15. Status Misi: Gagal
Selamat tinggal tiket kebebasan, Moora 👋👋👋
Misinya gagal duluan. Padahal tadi udah mantap buat bikin planning kabur 😭
Happy reading
Sebuah dinding yang tidak bersalah, bahkan tidak bernapas, baru saja menjadi sasaran kemarahan oleh orang yang tidak dikenal, Jisoo. Wanita itu melemparkan tubuh Tiger pada dinding dan mencengkeram lehernya agar tidak ke mana-mana.
"Sudah kukatakan untuk tidak mengganggu misiku, Berengsek! Apa kau benar-benar tidak akan meninggalkanku sendiri?" Jisoo yang sudah benar-benar muak dengan permainan Tiger tidak bisa menahan diri lagi.
Wanita itu benar-benar marah dengan setiap tindakan Tiger yang berisiko tinggi untuk membongkar penyamarannya.
Tiger memukul tangan Jisoo yang mencekiknya, bermaksud untuk meminta wanita itu melepaskannya. Namun, Jisoo malah mendorong tubuhnya sekali lagi ke dinding.
"Aku tidak main-main saat mengatakan akan membunuhmu, Tiger!" Jisoo menekankan suaranya untuk memberi tahu Tiger betapa seriusnya dia saat ini. "Kau tahu betul kalau keinginanku untuk membunuhmu jauh lebih besar dari keinginanku untuk membunuh orang lain."
"Kau akan menyesal kalau membunuhku sekarang." Tiger mengatakannya hampir terbata-bata. Namun, bibirnya mampu melengkungkan senyum mengejek. "Karena hanya aku yang tahu mengenai asal usulmu."
Kemarahan Jisoo tampak semakin bergejolak di dalam darahnya, hingga cekikannya pada Tiger menjadi 2x lebih kuat dari sebelumnya. Membuat wajah tampan Tiger memerah karena mulai kekurangan oksigen.
Mata pun Jisoo tampak merah karena dikuasai amarah. Wanita itu benar-benar bisa membunuh Tiger kalau terus mencekiknya seperti ini.
"Haesoo."
Mendengar nama itu disebutkan, Jisoo mulai melonggarkan cekikannya. Kemudian mundur untuk mengambil jarak dari Tiger dan menatap dengan penuh selidik.
Tiger buru-buru mengambil udara untuk mengisi paru-parunya, sambil menatap Jisoo dengan wajah merahnya. "Cengkeramanmu jauh lebih lemah dari sebelumnya," katanya mengomentari dengan napas terengah. "Ketangkasanmu pasti berkurang banyak karena terkurung di sarang gangster itu."
Bukannya Tiger tidak bisa melawan. Laki-laki itu sengaja mengalah dan membiarkan Jisoo merasa di atas angin. Bagaimanapun juga, Tiger adalah orang yang melatih Jisoo saat wanita itu baru bergabung dengan Flutter. Jadi, bagaimana mungkin dia tidak bisa melepaskan cekikan tadi?
"Katakan apa yang kau tahu tentang Haesoo, Tiger." Jisoo mendesak dengan suara yang hampir tercekat. "Apa sejak awal kau sudah tahu kalau aku dan Pimpinan Chimera itu memiliki hubungan di masa lalu?"
Tiger berdeham sambil memijat pelan lehernya dan menatap Jisoo dengan pandangan meremehkan. "Bukankah sudah kukatakan kalau tugasmu adalah mencari tahunya. Apa kau masih tidak mendapatkan apa-apa?"
Jisoo menjilat bibir seraya menyugar kasar rambutnya. Wanita itu yakin sepenuhnya kalau Tiger memberikan misi terakhirnya untuk membunuh Hae-in bukan tanpa alasan.
"Kau mencuri semua masa laluku, Tiger." Jisoo mengatakannya dengan rasa pahit di mulut. "Kau menjadikanku anjing peliharaanmu sejak awal."
Tiger mendesah tidak senang dan mengusap lembut pipi Jisoo. "Oh~ Jangan berbicara seperti itu, Moora. Kau adalah murid kesukaanku di antara ribuan murid yang kulatih untuk menjadi seorang agen."
"Kau memanfaatkan masa laluku!" Jisoo menepis tangan Tiger yang mengusap pipinya dengan penuh keyakinan. "Kau ingin menghancurkan Pimpinan Chimera itu, tapi kau ingin aku yang melakukannya."
Senyum Tiger perlahan mengembang, dengan mata yang tampak berbinar cerah. "Sepertinya, kau sudah menemukan apa yang kau cari, Moora."
Jisoo menarik napas dalam. Wanita itu mencoba untuk memahami permainan yang Tiger mainkan saat ini dan balas memberikan senyumnya. "Kau salah karena sudah memanfaatkanku, Tiger. Alih-alih membunuh Pimpinan Chimera itu, aku akan membunuhmu!"
Tepat saat Jisoo menyelesaikan ucapannya, dia mengambil pisau yang Tiger sembunyikan di balik jaket. Wanita itu menyerang leher Tiger dengan cepat, tapi mampu dihindari secepat serangan yang datang.
Tangan Jisoo yang memegang pisau ditahan ketika akan menyerang lagi. Namun, wanita itu menjatuhkan pisaunya dan mengambil dengan tangan lain. Kemudian kembali menyerang Tiger dengan sebelah tangan.
Setiap serangan pisau yang Jisoo berikan bisa Tiger hindari dengan sedikit usaha. Salah karena dia tadi meremehkan Jisoo. Faktanya, gerakan wanita itu masih sama tangkasnya seperti saat terakhir kali mereka bertarung dan keinginan membunuhnya saat ini benar-benar sangat kuat.
Jisoo menyerang dengan membabi buta menggunakan kedua tangan. Sementara Tiger hanya berusaha untuk menghindar. Bahkan ketika siku Jisoo memukul rahangnya dengan keras, Tiger terlihat tidak ingin membalas.
Tinjuan yang Jisoo maksudkan untuk memukul wajah Tiger, justru malah melesat ke tembok dan membuat wanita itu kesakitan. Namun, usahanya untuk melukai Tiger masih sangat kuat.
Perkelahian ini tidak terlalu sengit karena tidak ada perlawanan yang Tiger berikan. Dia hanya menghindar dan terus menghindar sampai Jisoo kelelahan dan lengah.
Sekarang, posisinya sudah berubah. Jisoo tidak lagi menjadi orang yang berkuasa atas situasi ini, melainkan Tiger.
Berkat kesabarannya, Tiger berhasil mencari celah untuk menghentikan serangan Jisoo dan menahan wanita itu di dinding dengan sebelah lengan. Sementara tangan yang lain mencengkeram tangan Jisoo yang memegang pisau.
"Kalau-kalau kau lupa, akulah yang mengajarimu cara bertarung, Moora," kata Tiger dengan bisikan yang begitu dekat dengan wajah Jisoo. "Setiap gerakanmu sudah lebih dulu terbaca olehku."
Jisoo menggunakan sebelah tangannya untuk mendorong Tiger, tapi sia-sia karena tenaganya tadi sudah terkuras banyak. Sementara tenaga Tiger masih tidak berkurang sedikit pun.
"Kau mungkin murid terbaik, tapi bagaimanapun juga, aku adalah gurumu. Jadi, bagaimana bisa kau mengalahkanku begitu saja?" Tiger tersenyum lembut, seakan-akan dia tidak menyakiti Jisoo dengan tindakannya saat ini. "Kau harus berlatih lebih keras lagi untuk membunuhku," katanya seraya mengambil paksa pisau miliknya di tangan Jisoo.
Tiger kemudian menunjukkan pisaunya yang sudah dia rebut kembali. Lalu, memutar pisau di sela-sela jari, sebelum mengarahkan ujungnya pada wajah Jisoo. Jaraknya hanya 2 cm dari mata wanita itu. "Pisau ini terlalu tajam untukmu, Moora. Jika kau tidak mengerti cara menggunakannya, maka kaulah yang akan terluka."
Jisoo menatap Tiger sengit. Napasnya terengah karena semua usahanya menyerang sia-sia. Laki-laki itu masih cekatan seperti biasa. Jisoo yang salah karena selalu mengancam akan membunuh Tiger.
Sekarang, kata-kata itu tidak lagi terdengar seperti ancaman untuk Tiger. Malah lebih mirip seperti sapaan karena Jisoo mengatakannya hampir setiap kali dia berbicara dengan Tiger.
Merasa dia sudah cukup menjatuhkan harga diri Jisoo, Tiger segera mengambil langkah mundur setelah menyimpan kembali pisaunya.
"Misimu masih tetap sama, Moora. Bunuh Pimpinan Chimera itu dan aku akan melepaskanmu—serta mengembalikan apa yang kuambil darimu." Tiger mengingatkan, kalau-kalau Jisoo lupa akibat perkelahian barusan. "Aku bersumpah tidak akan mengganggumu lagi setelah misi terakhirmu ini selesai."
Setiap kata yang keluar dari mulut Tiger membuat Jisoo terbakar amarah. Laki-laki di depannya ini benar-benar seorang bajingan.
Apa pun caranya, Jisoo harus bisa membuat perhitungan untuk Tiger. Bahkan kalau dia harus merangkak keluar dari markas Chimera, wanita itu akan melakukannya dengan senang hati.
Sementara itu, Tiger melengkungkan senyum yang penuh untuk sedikit mengurangi kemarahan Jisoo padanya. Tanpa Jisoo sadari, pandangan Tiger baru saja menangkap sesuatu yang mencurigakan di balik pohon besar.
"Berhati-hatilah, Moora," katanya mengingatkan dengan perhatian penuh. "Lakukan sekarang atau kau akan menyesal selamanya."
Tangan Jisoo mengepal ketika Tiger lagi-lagi bersikap sebagai pemiliknya. Memang Jisoo hanyalah seorang pesuruh yang melakukan tugas-tugas demi orang lain. Namun, bukan berarti dia bisa diancam seperti ini.
Tiger meninggalkan Jisoo yang masih menatapnya dengan penuh kemarahan. Tugasnya untuk mengacaukan pikiran sang agen terlatih sudah selesai. Jadi, saatnya untuk pergi.
Peringatan terakhir yang Tiger berikan bukanlah sekadar basa-basi. Memang benar-benar ada yang mengawasi Jisoo saat ini.
Perlu beberapa waktu untuk Jisoo meredakan kemarahannya. Wanita itu tidak bisa muncul di hadapan Hae-in dengan wajah merah dan keinginan membunuh yang begitu berapi-api di matanya.
Setelah merasa cukup tenang, Jisoo kembali ke area pemakaman dan mendapati Hae-in yang tampak bersandar di kap mobil dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Maaf karena lagi-lagi aku membuatmu menunggu." Jisoo mengutarakan rasa sesalnya sambil menyembunyikan memar di tangannya.
Hae-in mengangguk tanpa ekspresi kemarahan. "Apa sebelum pulang kita bisa makan dulu? Aku lapar."
"Tentu saja." Jisoo menyanggupi dengan mudah. "Kau ingin makan di mana?"
"Aku akan menunjukkan jalannya padamu nanti."
Jisoo mengangguk. Lalu, menyusul Hae-in yang sudah lebih dulu masuk ke mobil dan duduk di kursi samping kemudi.
Diam-diam Jisoo bersyukur karena memarnya ada di sebelah tangan kiri dan bukannya kanan. Jadi, Hae-in di sampingnya tidak akan melihat.
Rupanya, Jisoo merasa tidak asing dengan jalanan yang sedang dilewatinya saat ini. Ini bukan kali pertama dia melewati jalan ini setelah sekian lama, tapi ada perasaan aneh yang tiba-tiba saja menghantam ingatannya.
Hae-in menatap Jisoo di sampingnya dalam diam. Kalau diperhatikan dengan jeli, Jisoo jelas sedang mencoba untuk berpura-pura tenang.
"Berhenti di sana." Hae-in menunjuk sebuah kedai roti yang menjual berbagai macam roti lapis isi.
Jisoo segera memarkirkan mobil. Kemudian, mengikuti Hae-in untuk mengambil tempat duduk setelah sebelumnya laki-laki itu memesan.
Mereka duduk di pinggir jendela, dengan pemandangan jalanan yang terlihat begitu jelas.
Berkali-kali Jisoo melihat ke arah jalanan sementara Hae-in sesekali memeriksa ekspresinya.
"Dulunya itu toko musik," kata Hae-in mengikuti arah pandangan Jisoo yang menatap toko pakaian di seberang sana. "Tapi karena ada suatu kejadian, tokonya tutup dan berganti menjadi toko pakaian."
Jisoo mendesah pelan saat mendengarkan penjelasan Hae-in. Memang itulah yang sedang dia coba ingat. Wanita itu mencoba untuk memastikan apakah jalanan ini adalah jalanan yang sama dengan jalanan yang menjadi saksi bisu atas penembakan yang dilakukannya pada Hae-in 3 tahun lalu.
"Kau tidak ingin tahu kejadian apa yang terjadi saat itu?"
Jisoo menoleh pada Hae-in dengan sedikit terkejut, tapi buru-buru menetralkan ekspresinya. "Memangnya ada kejadian apa? Apa kecelakaan besar?"
"Pembunuhan dan penembakan."
Jisoo meringis, berpura-pura takut dengan jawaban Hae-in. "Mengerikan sekali. Bagaimana mungkin bisa ada penembakan di tempat umum seperti ini?"
"Ya, memang mengerikan. Tapi ada yang lebih mengerikan lagi daripada penembakan dan pembunuhan itu sendiri."
"Oh, ya? Apa itu?" Jisoo mencondongkan tubuh, tampak seperti dia tertarik dengan jawaban yang akan Hae-in berikan.
Hae-in membuka mulut, siap untuk memberikan jawaban. Namun, pesanan yang datang membuatnya urung dan meminta Jisoo untuk menikmati lebih dulu makanannya.
Pada akhirnya, tangan Jisoo yang memar tertangkap juga oleh mata Hae-in, tapi tidak ada pertanyaan yang dilemparkan. Pimpinan Chimera itu berpura-pura tidak tahu sampai makanannya habis.
Dalam perjalanan pulang, Jisoo berkali-kali mengecek kaca tengahnya untuk melihat kendaraan apa yang ada di belakangnya. Wanita itu merasa begitu tegang dan gelisah. Urat-urat di wajahnya tampak begitu kaku. Padahal dia biasanya tersenyum dengan ceria, yang kadang kala membuat Hae-in gemas.
"Mr. J, kau sudah kembali." Seorang anggota Chimera menyapa Hae-in ketika laki-laki itu masuk melewati pintu utama, yang diikuti Jisoo di belakangnya.
Hae-in terus berjalan dan mengabaikan sapaan itu karena memang tidak ada kewajiban untuk menjawab. Laki-laki itu kemudian mengambil duduk untuk beristirahat sebentar.
"Aku ingin minum," kata Hae-in pada Jisoo.
Ketika Jisoo pergi mengambilkan air untuknya, Lisa datang menghampiri Hae-in dengan tergesa-gesa dan wajah yang sangat serius.
"Oppa, ada yang harus aku bicarakan denganmu. Penting!" kata Lisa dengan penekanan yang cukup dalam, tapi tidak terdengar seperti dia ingin mengintimidasi. "Tapi, ngomong-ngomong, di mana Jisoo sekarang?" Lisa mengedarkan pandangan karena tidak melihat Jisoo di sekitarnya. Padahal tadi dia diberi tahu kalau Hae-in kembali bersama Jisoo.
Hae-in menoleh ke sisi kiri dan menunggu Jisoo kembali dengan santai. Tangannya menerima pemberian air dingin dari Jisoo, lalu kembali pada Lisa.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya sebelum meminum airnya.
Tatapan Lisa tampak begitu berapi-api saat menatap Jisoo. Sepertinya ada kemarahan yang wanita itu coba tahan saat ini. Sementara Jisoo terlihat bingung karena tidak tahu apa-apa.
Dia baru kembali dari dapur. Jadi, apa yang dilewatkannya hingga Lisa tampak seperti ingin meledakkan kepala seseorang saat ini?
"Dia adalah perawat palsu, Oppa!" Lisa menegaskan dengan berapi-api. "Aku tidak tahu apa tujuannya datang ke sini, tapi dia mencuri identitas Han Jisoo untuk menyusup ke dalam sini."
Napas Jisoo sempat tertahan ketika mendengar kata-kata Lisa. Apa penyamarannya baru saja dibongkar? Di depan sang Pimpinan Chimera?
Hae-in yang Jisoo pikir akan sangat terkejut, nyatanya malah terlihat begitu santai ketika anggota Chimera lainnya yang mendengar hal ini terkejut setengah mati.
"Apa kau punya buktinya?" tanya Hae-in seraya menyilangkan kakinya di atas kaki yang lain.
Lisa tersenyum penuh kemenangan, kemudian memberikan ponselnya pada Hae-in untuk menunjukkan sesuatu.
Mari mundur 4 jam ke belakang untuk mengetahui hal-hal yang terjadi di luar sepengetahuan Jisoo dan Hae-in.
Lisa yang menginap di rumah sakit untuk menemani sang kekasih karena luka semalam, baru saja kembali dari kantin setelah membeli kopi. Wanita itu hampir tidak tidur karena menunggu Sehun sadar dari pengaruh biusnya setelah dioperasi untuk mengeluarkan dua peluru yang bersarang di perutnya.
"Ya Tuhan, Han Jisoo~ Senang melihatmu kembali."
Suara wanita yang berasal dari punggungnya menarik sedikit perhatian Lisa, hingga dia menoleh ke arah dua wanita yang dilihatnya sedang berpelukan sekarang. Satu orang dengan pakaian perawat, satu lagi dengan pakaian biasa.
"Apa kau akan kembali bekerja di sini sebagai perawat?" Wanita berpakaian perawat bertanya pada wanita di depannya.
"Han Jisoo." Lisa bergumam dari kejauhan dan memperhatikan obrolan keduanya. Wanita itu merasa tidak asing dengan nama yang baru saja dia sebutkan. "Ah! Namanya sama dengan nama perawat Hae-in dan rumah sakit ini juga tempatnya bekerja dulu."
Rasa penasaran Lisa membuat wanita itu bergerak lincah untuk mengambil ponselnya di saku. Kemudian, membuka surelnya untuk memeriksa sesuatu. Apa yang Lisa periksa saat ini adalah berkas lamaran yang Jisoo kirimkan untuk menjadi perawat Hae-in.
Seketika, ekspresi wajah Lisa berubah menjadi serius dan penuh selidik. "Tapi bagaimana bisa dua orang yang berbeda memiliki nama, pekerjaan dan tempat kerja yang sama? Rasanya mustahil bisa ada tiga kebetulan berturut-turut!"
Sosok yang sedang bercengkerama bersama perawat itu adalah Han Jisoo. Han Jisoo yang sama dengan yang menabrak Hae-in di pemakaman.
Lisa menarik napas lebih dulu dan dengan sabar menunggu Han Jisoo selesai bercengkerama dengan perawat, yang merupakan teman lamanya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Telepon aku setelah sif-mu selesai," kata Han Jisoo pada teman perawatnya.
Ketika Han Jisoo pergi, Lisa buru-buru mengikuti dan mengambil jarak yang begitu dekat.
"Han Jisoo?" Lisa memunculkan dirinya di samping Han Jisoo, dengan nada keraguan seolah-olah dia takut salah mengenali orang. "Apa kau Han Jisoo dari Sekolah Dasar Gyeonggi?"
Sosok yang ditanya sempat bingung, tapi kemudian mengangguk karena memang benar. "Ya, dulunya aku bersekolah di Sekolah Dasar Gyeonggi. Kau mengenalku?"
"Ya Tuhan, Han Jisoo, ini aku Lisa. Kita pernah menjadi teman sebangku saat itu. Apa kau lupa?" Lisa terdengar antusias ketika mengatakan kebohongannya. "Tapi wajar saja kau kalau lupa karena 20 tahun sudah berlalu," katanya melanjutkan ketika Han Jisoo mengerutkan kening.
Memang benar 20 tahun sudah berlalu sejak dia lulus, tapi Han Jisoo yakin kalau dia tidak pernah memiliki teman sebangku bernama Lisa.
"Kau ada waktu sebentar? Ayo, kita mengobrol dulu. Aku senang sekali karena bisa bertemu denganmu."
Tanpa menunggu balasan Han Jisoo, Lisa langsung menarik tangan wanita itu untuk pergi ke kantin dan mengobrol seperti yang dia inginkan.
"Ah, jadi setahun belakangan ini kau menjadi relawan untuk daerah konflik perbatasan dan baru kembali ke sini 3 hari yang lalu?" Lisa merangkum informasi yang berhasil digalinya dari Han Jisoo setelah duduk bersama kurang lebih 10 menit. "Tapi kapan tepatnya kau resign dari rumah sakit ini?"
Han Jisoo mendesis pelan. "Kupikir, itu sekitar bulan Januari tahun lalu."
"Jadi, setelah resign, kau langsung menjadi relawan di daerah konflik perbatasan itu?"
"Tidak. Aku mengajukan diri untuk menjadi relawan saat bulan Mei, beberapa hari setelah ulang tahunku yang ke-33."
Lisa mendesah pelan, bersikap seolah-olah dia kagum dengan apa yang Han Jisoo lakukan. Alih-alih dia sedang mencocokkan semua informasi yang didapatnya saat ini dengan data-data diri Han Jisoo yang melamar sebagai perawat Hae-in.
"Ulang tahunmu tanggal 22 Mei, kan?"
Han Jisoo tampak terkejut. "Bagaimana kau tahu?"
"Ulang tahunmu sama dengan ulang tahun ibuku. Jadi, aku mengingatnya," balas Lisa dengan tawa kecil. Tentu saja apa yang dikatakannya tadi adalah kebohongan.
Han Jisoo tampak tersenyum malu. Jauh di lubuk hatinya, dia merasa tidak enak pada Lisa karena sama sekali tidak ingat dengannya. Sementara wanita itu mengingat banyak tentangnya.
"Han Jisoo, maaf, sepertinya aku harus pergi sekarang karena kekasihku tidak ada yang menemani di kamarnya," kata Lisa saat memeriksa arlojinya. "Bisa kita lanjutkan obrolan ini kapan-kapan?"
"Oh, ya, tentu saja. Aku juga harus pergi ke suatu tempat setelah ini." Han Jisoo pun ikut berdiri seperti Lisa. Kemudian mengulurkan tangan pada lawan bicaranya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lisa."
Lisa membalasnya dengan senyum yang sama. "Senang juga bertemu denganmu, Han Jisoo. Aku akan meneleponmu nanti. Dah~" Lisa melambaikan tangan sebelum meninggalkan Han Jisoo.
Sementara Han Jisoo tampak mengerutkan alis untuk kesekian kalinya. "Dia bahkan tidak meminta kontakku. Jadi, bagaimana dia akan meneleponku?"
Han Jisoo menggeleng. Wanita itu memutuskan untuk tidak terlalu peduli dengan pertemuannya dan Lisa barusan. Karena demi Tuhan, Han Jisoo tidak merasa pernah memiliki teman bernama Lisa selama hidupnya.
"Wanita aneh," gumamnya, lalu ikut mengambil langkah ke arah yang berlawanan dengan Lisa.
Begitu berbelok ke koridor, Lisa langsung melakukan panggilan telepon dengan wajah serius yang tampak menahan kemarahannya.
"Min-gyu, apa Hae-in Oppa sedang di rumah?" tanya Lisa begitu panggilannya sudah tersambung dengan Min-gyu. "Lalu, bagaimana dengan Jisoo?"
Lisa sempat menahan napas sebentar ketika mendengar jawaban Min-gyu di seberang sana. Kemudian, menarik napas dalam-dalam.
"Min-gyu, dengarkan aku baik-baik, wanita itu bukan perawat. Dia penyusup!" Lisa menekankan kemarahannya. "Aku baru saja bertemu dengan seseorang bernama Han Jisoo. Data diri yang perawat itu kirimkan pada kita sama persis dengan milik Han Jisoo yang aku temui barusan."
"Jadi, dia memalsukan semua berkas-berkasnya untuk bisa menyusup ke markas kita? Siapa yang menyuruhnya?!" Min-gyu membalas dengan penuh keterkejutan. Mungkin matanya sudah hampir keluar sekarang karena terkejut—tapi sebenarnya tidak juga.
"Aku belum bisa memastikannya, tapi kau harus menjaga Hae-in Oppa dan mengawasi perawat palsu itu. Sementara aku mencari bukti-buktinya," titah Lisa dengan perintah tegas. "Dan tolong periksa CCTV di kamarku selama aku dan Sehun dikurung. Aku merasa ada beberapa barangku yang hilang."
"Saat itu, Jisoo memang sempat masuk ke kamarmu karena dia mencari pembalut. Kau mungkin tidak tahu karena saat kami datang, kau sepertinya sedang tidur dan Sehun mengizinkan Jisoo untuk mencarinya sendiri." Min-gyu pun membagikan sedikit informasi yang mungkin dirasa akan berguna untuk Lisa nantinya.
"Tapi aku tidak tahu kalau ada CCTV di kamarmu," kata Min-gyu menambahkan.
"Bukan CCTV sebenarnya, tapi kamera tersembunyi. Satu di bawah lampu tidur sebelah kiri, satu di rak buku bagian tengah, dan satu lagi di bagian pintu." Lisa menggulung sebentar bibirnya, lalu melanjutkan sambil menahan pipinya yang ingin merona. "Periksa hanya di hari aku dan Sehun dikurung. Jangan berani-beraninya kau memeriksa hari lain!"
Setelah memastikan kalau Min-gyu menyanggupi semua perintah yang diberikan, Lisa segera mengakhiri panggilan teleponnya, lalu lanjut melakukan pekerjaannya yang lain.
Dan Min-gyu sendiri tampak serius menanggapi perintah Lisa. Sejak mendapatkan perintah untuk mengawasi Jisoo, Min-gyu langsung berkoordinasi dengan anggota yang lain. Tanpa mengatakan yang sebenarnya.
Lalu, ketika melihat Hae-in menghampiri Jisoo dan mengatakan akan mengantar wanita itu pergi keluar, Min-gyu langsung saja menyela.
"Mr. J, kau akan pergi keluar? Aku akan mengantarmu."
"Tidak. Aku akan pergi sendiri."
"Mr. J, terakhir kali kau keluar sendiri, kau tidak pulang semalaman karena terjebak di pulau dan semalam ada orang yang menargetkanmu. Aku tidak bisa membiarkanmu keluar sendiri tanpa pengawalan apa pun."
"Aku bukan anak kecil yang perlu dijaga selama 24 jam penuh. Jadi, jangan berlebihan mengaturku dan lakukan saja tugas yang aku berikan!"
Min-gyu sudah menduga kalau reaksi Hae-in akan seperti ini. Benar-benar persis seperti yang dia bayangkan.
Dengan kepala tertunduk, Min-gyu mengutarakan permintaan maafnya dan membiarkan Jisoo memandangnya dengan cara apa pun yang wanita itu inginkan. "Maaf karena sudah lancang. Tolong berhati-hati dalam perjalananmu nanti."
Setelah Hae-in pergi, Min-gyu ikut pergi meninggalkan Jisoo. Namun, laki-laki itu tidak pergi jauh, melainkan dia bersembunyi di balik dinding dan mengintip Jisoo yang berlari ke arah kamar.
Min-gyu menyentuh alat komunikasi di dalam telinganya. "Ikuti Mr. J. Jangan sampai kehilangan jejaknya, apalagi ketahuan. Awasi juga perawat itu ke mana pun dia pergi."
Saat Tiger mengingatkan tadi, laki-laki itu mengatakannya demi kebaikan Jisoo sendiri . Bukan maksudnya untuk menggertak. Karena selama beberapa jam terakhir ini, Jisoo memang terus diawasi tanpa wanita itu sadari.
Dan sekarang, penyamaran Jisoo baru saja terbongkar. Kira-kira, apa yang akan terjadi padanya setelah ini?
Setelah rekaman suaranya dan Han Jisoo selesai diputar, Lisa memberikan berkas pribadi yang dikirimkan padanya untuk melamar sebagai perawat dan memberikan berkas asli milik Han Jisoo.
Hae-in menyamakan keduanya. Semua isinya sama, hanya foto identitasnya saja yang berbeda.
Jisoo menelan saliva dan mengantisipasi apa yang akan Hae-in katakan setelah ini. Laki-laki itu terlihat tenang, di saat seharusnya ada kemarahan yang memenuhi wajahnya.
"Dia tidak bertindak seperti perawat yang sesungguhnya karena dia palsu! Dia bahkan mencuri dari kamarku!" Lisa menambahkan ketika Hae-in masih melihat-lihat isi berkas. "Dan satu lagi, Oppa, amplop yang isinya pernyataan kalau aku menyabotase mobilmu juga adalah perbuatannya!
Dia menguping pembicaraanku dan Sehun malam itu. Kemudian menggunakan fakta itu untuk memecahkan kita Dan secara tidak langsung juga, dia telah mencuri apa yang seharusnya menjadi milikmu."
Tatapan Lisa semakin dipenuhi dengan kemarahan saat dia mengungkapkan fakta selanjutnya. Berkat bantuan Min-gyu, Lisa berhasil menjatuhkan Jisoo dan akan Lisa pastikan kalau penyusup itu akan jatuh sampai sejatuh-jatuhnya setelah ini.
Wanita itu menggerakkan kepala, memberikan kode pada seorang anggota Chimera yang berada di belakang Jisoo. Langsung saja laki-laki itu menggeledah jaket Jisoo untuk mengambil sesuatu. Sementara yang digeledah mencoba untuk menghindar, meski tahu itu sia-sia.
Anggota Chimera itu adalah orang yang sama dengan yang mengantre kopi di belakang Jisoo di rumah sakit tadi. Dia memberikan kacamata pemberian Tiger pada Hae-in dengan sopan. Kemudian, mundur dan kembali ke tempatnya.
Hae-in melihat kacamata itu dengan saksama dan ingat kalau itu adalah kacamata yang sama dengan yang Tiger berikan pada Jisoo waktu itu. Dan kalau diperhatikan secara detail, ada sebuah tombol kecil di ujung bingkainya.
Sekarang Hae-in mengerti kenapa Jisoo terlihat sangat panik saat dia iseng memakai kacamata itu beberapa waktu lalu.
"Dia berkomunikasi dengan seseorang menggunakan kacamata itu dan aku menemukan ini setelah menggeledah kamarnya." Lisa mengeluarkan radio telinga yang dulu pernah seseorang berikan padanya saat sedang ada pemeriksaan rutin, juga selembar kertas yang menunjukkan rute pelarian yang Jisoo buat selama ini.
Jisoo mengumpat kesal dalam hati. Seharusnya dia melemparkan benda kecil itu ke dalam kloset dan memilih tempat persembunyian yang jauh lebih aman untuk menyimpan rute pelariannya.
Ya Tuhan, Jisoo benar-benar sangat ceroboh! Padahal niatnya hanya berpura-pura ceroboh di depan orang lain, tapi dia sungguh banyak melakukan kesalahan di misi pentingnya ini.
"Dia pasti memiliki tujuan khusus datang ke sini dan saat tujuannya sudah tercapai, dia akan kabur menggunakan rute pelarian yang sudah dibuatnya ini." Lisa menambahkan ketika Hae-in sedang melihat rute pelarian yang Jisoo buat.
Kening Hae-in agak berkerut bingung, dia bertanya-tanya apakah Jisoo sudah benar menggambar seluk beluk tentang markas Chimera? Hae-in pikir, Jisoo sama sekali tidak tahu apa-apa meski sudah cukup lama berada di sini.
Sementara Lisa mengungkapkan segala tipu muslihatnya dan Hae-in yang tampak sibuk memikirkan setiap sudut dari markasnya, Jisoo melirik ke sekitar untuk meninjau situasi saat ini. Wanita itu sudah tidak punya pilihan, selain melarikan diri—dan membunuh Hae-in kalau mendapatkan kesempatan.
Hanya ada dua anggota Chimera di sampingnya, Hae-in yang sedang duduk, dan Lisa yang tampaknya berdiri dalam kelelahan. Jisoo pikir, dia bisa memanfaatkan situasi ini dan berharap Dewi Fortuna akan berpihak padanya.
Jisoo menarik tiang meja menggunakan kaki, lalu menendang gelas di atasnya ke arah Hae-in. Kemudian, aksinya dilanjutkan dengan menyikut perut anggota Chimera di samping kiri, setelah mencuri pistol gangster itu. Untuk anggota Chimera di samping kanannya, Jisoo menyerangnya dengan tendangan di perut.
Setelah situasi kacau ini, Jisoo melepaskan dua tembakannya pada anggota Chimera yang dia serang. Kemudian, berniat untuk melarikan diri.
Namun, siapa yang tahu kalau seseorang akan langsung menendang tangannya yang memegang pistol. Kemudian, seseorang lagi menodongkan pistolnya di bawah dagu Jisoo.
"Maju selangkah lagi, maka aku akan melubangi dagumu." Itu Sehun. Dia yang seharusnya beristirahat penuh setelah dioperasi, justru malah berdiri di depan Jisoo dengan pistol yang tampak kokoh dalam cengkeraman.
Setelah aksi tembakan tadi, ruang tamu seketika dipenuhi oleh anggota Chimera. Di mana mereka semua memegang pistol di tangan masing-masing yang mengarah pada Jisoo.
"Bawa mereka keluar." Min-gyu memerintahkan anggota Chimera lainnya yang datang bersamanya dan Sehun tadi untuk membawa dua anggota Chimera yang tergeletak di lantai.
Hanya dalam waktu kurang dari 10 detik, Jisoo berhasil membunuh dua anggota Chimera dengan tembakan di kepala dan dada.
Jisoo mematung. Tepat seperti dugaan, kalau dia sampai ketahuan menjadi penyusup, maka akhir dari ceritanya kurang lebih akan seperti ini.
Wanita itu tampak pasrah ketika tangannya ditarik paksa ke belakang oleh Min-gyu. Kemudian, diputar tubuhnya untuk kembali menghadap Hae-in dan memeriksa hasil serangannya.
Faktanya, gelas yang tadi Jisoo tendang langsung mengenai kening Hae-in dan melukai laki-laki itu.
"Serangan yang bagus. Kau pasti sudah melakukan ratusan misi." Pujian itu berasal dari Hae-in yang tengah mengusap keningnya yang berdarah. "Jadi, apa misimu saat ini adalah membunuhku?"
Sialnya, Jisoo tidak pernah membayangkan akan melihat sosok Hae-in merespons setenang ini untuk masalah yang terbilang sangat besar. Bagaimana mungkin laki-laki itu tidak terlihat terluka karena sudah dikhianati?
Todongan pistol di kepalanya memaksa Jisoo untuk menjawab pertanyaan Hae-in barusan dan cengkeraman di balik punggungnya membantu untuk mendesak.
"Misiku adalah untuk membebaskan diri dari rantai yang membelengguku selama ini." Jisoo menjawabnya dengan menjadikan Hae-in sebagai lawan bicaranya.
"Dengan cara membunuhku?"
"Dengan cara membunuh Mr. J," ralat Jisoo. Sejak awal, tujuannya adalah Mr. J dan bukannya Hae-in. Adalah sebuah kesialan karena Mr. J dan Hae-in merupakan orang yang sama.
Hae-in tersenyum dengan sudut bibir, lalu duduk di lengan sofa sambil melipat kedua tangan di dada dan menatap Jisoo. "Kuakui kalau kau memang punya keberanian yang sangat luar biasa karena berani menginjakkan kakimu di sini. Tapi apa kau tidak pernah mendengar apa pun tentangku atau Chimera sebelumnya?"
"Kau seorang gangster," balas Jisoo. "Pimpinan gangster yang konon katanya sangat kejam karena kau membunuh pemimpin sebelumnya untuk mendapatkan semua ini."
Hae-in terkesan akan pengetahuan Jisoo, hingga alisnya bergerak memberikan pujian samar. "Tapi kau tetap memutuskan untuk datang ke sini dengan misi membunuhku?"
"Karena aku harus melakukannya."
Hae-in mengangguk sambil mempertimbangkan sesuatu. Kemudian berdiri dan tampak kecewa karena suatu alasan. "Sebenarnya, aku ingin melihat sampai sejauh mana rencanamu untuk membunuhku, tapi karena sudah seperti ini ... maka aku tidak punya pilihan lain."
"Hyung, jadi kau sudah tahu kalau dia adalah penyusup?" Sehun bertanya dengan ketidakpercayaan, hingga alisnya berlipat. "Sejak kapan?"
Hae-in tertawa lebih dulu sebelum menjawab karena dia merasa hal ini agak konyol. "Kurang dari dua jam yang lalu."
Ah, sekarang Jisoo tahu kenapa Hae-in tiba-tiba mengajaknya untuk makan di kedai yang berseberangan langsung dengan lokasi kejadian penembakan 3 tahun lalu. Kemungkinan terbesar adalah Hae-in juga tahu kalau yang menembaknya saat itu adalah Jisoo.
"Dia milikmu sepenuhnya, Lisa," kata Hae-in pada Lisa. Untuk pertama kalinya, dia tersenyum lagi pada wanita yang sudah mengkhianati dan nyaris membunuhnya. "Lakukan apa pun yang kau inginkan, tapi jangan membunuhnya sampai aku perintahkan."
Lisa yang sebelumnya tampak tersenyum penuh kemenangan karena akhirnya berhasil menjatuhkan Jisoo, hampir tidak bernapas saat mendengar pernyataan Hae-in barusan.
"Anggap saja ini hadiah dariku karena kau sudah berusaha untuk membongkar kejahatannya sebelum aku benar-benar mati." Meski keningnya terluka, tapi Hae-in tidak keberatan untuk tersenyum pada sosok yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. "Aku ke kamar dulu," katanya seraya menepuk bahu Lisa.
Wow~ Kaki Lisa rasanya lemas seketika saat kepercayaan Hae-in kembali dalam genggamannya. Wanita itu membongkar kebusukan Jisoo tanpa berpikir kalau dia akan mendapatkan imbalan sebesar ini.
Sekarang, mata Lisa tampak berbinar cerah dengan senyum di sudut bibirnya. "Bawa dia ke ruang bawah tanah, Min-gyu."
Min-gyu menyanggupi dengan anggukan, kemudian memaksa Jisoo untuk berjalan menuju ruang bawah tanah. Dengan empat anggota Chimera yang menemaninya dengan pistol.
Kalau wanita itu melakukan gerakan tidak terduga untuk melawan Min-gyu, maka keempat anggota Chimera itu diizinkan untuk melumpuhkan Jisoo dengan tembakan.
Jisoo tidak dipenjarakan seperti Sehun dan Lisa sebelumnya. Melainkan tubuhnya diikat di tiang dengan lakban agar tidak bisa kabur ke mana pun. Setidaknya, ada 20 lilitan lakban di tubuh Jisoo, tidak termasuk dengan bagian kaki.
Selain Lisa, Min-gyu adalah orang yang paling puas melihat ketidakberdayaan Jisoo saat ini.
"Sejak awal, aku sudah menduga kalau kau memang punya niat buruk di sini," kata Min-gyu. Tatapannya tampak semakin meremehkan Jisoo ketika dia sudah mengetahui yang sebenarnya.
Jisoo mengangguk dengan senyum kering. "Tutup saja mulutmu dan pergilah! Jangan sampai kau masuk dalam daftar orang-orang yang akan kubunuh nantinya."
Min-gyu mendecih sinis dan mencengkeram rahang Jisoo agar wanita itu menatapnya. "Lihatlah wanita berengsek ini. Bahkan dalam keadaan seperti ini saja kau masih bisa sombong."
"Itu karena aku sangat kompeten," balas Jisoo dengan gigi gemertak karena menahan cengkeraman di rahangnya.
Min-gyu melepaskan kasar rahang Jisoo dan hampir melemparkan wajah wanita itu. "Mari kita lihat seberapa kompetennya dirimu," ejeknya sebelum meninggalkan Jisoo.
Sekarang, Jisoo sendirian. Di ruang bawah tanah yang memiliki jendela berpalang tidak lebih dari satu, yang berada 5 meter di atas kepala. Dinding batu yang mengelilinginya terasa lembap, begitu juga dengan lantai yang terasa licin karena lumut.
Tubuhnya menggeliat untuk melepaskan diri, tapi sia-sia. Lakban yang mengikatnya sangat ketat. Min-gyu sangat pandai dalam pekerjaannya, membuat Jisoo harus berusaha keras untuk melepaskan diri.
Kalau itu hanya tali biasa, maka Jisoo bisa melepaskan diri dengan mudah. Tapi karena yang melilitnya saat ini adalah lakban, Jisoo harus ekstra berusaha untuk melepaskan diri—meski usahanya tidak berguna.
Langkah kaki berderap mendekat ketika Jisoo mati-matian mencoba untuk melepaskan lakban yang mengikat pergelangan tangannya.
Usahanya untuk melepaskan diri Jisoo hentikan. Kepalanya pun dia tundukan seakan-akan tidak berdaya. Aroma manis parfum langsung menyapa hidung Jisoo ketika sepasang kaki berhenti tepat di depannya.
Sepertinya ruangan yang Jisoo tempati ini sangat bau, hingga dia merasa begitu bersyukur atas wewangian yang bisa dihirupnya saat ini.
Kepala Jisoo yang semula tertunduk di angkat dengan cara menahan dagu wanita itu. Di mana Lisa siap melakukan pembalasan atas perbuatan Jisoo yang sangat merugikannya.
Satu pukulan Lisa berikan di pipi sebelah kanan Jisoo sebagai bentuk sapaannya siang ini. "Itu karena kau sudah menipuku." Kemudian memberikan pukulan yang lebih keras di tempat yang sama. "Itu karena sudah menguping pembicaraanku dan Sehun."
Lisa memberikan pukulan di wajah Jisoo sesuai dengan kesalahan yang perawat palsu itu lakukan. Kesalahan lainnya yang Lisa sebutkan adalah karena membongkar rahasianya, karena membuatnya dan Sehun dikurung, karena membuatnya kelaparan dalam keadaan hamil, karena menghilangkan kepercayaan Hae-in padanya dan terakhir karena sudah mencuri barang-barangnya.
Jadi, setidaknya, Jisoo mendapatkan tujuh pukulan beruntun di tempat yang sama. Namun, untuk lima pukulan selanjutnya, Lisa memukul setelah memasang keling di tangan kanannya.
Alhasil, agen rahasia yang penyamarannya sudah terbongkar itu mendapatkan luka yang cukup parah pada sebelah pipinya.
Lisa pun buru-buru melepaskan keling di tangannya yang sudah berlumuran darah dan membuangnya sembarangan. Rupanya tangan wanita itu juga sedikit lecet, tapi tidak separah pipi Jisoo yang sudah berdarah-darah sekarang.
Rahang Jisoo menjadi kaku dan mulutnya hampir tidak bisa digerakkan karena rasa sakit dari pukulan Lisa. Dia menunduk untuk menyembunyikan air matanya yang ingin jatuh.
Namun, lagi-lagi Lisa memaksa Jisoo untuk menatapnya dengan cara menarik rambut perawat palsu itu. Dan sebelah tangannya dia gunakan dengan senang hati untuk menambahkan rasa sakit Jisoo dengan mencengkeram pipinya yang terluka.
"Ini baru permulaan saja," bisik Lisa. "Aku akan menunjukkan padamu kalau berurusan denganku adalah sebuah kesalahan besar."
Siapa pun yang melihat ekspresi Lisa saat ini, pasti bisa merasakan betapa puasnya wanita itu atas pembalasan yang baru saja dia berikan pada Jisoo.
Dan seperti yang Lisa katakan, ini baru permulaan saja. Masih ada banyak kejutan yang menunggu Jisoo ke depannya dan jangan harap kalau Lisa akan bermurah hati setelah Jisoo membuatnya dikurung di ruang bawah tanah selama berhari-hari.
Akan Lisa pastikan kalau Jisoo mendapat balasan yang lebih mengerikan dari apa yang menimpa Lisa sebelumnya.
*********
Terpantau sejauh ini, pimpinan Chimera kita nggak hancur-hancur amat hatinya pas tau kalau perawat kesayangannya ini penyusup.
Masih mode sok kalem, sok tidak dikhianati, dan sok tidak terluka.
Malah kemarahan Lisa yang mencuri spotlight. Chapter depan Jisoo makin ancur di tangan Lisa pokoknya.
Mr. J mah nggak tega. Makanya diserahin ke Lisa aja 🙈🙈🙈
13 Oktober 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro