampai ke jurang ia melompat dan berhasil mendaratkan kakinya di ujung tebing dengan sempurna. Ia berdiri dan melihat teman-temannya dengan senyum puas.
"Aku terlalu takut untuk melakukan hal itu," kata Rose ragu.
"Tentu saja," kata Chloe yang sudah pasrah.
"Deva, apa kau bisa mencari cara lain?" Tanya Shafira.
"Apakah kalian terlalu manja sampai-sampai tak mau melompat?" Tanya Deva dengan wajah datar.
"Deva, aku tau kau bukan manusia," kata Katryson tiba-tiba.
"Apa?! Aku tu jelas-jelas manusia!" Seru Deva kesal.
"Kalau kau manusia, kau tak bisa menyebrangi jurang begitu saja hanya dengan melompat," kata Edward sambil melipat tangannya.
"Kali ini aku setuju," kata Leo.
"Baiklah-baiklah, akan kutunggu di sini sampai kalian bisa menyebrang," kata Deva sambil duduk bersila di tempatnya.
"Eh? Bagaimana?" Tanya Hayate bingung.
"Apa kalian lupa sekarang kalian berada di dunia sihir," kata Devis dengan muka datarnya.
Seketika Hayate, Edward, Shafira dan Chloe memasang wajah seperti berkata "oh iya!" Secara serempak.
"Tetapi kalian harus menghemat sihir kalian. Kita tak tau apa yang akan terjadi di depan sana," kata Leo dengan wajah cemas.
Seketika itu juga wajah mereka menjadi lesu kembali.
"Wah ini mah sampe bumi berubah bentuk nda bakalan selesai," kata Deva dengan cueknya.
"Jadi mau mulai sekarang?" Tanya Devis sambil tersenyum kecil.
"Mau bagaimana lagi?" Tanya Deva sambil berdiri dan membersihkan celananya.
Percakapan kedua kembar itu membuat semua orang melihat kepada mereka dengan perasaan bingung. Devis mulai memakai kekuatan yang-nya. Setelah itu ia menancapkan pedang beserta sarung pedangnya ke tanah di depannya. Begitu juga Deva yang meletakkan kedua tangannya tepat di sebrang Devis.
tanah di bawah Devis dan Deva mulai tumbuh beberapa tanaman yang menjulur, saling bertabrakan dan mengikat. Membuat sebuah jembatan baru yang berasal dari tumbuhan berwarna hijau dan coklat.
"Apa ini kuat?" Tanya Shafira ragu.
"Kuat, jika aku tetap memegang ini," jawab Devis.
"Itu benar, jadi jangan kawatir. Kalian cukup menyebrang dan percaya kepada kita," kata Deva di sebrang sana sambil tersenyum tulus.
Leo mulai menggerakkan kakinya, melangkah di atas tumbuhan-tumbuhan yang dibuat oleh si kembar itu. Detik-detik saat ia berjalan memang menegangkan karena tidak ada pegangan dan di bawah merupakan jurang yang dalam. Setelah ia sampai di sebrang tebing ia bisa merasakan oksigen terasa sangat menyenangkan.
"Nah ayo! Jangan takut," kata Leo dengan bangganya.
"(Padahal tadi dia sendiri takut)" pikir Deva dengan wajah datar.
Akhirnya semua mulai menyebrangi tumbuhan itu satu per satu. Sampai akhirnya tinggal Devis yang masih di tempatnya.
"Menyebranglah, aku akan tahan," kata Deva.
"Tidak perlu, aku punya rencana," kata Devis sambil tersenyum membuat Deva menaikkan alisnya bingung.
Devis melepas genggamannya dari pedang itu dengan perlahan lalu ia mengambil ancang-ancang untuk melompat beberapa kali sampai akhirnya ia berhasil ke sebrang tebing, berkumpul bersama teman-temannya. Setelah itu ia mengulurkan tangannya seperti mengambil sesuatu, tak lama kemudian pedang dan sarungnya tertarik dari tanah dan langsung mengarah ke telapak tangan Devis.
Deva tersenyum kecil lalu menarik kembali tumbuhannya lalu berdiri dan berdecak pinggang.
"Tidak buruk," kata Deva sambil tersenyum puas.
"Itu pujian bukan?" Tanya Devis tak percaya.
"Tentu saja!" Seru Deva sambil menunjukan senyum lebarnya.
Jauh dari sana, di stau tempat yang gelap ada seorang laki-laki dengan gadis kecil yang memeluk bonekanya yang berada di belakang laki-laki itu. Mereka berdua telah melihat sebuah kegiatan beberapa orang yang berada jauh di depan sana.
"Menarik," kata laki-laki itu sambil tersenyum sinis.
"Laki-laki itu?" Tanya gadis itu dengan polosnya.
"Tentu saja yang perempuan, aku tak tertarik dengan laki-laki," kata laki-laki itu sambil menutup tirai yang berada di sampingnya.
.
.
.
.
Heiho kita bertemu lagi. Lama ya?
Oh iya, aku ada ngerevisi adventure in magic world yg book 1. Tapi di buku yg berbeda, dengan judul yang sama tapi dengan cover yang berbeda.
Enjoy~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro