10. Serangan
Holaaaaaaaaaa, apakah penghuninya masih ada? Atau udah kabur semua dan menjadikan lapak ini sarang laba-laba?
Masih kuatkah menunggu atau sudah lelah dan cari lapak baru? 🤣🤣🤣🤣🤣
It's okay. Memang diperlukan banyak kesabaran untuk mencapai puncak di lapak ini. Anggap aja lagi melatih kesabaran sembari menunggu jodoh datang.
Happy reading~
Jisoo terbangun dari tidurnya tanpa berbantalkan apa pun, padahal semalam wanita itu yakin betul kalau dia tidur di atas pangkuan Hae-in. Lalu, ke mana perginya laki-laki itu? Kenapa Jisoo tidak bisa menemukannya di ruangan yang lebarnya tidak seberapa ini?
Panik, Jisoo segera berdiri dan mencari Hae-in. "Mr. J!" teriaknya.
Siapa pun yang berada di posisi Jisoo pasti akan panik juga. Membayangkan ditinggal sendiri di pulau terpencil membuat agen terlatih seperti Jisoo takut juga, terlebih lagi dia memiliki trauma pada laut, membuatnya tidak bisa nekat menyeberang dengan berenang.
"Mr. J, kau di mana?!" Jisoo berlari keluar rumah dan mengedarkan pandangan. Wanita itu benar-benar panik.
Kalau memang dia ditakdirkan untuk mati, setidaknya Jisoo ingin mati dengan terhormat. Bukannya mati di pulau terpencil tanpa ada yang mengetahui jasadnya yang membusuk.
"Mr. J, kau—" Tubuh Jisoo terpental begitu saja ketika dia berbalik dan tidak sengaja menabrak sesuatu yang keras. Wanita itu spontan memeluknya yang tidak lain adalah Hae-in. "Mr. J, kau membuatku takut," rengeknya seraya mengeratkan pelukan pada sang Pimpinan Chimera.
Hei, Jisoo ini seorang agen terlatih. Jadi, bisa dibayangkan betapa kencangnya wanita itu ketika mendekap Hae-in dalam pelukannya, 'kan?
"Yak, Han Jisoo, tulangku bisa remuk semua kalau kau terus memelukku seperti ini." Hae-in melayangkan protes tanpa bisa melepaskan Jisoo darinya karena sedang memegang kelapa di kedua tangannya.
Isakan tangis samar-sama mulai terdengar, membuat Hae-in harus menajamkan pendengarannya. "Hei, kau menangis?" tanyanya dengan nada terkejut, matanya pun ikut membulat. "Yak, Han Jisoo."
"Diamlah," geram Jisoo.
Untuk yang kali ini, Jisoo tidak berpura-pura. Dia sungguh ketakutan saat membayangkan kalau dia ditinggalkan begitu saja. Tubuhnya bahkan sampai bergetar karena menahan rasa takut yang tiba-tiba menusuk kepalanya.
"Aku tidak bisa memelukmu dengan tangan yang memegang kelapa seperti ini," protes Hae-in.
Jisoo dengan cepat melepaskan pelukannya, kemudian membiarkan Hae-in menaruh kelapanya di tanah. Lalu, kembali memeluk sang Pimpinan Chimera ketika laki-laki itu belum siap menerima serangannya.
Hae-in membalas pelukan Jisoo dan mengusap kepala wanita itu. "Aku tidak tahu kalau ternyata kau ini cengeng sekali." Cibirannya jelas tidak sesuai dengan tindakannya yang begitu lembut.
Jisoo yang sebal langsung mencubit pinggang Hae-in. "Siapa saja yang berada di posisiku pasti akan menangis. Siapa yang tidak takut ditinggal sendirian di pulau seperti ini?"
"Tapi aku tidak meninggalkanmu. Aku hanya pergi untuk mencari makan." Hae-in melonggarkan sedikit pelukannya pada Jisoo dan mengusap wajah wanita itu yang tampak basah karena air mata. "Jadi, berhenti menangis dan minumlah air kelapa itu."
Jisoo melirik dua kelapa di bawah sana. "Kau memanjat?"
"Apa kau melihat ada orang lain yang akan melakukannya untukku?" Pertanyaan bodoh Jisoo membuat Hae-in setengah jengkel dan hampir saja mendorong kepala wanita itu.
Jisoo duduk dan segera meminum air kelapa untuk menghilangkan dahaganya, yang kemudian diikuti oleh Hae-in. Harus dia akui kalau Pimpinan Chimera itu mampu memanfaatkan ketersediaan alam dengan baik.
"Mr. J, apa kita bisa pulang sekarang? Aku merasa kurang enak badan." Jisoo mengeluh, bibirnya pun memang terlihat agak pucat.
Entah kenapa, tapi Hae-in spontan menempelkan punggung tangannya di kening Jisoo untuk sekadar memeriksa suhu tubuh wanita itu. "Kau demam."
Jisoo hanya bergumam, tampak tidak ingin tahu karena yang dia inginkan saat ini hanyalah tidur. Sungguh, wanita itu lelah sekali. Bukan lelah fisik, tapi lebih pada pikirannya yang sudah semalaman terombang-ambing dalam trauma masa lalu.
"Mr. J, aku—" Jisoo tidak pernah bisa menyelesaikan ucapannya karena lebih dulu kehilangan kesadarannya.
Jangan tanyakan bagaimana paniknya Hae-in ketika tubuh Jisoo jatuh menimpanya. Laki-laki itu segera menggendong Jisoo setelah menyadari kalau perawatnya jatuh pingsan.
Rasanya perjalanan keluar dari pulau 10x lebih lambat karena rasa khawatir Hae-in pada Jisoo. Dia terus melirik ke arah Jisoo yang kini terbaring di perahu, sementara dia sibuk mengendarai perahunya.
Hae-in sudah lama sekali tidak merasakan rasa khawatir yang seperti ini. Jisoo adalah orang pertama yang dia khawatirkan setelah bangun dari komanya.
Laki-laki itu berlari memasuki rumahnya dengan teriakan panik sambil menggendong Jisoo dan meminta siapa saja untuk memanggilkan dokter.
Kepulangan Hae-in saat ini tentunya menjadi kabar yang menggembirakan untuk semua orang, tidak terkecuali Sehun yang sudah menunggunya sejak semalam.
"Hyung, kau menyeberang ke pulau kemarin?" Sehun bertanya pada kakaknya yang sedang mengambil minum.
"Itu bukan urusanmu, Sehun." Hae-in menyahut dengan dingin, sepertinya laki-laki itu masih belum bisa memaafkan kesalahan adiknya.
"Hyung, Haesoo sudah tiada. Jadi, berhenti mencarinya." Suara Sehun terdengar tegas, tampak ingin menyadarkan sang kakak yang masih terjebak dalam masa lalu.
Hae-in mengepalkan kedua tangannya. Dia yang tadinya tidak ingin menatap Sehun sekarang menjadikan adiknya sebagai sasaran kemarahan.
"Selama aku tidak melihat mayatnya, maka Haesoo masih hidup." Geraman Hae-in saat ini adalah bentuk peringatan untuk adiknya agar tidak melewati batas terlalu jauh.
"Kita melihat mayatnya pagi itu, Hyung! Dia terbakar di dalam gereja."
Hae-in melesat menghampiri Sehun hanya untuk mendorong tubuh adiknya ke dinding terdekat dan mencekiknya. "Katakan itu sekali lagi, Sehun, maka aku tidak akan membiarkanmu hidup bahkan untuk satu malam."
Sehun mencengkeram tangan Hae-in yang mencekiknya, berusaha untuk melepaskan. Meski masih dalam masa pemulihan, tapi cengkeraman Hae-in sama sekali tidak bisa diremehkan, buktinya saja napas Sehun sampai tertahan karena tangan yang mencekiknya.
Kalau Hae-in tidak segera melepaskannya dalam hitungan 10 detik dari sekarang, Sehun pasti akan pingsan karena kehabisan napas. Namun, Pimpinan Chimera itu tidak ingin membuat kematian adiknya semudah ini.
Hae-in melepaskan cengkeramannya pada Sehun dan membiarkan sang adik merosot ke lantai karena merasa terlalu lemah setelah paru-parunya tidak mendapatkan pasokan udara.
Bukannya Sehun tidak bisa melawan. Laki-laki itu bisa membuat Hae-in melepaskan cekikan di lehernya dengan meninju wajah sang kakak, tapi berhubungan dia masih sangat menghargai Hae-in, maka Sehun tidak melakukan perlawanan.
Yah~ Anggap saja ini sebagai bentuk permintaan maafnya atas pengkhianatan yang—tidak benar-benar—dia lakukan.
Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hatinya, Sehun marah atas perlakuan yang diterimanya saat ini. Laki-laki itu jelas tidak terima dengan cara Hae-in memperlakukannya belakangan ini, tapi lagi-lagi dia harus menahan diri untuk melakukan pemberontakan besar-besaran.
Saat ini, Sehun sama sekali tidak berharga untuk sang kakak karena sudah mengkhianatinya. Dirinya pun ditinggalkan begitu saja setelah dicekik, tanpa Hae-in ingin tahu bagaimana dia berjuang untuk memasok udara ke dalam paru-parunya.
Hae-in sadar kalau dia sudah berlaku sangat kejam pada adiknya, tapi dia merasa perlu memberikan Sehun pelajaran. Masih untung Hae-in membiarkan keduanya hidup dan tetap tinggal bersamanya.
Selama ini, setiap kali ada yang ketahuan berkhianat padanya, Hae-in tidak pernah membiarkannya hidup lebih dari 12 jam. Jadi, Sehun harusnya bersyukur karena masih bisa menghirup udara lebih dari 3 hari setelah mengkhianati sang Pimpinan Chimera—meski tidak terlalu segar.
Hae-in kembali ke kamarnya, duduk di salah satu sofa sambil memijat kepala yang terasa seperti ingin pecah, bahkan alkohol yang baru saja ditenggaknya sama sekali tidak bisa memperbaiki suasana hatinya.
"Mr. J." Panggilan itu datang bersamaan dengan ketukan sopan di pintu.
"Masuk," kata Hae-in mempersilakan.
Min-gyu melangkah menghampiri Hae-in dan melirik Jisoo sekilas yang kini berbaring di atas tempat tidur Hae-in. "Aku sudah mendapatkan undangan untuk pelelangan besok. Apa kau jadi datang?" tanyanya hati-hati.
Hae-in mengangguk. "Panggil juga penata busanaku. Sepertinya baju-bajuku sudah ketinggalan zaman," gerutunya sebal. Laki-laki itu jelas tidak ingin datang ke sebuah acara penting dengan pakaian yang kuno.
Min-gyu mengangguk menyanggupi, kemudian pamit untuk keluar dan melanjutkan tugasnya yang lain.
Setelah ditinggalkan berdua saja dengan Jisoo yang masih dalam pengaruh obatnya, Hae-in membuka kembali berkas yang berisikan informasi tentang Haesoo dan menatap foto gadis kecil itu lama sekali.
Keyakinan Sehun yang mengira Haesoo sudah mati adalah salah besar, karena setelah kebakaran besar malam itu, Haesoo berhasil keluar dari pulau dalam keadaan hidup dan tinggal di sebuah panti asuhan.
Sementara ini, hanya informasi itu yang Hae-in dapatkan. Dia masih tidak tahu ke mana perginya Haesoo setelah berkali-kali pindah dari satu panti ke panti yang lain.
"Sampai aku benar-benar melihat mayatmu dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan percaya kalau kau mati, Park Haesoo."
Hae-in memang sempat melihat mayat seseorang gadis kecil yang terbakar pagi itu, tapi tidak memercayai kalau sosok itu adalah Haesoo dan lebih percaya pada keyakinannya yang mengatakan kalau itu bukan seseorang yang dicarinya. Itulah sebabnya dia mencari Haesoo lagi meski bertahun-tahun sudah berlalu.
Lenguhan yang terdengar berat segera mengambil perhatian Hae-in. Pandangan laki-laki itu sontak tertuju pada Jisoo yang dilihatnya sedang memijat pelipis. Langsung saja dia menghampiri dengan tergesa-gesa.
Hae-in yang tahu diri tidak langsung mencecar Jisoo dengan berbagai macam pertanyaan, justru dia memberikan wanita itu waktu untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.
Ini bukan pertama kalinya Jisoo membuka mata dan melihat Hae-in sebagai pemandangan pertamanya, tapi rasanya agak aneh ketika dia melihat Hae-in sedang menatapnya dengan begitu intens.
"Kita sudah kembali ke rumah?" Jisoo melemparkan pertanyaan bodoh ketika selesai mengedarkan pandangan dan menyadari kalau interior yang dilihatnya saat ini sama persis seperti kamar Hae-in.
Hae-in menjawab lewat gumam. "Kita sudah kembali. Kau tadi pingsan di pulau dan benar-benar menyusahkanku tahu," gerutunya seraya mengambil duduk di tepi kasur.
"Maaf," lirih Jisoo di balik bibir pucatnya. "Aku tidak bermaksud untuk merepotkanmu."
Hae-in merespons dengan bola mata yang berputar malas, tampak begitu keberatan dengan pengorbanan yang dilakukannya untuk bisa membawa Jisoo keluar dari pulau. Namun, tangannya bergerak untuk memeriksa suhu tubuh Jisoo dengan menyentuh keningnya.
"Baguslah, demammu sudah turun," katanya yang terdengar seperti sindiran keras.
Jisoo menutup matanya sejenak, mengambil napas dalam, kemudian memantapkan diri untuk bangun dari posisi berbaringnya. Namun, tubuhnya didorong agar kembali berbaring oleh laki-laki di depannya.
"Kau sedang sakit. Jadi, jangan banyak tingkah dan menyusahkanku." Hae-in memperingati dengan tegas. Laki-laki itu merasa sudah terlalu direpotkan oleh Jisoo hari ini dan tidak ingin melakukan apa pun lagi untuk wanita itu. "Diam dan istirahat saja di sini."
"Tapi aku ingin ke kamar mandi," ringis Jisoo. Wajahnya tampak aneh karena sedang menahan reaksi tubuhnya.
Hae-in mengatupkan mulut karena malu. Jangan tanyakan kenapa laki-laki itu malu saat ini. Intinya, dia hanya merasa malu saja.
"Kalau begitu, akan kuantar ke kamar mandi," kata Hae-in dengan setengah nada yang terdengar seperti bisikan yang penuh keraguan.
Jisoo tidak menolak ketika Hae-in merangkulnya dan menuntun tangannya untuk melingkari leher laki-laki itu, kemudian mengantarkannya ke kamar mandi.
"Kau perlu bantuan?" Ketika pertanyaan itu dilontarkan, Hae-in terlihat menggaruk tengkuknya. Laki-laki itu merasa kalau tawarannya barusan terasa agak aneh.
Namun, sebagai respons baiknya atas tawaran yang diberikan, Jisoo membalas dengan senyum yang begitu lembut agar tidak menyinggung. "Aku bisa sendiri."
"Kalau begitu, aku akan menunggumu di depan." Tanpa ingin menatap mata Jisoo, Hae-in buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi.
Seperti sedang memiliki setumpuk masalah di dalam kepala, Hae-in mengusap wajahnya dengan begitu kasar untuk sekadar menghilangkan perasaan aneh yang tengah menjalar di sekujur tubuhnya. Sambil mengatur pernapasannya untuk menjadi lebih tenang, Hae-in mengusap dada, tempat di mana jantungnya sedang berdetak tanpa alasan sekarang.
Jangan tanyakan apa yang Hae-in pikirkan sekarang karena laki-laki itu sedang mati-matian membuat otaknya tidak memikirkan apa pun saat ini, bahkan dia bersiul untuk sekadar mengalihkan isi pikirannya.
"Mr. J, apa kau masih di luar?"
Hae-in spontan menatap pintu yang masih tertutup. Laki-laki itu tampak begitu siaga ketika Jisoo memanggilnya. "Hmm, ada apa? Kau butuh sesuatu?"
"Kalau aku boleh minta tolong, apa kau bisa mengambilkan pakaianku di kamar? Aku perlu mengganti pakaian." Dari balik pintu kamar mandi, suara Jisoo terdengar begitu hati-hati. Dia takut membuat Hae-in tersinggung karena berani menyuruh Pimpinan Chimera itu.
Namun, kalau tidak memintanya selagi di kamar mandi, Jisoo takut kalau dia tidak memiliki kesempatan untuk berganti pakaian tanpa harus memperlihatkan tato-tato di tubuhnya yang kini tidak lagi tersembunyi.
Hae-in mengedip untuk memproses permintaan Jisoo. "Kau ingin aku pergi ke kamarmu dan mengambil pakaianmu?" tanyanya memastikan.
"Jika kau tidak keberatan untuk melakukannya."
Hae-in berpikir sejenak sambil menjilat bibirnya, tampak sedang mempertimbangkan perintah dari sang perawat. "Baiklah, aku akan mengambilkannya."
Rasanya sangat aneh ketika Hae-in yang melayani Jisoo karena biasanya dialah yang dilayani. Namun, laki-laki itu akan menjadikan hari ini sebagai pengecualian karena Jisoo sedang sakit. Besok-besok Hae-in tidak akan mau melakukannya lagi.
"Terima kasih, Mr. J," kata Jisoo ketika Hae-in memberikan pakaian bersih untuknya.
Ketika Jisoo keluar dari kamar mandi, dia tidak menyangka kalau Hae-in masih akan menunggunya. Wanita itu pikir, sang Pimpinan Chimera akan duduk manis sambil menonton televisi, alih-alih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menunggunya.
"Makanlah dulu. Sejak kemarin kau belum makan apa pun." Hae-in memberikan gerakan singkat menggunakan dagunya ke arah nakas, di mana sudah ada makanan untuk Jisoo yang tadi diambil selagi menunggu wanita itu mengganti pakaian.
"Kau sudah makan?"
Hae-in mengangguk apa adanya.
Jisoo mengambil mangkuk buburnya dan duduk di tepi tempat tidur, sementara Hae-in menatapnya dari sofa seberang.
"Kenapa kau bersikeras untuk ikut bersamaku, sementara kau mabuk laut?" Sebenarnya, Hae-in berniat untuk menanyakannya nanti setelah Jisoo selesai makan, tapi laki-laki itu sudah tidak bisa menahan rasa ingin tahunya lagi. "Kalau terjadi sesuatu padamu, kau pikir siapa yang akan direpotkan?"
Jisoo menghentikan kegiatannya yang sedang mengaduk bubur kala mendengar pertanyaan Hae-in. "Aku hanya tidak ingin kau pergi sendiri. Itulah kenapa aku memaksakan diri untuk ikut menyeberang pulau, meski aku mabuk laut."
"Tapi sekarang lihatlah hasil dari sikap keras kepalamu ini. Kau sakit dan menyusahkanku."
"Maaf," cicit Jisoo dengan kepala tertunduk. "Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyusahkanmu."
"Diam dan makan saja makananmu." Hae-in menyahut ketus. Sepertinya dia enggan menerima permintaan maaf Jisoo barusan. "Setelah makan istirahat. Aku mau pergi keluar dulu."
"Kau mau pergi ke mana lagi?" Jisoo langsung mengangkat kepalanya karena tidak ingin kehilangan Hae-in.
"Aku memiliki urusan pribadi yang tidak semuanya harus kau ketahui, Han Jisoo," balas Hae-in dengan penegasan yang cukup kuat, pertanda laki-laki itu baru saja memberikan peringatan untuk wanita di depannya agar tidak melewati batasannya. "Jadi, jangan mempertanyakan setiap tindakan yang akan kulakukan."
Ini memang bukan pertama kalinya Hae-in memberikan Jisoo peringatan tegas, tapi entah kenapa peringatan kali ini terasa lebih tajam dari yang sudah-sudah.
Setelah dirasa Jisoo tidak akan berani melewati batasannya lagi, Hae-in segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sementara Jisoo menatap dengan kedipan mata yang terlihat bingung.
Lima menit sebelumnya Hae-in terlihat begitu khawatir pada Jisoo, tapi kenapa sikapnya berubah menjadi agak dingin? Apa laki-laki itu menemukan sesuatu di kamar Jisoo saat mengambil pakaiannya tadi?
"Sial!" Jisoo mengumpat, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Wanita itu tidak bisa langsung memeriksa isi kamarnya karena kepergian Hae-in belum lebih dari semenit. Kalau Hae-in melihat Jisoo yang buru-buru kembali ke kamarnya, pasti kecurigaan laki-laki itu akan semakin bertambah.
Jadi, Jisoo hanya berharap kalau Hae-in tidak menemukan apa pun di kamarnya.
Keluar dari kamarnya, Hae-in langsung mencari Min-gyu dan meminta laki-laki itu untuk ikut pergi bersamanya. Tanpa berani menanyakan ke mana mereka akan pergi, Min-gyu berjalan mengekori Hae-in.
Dalam perjalanan keluar dari hutan tempat kediamannya, Hae-in tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya pada pohon yang berjalan. Namun, sebenarnya laki-laki itu sedang menatap kosong sambil memikirkan sesuatu.
Ketika mobil keluar dari area hutan, Hae-in mengalihkan pandangannya untuk melihat ke arah Min-gyu melalui kaca tengah mobilnya.
"Min-gyu, apa kau ingat saat kita mengejar pembunuh bayaran sebelum aku kecelakaan?"
Min-gyu balas menatap melalui kaca. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa dengan hari di mana kau tertembak."
"Waktu itu, kau bilang kita tidak mendapatkan apa pun tentang penembak itu, 'kan?"
"Ya, sepertinya dia bekerja secara rahasia dengan dukungan yang tidak main-main. Jadi, tidak mudah untuk melacak keberadaannya, apalagi setelah dia meninggalkan mobilnya di dermaga." Min-gyu menjelaskan kembali mengenai kasus lama yang sempat ditanganinya 3 tahun lalu.
Setelah mendengar penjelasan Min-gyu, Hae-in kembali berkutat dengan pikirannya. Jelas laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu yang mengganggu pikirannya saat ini.
"Ada apa, Mr. J? Apa kemarin ada sesuatu yang terjadi padamu?" Min-gyu bertanya dengan nada khawatir.
Hae-in membalas dengan gelengan, membiarkan pemikiran itu hanya menjadi miliknya dan meminta Min-gyu untuk fokus saja pada jalanan di depan sana.
Jujur saja, Hae-in pergi tanpa tujuan saat ini. Laki-laki itu hanya ingin keluar dari markas utamanya untuk mencari angin, padahal jelas-jelas kediamannya dikelilingi oleh pepohonan. Jadi, bisa dipastikan kalau udaranya segar. Lalu, angin seperti apa lagi yang dicarinya saat ini?
Pernah membayangkan melihat seorang gangster pergi ke pasar dan membeli jajanan? Kalau tidak, inilah saat yang tepat untuk melihatnya.
Alih-alih meminta Min-gyu membawanya ke kasino, Hae-in malah minta diantar ke pasar. Laki-laki itu merasa perlu untuk berbaur dengan keramaian lagi setelah sekian lama hanya bisa berbaring di tempat tidur.
Bertabrakan bahu ketika berjalan di pasar sebenarnya adalah hal yang wajar, tapi seorang Min-gyu tidak bisa membiarkan orang yang menabrak Hae-in berjalan begitu saja tanpa meminta maaf.
Laki-laki itu bermaksud untuk menarik bahu yang tadi menabrak pimpinannya, tapi Hae-in melarang dengan mengangkat sebelah tangan. Tujuannya keluar bukan untuk melihat perkelahian. Jadi, dia akan memberikan pengecualian untuk kali ini.
Min-gyu hanya bisa mengembuskan napas kasar dan menuruti larangan Hae-in yang tidak memperpanjang masalah ini. Lalu, kembali mengikuti Hae-in dengan pandangan yang begitu waspada memantau orang-orang di sekitar mereka.
Lagi, ada seseorang yang menabrak Hae-in, kali ini Min-gyu bereaksi dengan sangat cepat karena langsung mendorong laki-laki yang terkesan seperti ingin menyerang pimpinannya di tengah keramaian.
Min-gyu berdiri tepat di depan Hae-in, dengan tangan yang direntangkan sebagai bentuk perlindungan. Sementara laki-laki yang menabrak Hae-in terdorong mundur dan menabrak orang yang berjalan di belakangnya.
Hae-in tidak ada waktu untuk melihat apa yang Min-gyu lakukan karena fokusnya kini tertuju pada jasnya yang terkena noda saus manis yang sangat dibencinya.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk menabraknya. Tadi ada seseorang yang mendorong bahuku." Laki-laki yang tidak lain adalah Tiger segera memberikan penjelasan. Dia menoleh ke belakang, seolah ingin mencari siapa yang tadi mendorongnya dan membuatnya berada dalam masalah. "Demi Tuhan."
Min-gyu menatap sengit, kemudian menoleh ke belakang untuk memeriksa keadaan pimpinannya. "Kau tidak apa-apa?"
Hae-in membalas dengan decakan sebal. Laki-laki itu jelas tidak baik-baik saja sekarang dengan noda saus yang mengotori pakaiannya.
"Hei, lain kali perhatikan jalanmu, terlebih lagi saat kau sedang membawa sesuatu yang bisa membuat seseorang kotor." Min-gyu memperingati dengan tegas.
"Maaf," ringis Tiger. Laki-laki itu memperlihatkan rasa sesalnya karena sudah menabrak Hae-in, sementara sang pimpinan Chimera sibuk membersihkan noda yang menempel di pakaiannya dengan sapu tangan. "Tapi apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Pergilah!" Min-gyu mengusir ketika Tiger masih memiliki wajah untuk berdiri di depan Hae-in dan mengajaknya bicara.
"Benar, kita pernah bertemu di taman. Saat itu kau menggunakan kursi roda," kata Tiger dengan antusias, seakan dia senang sekali dengan pertemuan keduanya dan Hae-in. "Aku mengembalikan kacamata kekasihmu."
Hae-in yang tadinya tidak ada waktu untuk melihat siapa yang sudah mengotori pakaiannya, sekarang barulah berniat menatapnya untuk mencari tahu. Namun, seperti yang Hae-in katakan, hanya ada dua orang yang diingatnya, orang yang dia sayang dan orang yang dibencinya dan Tiger tidak termasuk dalam dua kategori tersebut, tapi dia ingat tentang seseorang yang mengembalikan kacamata Jisoo di taman beberapa waktu yang lalu.
Min-gyu yang merasa sikap Tiger sudah di luar batas segera mendorong bahu laki-laki itu agar menjauhi Hae-in. Tidak hanya sekali, tapi dia mendorongnya sebanyak 3x, membuat Tiger beberapa kali menabrak orang di belakangnya dan menuai protes dari pengunjung lain.
"Pergi." Min-gyu mengingatkan sekali lagi dengan tatapan yang sangat tajam. Sebelah tangannya membuka sedikit jasnya dan menunjuk Glock 19 yang dibawanya.
Tiger terkejut. Senyumnya tampak kering ketika Min-gyu menunjukkan senjatanya. Laki-laki itu menjilat bibirnya, kemudian mengangguk dan segera mengambil langkah mundur.
Min-gyu kembali pada Hae-in yang masih menatap punggung Tiger yang mulai hilang ditelan kerumunan. "Mr. J, aku akan mengantarmu ke toilet dan mencarikan pakaian ganti untukmu."
Ketik Hae-in sudah keluar dari toilet dengan pakaian bersih yang baru, Min-gyu dengan sigap mengambil tas belanja yang saat ini berisikan pakaian kotor sang Pimpinan Chimera.
"Jangan dibuang," kata Hae-in mengingatkan.
Sosok yang diberikan perintah hanya membalas dengan anggukan, meski faktanya dia terlihat bingung kenapa pakaian kotor itu tidak boleh dibuang.
Sekarang minat Hae-in untuk berkeliling pasar sudah habis dan laki-laki itu mengatakan tujuan selanjutnya pada Min-gyu, yaitu kedai kopi.
"Mr. J, kau yakin ingin mengantre?" Min-gyu bertanya skeptis kala melihat kedai kopi yang Hae-in maksud tadi memiliki antrean yang sangat mengular, hingga di luar kedai. "Aku bisa membeli antrean seseorang untukmu."
"Tidak apa-apa. Aku ingin merasakan menjadi orang biasa untuk hari ini saja." Hae-in membalas setengah acuh sambil melepaskan sabuk pengamannya.
Nyatanya, Hae-in harus menahan pegal di kakinya ketika dia harus berdiri selama lebih dari sejam untuk bisa memesan kopi. Untungnya, ada meja kosong yang tersedia ketika dia baru saja mendapatkan pesananya. Jadi, laki-laki itu bisa bersantai sebentar setelah lelah berdiri, hingga kakinya kesemutan.
"Duduklah," titah Hae-in pada Min-gyu yang berdiri di sampingnya dengan penuh kewaspadaan. "Aku sedang tidak ingin menjadi pusat perhatian."
"Tapi aku sedang bekerja untuk menjagamu, Mr. J," sanggah Min-gyu dengan penuh sopan santun. "Mana bisa aku melakukannya sambil duduk. Keselamatanmu adalah hidup dan matiku."
Hae-in mengembuskan napas kasar dan menggeleng pelan. Bawahannya yang satu ini memang paling ketat menaati peraturan, tapi itulah yang disukainya dari Min-gyu.
Saat sedang menikmati kopi panasnya, Hae-in diam-diam melirik ke luar jendela dan mendapati beberapa mobil yang terparkir di sepanjang jalan.
Setelah puas menyesap kopinya, Hae-in pergi dari kedai yang hingga lewat petang pun masih ramai dikunjungi pembeli.
"Kita pergi ke Hexagon."
Min-gyu tampak mengerutkan alisnya. Mereka memiliki Shangri-La, lalu kenapa malah pergi ke Hexagon yang notabenenya adalah saingan mereka?
Namun, Min-gyu tidak berani melontarkan pertanyaan itu dan hanya menyanggupi perintah yang diberikan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Hexagon dan Shangri-La bersaing dengan ketat, tapi bisnis ilegal milik Hae-in masih menjadi yang paling diminati.
Karena Min-gyu dikenal sebagai pengurus Shangri-La, maka laki-laki itu tidak bisa datang dan mendampingi Hae-in. Keduanya harus berpisah untuk tetap menjaga identitas Hae-in sebagai Pimpinan Chimera, dengan Min-gyu yang mengawasi dari kejauhan.
Tujuan Hae-in datang ke Hexagon saat ini bukan karena ingin mengintip bagaimana bisnis saingannya berjalan selama ini, tapi ada alasan khusus yang membuatnya harus datang ke usaha milik orang lain, alih-alih ke tempatnya sendiri.
Layaknya orang yang sedang melepas penat akibat masalah hidup yang menumpuk, Hae-in membiarkan tubuhnya menari dalam alunan musik yang diputar, dengan segelas minuman yang setia berada di dalam genggamannya.
Sementara itu, Min-gyu harus melewati pembicaraan yang dingin dengan pemilik Hexagon. Laki-laki itu tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya kenapa dia datang tanpa undangan. Jadilah dia bersikap dingin dan arogan.
Min-gyu yang terlalu sibuk berperang kata dengan pemilik Hexagon sampai tidak sadar kalau dia sudah melepaskan Hae-in dari pandangannya lebih dari 5 menit. Ketika dia memutuskan kontak matanya dengan pemilik Hexagon dan berniat mengecek sang Pimpinan Chimera, laki-laki itu tersedak karena tidak bisa menemukannya di antara kerumunan.
Panik, Min-gyu mendorong gelasnya asal-asalan ke dada pemilik Hexagon dan langsung berlari pergi tanpa ingin mendengar umpatan apa pun.
Fokusnya sekarang hanyalah mencari Hae-in di antara kerumunan tubuh liar yang meliuk di lantai dansa. Beberapa tubuh yang ditabraknya dia tinggalkan tanpa permintaan maaf.
Rupanya, sosok yang membuat Min-gyu kelimpungan mencarinya sedang berada di toilet.
Hae-in tidak sedang buang air kecil, tidak juga sedang mencuci tangannya, melainkan sedang menodongkan pistol pada kepala seseorang.
Tangan Hae-in tampak kokoh saat menggenggam senjata api itu. Meski sudah lama tidak menguji kemampuan menembaknya, tapi Hae-in yakin kalau dia mampu membuat lubang tepat di dahi laki-laki yang sedang dia ancam dengan pistolnya.
"Siapa yang menyuruhmu untuk mengikutiku?" Hae-in bertanya dengan nada dingin.
Laki-laki yang ditodong pistol mengangkat tangannya ke udara, pertanda tidak ada perlawanan yang ingin dilakukannya saat ini.
"Aku tidak mengikutimu."
Bantahan barusan jelas mendapatkan decihan sinis dari Hae-in, dengan tatapan tajam yang masih dipertahankan. "Jangan membuatku semakin memandang rendah dirimu," katanya mengingatkan dengan gelengan. "Kau terlalu amatir untuk melakukan pekerjaan seperti ini dan orang yang menyuruhmu jauh lebih bodoh darimu."
Laki-laki di hadapan Hae-in berusaha mencari celah untuk melarikan diri. Dia menunggu Pimpinan Chimera itu lengah dengan memberikan jawaban-jawaban yang menjengkelkan karena terus berkilah dan bersikap bodoh.
Ketika menemukan celah untuk mencuri senjata Hae-in, laki-laki dengan tindik di ujung bibir dan telinga kirinya itu melakukan gerakan kilat yang diyakininya bisa membalikkan keadaan saat ini, tapi meremehkan kegesitan sang Pimpinan Chimera hanya karena sempat terbaring dalam koma selama 3 tahun adalah kesalahan besar.
Gerakan Hae-in yang mempertahankan senjata miliknya masih lebih cepat dari lawannya dan melepaskan satu tembakan dengan tangan kiri dan membiarkan cermin di belakang pecah, sebelum kembali mengarahkannya pada laki-laki di depannya.
"Kupikir mengoleksi timah panas di dalam kepala tidak terlalu buruk. Kau ingin satu?" Hae-in menawarkan dengan senyum ceria, seolah menawarkan permen pada seseorang yang sangat disukainya.
Tidak menyerah, laki-laki yang dicurigai Hae-in mengikutinya mengambil risiko besar dengan melakukan perlawanan dan berjuang untuk merebut pistol yang sangat kokoh di genggaman Hae-in.
Keduanya terlibat perkelahian kecil dengan kedua tangan yang digunakan sebagai penyerang dan penangkis, sebelum akhirnya Hae-in menggunakan kakinya dan menjatuhkan lawannya, kemudian membuat laki-laki bertindik itu jatuh berlutut di depannya.
Sekarang posisi mereka menghadap pintu, di mana sebelah tangan Hae-in yang menggenggam pistol mengunci leher si laki-laki bertindak dan tangan lainnya mengunci di balik punggung dan menekankan lututnya di sana.
Ketika ada seseorang yang membuka pintu, tentu reaksi pertamanya adalah terkejut saat melihat kondisi toilet yang agak berantakan karena pecahan cermin, belum lagi ada laki-laki tidak berdaya yang ditindih dengan lutut membuatnya menahan langkah untuk masuk.
Hanya perlu satu gerakan tangan yang menggenggam pistol untuk membuat tamu tidak diundang itu pergi dengan tergesa-gesa setelah menutup pintu.
Belum sempat Hae-in membuka mulut untuk memberikan penghinaan, pintu kembali dibuka. Kali ini menampilkan Min-gyu sebagai tamu yang tidak diundang.
"Apa yang terjadi?!" Min-gyu buru-buru menghampiri. Di waktu yang sama, dia juga mengeluarkan pistol yang disembunyikannya untuk berjaga-jaga dan menodongkannya ke laki-laki yang berlutut di bawah kekuasaan Hae-in.
Hae-in memukul kepala belakang laki-laki bertindik itu dengan ujung pistolnya, menyebabkan orang yang menyerangnya kehilangan kesadaran dalam hitungan detik dan tubuhnya dilemparkan ke lantai dengan decihan jijik.
"Cari tahu siapa yang menyuruhnya," titah Hae-in seraya menepuk lengan pakaiannya seolah ingin menghilangkan jenis noda menjijikkan apa pun yang menempel di sana.
Sambil menggeledah laki-laki yang pingsan itu, Min-gyu memberanikan diri untuk bersuara. "Apa dia menyakitimu tadi? Maaf karena melepaskan pengawasanmu dariku."
Hae-in meringis dengan tatapan setengah ngeri. Dia mencoba untuk mengingat apakah 3 tahun yang lalu gaya penjagaan Min-gyu padanya memang sudah seperti ini atau ini adalah konsep baru setelah dia koma?
Min-gyu berdiri setelah berhasil mendapatkan ponsel dan dompet dari tubuh laki-laki yang tengah pingsan itu. Setelah mengantongi identitas si penyerang, Min-gyu langsung saja menelepon seseorang untuk mengurus masalah ini, kemudian memeriksa ponsel yang dicurinya dan melakukan panggilan sekali lagi.
"Tidak diangkat." Min-gyu menggeleng dengan penuh sesal karena tidak bisa mendengar langsung suara yang memberikan perintah untuk mengganggu pemimpinnya.
"Selidiki."
Min-gyu mengangguk patuh atas satu perintah tegas yang diberikan padanya, kemudian menggiring Hae-in untuk keluar dari toilet.
Dalam perjalanan pulang, Min-gyu kerap kali mencuri pandang untuk menatap sang pimpinan di belakang dan berkali-kali pula mengalihkan pandangan ketika Hae-in melakukan gerakan kecil untuk mengubah arah pandangannya.
"Jika ada yang ingin kau katakan, maka katakan. Jika tidak, berhenti mencuri pandangan dariku karena kau terlihat sangat mengerikan sekarang." Hae-in mengingatkan dengan penekan yang begitu kental karena merasa terganggu atas tindakan mencuri pandangan yang dilakukan Min-gyu.
Ditegur karena tindakannya membuat sang pimpinan tidak nyaman tentu membuat Min-gyu kalang kabut. Laki-laki itu segera memutuskan kontak matanya dan Hae-in hanya untuk berpura-pura tidak melakukan apa pun. Namun, ketika harus terjebak dengan lampu merah, barulah dia berani untuk membuka suara. Itu pun tanpa menatap langsung karena tidak ingin mengganggu dengan tatapannya lagi.
"Laki-laki yang menyerangmu tadi, apa dia sudah mengikuti kita sejak awal?" Min-gyu harus menahan rasa malunya untuk apa yang ditanyakannya pada Hae-in. Di sini tugasnya adalah menjaga Hae-in, tapi bagaimana mungkin di sampai tidak menyadari ada yang membuntuti mereka? "Itulah sebabnya kau ingin pergi ke Hexagon, alih-alih Shangri-La?"
Hae-in hanya menjawab dengan gumam singkat dan membiarkan pandangannya menatap ke luar jendela.
"Sejak kapan kau menyadarinya dan kenapa tidak memberitahuku?" Kali ini, pertanyaan Min-gyu terdengar seperti protes. Dia merasa wajib tahu kalau ada seseorang yang berniat untuk mencelakai pimpinannya.
"Memangnya kenapa aku menyuruhmu untuk membawa pakaian kotorku?" Hae-in memukul tas berisikan pakaian kotornya hingga jatuh di bawah kaki.
Mata Min-gyu tampak membulat ketika bertabrakan dengan tatapan sengit milik Hae-in. "Berengsek! Jadi, laki-laki di pasar tadi sengaja menabrakmu agar bisa menaruh alat pelacak? Sudah kuduga kalau dia sengaja melakukannya!"
"Jalan. Lampunya sudah hijau." Hae-in memberitahu dengan gerakan dagu agar Min-gyu bisa menahan sebentar kemarahannya dan fokus pada jalanan di depan.
Pimpinan Chimera itu tidak sengaja melihat alat pelacak yang berada tepat di ujung sepatunya. Langsung saja laki-laki itu membuangnya melewati jendela.
"Selidiki juga laki-laki di pasar tadi." Hae-in langsung memberikan perintah setelah lama sekali berkutat dengan pikirannya.
Di sisi lain, ada Jisoo yang sedang cemas menunggu kepulangan Hae-in. Laki-laki itu keluar terlalu lama, membuat Jisoo mencemaskannya. Berbeda dengan Sehun yang terlihat lebih tenang karena mendapatkan laporan rutin dari Min-gyu mengenai ke mana saja perginya mereka hari ini. Jadi, dia tidak perlu mengkhawatirkan sang kakak.
Demam Jisoo sudah sepenuhnya turun, meski wajahnya masih tampak sedikit pucat. Dia pun sudah menghabiskan dua mangkuk bubur yang diantarkan padanya secara berkala.
Wanita itu sempat menyelinap ke kamarnya untuk mencari tahu apakah Hae-in menemukan sesuatu di kamarnya yang memicu perubahan sikap yang tiba-tiba sebelumnya. Namun, Jisoo tidak menemukan ada barang-barang pribadinya yang berpindah tempat, khususnya barang-barang yang memang sengaja dia sembunyikan. Semua masih pada tempatnya.
Jadi, apa yang membuat Hae-in bersikap sangat dingin sebelum meninggalkannya tadi siang?
Memikirkan alasannya membuat denyutan nyeri di kepala Jisoo semakin bertambah, padahal dia sudah meminum obatnya. Namun, Jisoo tidak membutuhkan obat karena yang dia butuhkan adalah jawaban dari perubahan sikap sang Pimpinan Chimera.
Ketik pintu kamar terbuka, Jisoo spontan berdiri dan menatap kaku sosok yang berdiri di sana. Wanita itu masih di kamar Hae-in, alih-alih kembali ke kamarnya sendiri.
Hae-in tidak menyuruh Jisoo untuk kembali ke kamarnya. Jadi, harusnya tidak masalah bukan kalau Jisoo masih ada di kamar laki-laki itu, meski sang pemilik sedang tidak ada di tempat?
Keduanya bertatapan sebentar dan tampak canggung satu sama lain. Hae-in bahkan harus menoleh ke belakang untuk memastikan kalau dia menutup pintu dengan benar, sebelum kembali pada Jisoo yang masih menatapnya.
"Kenapa?" Pada akhirnya, Hae-in tidak bisa menahan rasa ingin tahunya karena tatapan canggung Jisoo yang tidak ingin melepaskannya.
"Kau keluar hampir seharian ini bukan karena ingin menghindariku, 'kan?"
Hae-in berjalan ke sisi lemarinya untuk mengambil pakaian tanpa mengalihkan pandangan dari Jisoo. "Kenapa aku harus menghindarimu?"
Jisoo menatap sejenak, kemudian menjilat bibirnya ragu-ragu. "Kupikir kau marah karena aku sakit dan merepotkanmu."
Hae-in mengangguk dalam gumam, memutuskan kontak matanya dan Jisoo, lalu membuka lemari pakaian untuk mengambil baju ganti. "Aku hanya ingin berjalan-jalan saja."
"Lain kali, ajak aku kalau kau ingin pergi jalan-jalan." Jisoo membalas dengan setengah rengekan manja untuk menarik perhatian Hae-in. "Aku janji tidak akan merepotkanmu lagi."
Hae-in menoleh pada Jisoo, tepat ketika dia sudah selesai memilih pakaian gantinya malam ini. "Tidurlah," katanya pada sang perawat. Lalu, kembali memutus kontak matanya dan mulai menanggalkan atasannya, membiarkan punggung telanjangnya menjadi pemandangan dari wanita di belakangnya.
Hae-in menoleh untuk memastikan apakah Jisoo masih menatapnya atau sudah beranjak ke atas tempat tidur. Faktanya, Jisoo masih setia menatapnya, membuat Hae-in bertanya lewat gerakan alis.
Jisoo paham dengan pertanyaan tersirat Hae-in, tapi menolak untuk melangkahkan kakinya ke atas tempat tidur milik sang Pimpinan Chimera.
Hae-in menunjukkan ketidakpeduliannya pada Jisoo dan menanggalkan celananya, tanpa menyuruh wanita itu untuk berbalik atau berhenti menatapnya selagi dia mengganti pakaian.
Sebenarnya, apa yang ingin Jisoo tunjukkan pada Hae-in dengan terang-terangan melihatnya yang sedang mengganti pakaian?
"Sudah puas melihat tubuhku?" Hae-in bertanya dengan nada mencemooh, tapi tidak menunjukkan kesinisan yang tajam.
Jisoo bergeming, dia sendiri tidak tahu kenapa pandangannya enggan beralih dari tubuh Hae-in. Wanita itu hanya menatap tanpa ada maksud tertentu.
Bibir Jisoo tampak terbuka, seperti ingin mengatakan sepatah dua patah kata untuk membela diri. Sayangnya, tidak ada kata apa pun yang terucap dari bibirnya.
Hae-in sendiri tampak menatap Jisoo dengan penuh penilaian, mencoba untuk mencari jawaban dari pertanyaan di dalam kepalanya sendiri.
Situasi canggung saat ini benar-benar tidak bisa dihindari dan tidak ada cara untuk mencairkannya.
Namun, Hae-in kembali bertindak dengan metode tidak berdasarnya. Dia menghampiri Jisoo setelah dirasa wanita itu menantangnya karena masih berdiri di depannya, alih-alih menuruti perintahnya untuk segera tidur.
Dagu Jisoo ditarik dengan lembut, kemudian dituntun untuk mendekat padanya. Kedua belah bibir itu bertemu untuk kedua kalinya, bedanya saat ini tidak ada rasa choco mint yang membuat Jisoo tersedak.
Hae-in melakukannya dengan kesadaran penuh, begitu juga dengan Jisoo yang membalasnya tanpa ragu.
Tidak ada alasan khusus kenapa keduanya berciuman. Hae-in hanya ingin mencium Jisoo dan Jisoo membalasnya juga karena ingin.
Di dalam lubuk hatinya, Jisoo tidak menyangka kalau Hae-in akan menciumnya dengan begitu lembut dan penuh kehati-hatian, sedikit berbeda dari ciuman pertama mereka.
Bibir yang tadinya membalas lumatan Jisoo, sekarang berpindah untuk menjelajahi pipi sebelah kanan wanita itu. Jisoo membiarkan, bahkan ketika dagunya mendapatkan gigitan kecil dari laki-laki yang tengah menghujani wajahnya dengan kecupan kecil nan manis.
Desahan yang tidak direncanakan lolos begitu saja dari bibir Jisoo kala lehernya mendapat serangan yang tidak terduga. Harus wanita itu akui kalau komanya selama 3 tahun tidak membuat Hae-in kehilangan kepiawaiannya.
Entah kenapa, desahan itu seakan mematikan fungsi saraf di seluruh tubuh Hae-in, hingga laki-laki itu berhenti memberikan serangan mengejutkan di leher wanita di depannya.
Hae-in tidak lagi menyerang Jisoo dengan bibirnya, Jisoo pun tidak bertindak agresif dengan menyerang balik.
Keduanya memanfaatkan waktu ini untuk mengambil napas dan menatap satu sama lain, di mana Hae-in terpaku pada bibir berbentuk hati di depannya. Ibu jari Hae-in mengusap bibir yang masih basah itu karena ulahnya dan menghentikan aksinya sampai di situ, tanpa ingin menggoda lebih jauh dengan mendorongnya ke dalam mulut Jisoo.
"Sepertinya aku sudah mengingatkanmu untuk tidak menggodaku, 'kan?" Hae-in terdengar berbisik, tapi tidak membiarkan pandangannya lepas dari bibir wanita di depannya.
"Memangnya apa yang kulakukan?"
Ketika Jisoo berbicara, ibu jari Hae-in tanpa sengaja terjepit di antara bibir wanita itu. Jisoo tidak merasa terganggu dengan adanya jari Hae-in di tengah-tengah bibirnya dan Hae-in pun tidak merasa terganggu ketika ujung jarinya bersentuhan langsung dengan sesuatu yang tidak bertulang di dalam mulut Jisoo.
"Kenapa kau tidak menurut ketika aku menyuruhmu tidur?" Hae-in bertanya, masih membiarkan ibu jarinya berada di bibir Jisoo.
"Entahlah," balas Jisoo dengan setengah bisikan. Bibirnya melakukan gerakan tidak terduga dengan menjepit ibu jari Hae-in di antara bibirnya.
Sudut mata Hae-in bergetar, ujung bibirnya pun terlihat menyunggingkan senyum tipis, dengan kedipan mata lambat yang mulai dipenuhi hasrat menggebu.
KUATKAN IMANMU, MR. J!!!!!!!
Pasti kalian awalnya misuh-misuh karena nggak ada kejadian apa-apa selama di pulau, terus dikasih lagi ending chapter menggantung begini setelah sekian purnama di tinggal ke rawa-rawa 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
Jujur aja sih, ya, aku nggak siap nulis adegan blackmoon antara Mr. J sama Moora. Karena selama ini aku spesialis hunlis, jadinya agak sedikit susah kalau mau dibanting ke haesoo 😭😭😭😭
Ini aja perjuangannya udah setengah mati banget buat menghidupkan karakter mereka, makanya update udah kayak jatah bulanan, tapi aku tetap berusaha untuk menulis dengan sepenuh hati, jiwa dan raga, yang disertai kebucinan 😚😚😚
Jadi, kalau misalnya nggak sesuai ekspektasi tolong jangan meluapkan kekecewaannya karena itu tidak membantu dalam kelancaran ide untuk ngelanjutin ini cerita. Ntar yang ada ini lapak malah ilang sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan 🌚🌚🌚🌚
Dadah~
10Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro