Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Masa Depan Chimera

Desember balik slow update lagi 🤣🤣🤣

Emang November bulan kesayangan sih. Jadi, effortsnya juga gede pas November doang. Sisanya lempeng seperti biasa.

Di chapter hari ini, mari kita liat ketika Jang Bersaudara ngobrol dari hati ke hati.

Happy reading~

"Kau sungguh ingin membunuhnya, bahkan kalau ternyata dia adalah kakakmu?"

Jisoo menanggapi keseriusan Hae-in dengan tatapan tanpa ekspresi. Dia sedang bertanya-tanya dalam hatinya apa maksud dari pertanyaan barusan.

"Apa maksudmu dia adalah kakakku?"

"Tiger mengatakannya malam itu. Dia bilang, aku sudah membunuh ayahnya dan aku juga membunuh adiknya. Adik yang dia maksud adalah kau."

Jisoo menggeleng, menolak tegas ucapan Hae-in yang menyatakan kalau dia adalah adik dari Tiger. "Aku bukan adiknya. Itu tidak mungkin!"

Hae-in merasa, Jisoo tidak terima dengan fakta yang baru saja dikatakannya. Wajah wanita itu bahkan penuh dengan penekanan, pertanda dia tidak suka dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Kenapa kau tidak percaya? Apa kau tidak sanggup untuk membunuh kakakmu?" Hae-in bertanya dengan keingintahuan yang jujur, tapi kesannya seperti dia baru saja mengejek wanita di depannya.

"Karena Tiger itu manipulatif!" Jisoo membalas dengan berapi-api. Dia tidak terima dengan tuduhan terakhir Hae-in. "Dia memanipulasiku selama hampir setengah hidupku. Jadi, apa kau pikir aku akan percaya padanya kalau dia mengatakan dia adalah kakakku?"

Hae-in mengangguk dengan embusan napas kasar. Sepertinya dia harus mengatakan semuanya pada Jisoo jika ingin mendapatkan jawaban yang tepat.

"Awalnya, aku juga tidak percaya. Tapi dia mengatakan pakaian apa yang kau pakai di hari kebakaran terjadi dan dia mengatakan kalau yang menyelamatkanmu saat itu adalah ayahmu. Ayah kalian."

Anggaplah Hae-in curang karena tidak menceritakannya secara lengkap saat ini. Laki-laki itu merasa perlu untuk menyimpannya sendiri dulu, sampai dia mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

Jisoo menggaruk ujung pelipisnya. Wanita itu masih mencoba untuk mengingat kejadian lengkap di hari kebakaran itu.

"Sial! Aku tidak ingat bagaimana caraku keluar dari pulau itu." Jisoo mengumpat tidak senang dan membuang pandangannya dari Hae-in. Dia menggeleng dengan keputusasaan yang memenuhi wajahnya. "Aku bahkan tidak tahu siapa yang menyelamatkanku dari kebakaran saat itu."

Sayangnya, Jisoo tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang Hae-in ajukan. Wanita itu tidak benar-benar ingat dengan semuanya.

"Tiger juga mengatakan kalau alasan kenapa kau berada di panti asuhan adalah karena dia yang sering kali mencoba untuk membunuhmu. Jadi, ayah kalian sengaja mengirimmu ke panti asuhan." Hae-in menambahkan penjelasannya guna membantu Jisoo mengingat masa lalunya.

Jisoo menggeleng, pertanda dia tidak memiliki ingatan itu di dalam kepalanya. "Selama ini, Tiger selalu memberikanku suntikan. Suntikan itu seperti menekan ingatanku secara perlahan. Apa yang kuingat hanyalah hal-hal yang Tiger inginkan."

"Dia benar-benar sudah memanipulasi dirimu!" Hae-in tampak marah saat ini. Matanya bahkan sudah melotot tajam. "Bajingan itu benar-benar seorang psikopat!"

"Itulah kenapa aku ingin membunuhnya." Jisoo menyahut ringan, tapi nada terdengar penuh dengan keseriusan.

"Jadi, apa saja yang kau ingat tentang masa kecilmu?"

Jisoo bergumam, mencoba untuk menggali ingatannya yang berada jauh dari jangkauannya. "Aku tidak yakin berapa usiaku saat itu, tapi sepertinya saat aku berada di panti asuhan, ada seorang yang pernah mengunjungiku beberapa kali."

"Apa yang dia katakan?" Hae-in bertanya dengan mata yang berbinar penuh harapan.

"Aku tidak tahu." Jisoo menggeleng penuh sesal. "Aku tidak ingat dengan wajahnya, bahkan jenis kelaminnya. Ingatanku terlalu kabur."

Hae-in terlihat tidak senang dengan jawaban Jisoo karena langsung memalingkan wajah. Jelas dia tidak puas dengan jawaban yang diberikan padanya barusan.

Laki-laki itu diam dan berkutat dengan pikirannya sejenak. Kemudian, turun dari tempat tidur guna mengambil kaus yang tadi dilemparnya, lalu memberikannya pada Jisoo.

"Tidurlah sekarang. Kau masih butuh istirahat. Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini nanti," kata Hae-in ketika Jisoo kembali memakai kausnya.

Jisoo menyadari perubahan suasana hati Hae-in yang tiba-tiba saja dilanda gundah. Wanita itu tahu kalau ceritanya tadi berhasil mengganggu pikiran Hae-in, hingga yang terdalam.

Namun, tidak bisa dipungkiri kalau Jisoo juga merasa terganggu dengan apa yang Hae-in katakan mengenai hubungannya dan Tiger.

Meski membantah tegas dengan mengatakan Tiger sangatlah manipulatif, tapi sebagian hati kecilnya memikirkan ulang perkataan Hae-in.

Bagaimana kalau ternyata dia dan Tiger memang bersaudara?

"Tidurlah." Hae-in menyentuh kepala Jisoo guna mengambil perhatian Jisoo yang tampaknya sedang tenggalam di suatu tempat. "Aku mau ke dapur sebentar untuk mengambil minum."

Perintah Hae-in tidak benar-benar Jisoo indahkan ketika laki-laki itu keluar dari kamar. Bukannya tidur, Jisoo malah kembali berkutat dengan pikirannya. Wanita itu mencoba untuk mengingat lebih jauh tentang masa lalunya. Namun, ingatannya benar-benar sangat terbatas saat ini.

Sehun yang kebetulan juga ingin mengambil air minum tidak sengaja melihat Hae-in yang masih duduk termenung, memandang kosong gelasnya yang sudah terisi penuh.

Dia tidak langsung menegur, melainkan mengambil air minumnya lebih dulu sambil memerhatikan sang kakak yang rupanya tidak menyadari keberadaannya.

"Hyung." Pada akhirnya, Sehun menegur juga. Namun, sebisa mungkin dia tidak mengejutkan Hae-in agar tidak dimarahi.

Kesadaran Hae-in kembali tanpa dia terlihat bingung saat ditarik keluar dari dalam pikirannya. Dia menoleh dan menatap adiknya setelah mengedip sekali.

"Melihatmu melamun di sini sendirian, apa dia sudah sadar?" Sehun bertanya hati-hati ketika mengambil duduk di seberang meja.

Sejak Jisoo dikeluarkan dari ruang pemulihan dan dirawat di kamar, Hae-in sama sekali tidak melangkahkan kakinya ke mana pun. Jadi, saat melihat laki-laki itu melamun di dapur, satu-satunya hal yang bisa Sehun pikirkan adalah Jisoo telah sadar.

Itulah kenapa akhirnya Hae-in bisa keluar dan melamun sendirian di dapur.

"Dia Haesoo." Hae-in memberikan pernyataan pada Sehun nyaris dengan bisikan lirih. Tatapannya tampak sendu, meski itu bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kekecewaan.

Sehun tidak bereaksi heboh dengan menjatuhkan gelas di tangan atau semacamnya. Laki-laki itu hanya menunjukkan keterkejutannya dengan kedua bola mata yang membulat, lengkap dengan kedutan di sudut matanya.

"Jadi, kenapa dia ingin membunuhmu kalau dia adalah Haesoo?" Pertanyaan Sehun terdengar gugup. Suaranya bahkan sempat bergetar saat menyebut nama Haesoo.

Hae-in menyugar rambut dengan embusan napas kasar. "Dia bilang, dia tidak ingat dengan semua kenangan masa kecilnya ketika diberikan misi untuk membunuhku. Kenangan masa kecilnya muncul baru-baru ini setelah kami bertemu."

Sehun mencoba untuk memahaminya dengan anggukan kecil dan berusaha untuk tidak terlihat terlalu gugup. "Kalau begitu, apa kau sudah bertanya mengenai hubungan yang Kim Jaejoong katakan malam itu?"

"Aku hanya mengatakan tentang mereka berdua yang kemungkinan adalah saudara satu ayah, tapi tidak mengatakan tentangku yang juga mungkin adalah saudaranya."

Ketika memberikan jawaban, Hae-in mencoba untuk mengatakannya dengan santai. Meski pada kenyataannya dia sangat terganggu dengan adanya kemungkinan itu.

"Tapi, Hyung ...." Sehun memberikan jeda beberapa saat sambil menatap intens sosok di depannya untuk sekadar mencari tahu lebih banyak dalam ekspresinya. "Apa kau percaya dengan apa yang Kim Jaejoong katakan saat itu?"

"Aku merasa kalau dia sangat manipulatif dan tidak ada satu pun dari ucapannya yang bisa dipercaya." Sehun menambahkan tanpa mencoba untuk menggurui sang kakak. Dia hanya sekadar mengutarakan pendapatnya.

Hae-in pun mengakuinya, terlebih lagi setelah dia mendengar banyak cerita dari Jisoo.

Namun, pernyataan Tiger yang mengatakan kalau mereka bertiga adalah saudara satu ayah benar-benar tidak bisa Hae-in singkirkan dari dalam kepalanya hingga detik ini.

"Jika kau yang berada di posisiku saat ini, apa yang akan kau lakukan?" Hae-in bertanya pada Sehun untuk sekadar mengajaknya bertukar pikiran.

Sehun berpikir sejenak, lalu memberikan jawaban yang begitu meyakinkan. "Aku akan melakukan tes DNA dengannya untuk membuktikan apakah kami benar-benar memiliki darah yang sama atau tidak."

"Lalu, kalau hasilnya ternyata kalian benar-benar bersaudara. Apa kau bisa melepaskan Lisa dan menjadikannya saudaramu sepenuhnya?"

Pertanyaan ini sungguh menjebak! Bahkan Dewa pun tidak akan bisa menjawabnya dalam hitungan detik. Namun, Sehun menemukan jawabannya kurang dari 5 detik.

"Lebih baik aku mati daripada harus hidup bersama Lisa sebagai saudara sedarah!" Sehun menjawab dengan nada yang tiba-tiba penuh penekanan. Mendadak dia rasanya ingin marah karena diajukan pertanyaan seperti barusan.

"Itulah yang aku pikirkan," balas Hae-in dengan senyum kering di wajahnya. "Kupikir, aku akan membunuh kakak laki-lakiku dulu, kemudian bunuh diri dan membiarkan adik perempuanku hidup sebatang kara—lagi."

Sehun tidak tahu seberapa serius Hae-in mengatakannya saat ini. Namun, dia mengantisipasi dengan begitu ketat. Laki-laki itu sama sekali tidak bisa menebak apakah Hae-in hanya asal bicara atau benar-benar merencanakan hal itu kalau memang benar adanya apa yang Tiger katakan tempo hari.

"Jadi, apa rencanamu sekarang, Hyung?" Sehun bertanya ketika Hae-in kembali memusatkan pandangannya pada gelas. "Apa kau puas dengan situasi yang tidak kau ketahui seperti ini?"

Hae-in memikirkan jawaban untuk Sehun sambil menjilat bibir. Tentu dia tidak akan membiarkan situasi ini larut lama-lama. Pimpinan Chimera itu bermaksud untuk memutuskan semua permasalahan ini secepat mungkin.

"Apa kau keberatan kalau markas ini berubah menjadi arena perang?"

Alis Sehun berkerut bingung, dengan ketidakpercayaan yang tampak memenuhi mata ketika dia memiliki pemikirannya sendiri. "Kau bermaksud untuk membuatnya menyerang tempat ini?"

Hae-in mengangkat bahu. "Kalau kau tidak keberatan tempat ini hancur."

Sehun menggeleng. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk menyatakan penolakan atas pertanyaan Hae-in sebelumnya. "Terlalu sulit untuk mencari tempat persembunyian seperti ini, Hyung. Kalau tempat ini hancur, di mana lagi kita harus mencari tempat yang aman untuk bersembunyi."

Hae-in menjilat bibirnya dengan ragu-ragu. Jarang-jarang dia memperlihatkan sikap seperti ini di hadapan sang adik sejak dirinya resmi menjadi Pimpinan Chimera.

"Sehun, tidakkah kau pikir ini semua melelahkan?"

"Apanya yang melelahkan?" Sehun membalas dengan kerutan yang tampak tebal di keningnya. Lengkap dengan nada protes karena tidak mengerti dengan arah pembicaraan saat ini.

Hae-in menggeleng samar, lalu sebisa mungkin menghindari tatapan Sehun ketika memberikan jawaban. "Entahlah, tiba-tiba saja aku merasa kalau sudah waktunya untuk Chimera bubar."

"Kita sudah balas dendam, juga sudah memiliki kekayaan yang melimpah sekarang dan aku telah menemukan Haesoo-ku. Jadi, tidakkah kau pikir kalau kita seharusnya berhenti sampai di sini saja?"

Hae-in membentangkan pembicaraan yang begitu serius di hadapan adiknya, setelah sebelumnya mereka terlibat ketegangan yang hampir merusak tali persaudaraan mereka.

"Kau ingin membubarkan Chimera? Melepaskan orang-orang yang setia dan mempercayakan seluruh hidup mereka padamu dan mempertaruhkan nyawa untuk melindungimu?" Sehun memastikan dengan mata yang bergetar kecil dan kerutan protes yang lagi-lagi memenuhi wajahnya.

Hae-in mengembuskan napas kasar. Melihat respons Sehun saat ini, sudah jelas kalau adiknya itu tidak setuju kalau Chimera dibubarkan begitu saja setelah mereka mencapai di tempat yang setinggi ini.

"Hyung, apa yang terjadi padamu? Kenapa tiba-tiba kau berpikir seperti itu?!" Nada suara Sehun tidak sengaja meninggi karena merasa tidak terima apa yang sang kakak katakan sebelumnya.

Jujur saja, Hae-in sendiri tidak tahu kenapa dia tiba-tiba bisa mengajukan pertanyaan seperti itu pada Sehun. Dia hanya mengatakannya secara spontan—atau Hae-in diam-diam terpengaruh oleh ucapan Lisa sebelumnya?

Pada akhirnya, Hae-in menggeleng dan tampak menyerah atas desakan adiknya. "Entahlah, Sehun. Rasanya seperti aku tidak bisa berpikir jernih sekarang."

"Kalau begitu jangan berpikir saat pikiranmu sedang kusut dan sembarangan mengambil keputusan!" Sehun menyahut dengan berapi-api dan membiarkan suaranya menggema di dapur. "Hyung, ada banyak kehidupan yang bergantung padamu, termasuk aku dan Lisa."

"Jadi, setidaknya pikirkanlah orang-orang di sekitarmu sebelum kau mengambil keputusan!" Sehun mengingatkan dengan penegasan penuh.

Biarlah dia dikatai adik durhaka karena mencoba untuk menekan kakaknya sendiri. Namun, yang Sehun lakukan saat ini bukan semata-mata untuk kepentingannya sendiri, melainkan kepentingan banyak orang.

Kalau Hae-in pikir-pikir lagi, Sehun memiliki jiwa kepemimpinan yang jauh lebih kuat darinya. Laki-laki itu tidak terlalu suka memerintah, tapi selalu tahu caranya bertindak sebagai pemimpin yang penuh dengan tanggung jawab.

Diam-diam juga, Hae-in memikirkan ambisi Lisa sebelumnya yang membuat wanita itu nekad menyabotase mobilnya 3 tahun yang lalu.

Apa sebaiknya Hae-in mundur saja dari posisinya dan memberikannya pada sang adik? Dengan begitu, tidak akan ada yang harus dikorbankan, kan?

"Aku mengantuk. Aku ke kamar dulu." Hae-in mengambil gelasnya tanpa ingin membuat kontak mata dengan sang adik.

Laki-laki itu bersikap seolah dia tidak memikirkan apa-apa saat menatap mata Sehun yang tampak berapi-api ketika sedang meyakinkannya.

Dan api di mata Sehun masih berkobar, bahkan ketika yang ditatapnya saat ini hanyalah punggung sang kakak yang sudah menjauh.

Saat Hae-in kembali ke kamar, Jisoo masih terjaga dalam posisi duduk yang tidak jauh berbeda ketika ditinggal tadi.

"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidur? Kenapa kau masih saja duduk dan membuka kedua matamu itu?" Hae-in bertanya dengan nada protes yang terdengar kental ketika memasuki kamarnya.

"Bagaimana rasanya ketika kau menyuruh seseorang untuk tidur, tapi dia tidak mau mendengarkanmu?" Jisoo menyahut dengan nada yang kurang lebih terdengar angkuh di telinga Hae-in.

"Jadi, kau sedang balas dendam padaku?"

"Tidak. Aku hanya bertanya padamu." Jisoo membalas dengan senyum seolah-olah dia tidak pernah membuat Hae-in kesal 2 detik yang lalu karena pertanyaannya. "Sebenarnya, aku tadi sudah ingin tidur, tapi ada sesuatu yang ingin aku tanyakan lagi padamu."

Hae-in menggeram di dalam mulutnya dan menahan diri untuk membanting gelasnya ke meja. "Tidak bisakah kau menanyakannya nanti saja? Kau sudah terlalu banyak bertanya tahu!"

"Apa yang akan kau lakukan kalau Tiger datang dan menyerang tempat ini?" Faktanya, geraman Hae-in tidak membuat Jisoo menurut dan menahan pertanyaannya. Justru wanita itu malah mengatakannya tanpa rasa takut.

"Membunuhnya."

Karena Jisoo bertanya tanpa mempertimbangkan perintah Hae-in, maka Hae-in pun menjawab tanpa mempertimbangkan keinginan Jisoo.

"Hidup dan matinya adalah milikku." Jisoo membalas dengan gigi gemertak. Berharap Hae-in tidak akan melupakannya lagi.

"Kalau begitu, aku akan mematahkan tangan dan kakinya, meledakkan kepalanya, kemudian membuang mayatnya ke danau belakang." Berbeda dengan Jisoo yang menjawab dengan gigi gemertak, Hae-in menjawab dengan nada yang kelewat ceria saat ini.

Sayangnya, jawaban itu membuat Jisoo geram setengah mati, hingga ingin melayangkan tangannya pada Hae-in. Namun, pergerakannya ditahan agar tidak menyerang siapa pun.

"Jangan sia-siakan tenagamu untuk memukulku. Lebih baik simpan semuanya untuk membunuh laki-laki berengsek itu." Hae-in mengingatkan dengan sungguh-sungguh. Kemudian menaruh tangan Jisoo dengan hati-hati.

Lalu, laki-laki itu mendorong kening Jisoo dengan jari telunjuknya agar segera berbaring.

Kali ini, Jisoo pasrah atas perlakuan Hae-in padanya. Wanita itu tidak melakukan perlawanan lagi dan segera mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Hae-in sendiri pun mengambil tempat kosongnya lagi di samping Jisoo tanpa meminta izin atau sekadar basi-basi. Toh, semua yang ada di markas ini adalah milik Hae-in. Jadi, laki-laki itu tidak membutuhkan izin siapa pun untuk melakukan apa pun.

Keduanya tidak memiliki status hubungan yang jelas. Tapi sepertinya tidur bersama adalah sesuatu yang sudah seharusnya mereka lakukan untuk saat ini dan seterusnya.

"Tidur," titah Hae-in ketika Jisoo menatapnya dalam diam.

Tanpa memberikan respons berupa kata, Jisoo segera berbalik untuk memunggungi Hae-in. Sementara Hae-in tidak ingin ambil pusing dengan sikap Jisoo saat ini. Laki-laki itu memilih untuk berbaring menatap langit-langit sambil melipat kedua tangannya di atas dada.

Beberapa menit berlalu, tapi Hae-in masih terjaga. Dia kemudian menyadari adanya pergerakan kecil di sampingnya.

Ketika menoleh, Hae-in mendapati tubuh Jisoo yang mulai merapat padanya. Sampai akhirnya, punggung wanita itu benar-benar menyentuh lengannya.

"Kalau kau ingin dipeluk, tinggal bilang saja. Tidak perlu diam-diam seperti ini." Hae-in mengejek dengan tawa tertahan. Sebelah tangannya menyelinap di bawah lengan Jisoo.

"Aku tidak memintamu untuk memelukku," bantah Jisoo ketika sebelah tangan Hae-in melingkar di depan dadanya untuk memeluk lengannya yang lain.

"Tapi tubuhmu menginginkannya, kan?" sahut Hae-in dengan decihan yang mengejek.

Jisoo tidak menjawab, tapi ketika sebelah tangan Hae-in yang lain memeluknya di perut, wanita itu membalas pelukannya dengan sedikit ragu.

Rupanya, masih ada sesuatu yang mengganggu pikiran Jisoo, hingga detik ini. Wanita itu masih menyimpan sejuta pertanyaan di dalam kepalanya.

"Mr. J, kalau aku bukan Haesoo, apa kau akan tetap memelukku seperti ini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Jisoo ketika Hae-in mengusap-usap punggung tangannya dengan ibu jari. "Apa kau akan tetap menyelamatkanku?"

"Kenapa kau bertanya?" Hae-in membalas dengan keingintahuan juga. "Apa kau keberatan kalau aku melakukan semua ini karena kau adalah Haesoo?"

"Tidak." Jisoo menjawab dengan sangat singkat. Suaranya penuh dengan keyakinan kalau dia tidak masalah dengan hal itu. Namun, tidak dengan sorot matanya saat ini. "Aku hanya ingin tahu saja."

"Tidurlah, Han Jisoo," kata Hae-in seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh Jisoo. "Kau masih memiliki banyak waktu untuk bersamaku. Jadi, lakukan saja semuanya dengan perlahan. Tidak perlu terburu-buru."

Anehnya, ketika Hae-in memanggilnya dengan nama yang bukan miliknya, Jisoo malah tersenyum tanpa disadarinya.

Dibandingkan dengan nama Haesoo atau Moora, sepertinya wanita yang memiliki panggilan Agen 396 saat masih menjadi peserta pelatihan di Flutter itu, lebih menyukai nama perawat yang dicurinya untuk mendekati sang Pimpinan Chimera.

Pelukan di tubuh Jisoo makin erat. Punggungnya pun makin rapat dengan dada laki-laki di belakangnya. Dan sekarang, Jisoo bisa merasakan kalau wajah Hae-in menyelinap di antara rambut-rambutnya.

"Selamat tidur," kata Hae-in.

"Hmm, selamat tidur," balas Jisoo dengan bisikan samar.

Terpantau, yang baper duluan itu Moora, bukan Mr. J 🤣🤣🤣🤣

Lubuk hatinya nggak rela kalau dia dianggap Haesoo. Padahal mah emang dia Haesoo.

Besok kita lanjut kerusuhan interaksi Moora sama Mr. J, ya.

Dadah~

12 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro