19. Agen 396
Kayaknya update beberapa minggu belakangan ini agak lumayan lancar dari bulan-bulan sebelumnya, ya.
Biasanya sebulan sekali baru update, kadang juga nggak ada update. Ini sebulan bisa 2x update tuh kayaknya WOW banget nggak sih, gaes 🤣🤣🤣🤣
Dan ini tuh tembus 5000 kata. Jadi, pasti pantat atau punggung kalian panas selama baca chapter ini.
Tapi kalau kalian cari momen penyesalan Mr. J setelah ketemu Tiger, monmaap aja nih, Mr. J absen dulu di chapter ini. Karena kalian harus wisata masa lalu dulu bersama Tiger – Moora 😗😗😗
Happy reading~
Ketika bertemu dengan Tiger untuk pertama kali, Jisoo kala itu berusia kurang lebih 13 tahun. Gadis itu berjalan tanpa tujuan dalam balutan pakaian yang tampak sangat lusuh.
Tubuhnya kurus, pipinya pun tampak tirus, dengan kedua mata yang tampak menonjol ke dalam. Gadis itu jelas tidak merawat dirinya dengan baik karena terlihat mengerikan. Berbanding terbalik dengan beberapa gadis dengan seragam sekolah yang beberapa kali berpapasan dengannya.
Berada di keramaian ketika orang-orang sedang sibuk karena berada di jam-jam untuk pergi bekerja atau sekolah, membuat gadis remaja itu tampak tidak nyaman. Dia menatap orang-orang di sekitarnya dengan tajam dan penuh antisipasi.
Karena terlalu sibuk melihat sekitarnya, Jisoo sampai tidak sadar kalau ada seseorang yang berjalan ke arahnya dan dengan sengaja menabraknya, Tiger, yang kala itu berusia awal 20-an.
Jisoo yang hampir terdorong mundur ditarik lengannya agar tidak sampai terjatuh oleh Tiger. "Hei, kau tidak apa-apa? Maaf, aku tidak sengaja."
Perhatian kecil yang Tiger berikan membuat Jisoo menarik tangannya dan mengambil langkah mundur. Namun, tatapan dan senyum yang Tiger berikan padanya saat ini seakan-akan menghipnotis Jisoo untuk tidak menghindar lagi.
Tiger memperhatikan Jisoo dari ujung kaki, hingga ujung kepala. Saat menyadari gadis remaja itu tidak mengenakan alas kaki, Tiger spontan melepaskan sepatunya meletakkannya di depan kaki telanjang Jisoo.
"Pakailah. Kau bisa terluka kalau berjalan tanpa alas kaki," kata Tiger dengan begitu ramah.
Jisoo menggeleng, menolak untuk menerima kebaikan hati Tiger, lalu mengambil langkah mundur.
"Aku memarkirkan mobilku di dekat sini. Jadi, kau bisa memiliki sepatuku." Tiger kembali berbicara saat Jisoo tidak meresponsnya dengan kata. "Ini sedang musim dingin. Jadi, pastikan kalau kakimu selalu hangat."
Tiger yang berusia 20-an tampak sangat ramah dan ceria. Wajahnya dipenuhi dengan kebaikan, yang membuatnya tampak makin tampan di usianya yang baru menginjak dewasa.
Namun, meski Tiger sudah memberikan banyak perhatian pada Jisoo, gadis itu tetap bergeming dan mengabaikan sepatu yang diberikan padanya. Dia hanya menatap laki-laki di depannya yang masih tersenyum ke arahnya.
"Aku pergi dulu," kata Tiger setelah dia benar-benar tidak mendapatkan respons dari Jisoo.
Gadis 13 tahun itu masih tidak merespons setiap kata yang Tiger katakan padanya. Namun, bereaksi dengan cepat saat Tiger membisikkan sesuatu padanya ketika akan melewatinya.
"Aku tahu siapa yang membunuh orang tuamu."
Pergelangan tangan Tiger langsung dicengkeram oleh Jisoo sebelum laki-laki itu menambahkan langkahnya. Gadis itu menoleh dan menatap tanpa ekspresi, yang Tiger balas dengan senyum penuh makna.
***
Hari-hari berlalu sangat cepat, dengan perubahan hidup yang signifikan juga. Jisoo yang tadinya tidak punya tujuan, kini hidup di asrama dengan ratusan remaja sepertinya. Dia mendapatkan pelatihan khusus untuk menjadi mesin pembunuh di masa depan.
Gadis itu belajar menembak, belajar juga bertarung dari Tiger setiap harinya, dengan atau tanpa senjata. Ada pula pelatihan fisik dengan memanjat, merangkak, berlari dan berenang. Setiap bulannya akan ada evaluasi untuk mengetahui kualifikasi setiap agen.
Di tahun pertama, Jisoo selalu menjadi urutan terbawah di antara peserta pelatihan lainnya. Namun, Tiger tidak pernah memarahinya atau mengatakan laki-laki itu menyesal telah membawa Jisoo bersamanya.
Apa yang Tiger katakan justru membuat Jisoo menanamkan tekadnya untuk menjadi urutan pertama.
"Kau akan mendapatkan tugas pertamamu kalau evaluasimu mengalami peningkatan yang pesat. Kau tahu apa tujuanmu dilatih di sini, kan?"
Sejak saat itu, Jisoo berlatih lebih keras dari siapa pun untuk mengejar ketertinggalannya.
Gadis itu tidak peduli kalau tangannya terluka saat dia terlalu banyak latihan menembak, tidak peduli ketika kakinya terkilir, bahkan dia tidak peduli dengan cedera di bahunya karena harus mengejar poin teman-temannya dalam kategori memanah.
Pelan tapi pasti, Jisoo berhasil mengejar ketertinggalannya dalam setiap kategori. Gadis itu merangkak dari posisi bawah untuk menempati urutan pertama di setiap kategori dalam 3 tahun masa pelatihan.
"Hei, Tiger, apa aku boleh ikut dengan tim Golden Spoon besok. Kudengar mereka memiliki misi di Chonju lusa nanti."
Jisoo yang seharusnya masih berada di bangku sekolah untuk menimba ilmu, justru malah sibuk beradu tembakan dengan Tiger di sebelahnya.
Tiger yang sedang mengeluarkan magazin pistolnya segera menatap sosok di sampingnya. "Dari mana kau tahu kalau mereka memiliki misi lusa nanti?"
Jisoo mengatupkan bibirnya sebentar. "Aku menguping pembicaraan mereka. Maaf."
"Sudah kukatakan kalau menguping itu tidak baik, Agen 396." Tiger mengingatkan dengan embusan napas pelan.
"Aku tahu. Maka dari itu aku meminta maaf padamu," kata Jisoo mengakui kesalahannya. "Aku hanya penasaran."
Tiger tidak menanggapi permintaan maaf Jisoo dan malah memasukkan magazin baru agar bisa lanjut menembak papan kertas yang bergerak di depan sana.
"Jadi, kapan aku akan mendapatkan misi pertamaku? Ini sudah 3 tahun, Tiger." Jisoo mencoba untuk membawa obrolannya saat ini menjadi lebih serius. "Aku sudah menjadi yang terbaik selama setahun belakangan ini. Tapi kenapa kau belum juga memberiku misi? Agen 286 bahkan sudah lebih dulu mendapatkan misi pertamanya. Padahal peringkatnya jauh di bawahku."
Jujur saja, Jisoo kesal karena selama 3 tahun pelatihannya dan membuktikan diri bahwa dirinya adalah yang terbaik di antara peserta pelatihan yang lain, dia tetap belum diberikan misi pertama.
"Hei, kalau saja kau tidak membuat keributan 2 minggu lalu dan hampir menghancurkan ruang persenjataan, Manor tidak akan pergi untuk misi malam ini, tapi kau."
"Tapi itu sepenuhnya salah Manor, Tiger!" sanggah Jisoo berapi-api. Jelas dia tidak terima karena dibilang membuat keributan. "Dia mengejekku lebih dulu!"
"Kau tahu Manor seperti apa. Jadi, kenapa kau masih terpancing dengan semua ocehannya?" Tiger bertanya dengan penuh keseriusan.
Saat keributan itu terjadi, Tiger tidak ada di tempat dan sampai detik ini, dia masih belum mengetahui apa akar dari masalah yang menelan biaya lebih dari 100 juta won hanya untuk perbaikan saja.
"Dia mengatakan kalau aku tidak lebih baik darinya. Evaluasiku membaik bukan karena kemampuanku yang meningkat, tapi karena aku merayumu. Dia bilang aku tidur denganmu untuk mendapatkan tempat pertama!" Jisoo memuntahkan kemarahan yang sebenarnya masalah ini tidak ingin dibahas lagi. "Kau pikir, bagaimana aku bisa menahan semua omong kosongnya, Tiger?!"
"Kau adalah yang paling tahu betapa aku berusaha keras untuk mendapatkan tempat pertama, selain aku sendiri." Jisoo menambahkan dengan sangat berapi-api. "Jadi, bagaimana aku bisa diam saja setelah dia menuduhku menjadi pelacurmu hanya untuk mendapatkan tempat pertama?!"
Teriakan Jisoo barusan cukup mengejutkan bagi Tiger, tapi tidak sampai membuat laki-laki itu tersentak mundur. Dia hanya sedikit membulatkan matanya saja karena amarah yang meluap-luap itu.
"Inilah masalahmu. Kau masih saja tidak bisa mengendalikan emosimu, Agen 396." kata Tiger dengan gelengan kecil setelah Jisoo puas meluapkan kemarahannya. "Memang benar kalau kau berhasil membuktikan kau layak berada di sini, tapi emosimu masih sangat labil. Kau mungkin berada di tempat pertama dalam semua kategori, tapi pengendalian emosimu sangat buruk."
"Itulah yang menjadi pertimbanganku selama ini untuk memberikanmu misi." Tiger mengatakan yang sejujurnya, tanpa ada kebohongan sedikit pun. "Emosimu yang tidak stabil hanya akan membahayakanmu dan aku tidak ingin itu terjadi."
Tangan Jisoo mengepal kuat di samping tubuh. Tatapannya jelas terlihat marah karena disinggung masalah emosinya yang tidak stabil.
Tiger meletakkan pistolnya dan menghampiri Jisoo, lalu mengusap pipi gadis itu dengan sebelah tangan. "Aku pasti akan memberikan misi pertamamu seperti yang aku janjikan. Tapi tidak dengan emosimu yang masih labil seperti remaja."
"Kapan?"
"Setelah aku yakin kalau kau siap untuk melakukan misi."
Jisoo mendecih dan mendorong Tiger agar menjauh darinya. "Persetan denganmu, Tiger!" umpatnya, lalu pergi meninggalkan Tiger.
Gadis itu kesal bukan main sekarang. Dia merasa kalau usahanya dalam 3 tahun ini untuk menjadi tempat pertama sama sekali tidak dihargai.
Namun, semarah-marahnya gadis itu, dia tetap membutuhkan Tiger untuk misi pertamanya. Tanpa laki-laki itu, dia tidak akan bisa balas dendam.
Jadi, yang harus dilakukannya adalah pergi memenuhi jadwal bulanan untuk mendapatkan suntikan sambil belajar mengatur emosinya.
***
"Ada apa? Manor bilang, kau memanggilku." Jisoo masuk ke ruangan pribadi milik Tiger, di mana laki-laki itu tampak menunggunya dengan wajah tampak serius. Seperti ingin memarahi seseorang.
"Kudengar, kau hampir berkelahi lagi dengan Manor beberapa hari lalu."
Jisoo mengembuskan napas kasar dengan mata yang diputar malas. Perkelahian yang Tiger bicarakan berbeda dengan perkelahian sebelumnya, yang sudah berlalu lebih dari 3 bulan lamanya.
"Aku tidak berkelahi lagi dengan Manor!" bantahnya berapi-api. "Dia sengaja memprovokasiku, tapi aku tidak melawannya. Aku bahkan membiarkan dia menginjak habis harga diriku dan membiarkan semua orang menertawakanku. Apa itu masih kurang? Apa menurutmu emosiku masih tidak bisa dikendalikan?"
Tiger membalas kejengkelan Jisoo dengan senyum. "Itulah yang ingin aku bahas. Mengingatmu berhasil menahan amarah atas provokasi Manor, aku berencana untuk memberikan misi pertamamu."
Mata Jisoo langsung berbinar cerah. Dia sudah menunggu saat ini untuk datang dan saat waktunya tiba, gadis itu benar-benar merasa sangat bersemangat.
"Katakan kapan aku harus melakukannya?"
"Sabar dulu, Sayang." Tiger menenangkan dengan tawa kecil. "Sebelum aku memberikan misimu, aku perlu mengujimu untuk tes terakhir."
"Apa? Sparing dengan Manor?" tanya Jisoo berapi-api. Matanya tampak sangat antusias sekarang. "Aku akan melakukannya dengan senang hati."
Tiger menggeleng kecil dengan sudut bibir yang melengkungkan senyum gemas untuk gadis di depannya. Kemudian, berjalan ke arah Jisoo hanya untuk mengusap kepalanya. "Ikut aku."
Jisoo mengikuti langkah Tiger dengan perasaan yang berbunga-bunga. Dia benar-benar tidak sabar untuk melakukan misi pertamanya.
"Tapi apa kau membawa pistolmu?" tanya Tiger saat mereka hampir memasuki lift.
"Aku meninggalkannya di kamar. Kau ingin aku mengambilnya?"
Tiger mengangguk dengan senyum. "Temui aku di lapangan belakang nanti."
Jisoo menyanggupi dengan anggukan dan segera berbalik arah untuk mengambil pistolnya seperti perintah Tiger.
Ketika memasuki lapangan, Jisoo disambut oleh seekor anjing berbulu cokelat kehitaman dengan mata kuningnya.
"Chichi~" Langsung saja Jisoo memeluknya dengan erat dan memberikan ciuman bertubi-tubi pada anjing jenis German Shepherd itu. "Oh, Chichi, aku merindukanmu."
Melihat tingkah menggemaskan Jisoo membuat Tiger lagi tersenyum. Dia memperhatikan dengan penuh kasih sayang.
"Baiklah, sudah cukup." Tiger mengambil alih Chichi dari pelukan Jisoo. "Kita harus segera melakukan tes terakhir untuk menentukan apakah kau sudah siap untuk misi pertamamu atau tidak."
Jisoo ingin protes, tapi tidak mengatakan apa-apa. Gadis itu pikir, dia bisa bermain dengan Chichi lagi setelah melewati ujian apa pun yang akan Tiger berikan sebagai uji coba terakhir kelayakannya.
Ketika Tiger melangkah menjauh, rekan Jisoo sesama peserta pelatihan mulai mengisi sisi lapangan yang semula kosong. Gadis itu sempat kebingungan dan bertanya-tanya, kenapa semua orang tiba-tiba berkumpul di sekitarnya?
Jauh di depan sana, Tiger sedang memberikan perintah pada Chichi untuk duduk dan tidak bergerak sebelum diperintahkan.
"Apa kau siap?"
Pertanyaan Tiger mengembalikan perhatian Jisoo, di mana Chichi sedang duduk di tengah lapangan atas perintah Tiger. Jaraknya sekitar 20 meter dari tempat Jisoo berdiri dan berada di satu garis lurus yang sama dengannya.
Jisoo melirik pistol di tangannya, lalu melirik ke arah Chichi. Kemudian, dia menatap Tiger yang berada agak jauh dari Chichi. "Tidak! Tolong jangan katakan kalau ujian terakhirku adalah Chichi." Jisoo menggeleng keras. Tatapannya tampak tidak percaya saat bertemu pandangan dengan Tiger.
Tiger mengangkat bahu. Laki-laki itu merasa tidak perlu menjelaskan lagi apa yang harus Jisoo lakukan saat ini.
"Tiger, aku tidak bisa!" Jisoo berteriak, menolak tegas ujian terakhir yang ingin Tiger berikan padanya hari ini. "Chichi adalah temanku. Bagaimana bisa aku menembaknya?"
"Saat menjalankan misi, tidak ada yang namanya teman, saudara atau pun keluarga. Semuanya adalah musuh!" Tiger mengingatkan dengan tegas. Bukan hanya untuk Jisoo, tapi juga untuk yang lainnya. "Bagaimana kau akan menembak targetmu kalau untuk menembak anjing saja kau tidak bisa?"
Sebelah tangan Jisoo mengepal kuat. Kalau itu anjing lain yang tidak dikenal, mungkin gadis itu tidak akan menolaknya, tapi Chichi? Bagaimana mungkin Jisoo melakukannya pada anjing yang sudah dianggap seperti temannya sendiri?
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya nanti." Tiger menambahkan dengan menatap para remaja-remaja yang dilatihnya selama ini. "Bisa saja seseorang yang berada di samping kalian 10 tahun lagi menjadi seseorang yang harus kalian bunuh. Jangan sampai pemikiran bodoh, 'dia teman sekamarku', 'dia mantan kekasihku', 'dia cinta pertamaku', membuat kalian goyah dan gagal dalam menjalankan misi hanya karena perasaan kalian yang tidak stabil!"
Pertanyaan Tiger barusan membuat semua orang saling melemparkan pandangan. Laki-laki itu benar, sekarang mereka semua adalah teman, saudara dan keluarga. Tapi saat menjalankan misi, tidak menutup kemungkinan kalau mereka akan melawan satu sama lain.
Tiger tidak melatih mereka untuk menjadi seseorang yang penyayang. Karena mesin pembunuh tidak seharusnya memiliki belas kasih.
"Semua pilihan ada di tanganmu, Agen 396." Tiger menatap Jisoo yang tampak sangat marah padanya saat ini. "Aku tidak akan memaksamu untuk melakukannya kalau kau memang tidak ingin."
Senyum lembut yang Tiger berikan harusnya membuat Jisoo bersyukur. Namun, gadis itu tahu kalau senyum yang diberikan bukanlah pertanda baik.
"Tapi sampai kapan pun, kau tidak akan pernah mendapatkan misi pertamamu. Tidak peduli kau menempati urutan pertama selama 10 tahun sekalipun, kau akan selalu tertinggal."
Sungguh kejam kata-kata yang Tiger ucapkan barusan. Laki-laki itu jelas baru saja merendahkan Jisoo di hadapan banyak orang, membuat tangan gadis itu menggenggam pistolnya semakin kuat.
"Kalau aku melakukannya, apa kau benar-benar akan memberikan misi pertamaku?" Jisoo bertanya dengan gigi gemertak. Gadis itu seperti sedang menahan tangisnya di balik mata yang mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak pernah berbohong," balas Tiger meyakinkan. "Tidak padamu, tidak juga pada siapa pun." Tiger mengedarkan pandangannya untuk sekadar memberitahu yang lain.
Jisoo menelan saliva dengan gugup. Matanya tampak bergetar dengan rahang yang terlihat begitu keras. Dia melirik Chichi dengan perlahan, di mana anjing yang tidak berdosa itu terlihat duduk tenang mengikuti perintah Tiger sebelumnya.
Saat kembali menatap Tiger, Jisoo seperti ingin memohon untuk meminta uji kelayakan yang lain. Gadis itu bersedia melakukan apa saja, tapi tidak dengan menembak Chichi-nya.
Namun, Tiger memberikan respons yang dingin dengan memalingkan wajah dari Jisoo. Laki-laki itu merasa sudah cukup untuk menjelaskan saat ini.
Dengan tangan yang terlipat di dada, Tiger memperhatikan Chichi yang masih duduk manis tanpa tahu kenapa anjing itu harus menjadi pusat perhatian.
Air mata Jisoo jatuh ketika dia kembali menatap Chichi, yang kebetulan juga sedang menatapnya, seolah-olah bertanya apa yang sedang terjadi saat ini.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Jisoo sangat menyayangi Chichi. Dibandingkan dengan peserta pelatihan lainnya, Jisoo lebih sering menghabiskan waktu bersama Chichi. Namun, gadis itu harus menyingkirkan perasaannya seperti yang Tiger katakan.
Tiga tahunnya ini tidak boleh terbuang sia-sia!
Dengan tangan bergetar, Jisoo mengangkat pistolnya dan mengarahkannya pada Chichi. Air matanya kembali jatuh dengan dewi batin yang menjerit tidak keruan. Rasanya Jisoo ingin lari saja kalau tidak mengingat betapa keras usahanya untuk sampai ada di titik ini.
Demi misi pertamanya, Jisoo harus menembak mati Chichi dengan tangan sendiri, di hadapan semua orang.
Gadis itu memastikan kalau pistolnya lurus dengan target yang harus dikenainya. Dia menarik napas dalam, lalu menutup mata. Kemudian, menekan pemicunya.
Suara tembakan langsung membangunkan Jisoo dari tidurnya. Gadis itu tampak berkeringat ketika menyalakan lampu tidur dengan tergesa-gesa dan terkejut saat mendapati Tiger duduk di tempat tidur di seberangnya.
"Tiger, apa yang kau lakukan di sini?" Jisoo menjilat bibirnya dan gugup saat Tiger menatapnya dengan begitu intens.
"Apa kau baru saja bermimpi? Tentang Chichi?"
Jisoo spontan menggeleng, berusaha untuk menjawab tanpa gugup. "Aku tidak memimpikan apa pun. Aku hanya terbangun karena haus."
Tiger menggeleng dengan senyum yang tersimpan di sudut bibirnya. Kemudian, berdiri. "Kau harus belajar lebih banyak untuk membohongiku."
Tiger yang berniat untuk pergi ditahan tangannya oleh Jisoo. Laki-laki itu terpaksa berhenti dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan padanya.
"Misi pertamaku ... kapan aku akan mendapatkannya?" Jisoo bertanya hampir dengan keputusasaan.
Ini sudah seminggu berlalu sejak Jisoo menembak Chichi di depan rekan-rekannya yang lain. Namun, dia belum juga mendapatkan misi pertamanya.
"Kau sudah berjanji padaku, Tiger."
Tiger membenarkan dengan anggukan, tapi ekspresinya terlihat miris. "Aku memang berjanji, tapi mentalmu masih terguncang. Aku tahu itu."
Cengkeraman Jisoo di tangan Tiger mengencang karena berusaha untuk menahan kemarahannya. Dia menunduk dan mengambil napas dalam-dalam dan berbicara dengan tenang.
"Aku sudah baik-baik saja, Tiger," katanya meyakinkan. "Chichi ... Aku tidak ... Aku baik-baik saja. Sungguh."
"Kau tidak baik-baik saja," kata Tiger dengan gelengan lemah. Tatapannya tampak iba karena agen kesayangannya ini jauh sekali dari harapannya. "Chichi hanya seekor anjing, tapi kematiannya memengaruhimu dengan sangat banyak. Kau jelas belum siap untuk mendapatkan misi apa pun."
"Aku siap, Tiger!" seru Jisoo berapi-api. Dia turun dari tempat tidurnya untuk bisa berhadapan langsung dengan Tiger, meski tingginya hanya sebatas dada laki-laki itu. "Tiga tahun sudah aku mempersiapkan diri. Mau sampai kapan kau memintaku untuk menunggu, hah?"
"Sampai kau benar-benar siap."
Jisoo menggeram dan hampir mengentakkan kakinya karena marah. "Aku sudah siap. Benar-benar siap, Tiger!" Tatapannya tampak begitu tajam karena ingin Tiger memercayainya saat ini.
"Kau yakin?"
"Ya, aku yakin."
Wajah Jisoo yang sedikit basah karena keringat diusap dengan lembut oleh Tiger. Rambutnya yang berantakan pun dirapikan oleh laki-laki itu dengan penuh perhatian.
"Kalau kau memang merasa yakin, kita akan pergi akhir pekan nanti dan aku akan mengawasimu langsung." Tiger berbicara dengan ekspresi yang tampak lembut, tapi nada suaranya terdengar penuh dengan peringatan tajam. "Ini adalah kesempatan pertama dan terakhirmu. Kalau kau mengacau, maka tidak akan ada kesempatan lainnya."
"Kau akan tetap berada di sini sebagai peserta pelatihan tanpa mendapatkan misi," kata Tiger menambahkan. "Kau paham, Agen 396?"
Jisoo mengangguk kaku dan menahan gugupnya. Dia sudah cukup lama bersabar dan menantikan saat ini datang. Jadi, gadis itu bersumpah kalau dia tidak akan gagal apa pun alasannya.
"Sekarang sudah jam setengah 5 pagi," kata Tiger melirik arlojinya. "Kau ingin tidur lagi atau lari pagi bersamaku?"
"Aku ikut denganmu."
Tiger mengangguk dengan senyum kecil, lalu mengusap kepala gadis di depannya. "Kalau begitu, aku tunggu di luar."
***
Misi pertama Jisoo adalah membunuh seorang laki-laki paruh baya yang merupakan kandidat untuk pemilihan walikota tahun depan.
Gadis yang sebentar lagi akan berusia 17 tahun itu sedang sibuk mencari targetnya yang berada dalam gedung di seberangnya.
"Tiger, aku melihatmu." Jisoo berceloteh dengan tawa kecil ketika menangkap sosok Tiger melalui teleskopnya. "Kau tampak tampan dengan dasi kupu-kupu itu."
Tiger mendengar celotehan Jisoo berkat alat yang bersembunyi dalam telinganya saat ini. "Katakan itu padaku saat kau berhasil menyelesaikan misi ini." Tiger mengingatkan dengan tegas, sebelum menenggak akoholnya. "Karena saat ini pujianmu tidak ada artinya untukku."
"Kau harus mentraktirku setelah aku memecahkan kepala bajingan itu. Setuju?" Jisoo menyahut sambil mencari targetnya yang saat ini belum juga terlihat olehnya.
"Setuju." Tiger menyanggupi tanpa perlu berpikir sedikit pun.
Jisoo bersorak gembira. Gadis itu terlihat bersemangat bahkan ketika dia hanya sendirian di lantai 16 sebuah gedung perkantoran.
"Aku menemukan targetku, Tiger," kata Jisoo memberitahu. Dia segera mengokang PGW LRT-3 yang menjadi temannya malam ini. "Tapi kusarankan untuk menjauh darinya kalau kau tidak ingin terkena semburan darahnya."
Tiger tidak menyahut, tapi dia sungguh mendengarkan peringatan Jisoo dengan menjauh sedikit dari target yang malam ini kepalanya akan diledakkan oleh gadis itu.
Jisoo mengunci sasarannya. Gadis itu tidak peduli kalau targetnya sedang berbincang dengan rekannya. Satu-satunya yang Jisoo pedulikan adalah meledakkan kepalanya.
"Menyingkirlah pelayan, Sialan! Kau menghalangiku." Jisoo mengumpat tidak senang saat seorang pelayan wanita tiba-tiba berdiri dan menghalangi Jisoo untuk menembak targetnya. "Argh, Berengsek!" Jisoo mengumpat lagi ketika targetnya bergerak untuk menyapa tamu yang lain.
"Kau baru saja kehilangan targetmu." Tiger mengejek dengan siulan di seberang sana dan mengangkat gelasnya untuk ditujukan pada Jisoo. "Sepertinya kau akan menjadi peserta pelatihan seumur hidup."
"Diam sebelum aku menembakmu, Tiger!" Jisoo mengancam dengan keras dan berusaha untuk berkonsentrasi pada targetnya yang sedang bergerak.
Gadis itu perlu memperhitungkan kecepatan angin, juga kecepatan pelurunya untuk mencapai target. Dia tidak boleh meleset atau seumur hidupnya dia hanya akan menjadi pecundang.
Target Jisoo masih berjalan dan menyapa para tamu, tapi gadis itu yakin kalau perhitungannya tidak salah. Dia melepaskan tembakannya, setelah lebih dulu mengembuskan napas pelan.
Peluru Jisoo melesat dengan kecepatan angin dan menembus kaca, lalu bersarang di dalam kepala seseorang. Kemudian, meledak di tengah teriakan para tamu yang histeris saat kaca pecah.
Jisoo tersenyum puas saat misi pertamanya berjalan dengan lancar. "Sudah kukatakan kalau aku akan berhasil," katanya menyombongkan diri pada Tiger.
"Jangan senang dulu. Kau masih memiliki 50% kemungkinan untuk tertangkap saat ini." Tiger mengingatkan dengan tawa kecil.
"Oh, shit!" Jisoo mengumpat lagi saat dia melihat pasukan bersenjata terlihat keluar dari gedung. Pasti tujuan mereka semua adalah untuk mencari biang onar untuk tembakan barusan.
Langsung saja Jisoo membereskan barang-barangnya ke dalam kotak. Kemudian, berlari keluar dari gedung sebelum dirinya tertangkap basah.
Gadis itu juga melepaskan jaket kulit, serta celananya dan menyisakan gaun selutut yang tampak begitu cantik, yang sejak tadi sengaja disembunyikan di balik pakaiannya yang lain.
Saat keluar dari gedung, pasukan bersenjata tampak memenuhi area sekitar. Semua orang saling berkoordinasi dan memperhatikan gerakan setiap orang yang dianggap mencurigakan.
Jisoo tampak gugup karena ini adalah misi pertamanya. Namun, gadis itu tidak akan membiarkan semua kerja kerasnya berakhir begitu saja malam ini.
Kakinya berjalan dengan santai saat melewati pasukan bersenjata dan memperbaiki kotak bawaannya di punggung. Kotak itu adalah kotak yang sama dengan yang dia gunakan untuk menyimpan peralatannya tadi.
Setidaknya, Jisoo sudah berhasil melewati empat orang yang mencari keberadaan si Pembuat Onar malam ini.
"Hei, tunggu!"
Namun tampaknya, orang keempat yang berpapasan dengan Jisoo tidak bisa membiarkan gadis itu pergi begitu saja, seperti ketiga temannya yang lain.
Jisoo menoleh dan menatap laki-laki yang memanggilnya. "Ya?"
Laki-laki itu menghampiri sambil melepaskan maskernya dan menatap Jisoo dengan sedikit kecurigaan. Usianya kira-kira 2x lebih banyak dari usia Jisoo saat ini. "Apa yang kau bawa? Kelihatannya berat sekali."
Jisoo menoleh untuk menatap kotak besar di punggungnya. "Oh, itu gitar. Aku baru saja pulang dari les gitarku."
"Boleh aku melihatnya? Kotak itu tampak tidak biasa untuk menyimpan sebuah gitar." Laki-laki itu bertanya dengan sopan, bahkan tersenyum untuk menunjukkan sikap ramahnya.
"Tentu saja." Jisoo menyanggupi dengan senang hati. Kemudian, meletakkan kotak gitarnya di bawah untuk diperlihatkan isinya. "Gitar ini hadiah dari ayahku sebelum dia meninggal. Jadi, aku sengaja membuat kotak khusus agar tidak mudah rusak."
Laki-laki itu harus puas saat melihat gitar di dalam kotak yang tadi dicurigainya. Senyum kecil spontan dia berikan pada gadis di depannya. "Gitar yang indah."
Jisoo membalas dengan senyum lebar. "Terima kasih, Ahjussi," katanya sambil menutup kotak gitar.
"Pulanglah dengan hati-hati. Barusan ada kejadian penembakan. Jadi, bahaya bagimu kalau berada di sini." Laki-laki itu mengingatkan dengan lembut saat Jisoo mengangkat kembali kotak gitarnya.
Jisoo mengangguk sopan, lalu pamit untuk pergi. Senyumnya tampak mengembang ketika sudah membelakangi laki-laki yang tadi mencurigainya. Dia baru saja membodohi laki-laki itu dengan wajah polosnya.
Kotak gitar yang Jisoo bawa memiliki dua tingkat. Tingkat pertama untuk menyimpan gitar, tingkat kedua untuk menyimpan peralatannya.
Harusnya laki-laki itu memeriksa ruang yang masih tersisa di bawah gitar. Dengan begitu, dia akan mendapatkan si Pembuat Onar tanpa perlu mencarinya lagi.
Melihat Tiger yang sudah menunggunya ditepi jalan sambil memainkan ponsel membuat Jisoo berlari kecil untuk segera menghampiri.
Keduanya saling bertukar senyum sebelum Tiger mengambil alih kotak gitar milik Jisoo untuk diletakkan di kursi belakang.
Sementara Jisoo menyempatkan untuk menoleh dan mendapati kalau laki-laki yang mencurigainya masih berdiri di sana menatapnya. Gadis itu mengulas senyum, lalu masuk ke mobil menyusul Tiger.
"Sekarang katakan padaku, apa menurutmu aku masih tidak siap untuk menjalankan misi?" Jisoo bertanya dengan nada menantang ketika Tiger mulai melajukan mobil.
Laki-laki itu sudah tidak mengenakan jas dan dasi kupu-kupunya. Saat ini yang tersisa hanyalah kemeja putih dengan lengan yang digulung sampai sebatas siku.
Tiger merespons dengan tawa saat lagi-lagi Jisoo bersikap sombong di hadapannya. "Sudah kukatakan untuk jangan sombong dulu, kan? Keberhasilan misi pertamamu bukan berarti kau tidak akan mengalami kegagalan di misi-misi selanjutnya."
Jisoo mendecih tidak suka dan melemparkan punggungnya pada sandaran kursi. "Traktir aku makan. Aku lapar."
Meski dilatih sangat keras untuk ukuran remaja sepertinya, tapi Jisoo tetap seperti remaja putri pada umumnya yang mudah merajuk atas hal-hal kecil yang dirasa menyinggungnya.
"Tapi kau sudah tidak tampan lagi tanpa dasi kupu-kupumu," kata Jisoo menambahkan sebelum Tiger mengiakan permintaannya tadi.
Tiger hanya tertawa mendengar celetukan Jisoo. Kemudian, mengacak gemas rambut gadis itu.
***
"Apa kau sudah memikirkan kode nama yang ingin kau pakai?" Tiger menghampiri Jisoo yang sedang berada di lapangan untuk latihan memanah. Laki-laki itu mengambil duduk di kursi kosong sambil melepaskan hand wrap-nya.
Jisoo tidak langsung menjawab, melainkan dia berjalan menuju papan target dan mencabut 10 anak panah yang menancap di sana.
"Semua agen yang berhasil menjalankan misi pertamanya langsung mendapatkan kode nama mereka. Tapi ini sudah seminggu sejak kita merayakan keberhasilanmu dan kau masih dipanggil Agen 396."
"Aku sudah memikirkannya, tapi tidak menemukan satu pun yang bagus." Jisoo menjawab dengan setengah gerutuan saat berjalan menghampiri Tiger lagi. "Semua nama yang aku pikirkan terdengar sangat amatir. Kau memiliki saran untukku?"
Tiger mendesis dan menatap gadis yang baru saja mengambil duduk di sebelahnya. "Bagaimana dengan Moora?"
"Moora?" Jisoo mengulang nama yang Tiger ucapkan untuk sekadar memastikan.
Tiger mengangguk. "Nama itu memiliki arti pemberani, cerdas, pekerja keras dan setia kawan. Sama sepertimu."
Jisoo terlihat mempertimbangkan nama pemberian Tiger untuk dijadikan sebagai kode namanya. Gadis itu pikir, nama yang Tiger sarankan 100x lebih baik dari segudang nama yang dia pikirkan dalam seminggu terakhir ini.
"Aku suka nama itu. Tidak terdengar seperti seseorang yang amatir," kata Jisoo antusias. Gadis itu tampak senang karena dia sudah mendapatkan kode nama yang tidak terdengar seperti seorang amatir.
Tiger pun tidak kalah senangnya saat Jisoo mau menerima sarannya untuk kode nama yang akan gadis itu gunakan mulai dari sekarang.
"Kalau begitu, selamat datang di Flutter, Agen Moora." Tiger mengulurkan tangannya pada Jisoo dengan senyum lembut.
Jisoo tersenyum senang dan meraih uluran tangan Tiger. "Terima kasih, Agen Tiger."
Mereka tertawa setelahnya karena aksi penyambutan yang tidak resmi barusan. Besok pagi, Jisoo akan mengumumkan kalau dia bukan lagi Agen 396, tapi sudah resmi memakai kode namanya sebagai Moora.
"Tapi ngomong-ngomong, apa kau juga memberikan saran pada yang lain?" Jisoo bertanya iseng setelah tawa keduanya mereda.
Sekarang, yang mereka lakukan adalah duduk bersama sambil menatap langit yang tampak cerah malam ini.
"Tidak. Kau adalah satu-satunya sampai saat ini." Tiger menoleh pada Jisoo setelah menjawab rasa penasaran gadis itu. "Kau harusnya merasa tersanjung."
Alih-alih tersanjung, Jisoo malah mengembuskan napas kasar dan kembali menatap langit. "Sekarang tidak heran kenapa orang-orang berasumsi kalau aku merayumu. Kau terlalu baik padaku, Tiger."
"Apa baik padamu adalah sebuah kejahatan?" Tiger bertanya dengan nada yang terdengar geli.
Jisoo menoleh sebelum membalas dengan berapi-api. "Ya, itu adalah kejahatan karena kau membuat semua orang memandangku dengan sangat rendah."
"Mereka semua hanya iri padamu." Tiger membalas dengan sungguh-sungguh. Dia bahkan mengusap kepala Jisoo sebagai ungkapan kebanggaannya. "Kau adalah yang termuda di sini, tapi prestasimu mengalahkan mereka yang lebih tua darimu. Tentu saja itu semua membuat mereka membencimu dan mencari segala macam cara untuk menyingkirkanmu dari sini."
"Mereka semua pasti senang kalau aku benar-benar pergi," sahut Jisoo setengah jengkel. Bola matanya berputar malas meski sebelumnya dia sempat menghangat ketika kepalanya diusap.
"Tapi aku akan sangat sedih." Tiger membalas dengan suara rendah. Tatapannya pun tampak redup. "Kau adalah kesayanganku dan aku tidak akan pernah siap untuk kehilangan dirimu."
Jisoo benar-benar harus bersyukur karena dia memiliki Tiger saat ini. Di saat semua orang memandang rendah dan menganggapnya sebagai musuh, Tiger justru setia mendampinginya.
"Kalau begitu, kau harus selalu bersikap baik padaku agar aku tidak meninggalkanmu." Jisoo mengatakannya dengan penuh kepercayaan diri.
Tiger hanya tertawa dalam gelengan kecil.
***
Bertahun-tahun berlalu dan Jisoo masih menjadi yang paling unggul di antara yang lain. Gadis remaja yang dulunya lugu dan dipungut dari jalanan, sekarang sudah menjelma jadi wanita dewasa yang sangat memesona, tapi tentu saja berbahaya.
Kini, dia tidak lagi diremehkan, melainkan disegani. Manor yang lebih dulu memulai pelatihan sering kali berada di bawah perintah Jisoo karena kemampuan wanita itu yang jauh lebih mumpuni.
Hubungannya dan Tiger pun masih sama seperti dulu. Keduanya dekat, sangat dekat, tapi tidak pernah ada kejelasan hubungan seperti apa yang mereka jalani saat ini.
Namun, malam ini, tampaknya ada sesuatu yang membuat wanita itu marah, hingga dia berjalan dengan langkah penuh emosi dan membuka paksa pintu kamar Tiger. Punggung dengan ukiran tinta permanen adalah hal pertama yang ditangkap oleh matanya.
Sang pemilik kamar terkejut dan segera menoleh. Untung saja Tiger sedang tidak bertelanjang sekarang. Kalau Jisoo menerobos 10 detik sebelumnya, dia benar-benar akan melihat tubuh telanjang Tiger.
Ini tidak seperti Jisoo tidak pernah melihatnya. Tentu wanita itu pernah, beberapa kali. Namun, jelas malam ini bukan waktu yang tepat untuk melihat tubuh telanjang Tiger.
"Jelaskan semuanya padaku, Tiger!" Jisoo melemparkan sebuah amplop cokelat ke atas tempat tidur Tiger dengan kasar. "Laki-laki itu adalah target pertamaku. Tapi kenapa semua yang tertulis di sana berbanding terbalik dengan apa yang kau ceritakan padaku. Apa kau membohongiku?"
Tiger tidak langsung menjawab, melainkan lebih dulu memeriksa amplop yang dilemparkan padanya. Laki-laki itu harus mengakui kalau semua informasi di amplop itu adalah benar.
"Dari mana kau mendapatkannya?" Tiger bertanya tanpa menunjukkan kegugupannya.
"Itu tidak penting! Cukup jawab saja pertanyaanku," balas Jisoo dengan nada perintah yang kental. "Katakan yang sebenarnya padaku, Tiger. Apa misi pertamaku adalah orang yang sudah membunuh kedua orang tuaku atau bukan?!"
Tiger mengembuskan napas pelan dan memasukkan kembali semua berkas ke dalam amplop. Kemudian, melemparkannya di kasur. "Ya, aku akui kalau dia tidak ada hubungannya dengan kematian orang tuamu. Dia hanya seorang yang diinginkan oleh klien."
Jisoo menatap tidak percaya. Matanya terlihat bergetar karena penuturan Tiger barusan. "Jadi, kau membohongiku selama ini?"
"Bukan seperti itu, Moora." Tiger membantah dengan gelengan.
"Kau menipuku selama ini, Tiger!" Jisoo berteriak tidak terima. Wanita itu merasa telah bohongi habis-habisan oleh laki-laki yang sangat dia percayai selama ini.
"Aku tidak menipumu." Tiger membantah lagi. Kali ini, dengan gelengan yang lebih kuat. "Yang kulakukan selama ini adalah memberimu motivasi."
Jisoo mendecih dengan tawa. "Motivasi untuk apa?"
"Tentu saja agar kau tetap hidup, Moora. Memangnya kenapa kau pikir aku membawamu dari jalanan?" Sekarang, giliran Tiger yang bertanya pada wanita di depannya. "Apa yang kuberikan padamu saat ini terlihat seperti lelucon untukmu?"
"Kenapa kau ingin menjadikanku sebagai mesin pembunuh, Tiger?" Jisoo masih dengan ketidakpercayaannya saat ini. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
Tiger menghampiri dan membungkus pipi Jisoo dengan penuh kelembutan, tanpa ada penolakan apa pun. "Hei, aku benar-benar berniat untuk menolongmu saat itu. Kalau aku tidak mengatakannya, kau pasti akan mati di jalanan dengan mengenaskan tanpa ada siapa pun yang memedulikanmu."
Air mata Jisoo menetes ketika bertemu langsung dengan Tiger. Wanita itu tidak tahu kenapa tiba-tiba dia merasa sangat menyedihkan sekarang. Rasanya benar-benar seperti dia baru saja dikhianati.
"Aku tidak berbohong untuk menyakitimu. Aku hanya ingin menyelamatkanmu, Moora. Percaya padaku." Tiger membujuk dengan begitu lembut. Layaknya sedang membujuk putrinya yang sedang merajuk karena tidak bisa merayakan ulang tahun. "Aku menyayangimu. Kau tahu itu, kan?"
Jisoo mengusap air matanya dan memalingkan wajah dari Tiger. Harusnya dia tidak menangis sekarang, tapi kenapa air mata sialan itu tiba-tiba jatuh?
"Hei." Tiger menarik wajah Jisoo agar menatapnya lagi. Ibu jarinya bergerak untuk mengusap sisa air mata yang masih ada di wajah Jisoo. "Maaf kalau kau merasa seperti aku telah membohongimu selama ini. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku melakukannya bukan untuk menyakitimu."
Jisoo tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Wanita itu benar-benar merasakan ketulusan dalam setiap kata Tiger ucapkan, membuatnya tidak bisa lagi melampiaskan kemarahan lebih dari teriakan sebelumnya.
Tiger segera menarik Jisoo ke dalam pelukannya. Dia perlu menenangkan agen kesayangannya itu tidak lagi berpikiran buruk tentangnya.
"Jadi, siapa pembunuh orang tuaku yang sebenarnya?" Jisoo bertanya dengan bisikan ketika dia berada dalam pelukan Tiger. Di mana pipi kirinya menempel langsung pada kulit laki-laki itu.
"Kau ingin aku mencari tahunya?" Tiger bertanya balik dengan sungguh-sungguh.
"Tidak!" Jisoo menjawab tegas dengan lingkaran tangan yang membalas pelukan Tiger. "Mulai dari sekarang, aku akan melupakan semua masa laluku."
Tiger diam-diam tersenyum. Dia mengusap rambut Jisoo, lalu mencium kening wanita itu. "Aku senang kalau kau ingin melupakan semua masa lalumu, tapi tidak termasuk dengan jadwal bulananmu, Moora-ku. Kau sudah 2x melewatkan jadwal suntikanmu, kan?"
Jisoo menggeram tidak suka dan mendorong Tiger agar menjauh darinya. "Sampai kapan aku harus menerimanya? Ini bahkan sudah lebih dari 10 tahun sejak pertama kali aku melakukannya, Tiger."
"Kau tahu betul apa kegunaannya."
Ya, Jisoo memang tahu. Namun, tetap saja dia benci saat kulitnya harus ditusuk dengan jarum.
"Jangan melewatkannya lagi bulan ini atau aku akan marah padamu!" Tiger memperingati dengan tegas. Nadanya penuh dengan ancaman dan tatapan yang mematikan.
"Hm." Hanya itu respons yang Jisoo berikan.
"Ingin mandi bersamaku?" Tiger membuka topik obrolan yang baru dan melingkarkan kedua tangannya di bahu Jisoo.
Alis Jisoo tampak berkerut bingung sebelum menjawab. "Kupikir kau baru saja selesai mandi."
"Ya, tapi kalau kau ingin mandi bersamaku, aku tidak masalah kalau harus mandi 2x atau bahkan 10x sekalipun."
Jisoo memukul dada Tiger karena sudah menggodanya terlalu banyak hari ini. Dia kembali mendorong laki-laki itu untuk melepaskan diri. Kemudian, keluar dari ruangan yang bukan miliknya tanpa membalas godaan nakal Tiger.
Seperti itulah hubungan keduanya di masa lalu. Meski tidak pernah benar-benar meresmikan hubungan untuk menjadi pasangan kekasih, tapi keduanya jelas menyukai satu sama lain.
Namun, semuanya berubah pada suatu hari. Hubungan yang dulunya erat mulai renggang karena kebencian yang Jisoo tanamkan untuk Tiger. Wanita itu membenci Tiger karena suatu alasan dan kebenciannya makin bertambah setiap harinya.
Sampai pada tingkat di mana wanita yang memiliki kode nama Moora itu bertekad untuk membunuh Tiger dengan tangannya sendiri.
Sebelum negara api menyerang, ternyata Tiger – Moora pernah jadi pasangan uwu juga meski tanpa status 😍😍😍
Untung sekarang udah jadi musuh abadi mereka. Kalau masih jadi pasangan uwu udah pasti posisi Mr. J terancam 🤣🤣🤣🤣
Jadi, menurut kalian, bagaimanakah perasaan Tiger pada Moora sebenarnya? Keliatan tuluskah atau aktingnya harus diacungi 10 jempol?
Tapi jujur sih, selama nulis chapter ini agak gemas-gemas juga sama Tiger – Moora. Hahaha. Dulu Tiger aura boyfriend materialnya kental sekali. Kalau sekarang kan aura setan 😂
Padahal mereka tuh sudah jadi musuh abadi sekarang, tapi kok bisa-bisanya aku baper sendiri sama kapal yang masa depannya gelap gulita, ya. Agak lain memang anaknya 🤣🤣🤣
Buat yang kemaren tanya siapa visualiasinya Tiger, tuh udah aku kasih seabrek, ya. Jangan dilupain lagi perwujudannya. Kasian dia.
Dadah~
13 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro