11. Menghapus Batasan
Berhubung respons di chapter sebelumnya sangat amat positif menanggapi sistem update yang sebulan sekali. Kali ini, aku bawa Mr. J dan Moora naik ke permukaan lebih cepat 😁😁😁😁
Aku menerima segala keberisikan kalian dengan senang hati. Jadi, halal untuk memberikan cinta yang banyak buat lapak ini 😚😚😚
Harusnya chapter ini digabung sama acara lelang, tapi panjang sekali, gaes. 7000 words aja lewat. Jadinya, mau nggak mau harus dibagi dua demi kesehatan mata kalian 🤣🤣🤣
Happy reading~
Jisoo menikmati belaian lembut di pipinya, membiarkan jari-jari dingin sang Pimpinan Chimera menggoda dengan usapan lembut nan memabukkan.
Dari tulang pipi, Hae-in beralih untuk mengusap bibir basah yang saat ini tampak jauh lebih menggoda setelah menyatu dengan bibirnya.
Masih dengan tatapan yang dipenuhi dengan kabut gairah, Hae-in mendorong ibu jarinya untuk menyelinap di antara bibir Jisoo. Pandangannya tidak lepas dari sang perawat, memeriksa setiap detik perubahannya, sambil menerka apa yang wanita itu pikirkan atas tindakan yang dilakukannya saat ini.
Jisoo membiarkan ibu jari Hae-in menyelinap memasuki mulutnya, menggigit ujung jarinya, kemudian mengisapnya untuk membalas godaan sebelumnya.
Hae-in terkejut, tapi tidak bereaksi banyak, apa lagi menarik jarinya untuk keluar dari mulut Jisoo. Laki-laki itu membiarkan selama beberapa saat dan menunggu apa yang akan Jisoo lakukan.
Tidak sampai 10 detik, Jisoo menarik tangan Hae-in untuk keluar dari mulutnya, kemudian menggenggam ibu jari laki-laki itu dengan sangat erat. "Maaf," katanya dengan penuh sesal.
"Untuk apa?" tanya Hae-in dengan alis berkerut bingung. Bukan ini yang laki-laki itu bayangkan akan Jisoo katakan setelah mengisap jarinya.
"Untuk semuanya."
Hae-in tidak mengerti. Samar-samar dia menggeleng, menunjukkan pada lawan bicaranya betapa dia tidak memahami pembicaraan ini.
"Terutama karena sudah jatuh cinta padamu." Bisikan Jisoo terdengar begitu halus, tampak seperti sedang mencoba untuk membuat Hae-in bertindak lebih padanya.
Memimpin sebuah kelompok gangster bukan berarti Hae-in berpengalaman untuk menghadapi pengakuan cinta seperti ini. Kalau boleh jujur, ini adalah pengakuan cinta pertama yang membuatnya terdiam selama beberapa saat.
"Kau jatuh cinta ... padaku?" tanya Hae-in memastikan. Sudut bibirnya terlihat menyeringai tipis, sangat tipis.
Jisoo mengangguk pelan, menjilat bibirnya dengan gerakan yang begitu lambat, dan membiarkan Hae-in mengikuti setiap pergerakan kecil yang dilakukannya.
"Aku tahu tidak seharusnya aku memiliki perasaan seperti itu padamu, tapi aku ...." Jisoo mengatupkan mulutnya ketika kata yang ingin dia ucapkan tersangkut di ujung tenggorokan. "Entahlah, Mr. J, aku ... aku tidak tahu harus mengatakannya dengan cara seperti apa."
Hae-in terkesan dengan kejujuran Jisoo. Tampaknya wanita itu memerlukan banyak keyakinan untuk bisa mengutarakan isi hatinya karena genggaman pada ibu jarinya terasa begitu erat.
"Ini bahkan baru 2 minggu, Han Jisoo." Hae-in mengingatkan, tanpa ada maksud meremehkan perasaan wanita di depannya.
Genggaman di ibu jari Hae-in melonggar perlahan, dengan senyum kaku dari lawan bicaranya yang baru saja laki-laki itu lihat.
"Ya, aku tahu. Itulah sebabnya aku meminta maaf padamu," balas Jisoo, sebisa mungkin menahan rasa kecewanya di dalam dada. "Sekali lagi aku minta—"
Permintaan maaf yang ingin Jisoo utarakan tertahan ketika bibirnya dibungkam dengan sesuatu yang kenyal seperti jeli. Gigitan-gigitan kecil diberikan sebagai jawaban atas pernyataan cinta sebelumnya. Tengkuknya ditekan agar lebih merapat.
"Kau terlalu banyak bicara." Hae-in berbisik ketika melepaskan tautan bibirnya dan Jisoo selama beberapa saat, sebelum mendorong wanita itu ke kasur dan menindihnya, tanpa benar-benar membebankan berat tubuhnya pada sang perawat.
"Salahmu karena tidak membungkamku," balas Jisoo tanpa ada kegugupan lagi di wajahnya. Sepertinya wanita itu sudah mulai terbiasa sekarang, hingga tidak terlalu malu untuk balas menggoda.
Tepat setelah Jisoo menyelesaikan ucapannya, bibir wanita itu langsung dibungkam oleh laki-laki di atasnya.
Lidah keduanya saling membelit, mencoba untuk menarik satu sama lain, dan memilikinya hanya untuk diri sendiri.
Entah sejak kapan, tapi tangan Jisoo sudah memeluk punggung Hae-in dan membiarkan mulutnya dieksplorasi oleh sang Pimpinan Chimera, bahkan ketika ada tangan yang menyusup untuk mengusap dadanya dari dalam kaus yang dia kenakan, Jisoo tidak melakukan apa pun.
Keduanya sama-sama menginginkan satu sama lain saat ini. Jadi, tidak ada alasan bagi Jisoo untuk melarang Hae-in dan tidak ada alasan bagi Hae-in juga untuk menahan diri.
Tangan Jisoo yang semula berada di punggung Hae-in bergerak turun untuk mencari ujung kaus laki-laki itu, kemudian menariknya keluar dari kepala, membuat ciuman keduanya terpaksa berhenti.
Hae-in terkekeh kala merasa Jisoo bertindak mendahuluinya. Laki-laki itu ingin melakukan hal yang sama, tapi tangannya dicegah agar tidak menarik kaus Jisoo.
Tanda tanya pun tampak muncul di kening Hae-in. Kenapa Jisoo melepaskan kaus Hae-in, kalau laki-laki itu tidak boleh melakukan hal yang sama?
"Apa kau bisa mematikan lampunya?" Jisoo bertanya di tengah gempuran hasrat yang menggelora di sekujur tubuhnya.
"Apa ada sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat?" Hae-in bertanya, membiarkan Jisoo menggenggam erat sebelah tangannya.
"Bekas lukaku."
Napas Hae-in sempat tertahan kala pandangannya terkunci pada jawaban yang baru saja didengarnya. Namun, alih-alih mematikan lampu seperti yang diminta, dia malah menyibak kaus Jisoo ke dada, memperlihatkan perut rata dan bra wanita itu.
Jisoo terkejut, tapi tidak bisa menahan Hae-in seperti sebelumnya dan membiarkan laki-laki itu melihat beberapa bekas luka di tubuhnya.
Tidak hanya satu, tapi Hae-in melihat ada beberapa bekas luka, dengan beberapa bekas jahitan lama. Seakan tidak pernah melihat luka di tubuh seseorang, Hae-in mengusapnya dengan penuh keingintahuan.
"Kapan kau mendapatkan luka-luka ini?" Pertanyaan itu Hae-in lemparkan tanpa melihat ke arah Jisoo karena dia merasa prihatin dengan goresan-goresan yang mengotori tubuh perawatnya. Pantas saja Jisoo tidak ingin Hae-in melihatnya.
"Kebanyakan saat aku berusia 18 tahun."
Hae-in mendongak untuk meminta penjelasan yang lebih banyak, tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
"Ayahku yang melakukannya."
Sang Pimpinan Chimera tampak prihatin. Gairahnya tidak padam, tapi kesedihan tampak menyinari sudut matanya.
Laki-laki itu tidak bertanya lagi dan membiarkan bibirnya bekerja menyembuhkan luka lama Jisoo dengan mengecupnya satu per satu dan menahan pinggang wanita itu agar tidak lari darinya.
Jisoo membiarkan dan mengizinkan Hae-in melepaskan kaus yang dipakainya saat ini. Sekarang Jisoo hanya menggunakan bra, dengan Hae-in yang berada di atasnya.
Meski dengan bekas luka, tapi tidak membuat Hae-in jijik pada wanita di bawahnya. Dia malah menatap dengan begitu memuja, sebelum mendaratkan kecupan ringan di tulang dada Jisoo untuk menaikkan rasa percaya diri wanita itu.
"Bahkan dengan luka-luka ini, kau masih tetap cantik di mataku," puji Hae-in agar Jisoo tidak lagi merasa malu padanya atas luka-luka itu.
Jisoo tersipu, tapi tidak mengatakan apa pun selain membalas dengan senyum kecil dan membiarkan Hae-in menjelajahi tubuhnya dengan bibir, sementara dia menekan kepala laki-laki itu agar menciumnya lebih dalam.
Apa Jisoo sudah kehilangan akal dengan membiarkan Hae-in melihat tubuhnya yang tidak dibalut dengan pakaian? Tentu saja tidak. Jisoo melakukannya dengan kesadaran penuh.
"Mr. J." Desahan itu tidak sengaja lolos dari bibir Jisoo ketika Hae-in baru saja menarik turun tali di bahunya dan merasakan sebuah kehangatan membungkus dada sebelah kirinya, lengkap dengan godaan nakalnya.
Hae-in mendongak dan melepaskan bibirnya dari dada Jisoo, kemudian menempatkan wajahnya tepat di hadapan wanita itu.
"Hae-in." Sang Pimpinan Chimera memberitahu wanita di bawahnya dengan kembali memainkan ibu jarinya dia bibir Jisoo. "Panggil aku Hae-in."
Kedua sudut bibir Jisoo tampak melengkungkan senyum di tengah sengatan yang memabukkan. "Bolehkah?"
Hae-in membalas dengan anggukan. Meski keinginan untuk melewati semua batasan yang ada di antara dirinya dan Jisoo tampak sangat berapi-api, tapi sorot matanya begitu lembut ketika memberikan Jisoo izin untuk memanggil nama aslinya.
"Hae-in."
Sekarang giliran Hae-in yang tersenyum ketika Jisoo memanggilnya dengan menggunakan nama asli. Rasanya cukup menyenangkan, hingga perut laki-laki itu menegang, begitu juga dengan sesuatu yang ada di bawah sana.
Hae-in mencium kening Jisoo, membuat wanita itu menutup mata dan mengeratkan cengkeramannya pada bahu sang Pimpinan Chimera. Mata, hidung, pipi, bibir, dan telinganya tidak luput dari penjelajahan bibir Hae-in.
Lehernya kembali di eksplorasi, di saat yang bersamaan pula benda yang menutupi dadanya dilepaskan.
Demi Tuhan, Jisoo tidak pernah membayangkan kalau dia akan mendesahkan nama laki-laki yang harus dia bunuh dan memohon untuk sebuah sentuhan.
Bukan salah Jisoo kalau dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menjadi jalang di bawah kekuasaan Hae-in. Semuanya adalah salah laki-laki itu yang terlalu terampil menggunakan bibir dan tangannya untuk menggoda Jisoo di saat yang sama.
Jisoo beberapa kali melakukan misi dengan metode pendekatan yang digunakannya pada Hae-in, tapi tidak pernah sampai sejauh ini. Wanita itu tidak pernah bercinta dengan targetnya sendiri.
Hal yang seharusnya terasa aneh, justru malah tidak Jisoo rasakan saat ini. Wanita itu terkesan menikmati ketika setiap inci tubuhnya mendapatkan sentuhan Hae-in.
Tubuh Jisoo tampak lemah dan berkeringat ketika Hae-in selesai memamerkan keterampilannya. Bibir wanita itu tampak melengkungkan senyum ketika matanya mendapatkan kecupan lembut.
***
Ketika Jisoo membuka matanya, matahari belum terbit. Langit yang bersembunyi di balik gorden tampak masih gelap. Tubuhnya yang memunggungi Hae-in dipeluk dari belakang, dengan kening laki-laki itu yang menempel di permukaan kulit Jisoo.
Sebelah tangan Hae-in menyilang di depan dada Jisoo untuk mencapai bahu, sebelahnya lagi memeluk di perut. Pelukannya terasa begitu ketat, membuat Jisoo nyaris tidak bisa melepaskan diri.
Wanita itu menoleh ke belakang untuk memastikan apakah sang Pimpinan Chimera itu masih tidur atau sudah bangun, tapi sengaja memeluknya dengan erat. Namun faktanya, Hae-in masih nyenyak dalam tidurnya, dengan rambut yang super berantakan akibat percintaan panas semalam.
Tangannya mengusap asal-asalan rambut Hae-in, mencium punggung tangan yang ada di bahunya, kemudian memeluk lengan yang menyilang di depan dadanya.
Untuk orang yang tidak tahu kalau Jisoo sedang menjalankan misi saat ini, pasti mereka akan berpikir kalau wanita itu sangat mencintai Hae-in, alih-alih menunggu waktu yang tepat untuk membunuh laki-laki itu demi mendapatkan kebebasannya.
Jisoo tidak melakukan apa pun selama Hae-in memeluknya. Wanita itu menunggu dilepaskan agar tidak mengganggu tidur sang Pimpinan Chimera. Ketika Hae-in menarik tangannya yang memeluk Jisoo, barulah wanita itu membalikkan tubuhnya untuk menatap laki-laki yang beberapa jam lalu membuatnya seperti jalang karena terus memohon.
Percintaan semalam sepenuhnya dipimpin oleh Hae-in. Rasanya Jisoo bahkan tidak melakukan apa pun pada Hae-in selain melepaskan kaus laki-laki itu, sisanya dikendalikan penuh oleh sang pimpinan gangster.
Saat harus menyeka tubuh Hae-in pertama kali, Jisoo tampak takut dan malu-malu, tapi sekarang dia bahkan dengan tenang mengusapnya langsung menggunakan tangan. Wanita itu berhenti di salah satu luka di perut Hae-in. Itu adalah luka tembak yang dia berikan 3 tahun lalu.
Sekarang Jisoo bertanya-tanya, apa Hae-in masih mengingat bagaimana luka itu dia dapatkan atau tidak.
"Itu luka tembak." Suara laki-laki itu terdengar begitu serak. Rupanya Hae-in berhasil menggenggam kesadarannya ketika Jisoo asyik mengeksplorasi dada dan perutnya yang tidak di balut pakaian apa pun.
Jisoo membenarkan dengan gumam dan mengusapnya untuk terakhir kali. Wanita itu sama sekali tidak merasa terkejut ketika Hae-in bersuara seolah ingin memuaskan rasa ingin tahunya.
"Kapan kau mendapatkannya?" Jisoo mendongak, bertanya seolah dia tidak tahu apa-apa.
"Beberapa minggu atau bulan sebelum kecelakaan."
Jisoo mengangguk dengan senyum kering, tanpa ingin bertanya lagi. Wanita itu takut kalau dia malah mengingatkan Hae-in pada sesuatu yang mungkin sudah dilupakan oleh Pimpinan Chimera itu.
Tiba-tiba saja suasana menjadi agak canggung ketika Jisoo menarik selimut untuk menutupi dadanya. Wanita itu tidak ingin tahu ada berapa banyak jejak cinta yang Hae-in berikan di tubuhnya. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah Hae-in melakukannya berkali-kali.
Menoleh ke arah jendela, matahari sudah tampak menunjukkan sinarnya dan mulai mengintip di balik gorden dan hanya hitungan menit saja, seseorang pasti akan datang ke kamar Hae-in untuk membangunkan laki-laki itu atau sekadar mengantarkan sarapan.
"Kau ingin mandi lebih dulu? Aku akan menyiapkan air hangat untukmu," kata Jisoo saat Hae-in kembali menatapnya setelah menatap jendela.
"Kau duluan saja. Aku masih malas." Hae-in mengeluh dengan ringisan, kemudian membalikkan tubuh dan membiarkan punggungnya yang berada di permukaan sekarang.
"Tapi bagaimana aku bisa pergi kalau kau memelukku seperti ini?" Jisoo melayangkan sedikit keluhan karena tangan Hae-in masih melingkari perutnya.
Hae-in yang semula menenggelamkan wajahnya pada bantal, sekarang memperlihatkan setengahnya pada Jisoo. "Apa kau ingat apa yang kau katakan padaku semalam?"
Jisoo mengedip cepat, tampak gugup. "Kenapa tiba-tiba menanyakannya?" tanyanya balik, seraya menghindari kontak mata Hae-in.
"Kau mengatakan kalau kau mencintaiku." Hae-in dengan senang hati mengulang apa yang Jisoo hindari untuk dikatakannya barusan dan membiarkan senyum menggodanya muncul di sudut bibir.
Jisoo merona, tapi menutupinya dengan decakan sebal dan pukul ringan di punggung Hae-in. "Jangan katakan itu lagi! Anggap aku tidak pernah mengatakannya."
"Kenapa? Kau malu?"
"A-Aku masih sakit dan masih dalam pengaruh obat semalam. Jadi, aku tidak tahu apa yang kukatakan," kilah Jisoo mati-matian.
Hae-in membalas dengan gumam. "Jadi, kau tidak jatuh cinta padaku?"
Jisoo bungkam, berusaha untuk menghindari tatapan Hae-in, dan menahan tubuhnya untuk memberikan reaksi atas godaan barusan.
"Kupikir semalam ada yang mengatakan cinta padaku saat mendapatkan orga—"
Sebelum Hae-in menyelesaikan kalimatnya, Jisoo sudah lebih dulu menutup mulut laki-laki itu dengan tatapan tajam. Dia tahu Hae-in akan mempermalukannya dengan mengungkit kejadian semalam. Jadi, sebisa mungkin Jisoo mencegah laki-laki itu menggoda lebih jauh.
"Ya, aku mengatakannya! Jadi, kau tidak perlu mengingatkan," tegas Jisoo berapi-api.
Hae-in menyingkirkan tangan Jisoo yang membungkamnya dan menciumnya dengan sudut bibir. "Memang apa yang kau katakan?" tantangnya, masih dengan nada menggoda.
Jisoo berdecak sebal. Kenapa laki-laki di depannya ini tiba-tiba jadi suka menggoda? Apa karena Jisoo mengakui perasaannya lebih dulu jadi Hae-in merasa di atas angin?
"Tolong berhenti menggodaku. Rasanya sangat memalukan." Jisoo mengeluh, memohon agar tidak diingatkan lagi akan tindakan memalukan yang dia lakukan semalam.
Hae-in tertawa kecil, kemudian merapatkan diri pada Jisoo dan membiarkan bibirnya menabrak lengan wanita itu, kemudian menggosokkan rambutnya di sana.
"Kau lucu sekali, Han Jisoo."
Eh, lucu? Apa Jisoo tidak salah dengar? Kenapa tiba-tiba Hae-in memujinya seperti itu? Padahal sebelumnya Hae-in mengatakan kalau Jisoo ada tipe ketiga untuk kategori orang yang dibencinya. Kalau Hae-in mengatakan Jisoo lucu, apa itu artinya laki-laki itu sudah menyukai Jisoo?
"Tapi kau menyebalkan, Mr. J," sahut Jisoo setengah kecut.
Memang Hae-in sudah mengatakan kalau Jisoo boleh memanggil dengan nama aslinya, tapi wanita itu berpikir kalau pengecualian tersebut hanya berlaku untuk tadi malam. Itulah sebabnya dia kembali memanggil Hae-in dengan penuh kesopanan.
Hae-in hendak membalas. Bibirnya pun sudah terbuka untuk mengucapkan kata, tapi kalah cepat dengan ketukan di pintu.
"Mr. J."
"Ada apa?" Hae-in menyahut tanpa membalikkan punggungnya. Dia hanya menoleh asal-asalan ke pintu kamarnya.
"Aku membawakan sarapan untukmu."
Hae-in melirik Jisoo, senyum jail masih tidak lepas dari wajahnya. "Masuk saja."
Mata Jisoo membulat melayangkan protes. Bagaimana mungkin Hae-in menyuruh seseorang untuk masuk, sementara mereka masih dalam keadaan telanjang dan pakaian yang berserakan?
Jisoo buru-buru menyembunyikan tubuhnya di balik selimut saat pintu terdorong ke dalam. Wanita itu jelas tidak ingin bertemu dengan siapa pun dalam kondisi habis bercinta seperti ini, sementara Hae-in sigap menarik punggungnya dan mengambil sikap setengah duduk setelah menyugar rambut ke belakang.
Anggota Chimera itu tampak penasaran dengan gelembung di balik selimut yang ada di samping Hae-in. Namun, tidak ada pertanyaan yang terucap dari bibirnya. Laki-laki itu berusaha untuk menyembunyikan rasa ingin tahunya dengan pura-pura tidak melihat pakaian yang berserakan di lantai.
Jisoo mengintip ketika pintu terdengar menutup, kemudian memukul punggung Hae-in karena keterlaluan sudah menjailinya. Mau ditaruh di mana wajah Jisoo kalau dia sampai ketahuan bercinta dengan Pimpinan Chimera itu?
"Kau pasti benar-benar ingin membuatku terlibat dalam masalah," geram Jisoo dengan tatapan yang tampak sengit.
Geraman Jisoo malah dibalas dengan tawa kecil oleh Hae-in karena melihat wajah wanita itu yang memerah akibat panik. "Anggap saja untuk melatih ketangkasanmu."
"Cih, ketangkasan apanya!"
"Sana mandi." Hae-in memukul asal lengan Jisoo yang berada di luar selimut.
Jisoo menggerutu sebal, dengan pandangan yang masih penuh dengan aura permusuhan, kemudian menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuh Hae-in dan melilitkan ke tubuhnya.
"Rupanya kau masih belum puas melihat tubuh telanjangku." Alih-alih malu karena tubuh telanjangnya terekspos, Hae-in malah dengan percaya diri menunjukkan tubuhnya di depan Jisoo. "Ya, nikmati saja pemandangan tubuhku selagi kau bisa," kata Hae-in seraya melipat kedua tangannya di belakang kepala dan bersandar, seolah dia sedang bersantai di tepi pantai dengan matahari terbenam saat musim semi.
Jisoo yang malu segera melarikan diri ke kamar mandi dan tidak membiarkan dirinya menatap tubuh telanjang Hae-in lebih dari 3 detik.
Tolong jangan tanyakan bagaimana perasaan Jisoo saat ini. Tentu saja dia merasa begitu kacau. Wanita itu benar-benar tidak ingin mengingat apa pun yang sudah terjadi antara dirinya dan Hae-in semalam.
***
Hae-in sudah mematut dirinya di depan cermin lebih dari 15x siang ini. Itu semua karena laki-laki itu belum menemukan setelan yang menurutnya cocok untuk dia kenakan di acara pelelangan nanti malam. Padahal sudah ada penata busananya, tapi Pimpinan Chimera itu tampak tidak terlalu memerlukannya dan hanya dijadikan pajangan saja.
"Mr. J, apa kau akan melakukannya sepanjang hari?" Jisoo melayangkan keluhannya saat merasa matanya sudah sangat kelelahan melihat Hae-in yang sibuk mematut diri dengan pakaian yang berbeda-beda. "Tidakkah kau lelah karena terus berganti dari satu pakaian ke pakaian lain?"
Hae-in yang merasa disindir langsung menoleh ke arah Jisoo yang ada di belakangnya. "Hei, ini adalah kali pertama aku menghadiri acara besar. Tidakkah kau pikir aku perlu tampil maksimal?"
"Kau sudah sangat tampan," sahut Jisoo dengan penuh penekanan, "Jadi, pakaian sejelek apa pun tidak akan mengurangi harga jual dirimu."
"Aku tahu aku tampan, tapi tidak ada salahnya untuk memamerkannya pada seluruh dunia, kan? Toh, ketampananku tidak bisa disembunyikan dengan cara apa pun."
Mendengar kepercayaan diri yang berlebih itu membuat Jisoo memutar malas bola matanya. Bahkan jika dia tidak bercinta dengan pimpinan gangster itu, Jisoo akan tetap melakukannya.
"Menurutmu bagaimana?" Hae-in memutar tubuhnya dan meminta pendapat Jisoo atas setelan yang dipakainya saat ini.
Laki-laki itu mengenakan setelan jas berwarna hitam, dengan kemeja hitam yang diberikan aksesori kalung yang menjuntai sebatas dada. Tentu Pimpinan Chimera itu tampak tampan, terlebih lagi dengan anting yang menjepit daun telinga, memberikan kesan betapa arogan dan sulitnya laki-laki itu untuk digapai.
Jisoo menggeleng setelah selesai melakukan penilaian. "Terlalu mencolok. Orang-orang mungkin akan lebih tertarik padamu, daripada acara pelelangan itu."
"Cemburu, hmm?" Hae-in tersenyum dengan nada jail yang begitu menggoda, mengabaikan penata busananya yang tampak kelelahan karena berdiri, sementara Jisoo bisa dengan santainya duduk di sofa empuk.
"Aku lebih suka setelan yang sebelumnya," kata Jisoo menambahkan penilaiannya dan mengabaikan godaan yang baru saja didengarnya.
Hae-in menunjuk setelan terakhir yang dipakainya, yang sudah digantung rapi oleh asisten dari penata busananya. "Yang itu?"
Jisoo mengangguk dalam gumam.
Hae-in memandang lama sekali setelan jas yang Jisoo pilih untuknya, kemudian membandingkan dengan pakaian yang dipakainya saat ini.
"Baiklah, aku akan mengambil pakaian yang itu." Pada akhirnya, Hae-in mengikuti pilihan Jisoo.
Setelah dia pikir-pikir lagi, selera Jisoo tidak benar-benar buruk. Sebelumnya pun Hae-in sempat berpikir untuk mengambil pakaian yang sebelumnya, tapi karena tidak ada yang bersuara untuk memujinya, maka dia memutuskan untuk mencari pakaian yang lain.
"Harusnya aku mengatakannya sejak awal," gumam Jisoo pada dirinya sendiri.
Percayalah, Jisoo lebih suka latihan menembak daripada harus menunggu Hae-in melakukan eksperimen dengan setumpuk pakaian.
Sekarang wanita itu menatap kedua tangannya yang tiba-tiba saja terasa kaku. Tidak ada benda apa pun di tangannya, tapi dia seakan bisa merasakan Tokarev TT-33 miliknya dengan 840 g itu sedang berbaring di tangannya. Pistol semi otomatis dengan magazen 8 peluru yang memiliki kecepatan 420 m/s itu adalah senjata api kesayangannya.
Sungguh, Jisoo merindukan dirinya yang berprofesi sebagai agen rahasia yang menjalankan misi membahayakan di luar sana, dengan pistol kesayangannya. Bukan terjebak dalam markas besar dari gangster kenamaan tanpa bisa melakukan apa pun.
"Ada apa? Kenapa kau terus melihat tanganmu?"
Jisoo tidak sadar kapan Hae-in mendekatinya. Tahu-tahu saja laki-laki itu sudah berdiri di depannya dan mengambil tangannya untuk melihat telapak tangan yang semula dia jadikan objek.
"Apa kau terluka?"
Jisoo menggeleng setengah malas. "Hanya merasa sedikit kebas saja."
Dengan inisiatifnya sendiri, Hae-in memijat telapak tangan Jisoo untuk menghilangkan rasa kebas itu. Laki-laki itu tidak perlu meminta izin untuk memijat tangan Jisoo setelah semalam keduanya melakukan lebih dari sekadar memijat tangan.
"Lebih baik?"
Jisoo mengangguk dalam gumam samar. Sebelum Hae-in melakukannya, Jisoo sudah lebih dulu melakukannya. Saat Pimpinan Chimera itu masih dalam masa pemulihan dan melatih otot-otot tangannya, Jisoo kerap kali memijat tangan Hae-in seperti yang laki-laki itu lakukan padanya saat ini.
"Kalau begitu, pilihlah pakaianmu," kata Hae-in melepaskan tangan Jisoo dan menoleh ke sisi kirinya tempat gantungan yang dipenuhi busana wanita.
Jisoo sudah melihatnya sejak awal, tapi dia tidak berpikir kalau salah satu gaun itu akan menjadi miliknya malam ini. Karena sejak awal dia meyakini kalau gaun-gaun itu disediakan untuk Lisa, bukan untuknya.
"Aku?" Jisoo menunjuk dirinya dengan penuh kebingungan. "Untuk apa aku memilihnya? Kau ingin memberiku hadiah?"
"Apa kau ingin pergi ke acara pelelangan dengan bertelanjang?"
Tunggu! Memangnya kapan Jisoo mengatakan kalau dia akan pergi ke pelelangan? Dan kenapa dia harus pergi?
"Kau mengajakku untuk pergi ke pelelangan nanti malam?" Jisoo memastikan dengan ketidakpercayaan yang tampak memenuhi wajahnya. Wanita itu tidak berharap kalau jawaban Hae-in adalah pembenaran dari pertanyaannya, tapi tidak ingin malu juga karena terlalu kegeeran.
"Kau sendiri yang mengatakan untuk mengajakmu saat aku pergi keluar. Jadi, bagian mana yang membuatmu kebingungan sekarang?"
Memang benar Jisoo mengatakannya semalam, tapi bukan berarti dia ingin pergi ke acara pelelangan juga. Maksud Jisoo adalah kalau Hae-in pergi keluar untuk berjalan-jalan, seperti kemarin atau seperti saat mereka pergi ke taman beberapa waktu lalu. Bukan untuk pergi ke acara pelelangan!
"Cepat pilih." Hae-in mengeluarkan nada perintahnya karena Jisoo tidak kunjung bergerak dan malah menatapnya saja.
"Kau sungguh ingin aku ikut denganmu?" Jisoo memastikan sekali lagi. Mungkin saja Pimpinan Chimera itu hanya menggodanya saja.
"Aku hanya akan mengatakannya sekali. Jadi, jangan sampai aku mengulanginya." Hae-in menegaskan. Suaranya terdengar rendah, tatapannya pun tampak sengit, membuat laki-laki itu tampak sangat mendominasi saat ini.
Tidak ada yang bisa Jisoo lakukan selain berdiri ketika tangannya ditarik agar segera bangkit. Sementara Jisoo melangkah untuk memilih pakaian, Hae-in mengambil alih tempat duduk wanita itu.
Jadi, gimana sama pembuka chapter hari ini? Puaskah kalian atau tidak sesuai bayangan? 🌚🌚🌚🌚
Kalau ngarep yang eksplisit ya nggak bakalan ada di sini. Segini aja nulisnya udah pakai tenaga dalam karena diriku bukan spesial adegan blackmoon 🤣🤣
Seperti biasa juga, kalau ada yang kacau-kacau, tolong dimaklumi, ya. Kalau bisa menyenangkan hati ya syukur alhamdulillah
Dadah~ Ketemu lagi di chapter selanjutnya dengan segala kekacauannya 😈😈😈😈😈
17 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro