Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Maju Satu Langkah

Holaaaaa~ apa kabar? Apakah ada yang rindu dengan lapak ini? 🤣🤣

Sebelumnya maaf, ya, gaes, karena berbulan-bulan tidak menampakkan diri di sini. Sebenarnya diriku tidak ke mana-mana, masih bernapas di bumi pertiwi ini.

Tapi ya begitulah, sebagai makhluk hidup aku juga punya beberapa/banyak "urusan" yang perlu di prioritaskan. Jadi, mau nggak mau, hobinya digeser bentar. Hihihihi.

Makasih buat yang setia nungguin updatenya dan nanyain kabar yang punya lapak ini karena hampir setengah tahun lamanya tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Nggak bisa janjiin apa-apa untuk update selanjutnya. Tapi satu hal pasti, cerita ini akan diselesaikan sampai akhir. Meskipun mungkin butuh waktu yang sangat, sangat, sangat, sangat amat lama.

Happy reading~

***

Jisoo terbangun dari pingsannya setelah beberapa jam. Wanita itu merasa tubuhnya agak lelah setelah sebelumnya berlatih bertarung dengan Sehun.

"Aku akui kemampuannya, tapi aku tidak akan membiarkannya mengambil hakku untuk membunuh Tiger." Jisoo berceloteh ketika dia mengedarkan pandangan dan mendapati Hae-in yang sedang merokok di pinggir jendela.

"Itulah kenapa dia diberi julukan Anjing Gila." Hae-in menyahut seraya mematikan bara rokoknya yang dia tekan pada bingkai jendela. "Dia akan benar-benar gila saat bertarung. Dan yang tadi itu tidak seberapa dari kegilaannya yang sebenarnya." Hae-in menambahkan sambil melangkah mendekati Jisoo di tempat tidur.

Jisoo menggeram tertahan ketika dia mencoba untuk bangun. Hae-in yang melihatnya segera membantu mendudukkan wanita itu.

"Jadi, berapa lama aku pingsan?" tanya Jisoo seraya memijat pelipisnya, ketika dia sudah mendapatkan posisi yang nyaman untuk duduk.

Hae-in berdesis sambil melirik arlojinya. "Sekitar 3 jam 20 menit."

Wajah Jisoo tampak menunjukkan rasa tidak senangnya karena Sehun benar-benar mengalahkannya hari ini, hanya dalam waktu kurang dari 15 menit saja. Dia menyembunyikan rasa malunya dengan menutupi wajah menggunakan sebelah tangan.

"Alasanku meminta Sehun yang mengajarimu adalah karena dia akan benar-benar mengajarimu cara bertarung." Hae-in membuka suara ketika Jisoo masih malu atas kekalahannya tadi.

Jisoo mengembuskan napas kasar dan menatap Hae-in setengah jengkel. "Kau yakin kalau dia tidak memiliki niat untuk membunuhku? Karena sepertinya dia masih dendam padaku atas apa yang kulakukan pada Lisa."

Hae-in mengangkat bahu. Dia tidak tahu apakah adiknya benar-benar menyimpan dendam pada Jisoo atau yang tadi itu memang benar-benar sesi latihan dari Sehun.

"Ayo, aku akan mengantarmu ke ruang pemulihan," kata Hae-in setelah Jisoo hanya memberikan tatapan datar padanya dan membuang pandangan. "Kau pasti butuh untuk menghilangkan rasa sakit di sekujur tubuhmu, kan?"

Jisoo benci harus mengakui ini. Namun, dia memang benar-benar merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya saat ini. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak.

Sekarang, pengetahuan Jisoo tentang detail markas Chimera jauh lebih banyak. Wanita itu tahu di mana ruang pemulihan, tahu di mana ruang bawah tanah untuk mengurung seseorang, tahu di mana arena menembak, dan tahu juga di mana tempat mereka sparing.

Jadi, adalah hal yang mudah kalau Jisoo berkhianat lagi setelah banyaknya detail yang dia tahu tentang Chimera.

"Apa kau akan berendam dengan pakaian lengkap?" tanya Hae-in ketika kaki kanan Jisoo hendak masuk ke bak yang sudah berisikan air.

Jisoo menoleh ke belakang. "Apa aku harus bertelanjang? Di depanmu?"

"Aku akan menutup mata selagi kau melepaskan pakaian," kata Hae-in. Di mana laki-laki itu sungguh menepati ucapannya untuk menutup mata.

Hae-in menghitung dalam hati. Ketika hitungannya sudah sampai sepuluh, dia membuka mata tanpa pemberitahuan. Karena baginya, 10 detik itu cukup untuk menanggalkan pakaian.

Namun faktanya, Jisoo bergeming di depannya. Wanita itu tidak menanggalkan pakaiannya dan masih berdiri di tempat terakhir Hae-in melihatnya sebelum menutup mata.

"Ada apa? Apa kau ingin aku membuka mata ketika kau melepaskan pakaianmu?" Lagi-lagi Hae-in mengeluarkan celetukan asalnya siang ini.

Jisoo menatap Hae-in dengan penuh penilaian. Dia mencoba menerka apa yang terjadi pada Pimpinan Chimera itu, hingga sikapnya terasa aneh hari ini.

"Kau benar-benar aneh hari ini," kata Jisoo dengan mata menyipit, seolah-olah dia bisa menemukan jawaban atas keanehan Hae-in jika melakukannya. "Sejak tadi pagi, kau terus menggodaku secara seksual."

"Oh, benarkah?" Hae-in bertanya dengan antusias. Matanya tampak berbinar dengan senyum di kedua pipinya.

Jisoo mendecih karena ketidakseriusan Hae-in, lalu mengejek laki-laki itu dengan sinis. "Yak, kalau ingin bercinta denganku lagi, maka katakan saja."

Hae-in mengangguk dengan gumam yang mengejek. "Coba tanyakan itu pada dirimu sendiri. Siapa yang malam itu memohon padaku berkali-kali?"

"Itu adalah misiku." Jisoo menyahut dengan cepat. Wajahnya tampak tegang dengan mata kaku yang tidak sanggup untuk dikedipkan. "Aku sengaja melakukannya agar kau percaya kalau aku benar-benar jatuh padamu."

"Ah~ Jadi, semua hanyalah sandiwara?" Hae-in mendesah. Wajahnya sama sekali tidak diliputi dengan kekecewaan saat ini. Justru dia tampak baik-baik saja sekarang.

"Ya, saat itu semuanya hanyalah sandiwara," kata Jisoo dengan segala keyakinan yang dia miliki. Sayangnya, suaranya terdengar bergetar, dengan kedua bola mata yang mencoba untuk melarikan diri dari Hae-in.

Hae-in berjalan menghampiri Jisoo ketika wanita itu masih meyakinkan diri kalau dia tidak benar-benar jatuh cinta pada sosok yang seharusnya dia bunuh saat ini.

Pandangan yang sebelumnya sengaja Jisoo buang jauh-jauh dari Hae-in, kini ditarik kembali agar bisa menatap lawan bicaranya secara langsung.

"Lalu, bagaimana dengan sekarang? Apa kau masih tidak jatuh cinta padaku?" Pertanyaannya itu dilontarkan dengan sebuah bisikan parau, hampir terdengar seperti keputusasaan. "Apa saat ini aku masih menjadi misi untukmu?"

Jisoo menelan saliva dengan gugup ketika napas Hae-in menerpa wajahnya. Ini bukan kali pertama mereka sedekat ini. Namun kali ini rasanya tidak seperti sebelumnya. Karena mata laki-laki itu terlihat sangat menginginkannya.

"Jawab aku, Han Jisoo." Hae-in kembali berbisik. Embusan napasnya dia biarkan bergerak menyerang permukaan wajah Jisoo, lalu turun ke bagian leher.

Jisoo mencoba untuk menghindar, tapi tidak banyak gerakan yang bisa dia lakukan untuk membentangkan jarak. Wanita itu bahkan tidak sampai menjauhkan diri lebih dari 5 cm. Pertanda dia tidak benar-benar ingin menghindar.

Hae-in mendekatkan wajahnya pada Jisoo, menggosok ujung hidungnya pada ujung hidung Jisoo, lalu menjelajahi wajah wanita itu tanpa benar-benar menyentuhnya. Pimpinan Chimera itu hanya menggoda dengan deru napasnya yang panas.

Sebelah tangan Hae-in melingkari pinggang Jisoo, sebelahnya lagi bergerak menyusuri punggung dan menariknya untuk lebih mendekat.

Jisoo terbuai dalam godaan hangat Hae-in. Tubuhnya merespons, meskipun dewi batinnya berteriak mengingatkan untuk menghindar.

Nyatanya, embusan napas panas yang menerpa permukaan lehernya barusan mampu membuat isi perut Jisoo seakan diacak-acak. Wanita itu malu untuk mengakuinya, tapi sentuhan di tubuhnya saat ini ... dia merindukannya.

Dagu Jisoo mendapatkan sedikit sentuhan dari bibir Hae-in, yang kemudian berlanjut ke pipi. Wanita itu sungguh menikmati sentuhan yang diberikan dan menunggu Hae-in melakukan aksi yang sesungguhnya.

Namun sayang, keinginan Jisoo hanya tinggal angan ketika Hae-in melepaskannya. Kemudian, disusul dengan tawa mengejek dari laki-laki itu. "Bisa aku pastikan kalau kali ini kau benar-benar sudah jatuh cinta padaku."

Gigi Jisoo gemertak. Wanita itu sedang menekan gairahnya yang baru saja dibakar, serta menahan diri untuk protes karena dipermainkan.

"Aku hanya terbawa suasana saja," kata Jisoo beralasan. Sebisa mungkin dia tidak menunjukkan tatapan yang mendambakan sentuhan laki-laki di depannya ini.

Hae-in tersenyum. Laki-laki itu tampak seperti menunjukkan kepuasannya setelah berhasil balas dendam. "Kalau begitu, aku akan membiarkanmu memulihkan diri sendiri di sini," katanya. "Jangan berendam terlalu lama. Setengah jam saja sudah cukup."

Pimpinan Chimera itu kemudian keluar dari ruang pemulihan setelah membuat Jisoo hampir memohon untuk sebuah sentuhan.

"Kau benar-benar berengsek, Mr. J!" Jisoo menggeram dan menahan kepalanya untuk meledak akibat kesal karena merasa sudah dipermalukan. "Benar-benar seorang bajingan yang kurang ajar!"

Rasa kesalnya saat ini membuat Jisoo menanggalkan pakaiannya dengan gerakan yang kasar, hampir-hampir merobeknya. Kemudian merendam tubuhnya untuk meredam rasa sakit yang lumayan meremukkan tulangnya.

***

Keesokan harinya, Jisoo kembali berlatih bertarung bersama Sehun. Namun, kali ini bukan lagi di dalam ring oktagon, melainkan di ruang terbuka, area menembak.

Wanita itu menggunakan topi untuk mengantisipasi panas matahari. Namun, kedua lengannya dibiarkan terekspos.

"Kau tidak akan lagi menabrak jaring-jaring oktagon, tapi percayalah kalau tanah ini lebih keras dari yang kau bayangkan." Sehun mengingatkan Jisoo sebelum wanita itu mengeluh akan rasa sakitnya nanti. "Jadi, jangan sampai pingsan lagi."

Rasanya Jisoo benar-benar ingin memukul wajah Sehun yang sedang tersenyum mengejek padanya. Laki-laki itu sungguh menyebalkan dengan wajah tampannya itu.

"Kali ini, akulah yang akan mengalahkanmu," balas Jisoo tidak mau kalah. Tentu dia tidak akan membiarkan Sehun menang darinya 2x berturut-turut.

Sehun mendecih. Lagi-lagi dia meremehkan wanita di depannya. "Buktikan saja," tantangnya.

Jisoo membalas dengan senyum miring.

Jangan pikir dia tidur nyenyak tanpa memikirkan apa yang akan terjadi besok. Wanita itu jelas mencoba untuk mempelajari cara bertarung Sehun guna melawannya hari ini.

Agen terlatih kesayangan Tiger itu percaya kalau dia bisa mengalahkan si Anjing Gila kali ini—hanya dengan satu pertarungan singkat yang membuatnya pingsan.

Jisoo menyerang duluan. Namun kali ini, dia memberikan tipuan untuk Sehun dengan berpura-pura menyerang memakai gerakan yang sama seperti kemarin. Niat Jisoo adalah mengalahkan Sehun dengan membuat laki-laki itu bertindak lebih dulu sebelum nanti menyerangnya.

Sehun hampir kecolongan karena taktik Jisoo, tapi masih unggul karena berhasil mengantisipasi tipuan Jisoo. Dia yang berada di belakang punggung Jisoo segera mendorong dengan kakinya dan membuat wanita itu tersungkur lagi.

"'Jangan pernah membelakangi musuhmu.' Itulah peraturan dasar dalam pertarungan." Sehun membacakan peraturan yang sebenarnya tidak benar-benar ada, tapi memang benar adanya dengan nada sombong. "Agen terlatih sepertimu tidak mungkin tidak mengetahuinya, kan?"

Jisoo mengangkat wajahnya yang sempat tergores tanah akibat dorongan Sehun. Wajahnya mengeras karena lagi-lagi serangannya pada Sehun gagal. Kedua tangannya yang terkepal kuat saat ini dia jadikan tumpuan untuk berdiri.

Pipinya yang berdarah dia usap dengan kasar sebelum berbalik untuk menghadap Sehun yang sudah menunggunya dengan senyum mengejek.

"Apa hanya segini saja kemampuan bertarungmu?" Sehun melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap sinis. "Keahlianmu sungguh berada di level yang paling rendah. Lisa bahkan bisa mengalahkanmu dengan mudah."

Sejak awal, kata-kata yang Sehun lontarkan untuk Jisoo tidak pernah baik. Laki-laki itu selalu berbicara dengan nada sinis yang merendahkan Jisoo. Selalu.

Namun, Jisoo tidak lagi memperlihatkan kemarahannya. Dia menyambut kata-kata sinis Sehun dengan senyuman. Ketika Sehun berpikir Jisoo tidak akan menyerang, wanita itu berlari untuk menerjang.

Trik yang Jisoo gunakan masih sama, tapi kali ini dia mendapatkan hasil yang berbeda. Wanita itu sudah mengantisipasi gerakan Sehun selanjutnya. Jadi, dia mengunci lebih dulu gerakan Sehun dan menendang lutut belakangnya, membuat kekasih Lisa itu jatuh berlutut dalam sekali serangan.

"Peraturan kedua dalam pertarungan, 'Jangan biarkan musuhmu mempelajari cara bertarungmu.'" Jisoo membalas sindiran Sehun sebelumnya dengan ejekan penuh kemenangan.

Sehun yang sebelumnya terkejut dengan serangan Jisoo sampai-sampai lututnya jatuh menghantam tanah, kini malah terlihat menyeringai.

Dia bangkit dengan sebelah kaki yang ditendangkan ke udara untuk menghilangkan rasa nyerinya. Lalu, berbalik untuk menghadapi wanita yang baru saja menyombongkan diri di depannya.

"Baiklah, kurasa sudah cukup main-mainnya. Bisa kita mulai latihan ini dengan serius?" Sehun bertanya seolah-olah Jisoo tidak serius sejak awal. Alih-alih dialah yang meremehkan kemampuan wanita itu.

"Dengan senang hati," balas Jisoo menyanggupi.

Kalau sebelumnya Jisoo yang menyerang, maka kali ini Sehun menjadi penyerang pertama. Laki-laki itu tidak langsung membuat Jisoo tumbang dengan pukulan atau tendangan mematikan. Melainkan dia lebih dulu menguras tenaga Jisoo.

Menggunakan kedua tangan, Sehun menyerang sisi wajah Jisoo secara bergantian dengan kecepatan yang memusingkan. Wanita itu menahan serangan demi serangan Sehun menggunakan lengan tangan.

Setiap kali Sehun melangkah maju, maka Jisoo akan otomatis melangkah mundur. Dia tidak bermaksud untuk menghindar, melainkan sedang mencoba untuk bertahan dalam serangan brutal Sehun.

Kalau terus bertahan seperti ini, Jisoo tidak akan memiliki kesempatan untuk menyerang Sehun dan sesi latihan ini hanya akan berakhir dengan Jisoo yang kehabisan tenaga.

Wanita itu mencoba peruntungannya dengan menyingkirkan tangan kanannya yang sejak tadi melindungi wajahnya. Dia menggunakan tangan itu untuk meninju wajah Sehun. Tepat bersamaan dengan Sehun yang memukul sisi wajahnya dengan lengan.

Berkat tindakan nekatnya, Jisoo berhasil menciptakan jarak antara dirinya dan Sehun. Napas wanita itu terengah dengan keringat yang mengalir entah sejak kapan. Sementara Sehun tidak terlihat lelah sama sekali, meski dia juga berkeringat.

Keduanya kembali menyerang satu sama lain. Kali ini, pertarungan menjadi lebih sengit karena tidak ada satu pun dari keduanya yang ingin kalah.

Sehun kembali memimpin pertarungan. Sekarang, dia sedang mencengkeram leher Jisoo, yang mendapatkan perlawanan sengit.

Jisoo yang tidak ingin dikalahkan lagi mencoba untuk meninju wajah Sehun. Sialnya, wajah laki-laki itu masih tampan meski dipukul dengan kekuatan penuh. Dia kembali menyerang dengan memukul lengan Sehun menggunakan siku. Sayangnya, kekuatan cengkeraman Sehun masih tidak melonggar.

Jisoo memutar tubuh untuk membelakangi Sehun, kemudian menendang laki-laki itu tanpa melihat lagi arah sasarannya. Lalu, kembali menghadap Sehun dan memberikan pukulan di wajah kekasih Lisa untuk kedua kalinya.

Harus Sehun akui kalau serangan Jisoo tadi lebih kuat dari sebelumnya. Dia bisa merasakan keseriusan Jisoo dalam upaya mengalahkannya, tapi Sehun tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Dia merenggut kasar rambut Jisoo ketika wanita itu sudah sepenuhnya melepaskan diri dan mencoba untuk menyerangnya di bagian titik vital. Kemudian, membanting wanita itu ke tanah.

Dari kejauhan, lagi-lagi ada Hae-in yang memerhatikan sesi latihan Jisoo dan Sehun. Laki-laki itu tahu kalau sang adik tidak akan berbelas kasih pada Jisoo. Namun, diam-diam dia meringis ngeri karena mengkhawatirkan kondisi tubuh Jisoo.

Hae-in yakin kalau memarnya pasti akan lebih banyak dari kemarin.

"Meski ini hanya latihan, tapi tetap saja aku tidak suka melihatnya. Terlebih lagi posisi itu!"

Sebuah suara yang penuh dengan kejengkelan datang dari punggung Hae-in. Laki-laki itu tidak menoleh untuk mencari tahu dan membiarkan sosok itu mengambil tempat kosong di sampingnya.

Lisa.

Wanita itu menatap dengan sengit ketika Jisoo menduduki perut Sehun sambil melayangkan serangan yang bertubi-tubi. Sebelum akhirnya, Sehun membalikkan posisi mereka setelah melingkarkan kakinya di tubuh Jisoo.

Keduanya bergumul panas di atas tanah. Namun, bukan untuk melepaskan hasrat yang membakar dan mencapai puncak kenikmatan bersama, melainkan untuk mengalahkan satu sama lain.

"Pergilah kalau kau tidak ingin melihatnya." Hae-in menyahut dingin tanpa melihat ke arah Lisa. Memangnya siapa yang meminta wanita itu datang dan melihat?

"Apa kau tidak takut membiarkan mereka seperti itu?" Lisa bertanya dengan penuh keseriusan setelah menyaksikan betapa sengitnya Sehun dan Jisoo berlatih saat ini.

"Takut kenapa?" Hae-in menoleh dengan alis yang berkerut bingung. "Apa kau pikir, mereka akan saling jatuh cinta setelah latihan ini?"

"Mereka sedang berusaha untuk membunuh satu sama lain, Oppa! Apa kau tidak melihatnya?" Lisa memekik jengkel saat tidak mendapati kekhawatiran di wajah Hae-in.

Terhitung sudah satu jam lebih lamanya Jisoo dan Sehun bertarung tanpa henti. Kini, wajah mereka sudah dipenuhi lebam, juga beberapa luka robek akibat serangan yang brutal.

"Kalau wanita itu yang mati, aku tidak peduli. Tapi kalau itu Sehun, maka—"

"Kau akan membunuh Jisoo sebagai gantinya?" Hae-in memotong cepat kata-kata Lisa dan mencoba untuk melengkapi kalimat wanita itu yang belum terselesaikan.

"Ya." Lisa menjawab tanpa ragu.

Dia tahu kalau membunuh Jisoo pasti bukan hal yang mudah, tapi kalau dia sampai kehilangan Sehun karena penyusup sialan itu, maka Lisa tidak akan ragu menukar nyawanya demi sebuah balas dendam.

Namun, Lisa salah karena mengkhawatirkan Sehun. Wanita itu lupa siapa Sehun sebelumnya. Tidak mungkin si Anjing Gila mati di tangan wanita seperti Jisoo.

Kalau saja Sehun bisa mengalahkan belasan anggota gangster sendirian, lalu kenapa dia harus mati di tangan Jisoo pada saat sesi latihan bertarung?

"Kau tidak perlu khawatir," kata Hae-in menenangkan. Lalu, kembali melihat sudah sejauh mana usaha Jisoo untuk mengalahkan Sehun. "Baik Sehun maupun Jisoo, keduanya tidak akan membunuh satu sama lain. Tidak peduli seberapa besar mereka saling membenci."

Lisa tidak mengerti kenapa Hae-in bisa seyakin itu. Karena dari apa yang dia lihat, Sehun dan Jisoo jelas memiliki potensi untuk membunuh satu sama lain. Wanita itu baru akan bertanya ketika suara panik Min-gyu dari belakang punggungnya menyela dengan penuh kekhawatiran.

"Mr. J!"

Sosok yang dipanggil menoleh, begitu juga dengan Lisa yang penasaran.

"Ada seseorang yang mengirimkan paket untukmu. Sopir yang datang mengantarnya langsung bunuh diri dengan menyayat lehernya."

Raut wajah Hae-in yang tadinya tenang langsung berubah menjadi kaku. Dia sedang menduga siapa kiranya yang memberikan hadiah padanya pagi ini.

"Apa isi paketnya?"

Min-gyu menggeleng. "Aku belum membukanya. Melihat sopir itu yang langsung bunuh diri ketika kami hendak mengecek paket yang dia katakan, aku jadi ragu untuk membukanya tanpa izinmu."

"Memang paketnya berbentuk apa?" tanya Hae-in penasaran.

"Sebuah peti."

Hae-in mengangguk dalam gumam. "Pasti mayat."

Min-gyu tidak menjawab, meski dia memiliki pemikiran yang sama dengan sang pimpinan saat ini.

"Bawakan saja ke sini," titah Hae-in.

Min-gyu menyanggupi dengan anggukan. Kemudian, pergi dari hadapan Hae-in untuk melaksanakan perintah sang pimpinan.

Pimpinan Chimera itu tampak menyugar rambut ketika Lisa menoleh ke arahnya. Wajahnya tidak terlalu menunjukkan kekhawatiran yang besar.

Peti dibawa ke arena tembak dengan enam orang yang menggotongnya.

Sehun yang melihatnya menahan tangan kanan Jisoo yang ingin menyerang. "Tunggu."

Jisoo yang sedang berapi-api terlihat bingung, tapi kemudian mengikuti arah pandangan Sehun. Dia ingin tahu apa yang membuat laki-laki itu menghentikan serangannya dengan cara yang sopan.

Peti yang dibawa kemudian diletakkan di samping Hae-in dengan perlahan.

"Mari berhenti sampai di sini," kata Sehun seraya melepaskan tangan Jisoo. Dia tidak menunggu tanggapan dari lawan bicaranya dan langsung menghampiri peti yang membuatnya penasaran setelah diberikan handuk dan sebotol air oleh anggota Chimera.

Dalam perjalanan yang singkat itu, Sehun menyempatkan untuk menyirami kepalanya yang terasa panas dengan air. Juga mengusap wajah dengan handuk untuk menghilangkan kotoran yang menempel di sana, serta darah akibat pertarungan tadi.

Jisoo pun melakukan hal yang hampir sama persis. Dia menyeka wajahnya dengan handuk untuk menyingkirkan sisa darah yang menempel dengan keringat sambil berjalan mendekati kerumunan.

"Apa itu?" Sehun bertanya saat sudah sampai di samping Hae-in.

"Kejutan, kurasa," sahut Hae-in setengah acuh. Laki-laki itu kemudian menatap Min-gyu dan hanya menggerakan sedikit kepalanya untuk memerintahkannya agar membuka peti itu.

Peti dibuka dan tebakan Hae-in tidak salah. Isinya adalah mayat terbakar, yang tidak lain adalah mayat palsu yang malam itu Hae-in bawa untuk Tiger.

Namun, ada sedikit perbedaan saat ini. Kalau sebelumnya mayat wanita itu dalam keadaan utuh, maka kali ini sebelah tangan dan kakinya tidak ada. Tangan kanannya dipotong sampai siku dan kakinya dipotong sampai lutut, dengan potongan tubuh yang diikutsertakan dalam peti.

"Ini pasti ulah laki-laki itu, kan?!" Sehun menebak dengan suara berapi-api. Tatapannya tampak tajam saat menatap Hae-in.

Jisoo memanjangkan sedikit lehernya untuk melihat seperti apa kondisi mayat yang menjadi mayat penggantinya saat itu. Kalau dilihat sekilas, postur tubuhnya memang mirip dengannya, tapi Tiger jelas tidak akan tertipu begitu saja.

"Ini adalah sebuah peringatan." Jisoo membuka suara ketika Hae-in dan anggota yang lain masih diam karena tidak ada berani mendahului sang pimpinan. "Yang artinya adalah 'Kau yang selanjutnya'."

Semua mata tertuju pada Jisoo setelah dia menyelesaikan kalimatnya. Wanita itu mendapatkan banyak tatapan tidak suka dari anggota yang lain karena dirasa ikut campur. Padahal dirinya hanyalah seorang pengkhianat.

"Menurutmu, apa rencananya setelah ini?" Hae-in bertanya dengan serius, ketika anggotanya yang lain menatap Jisoo sebagai sampah yang seharusnya tidak ada di antara mereka. "Kau mengenalnya cukup lama. Jadi, harusnya kau tahu seperti apa kebiasaannya, kan?"

"Yang jelas, dia akan menghancurkan apa pun yang dirasa tidak pantas untuk ada di dunia ini."

"Cih, memangnya dia Tuhan!" Sehun merespons dengan penuh ketidaksukaan. Matanya berputar jengkel karena merasa jawaban Jisoo terlalu berlebihan.

"Dia bukan Tuhan, tapi dia adalah seseorang yang tidak akan segan untuk membunuh siapa pun untuk mencapai tujuannya." Jisoo membalas tanpa melibatkan emosinya, seperti yang Sehun lakukan barusan. "Dan tujuannya adalah balas dendam, maka dia benar-benar menyelesaikannya sampai tidak bersisa."

"Kau pikir aku takut?" Sehun menyahut dengan berapi-api. Dia meludahkan rasa pahit di mulutnya karena pernyataan Jisoo yang lagi-lagi dirasanya sangat berlebihan.

"Kau mungkin tidak, tapi kekasihmu ...." Jisoo melirik Lisa yang berseberangan dengannya tanpa melanjutkan kata-katanya lagi. "Saranku adalah jangan meremehkan Tiger."

Hae-in menyimak semua yang Jisoo katakan tentang Tiger. Diam-diam, dia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tiba-tiba saja sangat mengganggunya.

Sehun mendekatkan wajahnya pada Jisoo dan hanya menyisakan jarak yang sangat sedikit. Kemudian menggeram. "Aku tidak peduli apa pun rencananya. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, bahwa dia harus mati!"

Jisoo mengangguk dengan senyuman. Dia sepenuhnya menyetujui rencana Sehun. "Tapi harus di tanganku."

Sehun tersenyum dengan sudut bibirnya. "Mari kita lihat siapa yang akan membunuhnya nanti."

Jisoo sungguh ingin marah karena keangkuhan Sehun, tapi menahan diri sebisa mungkin karena pandangan tidak suka yang menghujamnya terasa makin menusuk tajam. Jadi, wanita itu memilih untuk diam saat ini dan tersenyum dingin sebagai gantinya.

"Terlalu dekat. Tolong menyingkir!" Lisa mendorong bahu Jisoo agar menjauh dari Sehun. Padahal yang mendekati lebih dulu adalah laki-laki itu.

Jisoo yang sudah kesal merasa makin jengkel karena tingkah Lisa barusan. Tidak bisakah wanita itu berhenti cemburu untuk hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini?

Dilihat dari segi mana pun, dia dan Sehun tidak akan mungkin jatuh cinta satu sama lain. Jadi, tidak ada yang perlu Lisa cemaskan. Demi Tuhan!

"Sebaiknya kalian menyingkir kalau tidak ingin kotor." Jisoo mengatakan peringatan itu untuk semua orang yang mengelilingi peti dan mengambil langkah lebih dulu untuk menjauh.

Wanita itu memungut topinya yang tadi dia lemparkan ke tanah sebelum memulai sesi latihan dan menyelipkan helaian rambutnya di balik telinga.

Sayangnya, tidak ada yang mendengarkan saran Jisoo. Semua hanya menatap wanita itu sebagai pengkhianat yang keberadaannya seharusnya tidak perlu dihiraukan.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan pada mayat ini?" Min-gyu memberanikan diri untuk bertanya.

Hae-in mempertimbangkan apa yang harus dilakukannya. Haruskah dia mengembalikan mayat itu dan memotong lebih kecil lagi bagian tubuh itu?

"Kembalikan saja—" Hae-in tidak sempat menyelesaikan perintahnya ketika sebuah ledakan datang dari dalam peti dan meledakkan mayat yang sudah cacat itu.

Isi kepala dan perut meledak, mengotori semua orang yang masih mengelilingi peti, tidak terkecuali sang Pimpinan Chimera yang sedang menutup mata rapat-rapat saat ini. Tulang yang kokoh pun tampak pecah dan berserakan di mana-mana.

Lisa yang juga terkena cipratan darah dan usus yang bercerai-berai spontan memekik jijik.

Sementara Jisoo yang berada lebih dari 10 meter dengan peti itu tentu saja tidak terkena dampak apa pun. Dia hanya menatap dengan sedih karena semua orang yang tadi meremehkannya menjadi kotor.

"Kalau Chimera memiliki metode pemulihan yang terbaik, maka Flutter memiliki peledak yang tidak ada tandingannya." Jisoo berceloteh dari kejauhan. Bukan maksud ingin terlihat memihak Tiger, tapi yang dikatakannya tadi adalah 100% fakta. "Hanya butuh waktu 2 menit saja untuk meratakan tempat ini."

"Terima kasih atas informasinya." Sehun menggeram dengan tatapan sengit. Sebisa mungkin dia tidak membuka mulut terlalu lebar agar cairan menjijikkan yang juga mengotori wajahnya tidak sampai masuk ke mulutnya.

Jisoo tersenyum. "Sama-sama," katanya. Kemudian, wanita itu pergi dan meninggalkan semua orang yang terkena cipratan menjijikkan.

Saat kembali ke markas, Jisoo refleks masuk ke kamar Hae-in. Entah kenapa, rasanya Jisoo lebih nyaman dengan kamar yang ditempatinya bersama Hae-in, daripada di kamarnya sendiri.

Wanita itu menggulung rambutnya saat dalam perjalanan menuju kamar mandi. Lalu, melepas tank top untuk memeriksa berapa banyak memar yang didapatkannya hari ini.

Seperti yang Hae-in duga, memar Jisoo hari ini lebih banyak dari hari sebelumnya. Namun anehnya, Jisoo tidak benar-benar merasakan sakitnya seperti kemarin. Wanita itu merasa kalau latihan tadi imbang. Jadi, rasa sakit di tubuhnya tidak terlalu dia rasakan karena ada kepuasan tersendiri yang didapatkannya.

Saat Jisoo melihat punggungnya dari pantulan cermin, Hae-in datang tanpa suara sedikit pun dan melihat Jisoo yang hanya menggunakan sport bra dan jogger pants.

Hae-in menatap wanita itu sebentar, kemudian menanggalkan pakaiannya yang kotor. Tentu saja tujuannya pergi ke kamar mandi adalah untuk membersihkan tubuhnya yang kotor.

Tanpa memedulikan kehadiran Jisoo, Hae-in berjalan melewati wanita itu menuju bilik tempat pancuran yang transparan dengan tubuh telanjangnya.

"Benar-benar tidak tahu malu!" Jisoo menggerutu jengkel saat Hae-in mulai menyalakan pancuran dan membiarkan tubuhnya basah oleh air.

Kesal, Jisoo keluar dari kamar mandi dan membanting keras-keras pintunya. Wanita itu kemudian kembali ke kamar yang ditempatinya saat masih menjadi perawat—palsu—Hae-in.

Wanita itu berbaring menatap langit-langit kamar dan membiarkan memar di punggungnya tertekan. "Sebenarnya, apa yang Tiger sembunyikan dariku?" gumamnya. "Aku tahu kalau dia memanfaatkanku sejak awal, tapi untuk apa?"

Jisoo tidak tahu apa yang dimilikinya hingga Tiger melibatkan dirinya sampai sejauh ini. Apa tujuan awalnya memang hanya untuk menyakiti Hae-in? Atau justru itu hanyalah kebetulan yang menjadi jembatan Tiger untuk memudahkan jalannya dalam mencapai tujuannya?

"Argh, sial! Kepalaku pusing." Jisoo mendesah seraya menahan rasa sakit di kepalanya. Rasa pening tiba-tiba menyerangnya saat dia sedang berusaha mencari jawaban yang sebenarnya mustahil untuk ditemukan di dalam ingatannya.

Pada akhirnya, Jisoo jatuh tertidur karena rasa sakit kepalanya.

***

Seorang gadis kecil merintih kesakitan dalam tidurnya. Dia membalikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, dan terbangun dari mimpi buruknya dengan keringat yang memenuhi wajahnya.

Gadis kecil itu menoleh dan mendapati punggung seseorang laki-laki. Tanpa pikir panjang, dia melompat dan segera memeluknya dari belakang.

"Oppa, Haesoo takut. Tadi Haesoo bermimpi buruk." Gadis kecil itu segera memberitahu dan berharap semua mimpi buruknya tadi akan segera hilang. "Haesoo tidak mau tidur sendiri lagi."

Sosok yang Haesoo peluk berbalik dan balas memeluknya. Diusapnya kepala gadis kecil itu dengan sangat lembut.

"Sstt. Kau tidak perlu takut. Mulai sekarang, aku yang akan merawatmu." Dilihatnya dari caranya menenangkan Haesoo, laki-laki itu tampak sangat menyayanginya.

Dalam pelukan laki-laki dewasa itu, Haesoo mulai menangis. Dia terisak.

"Jangan tinggalkan Haesoo seperti yang oppa itu lakukan. Haesoo mohon."

"Tidak akan."

Jisoo membuka matanya dengan perlahan. Dia tidak tahu yang barusan dilihatnya tadi adalah mimpi atau ingatan masa lalunya. Tapi yang jelas, dia tidak tahu siapa laki-laki yang dipeluknya.

Apakah itu Hae-in? Atau justru malah Tiger?

"Sebenarnya apa yang aku lupakan?" Jisoo mendesah dengan lengan yang menutupi matanya. "Apa tujuan Tiger membawaku masuk ke dunianya? Apa dia hanya benar-benar ingin balas dendam atau ada tujuan yang lain?"

Ribuan pertanyaan terbang di kepala Jisoo dan hanya Tiger yang bisa memberikannya jawabannya. Jadi, haruskah Jisoo menemui Tiger dan menanyakan secara langsung?

Perasaan Jisoo masih diselimuti rasa ragu, tapi dia tetap mengayunkan kakinya untuk melewati tempat tidur dan berjalan menuju kamar Hae-in. Wanita itu perlu berbicara dengan sang Pimpinan Chimera.

Ketika tangannya terangkat untuk mengetuk pintu, benda itu sudah lebih dulu terbuka dan menampilkan sosok Hae-in di baliknya.

"Ada yang harus kubicarakan denganmu. Boleh aku masuk?"

Jisoo tidak terlihat terlalu panik. Namun suaranya terdengar agak mendesak dan tidak memberikan pilihan untuk Hae-in. wanita itu kemudian diizinkan masuk.

"Aku tidak tahu apakah aku bermimpi atau itu adalah ingatan masa laluku ..." Kali ini, suara Jisoo terdengar agak terburu-buru dan penuh dengan penekanan. "... tapi kupikir laki-laki itu adalah Tiger."

"Memangnya apa yang kau lihat?"

"Aku memeluk laki-laki dewasa dan dia mengatakan, 'Mulai sekarang, aku yang akan merawatmu'."

Apa yang Jisoo ceritakan bukan sebuah kisah panjang yang rumit, tapi Hae-in harus mencernanya berkali-kali untuk bisa memahaminya.

"Kau bilang, saat di panti asuhan ada seseorang yang beberapa kali pernah mengunjungimu, kan?" tanya Hae-in. Dia masih ingat betul kalau Jisoo pernah menceritakan hal itu. "Apa laki-laki yang kau lihat di mimpimu itu adalah seseorang yang mengunjungimu saat itu?"

Jisoo menggeleng keras, tampak frustrasi. "Aku tidak yakin. Di dalam mimpiku, aku tidak melihat jelas wajahnya. Yang kutahu hanya dia seorang laki-laki."

Hae-in mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan Jisoo di dalam kepalanya. Tapi jelas tidak menemukan apa-apa selain rasa ingin tahu yang sama seperti Jisoo saat ini.

"Kau sudah lama mengenal Tiger. Apa tidak ada sesuatu yang menurutmu janggal darinya? Seperti kebiasaan atau hal lainnya."

"Jelas ada banyak hal yang janggal darinya. Tapi aku tidak bisa mengingat apa-apa sekarang," sahut Jisoo apa adanya. "Sejak aku mengarahkan pisau padanya, dia bersikap sangat hati-hati padaku."

Hae-in menatap intens sosok Jisoo yang baru saja mendesah tidak senang. Wanita itu masih memiliki banyak teka-teki yang harus dipecahkan dan satu-satunya orang yang memberikannya jawaban hanyalah Tiger.

"Aku harus bertemu dengan Tiger." Jisoo mengutarakannya setelah memikirkan secara matang-matang. "Dan mengakhiri semuanya."

*******

Jangan berekspektasi terlalu tinggi tentang akhir dari lapak ini. karena sejujurnya daku juga bingung mau bawa lapak ini ke arah mana 🙈🙈

Untuk beberapa bulan terakhir bener-bener lagi nggak ada ide sama sekali. Entah karena terlalu sibuk sama cerita yang lain atau emang ini otak udah mulai kehabisan ide buat Mr. J sama Moora 🤧

Ada saatnya fokusku bener-bener sama cerita ini, tapi ada saatnya juga hasrat aku buat nulis cerita ini nggak ada sama sekali. Dan sekarang lagi hilang arah. Huhuhu.

Nyelesaiin ini chapter ini aja butuh 3 bulan.

Semoga aja buat chapter selanjutnya nggak makan waktu sampai 3 bulan lagi 🤣🤣🤣🤣

Dadah ~

23 Mei 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro