Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07. Seperti Patah Hati

Hari ini ada yang ulang tahun, gaes. Bisaan banget lahirnya pas April Fools gini. Agak ngeri aja kalau tetiba ada yang ngeprank dia pas ulang tahun. Kan nggak lucu 🤣🤣

Tapi chapter kali ini dijamin menggemaskan karena tembus 6K words😈😈😈😈

Happy reading

"Bisa kau jelaskan padaku maksud dari tulisan itu?" Hae-in melemparkan kertas yang berisikan informasi mengenai dalang di balik kecelakaannya 3 tahun lalu.

Sehun terlihat bingung karena kemarahan Hae-in. Terlebih lagi bukan hanya dia yang ingin ditemui oleh sang kakak, tapi kekasihnya juga turut serta.

Ketika Hae-in menunjukkan kemarahannya, ada sosok Jisoo yang setia berdiri di samping tempat tidur laki-laki itu untuk berjaga-jaga. Sadar kalau dia tidak berhak untuk ikut campur, Jisoo memilih bungkam dan bersikap seolah tidak tahu apa pun tentang Lisa dan kejahatannya di masa lalu.

Sehun memungut kertas kusut yang Hae-in lemparkan padanya. Tiba-tiba saja tubuh laki-laki itu menegang saat membaca kalimat yang tertulis di dalamnya dan rasa penasaran Lisa membuat wanita itu mengintip dan sama terkejutnya atau bisa dibilang dia lebih terkejut karena kejahatannya baru saja terungkap.

"Aku hanya akan bertanya sekali," Hae-in menegaskan ketika dua orang kepercayaan berdiri di depannya dalam keterkejutan. "Apa itu benar?"

Sehun menarik napas dalam, sementara Lisa menunduk menatap lantai. Wanita itu pikir tidak ada kebohongan yang bisa dikatakannya saat ini untuk mengelak.

"Hyung, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Lisa tidak bermaksud untuk mencelakaimu. Dia—"

"Jadi, yang menyabotase mobilku adalah kau?" Hae-in memotong segala jenis pembelaan yang ingin Sehun katakan dan menatap Lisa dengan penuh ketidakpercayaan. "Kenapa kau berusaha untuk membunuhku?"

Lisa menahan napas saat Hae-in berbicara padanya. Wanita itu sadar kalau yang dia lakukan saat itu adalah salah, saking merasa bersalahnya, Lisa hampir menangis karena menyesali perbuatannya.

"Oppa, aku minta maaf." Lisa memberanikan diri untuk menatap Hae-in. "Saat itu aku pasti sedang kehilangan kewarasanku."

Penuturan Lisa dibalas dengan tatapan sengit oleh Hae-in. Sungguh, laki-laki itu tidak menyangka kalau orang yang berniat membunuhnya adalah seseorang yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri.

"Oppa, ini semua—"

"Panggil aku Mr. J," Hae-in memotong cepat. Laki-laki itu sedang marah sekarang dan baru saja melebarkan jarak antara dirinya dan Lisa yang sebelumnya sangatlah dekat.

Lisa tersenyum getir karena sikap dingin Hae-in. Wanita itu tidak boleh merasa terluka karena dialah yang lebih dulu mengkhianati laki-laki di depannya.

"Ini semua salahku, Mr. J." Lisa memanggil Hae-in seperti yang laki-laki itu inginkan dan siap untuk bertanggung jawab atas kejahatannya di masa lalu. "Sehun sama sekali tidak terlibat atas kecelakaanmu 3 tahun lalu."

Hae-in benar-benar merasa dikhianati sekarang. Orang yang dia percaya justru malah menjadi orang yang ingin membunuhnya. Bagaimana Hae-in harus mengatasi rasa sakit atas pengkhianatan barusan?

"Kurung dia di ruangan bawah tanah. Tanpa lampu, tanpa makanan dan minuman." Hae-in memberikan titah pada Min-gyu yang berdiri di ambang pintu dengan kepala tertunduk.

"Hyung!" Sehun melayangkan protes atas perintah yang Hae-in berikan. "Kau tidak bisa melakukan hal ini pada Lisa."

"Jika kau merasa keberatan, kau bisa menemaninya," Hae-in membalas dengan begitu dingin. Sikap kejam yang biasanya dia tunjukan pada orang lain, kini malah dia tunjukan pada adiknya sendiri. "Kau sudah mengetahuinya sejak awal, 'kan? Kupikir kau juga pantas untuk dihukum."

Jisoo melirik Hae-in dengan hati-hati. Wanita itu penasaran seperti apa ekspresi Pimpinan Chimera itu saat memerintahkan agar adiknya dikurung di ruangan bawah tanah dan yang Jisoo lihat adalah kekecewaan yang penuh dengan rasa sakit.

"Bawa mereka pergi."

Min-gyu melangkah dengan ragu ketika menghampiri Sehun dan Lisa untuk memenuhi perintah Hae-in. Tanpa ingin menyentuh Sehun atau pun Lisa, Min-gyu mempersilakan dengan sopan agar keduanya segera keluar.

"Hyung, kau sungguh akan mengurung kami?" Sehun bertanya dan memastikan kembali keputusan sang kakak.

"Tanyakan itu pada dirimu, Sehun." Hae-in masih mempertahankan sikap dinginnya, meski kecewanya benar-benar tidak bisa ditutupi. "Kau pikir tindakanmu sudah benar karena merahasiakan hal ini dariku? Apa kalian berniat untuk membunuhku lagi?"

Lisa pasrah dengan apa pun yang akan Hae-in lakukan padanya. Sejak laki-laki itu terbangun dari komanya, Lisa sudah membayangkan kalau hal seperti ini pasti akan terjadi cepat atau lambat. Masih untung Hae-in hanya mengurungnya dan bukan membunuhnya.

Sementara Sehun bungkam. Laki-laki itu terlalu mencintai Lisa sebagai wanitanya, tapi juga sangat menyayangi sang kakak. Tidak bisakah Sehun bahagia dengan orang-orang yang disayanginya tanpa mengorbankan apa pun?

"Mr. J, tidak bisakah aku bertanggung jawab sendiri? Sehun benar-benar tidak tahu apa pun tentang kecelakaanmu." Lisa memohon agar kekasihnya tidak ikut terlibat dalam masalah ini.

"Yak!" Sehun menggeram rendah. Laki-laki itu jelas tidak setuju dengan apa yang baru saja kekasihnya ucapakan.

Lisa menoleh pada kekasihnya, kemudian menggeleng, bermaksud untuk membuat Sehun mundur dan tidak membelanya lagi.

Tepukan tangan yang ringan terdengar memenuhi ruangan, seolah sedang bersorak untuk merayakan keberhasilan alih-alih melakukannya karena menyindir dan pelakunya tidak lain adalah Hae-in.

"Benar-benar pasangan yang sempurna," sindirnya dengan senyum mengejek. "Aku yakin kalau kalian juga pasti ingin mati bersama, 'kan? Maka berterimakasihlah padaku karena aku akan mewujudkannya untuk kalian."

Jika ada yang benar-benar terkejut karena penuturan Hae-in, maka orang itu adalah Sehun. Dia sungguh tidak menyangka kalau sang kakak akan mengatakan hal seperti ini padanya dengan begitu ringan.

"Bawa mereka pergi. Jangan sampai aku mengulang untuk ketiga kali." Hae-in mengulang perintahnya karena kesopanan Min-gyu tidak membuat kedua pengkhianat itu pergi dari hadapannya.

Min-gyu memberikan perintah pada dua anggota Chimera yang berada di luar kamar untuk membawa Lisa dan Sehun keluar, sebelum Hae-in mengulang perintahnya untuk kali ketiga.

"Jangan sentuh dia!" Sehun menangkap tangan yang ingin meraih Lisa dan menuntun wanita itu keluar. "Atau aku akan mematahkan tanganmu," ancamnya dengan cengkeraman yang semakin kuat.

"Jika mereka melawan, kalian diizinkan untuk menggunakan kekerasan." Hae-in menyela setelah melihat respons sang adik. "Saat ini kau bukanlah siapa-siapa dan hanya seorang pengkhianat. Jadi, jangan banyak bertingkah."

Lisa sadar betul kalau melawan Hae-in sekarang adalah kesalahan besar. Jadi, untuk meringankan situasi saat ini, wanita itu menarik tangan kekasihnya agar melepaskan tangan anggota Chimera yang lain.

"Kami akan berjalan sendiri," kata Lisa memberitahu. Secara tidak langsung, wanita itu baru saja memberikan peringatan agar tidak ada yang menyentuhnya atau pun Sehun.

Hae-in membuang pandangannya ketika Sehun dan Lisa digiring untuk keluar dari kamarnya.

Seketika kamar Hae-in menjadi sangat hening karena hanya menyisakan dirinya dan sang perawat. Kini, yang terdengar hanyalah tarikan napas yang kasar dari sang pemilik tempat.

Jisoo pikir ucapan Hae-in tempo hari tidak benar-benar serius. Dia pikir, Hae-in akan memaafkan kesalahan Lisa dengan mempertimbangkan Sehun, tapi nyatanya laki-laki itu sanggup untuk bersikap tega dengan mengurung keduanya di ruangan bawah tanah.

Namun, Jisoo pikir ini hanyalah kemarahan sesaat. Mengingat Hae-in yang enggan menatap adiknya sebelum dibawa pergi, rasanya cukup untuk menjelaskan kalau sebenarnya laki-laki itu juga tidak tega.

Jisoo mendekatkan diri pada Hae-in setelah cukup lama menjaga jarak. Wanita itu menyentuh lembut bahu sang pimpinan Chimera. "Mr. J," panggilnya.

Hae-in tidak langsung merespons panggilan Jisoo, melainkan laki-laki itu diam sejenak sebelum menoleh. "Apa yang aku lakukan tidak salah, 'kan? Mereka mengkhianatiku dan pantas untuk dihukum, 'kan? Aku bahkan masih berbaik hati karena tidak membunuh mereka."

Rasa emosional Hae-in sedang bergejolak dan Jisoo bersikap seolah dia memahami perasaan laki-laki itu.

"Kau berhak untuk kecewa." Jisoo memberikan pengertian lewat anggukan singkat dengan senyum yang begitu kecil. "Jika kau ingin marah, maka lakukan saja."

Hae-in menggeleng lemah. "Aku terlalu lelah untuk marah," katanya dengan bisikan parau.

Jisoo mengerti sepenuhnya dengan perasaan itu. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk bisa menghibur Hae-in saat ini hanyalah memeluk laki-laki itu.

"Jika kau terlalu lelah untuk marah, maka kau bisa menangis sebagai gantinya," kata Jisoo seraya memberikan usapan lembut pada punggung Hae-in. "Aku tidak bisa membantu untuk mengurangi rasa kecewamu, tapi aku bisa memberikan bahuku untuk tempatmu menangis."

Lagi-lagi Jisoo mengoceh panjang pada Hae-in, tanpa peduli kalau tindakan lancangnya ini mungkin saja akan membuat Pimpinan Chimera itu semakin marah.

Namun faktanya, Hae-in memang membutuhkan seseorang untuk menghiburnya setelah dua orang kepercayaannya menusuknya dari belakang.

"Gangster pun diperbolehkan untuk menangis." Jisoo mengingatkan karena berpikir Hae-in pasti akan meninggikan egonya dan menahan diri untuk menangis.

"Kau pikir aku masih memiliki air mata?" Hae-in bertanya dengan sinis. Tatapannya memang penuh dengan kekecewaan, tapi laki-laki itu tidak bisa menangis.

Jisoo mengembuskan napas pelan dan melepaskan pelukannya, kemudian menatap Hae-in dengan sungguh-sungguh. "Tapi kau pasti punya hati, 'kan?"

Hae-in mengalihkan pandangannya dari Jisoo dan menatap dinding di depan. "Aku juga tidak memilikinya."

Jisoo mengangguk dengan mulut terkunci. "Apa kau butuh waktu untuk sendiri saat ini? Kalau kau memang membutuhkannya, aku akan pergi."

Hae-in hanya membalas lewat anggukan, tanpa melihat ke arah Jisoo.

"Kalau kau butuh sesuatu, aku ada di kamarku. Jadi, suruh siapa saja untuk memanggilku nanti."

Kali ini, penuturan Jisoo dibalas dengan gumam yang begitu kecil.

Jisoo meninggalkan Hae-in setelah mengusap pipi laki-laki itu. Tidak ada alasan khusus kenapa dia melakukannya. Jisoo hanya menunjukkan perhatiannya pada Hae-in untuk mengambil perhatian laki-laki itu.

Tidak ada tempat yang bisa Jisoo tuju selain kamarnya. Wanita itu langsung mengunci pintu setelah menutupnya. Kecil kemungkinan kalau anggota Chimera akan masuk tanpa mengetuk, tapi lain halnya jika yang datang adalah Hae-in. Maka dari itu, Jisoo memilih menguncinya untuk berjaga-jaga.

Dari balik pakaiannya, Jisoo mengeluarkan amplop yang seharusnya menjadi milik Hae-in 3 tahun yang lalu. Wanita itu sungguh penasaran, siapa kiranya yang Hae-in cari sebelum kecelakaan waktu itu.

Menukar amplop asli pemberian Min-gyu adalah hal yang mudah untuk Jisoo lakukan. Wanita itu hanya perlu melakukan beberapa pencurian kecil dan menyelinap, kemudian masuk ke kamar dengan tangan kosong, tapi keluar dengan membawa selimut di tangan.

Dalam beberapa detik yang sangat singkat itu, Jisoo menukar amplop milik Hae-in dengan amplop miliknya yang berisikan informasi tentang pengkhianatan Lisa.

Wanita itu memang berencana memanfaatkan kejahatan Lisa suatu saat nanti, tapi tidak menyangka kalau dia akan menggunakan informasi berharga itu secepat ini untuk menjaga rahasianya tetap aman.

Sebenarnya, masalah tidak berhenti sampai di situ. Meski sudah menukarnya dengan informasi yang lain, masih ada satu ketakutan yang sangat Jisoo antisipasi yaitu, Min-gyu.

Sebagai orang yang menyimpan dan membawakan informasi itu untuk Hae-in, tentu saja Min-gyu akan menjadi orang pertama yang akan dimintai penjelasannya dan betapa Dewi Fortuna sangat menyayangi Jisoo karena Min-gyu bukanlah orang yang mencari informasi. Laki-laki itu meminta bantuan pada seseorang yang memang ahlinya dalam melakukan pencarian dan sama sekali tidak tahu isi dari amplop itu sejak 3 tahun yang lalu.

Lalu, yang membuat Jisoo merasa kalau keberuntungan benar-benar berpihak padanya adalah saat Min-gyu mengatakan kalau informan yang disewanya sudah meninggal setahun lalu karena dibunuh.

Jadi, benar-benar tidak ada yang tahu mengenai isi dari amplop itu, kecuali sang informan, tapi saat ini Jisoo akan mengetahuinya.

Rupanya, sosok yang Hae-in cari bukanlah seseorang yang sudah menembaknya, melainkan sosok gadis kecil. Dalam beberapa lembar kertasnya, Jisoo bisa melihat banyak sekali perpindahan tempat yang gadis itu lakukan dalam 3 tahun dan rata-rata tempat itu adalah panti asuhan.

Beberapa lembar foto disertakan sebagai bukti kalau gadis kecil itu memang benar-benar hidup di beberapa panti asuhan. Melihat latar belakang tempatnya, Jisoo pikir foto-foto itu diambil belasan tahun yang lalu.

"Kenapa dia mencari anak ini?" Jisoo bertanya-tanya sambil terus memperhatikan foto anak kecil yang tampak menyendiri itu. "Apa gadis ini adiknya yang hilang?"

Jisoo tidak memiliki tebakan lain selain yang baru saja dia sebutkan. Mengingat Hae-in menanti untuk mendapatkan informasi mengenai gadis kecil itu, membuat Jisoo berpikir kalau sosok yang dicari laki-laki itu adalah sosok yang sangat berarti.

Pada akhirnya, Jisoo bisa bernapas lega karena bukan dia sosok yang menembaknya yang Hae-in cari. Satu masalah hari ini sudah benar-benar terselesaikan, Jisoo pikir dia bisa tidur nyenyak malam ini.

Dengan sedikit rasa bersalah, Jisoo terpaksa merobek semua informasi mengenai gadis kecil yang Hae-in cari, kemudian membuangnya ke dalam kloset.

Satu foto terakhir berada dalam genggamannya lebih lama. Entah kenapa, Jisoo meluangkan beberapa detik waktunya untuk menatap foto gadis kecil itu dan mengasihaninya untuk sesaat.

"Dia tampak lucu," celetuk Jisoo dengan sudut bibirnya yang mengukirkan senyum tipis, padahal jelas-jelas foto yang dilihatnya saat ini sedang menunjukkan betapa menyedihkan gadis kecil itu.

Namun, bagi Jisoo secara pribadi, kesendirian adalah hal yang lucu karena di masa lalu pun dia pernah berada dalam situasi yang menyedihkan seperti itu atau bisa dibilang jauh lebih menyedihkan.

"Selamat tinggal, Gadis Manis." Jisoo mengucapkan salam perpisahan lebih dulu sebelum merobek foto gadis yang tidak dikenalnya, kemudian dibuang ke dalam kloset untuk menyusul sampah lainnya yang sudah lebih dulu dia larutkan.

Jisoo mengempaskan tubuhnya ke kasur, kemudian melirik kalender duduk di nakas. Wanita itu menghitung sudah berapa lama dia dalam penyamaran. Ternyata, satu minggu bahkan belum berlalu sejak dia menginjakkan kakinya di markas Chimera untuk mengantarkan nyawa.

Setelah mengambinghitamkan Lisa, Jisoo memikirkan siapa lagi yang bisa dia gunakan untuk membuat Hae-in meragukan orang-orang terdekatnya. Wanita itu pikir, membunuh Hae-in tidak hanya tentang membuat Pimpinan Chimera itu berhenti bernapas, tapi membuat laki-laki itu merasa dikhianati berkali-kali pasti akan membunuhnya secara perlahan.

"Sepertinya, menyingkirkan Min-gyu adalah langkah yang harus aku lakukan selanjutnya." Jisoo baru saja mencapai pada keputusan akhirnya.

Jujur saja, wanita itu muak dipandang sebelah mata oleh Min-gyu. Kalau saja bukan sedang menyamar, Jisoo tidak akan ragu untuk melawan Min-gyu, tapi sebelum menyingkirkannya, Jisoo perlu mencari tahu kelemahannya lebih dulu untuk digunakan sebagai senjata.

"Tapi sebelumnya, mari dapatkan izin dari Hae-in lebih dulu," kata Jisoo seraya menarik punggungnya dari kasur.

Ya, Jisoo memerlukan izin untuk bisa berkeliaran dengan bebas di markas Chimera. Wanita itu tidak akan bisa membunuh Hae-in pergerakannya masih sangat dibatasi.

Mengintip ke kamar Hae-in, Jisoo mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Ternyata Hae-in sedang berbaring dan mungkin saja tertidur saat ini. Lagi pula, Jisoo sudah meninggalkan Hae-in selama 2 jam lebih.

Jisoo masuk dengan mengendap karena tidak ingin mengganggu tidur Pimpinan Chimera itu. Diusapnya pipi laki-laki itu yang terlihat begitu tegas.

"Menurunkan sedikit egomu tidak akan membuatmu mati, Mr. J," kata Jisoo dengan usapan lembutnya. Wanita itu tahu kalau Hae-in tidak tidur, melainkan hanya berpura-pura. "Sesekali kau harus hancur agar memiliki kekuatan."

Hae-in masih tetap mempertahankan tubuhnya agar tidak bergerak, tapi merasakan ada gerakan lain di sisi kosong sebelahnya. Yup~ Jisoo baru saja naik ke atas kasur tanpa diminta lebih dulu oleh sang empunya seperti biasa.

"Terkadang, kebenaran itu memang menyakitkan," celoteh Jisoo, "Meski menyakitkan, tapi itulah kebenarannya. Kau hanya perlu menerimanya, bahkan jika rasanya seperti akan membunuhmu."

Tubuh Jisoo miring ke Hae-in saat dia sibuk berceloteh dan menunggu laki-laki itu untuk membuka mata dan berbicara padanya.

"Rasa sakit ini hanya sementara." Jisoo melanjutkan celotehannya, meski belum mendapatkan respons apa pun dari lawan bicaranya. "Setelah kau menerima kebenaran ini, kau akan melupakan rasa sakit itu seiring berjalannya waktu."

"Dari sekian banyak orang, kenapa mereka yang harus mengkhianatiku?"

Jisoo tersenyum kecil ketika Hae-in meresponsnya dengan suara parau. Pada akhirnya, laki-laki itu menyerah berpura-pura tidur.

"Bukan 'kenapa harus mereka', tapi 'kenapa mereka melakukannya'." Jisoo meralat ucapan Hae-in sebelumnya.

Hae-in membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kosong di atasnya, kemudian menoleh pada Jisoo di sampingnya. "Menurutmu kenapa mereka melakukannya?"

Jisoo menggeleng pelan. Bukan karena dia tidak bisa memberikan alasan, tapi karena dia enggan terlihat ikut campur. "Aku tidak tahu, tapi mereka pasti memiliki alasan."

"Jadi, aku harus mendengarkan alasan kenapa mereka ingin membunuhku?" Hae-in bertanya tanpa ekspresi, tapi suaranya terdengar seperti decihan sinis.

"Itu terserah padamu. Aku tidak berhak ikut campur." Jisoo memilih untuk mengambil langkah mundur setelah dirasa cukup memengaruhi Hae-in.

Hae-in menatap Jisoo dalam diam. Lama sekali dia menatap wanita di depannya tanpa kata, kemudian menutup mata beberapa saat dan sebulir air mata menetes dari sudut mata laki-laki itu.

Jisoo mengusap menggunakan ibu jarinya, tapi tidak memberikan komentar apa pun. Wanita itu hanya menunggu, menunggu, dan terus menunggu sampai Hae-in terperangkap dalam jebakannya.

"Rasanya sakit sekali, seperti patah hati." Hae-in berbisik lirih dan kembali membuka matanya, membiarkan gadis asing di depannya melihat kehancurannya.

"Patah hati 10x lebih buruk dari yang kau rasakan sekarang, Mr. J," balas Jisoo dengan senyum tipis. "Kau mungkin akan merasa kalau duniamu hancur lebur."

Hae-in ingin membalas, tapi hati laki-laki itu terlalu sakit untuk memulai pembicaraan lagi. Hingga hanya air mata yang mampu dia berikan pada Jisoo sebagai respons.

Melihat air mata yang terus jatuh dari sudut mata Hae-in, membuat Jisoo lagi-lagi berinisiatif menghapusnya. "Jika kau memerlukan sebuah pelukan, katakan saja padaku."

Tampaknya Jisoo benar-benar ingin membuat Hae-in bertekuk lutut di bawah kakinya dengan cara membuat laki-laki itu jatuh hati padanya.

Hae-in yang sedang berantakan perasaannya jelas memerlukan sebuah pelukan untuk menghiburnya. Ya, mengambil tawaran dari Jisoo sepertinya bukan ide yang buruk.

Tanpa mengatakan apa pun, tubuh Hae-in segera merapat pada Jisoo agar bisa dihibur secepatnya. Jisoo pun spontan memeluk Hae-in dan membiarkan laki-laki itu menangis dalam pelukannya, sambil sesekali mengusap punggung sang Pimpinan Chimera.

Dunia pasti akan tertawa kalau mengetahui seorang pimpinan gangster menangis, 'kan?

Namun, Hae-in benar-benar menangis di dalam pelukan Jisoo, dengan suara isakan yang tidak lagi malu-malu untuk diperdengarkan pada orang lain.

❄️❄️❄️

Sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Hae-in kalau dia akan menangis di dalam pelukan seorang wanita yang dikenalnya kurang dari seminggu. Namun, harus dia akui juga kalau pelukan Jisoo mampu membuatnya melepaskan tangisan yang berusaha ditahannya.

Kini, laki-laki itu sedang menatap wanita yang sudah menghiburnya semalam.

Jisoo tampak pulas dalam tidurnya. Ketika sedang tidur, wanita itu terlihat sangat polos dengan bibir yang nyaris berbentuk hati.

"Aku benar-benar yakin pernah melihatnya sebelum ini," gumam Hae-in tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Jisoo yang sudah 15 menit terakhir ini dia jadikan objek. "Tapi di mana?"

Satu hal yang Hae-in yakini, dia tidak bertemu dengan Jisoo di rumah sakit atau tempat perawatan mana pun. Namun, laki-laki itu menyerah untuk mengingatnya.

Jam digital di nakas masih menunjukkan pukul 06.17, masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Jadi, Hae-in hanya diam saja di atas tempat tidurnya sambil menunggu Jisoo bangun, juga sesekali memikirkan keadaan adiknya saat ini.

Racauan yang berasa dari sisi sebelah kirinya menarik perhatian Hae-in untuk menoleh. Dilihatnya Jisoo yang tampak gelisah dalam tidurnya, padahal sebelumnya wanita itu tampak nyenyak.

Kening Jisoo yang tampak berkerut membuat Hae-in bertanya-tanya, apa kiranya yang sedang wanita itu mimpikan saat ini. Racauannya pun semakin membuat Hae-in ingin tahu.

"Hei, Han Jisoo," panggil Hae-in seraya menyenggol lengan perawatnya. "Kau sedang bermimpi buruk?"

Bodoh sebenarnya pertanyaan yang baru saja Hae-in tanyakan, tapi laki-laki itu hanya refleks bertanya sambil terus membangunkan Jisoo yang terlihat semakin gelisah.

Guncangan di tubuh, serta teriakan yang memanggil namanya membuat kesadaran Jisoo kembali dalam genggaman.

"TIDAK!" Jisoo berteriak histeris dan langsung bangun dari tidurnya, membuat Hae-in terkejut karena gerakan yang tiba-tiba dan nyaris saja wajahnya terkena pukulan Jisoo.

Napas Jisoo terengah. Pandangannya mengedar dan memastikan di mana tempatnya berpijak saat ini. Keringatnya diusap, serta kepalanya dipijat karena dilanda rasa nyeri yang menyerang tiba-tiba.

"Kau baik-baik saja?"

Sentuhan di bahunya membuat Jisoo refleks menjauh dan mengambil tangan Hae-in untuk dipelintir. Wanita itu tiba-tiba saja bersikap waspada.

"Mr. J, maaf," sesal Jisoo saat menyadari apa baru saja dilakukannya pada Hae-in. "Aku hanya refleks."

Hae-in terdiam sejenak, kemudian mengangguk kaku. "Mimpi buruk?" tanyanya.

Jisoo mengangguk dengan senyum kering dan sebisa mungkin tidak terlihat gugup. "Kau mau mandi sekarang?"

"Kau duluan saja."

Lagi, Jisoo memberikan senyum kaku nan kering pada lawan bicaranya. "Kalau begitu, aku ke kamarku dulu. Aku janji tidak akan lama."

Hae-in hanya membalas dengan anggukan dan membiarkan Jisoo keluar dari kamarnya dalam langkah yang terlihat sempoyongan.

"Apa yang dia mimpikan sampai terlihat ketakutan seperti itu?" Hae-in bertanya pada dirinya. Lagi-lagi dia melanggar batasannya karena ingin tahu lebih banyak tentang Jisoo.

Buru-buru Hae-in menggeleng guna menghilangkan rasa ingin tahu itu dan mencoba untuk tidak merasa penasaran pada perawatnya.

Seolah tidak ada mimpi buruk yang mengganggunya, Jisoo melakukan semua pekerjaannya seperti biasa. Seperti memandikan dan menyuapi Hae-in.

"Aku tidak mau pakai kursi roda," kata Hae-in saat Jisoo menarik kursi roda untuk mendekat ke sisi tempat tidurnya. "Bantu aku berjalan saja."

"Kau yakin ingin berjalan saja?" tanya Jisoo memastikan. Wanita itu pikir ini terlalu cepat untuk Hae-in belajar berjalan.

"Aku ini tidak lumpuh," bantah Hae-in setengah jengkel, "Jadi, berhenti memperlakukanku seperti aku tidak bisa berjalan lagi."

Kejengkelan Hae-in hanya Jisoo balas dengan senyum kecil. Wanita itu tidak ingin terlalu membantah karena suasana hatinya juga sedang tidak bagus.

Jadi, memapah Hae-in keluar dari kamar menuju ruang tamu tanpa berkomentar adalah hal yang harus Jisoo lakukan.

Karena sang adik yang menggantikan posisinya sementara sedang Hae-in hukum, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan Chimera kembali ke tangan sang pimpinan.

"Sejak kapan distrik ini menjadi wilayah kekuasaan kita?" Hae-in bertanya pada Min-gyu yang berdiri di depannya. "Ini daerah kekuasaan Jae-hwa, 'kan?

"Sejak 3 tahun yang lalu," balas Min-gyu apa adanya, "Setelah kecelakaanmu waktu itu, Sehun memerintahkan kami untuk membalas mereka dan berhasil merebut semua wilayah kekuasaan Jae-hwa setelah menumpahkan banyak darah."

Hae-in mengangguk kecil, diam-diam mengabaikan fakta penting mengenai adiknya. "Lalu, anggota Jae-hwa?"

"Sehun memberikan mereka pilihan, bekerja untuk Chimera atau mati."

Bohong kalau Hae-in tidak merasa jika adiknya sudah melakukan pekerjaan yang baik, tapi laki-laki itu enggan mengakui.

Selama dia koma, nyatanya Chimera memiliki beberapa kemajuan yang sangat pesat dengan jaringan yang juga lebih luas. Keuntungan yang diraup pun berhasil menunjukkan seberapa kerasnya Sehun berusaha untuk tetap mempertahankan Chimera, di saat sang pimpinan sedang sekarat.

"Jadi, ada masalah apa saat ini?" kata Hae-in meletakkan segala jenis informasi keuangannya yang bersumber dari bisnis ilegal ke meja.

Min-gyu menjilat bibir, kemudian menunduk sebentar sebelum menjawab. "Kami sedang mencari tahu tentang seseorang yang sudah membocorkan informasi tentangmu."

Alis Hae-in tampak berkerut. "Membocorkan informasi tentangku?"

"Jadi, belakangan ini ada desas desus yang menyebar tentangmu. Ada seseorang yang mengatakan kalau dia tahu identitas Mr. J," jawab Min-gyu apa adanya, "Dan Sehun mengerahkan semua anggota Chimera untuk mencari tahu dari mana asalnya informasi itu."

"Lalu, bagaimana hasilnya?"

Min-gyu menggeleng lemah. "Kami belum berhasil menemukannya."

Hae-in menjilat bibirnya. Laki-laki itu berpikir apakah sebaiknya dia mengungkapkan identitasnya saja?

"Tapi selama aku koma, bagaimana kalian menjalankan semua bisnis ini?" Hampir saja, Hae-in lupa dengan hal penting yang satu ini. "Apa kalian mengatakan tentang kondisiku?"

Jisoo yang setia berdiri di samping Hae-in untuk menjaga laki-laki itu mengintip wajah Min-gyu dan mendapati ekspresi yang agak gugup.

"Sehun menggantikanmu sebagai Mr. J setelah kau koma dan memastikan tidak ada yang tahu mengenai kondisimu setelah kecelakaan." Ketika menjawab, Min-gyu tidak berani menatap lebih dari 2 detik. Tampaknya laki-laki itu terlalu takut untuk melihat ekspresi Hae-in. "Dia memastikan agar tidak ada orang luar yang tahu kalau kita sedang goyah karena kondisimu."

Hae-in mengangguk paham. Senyum kecil tampak terlihat di wajahnya. "Sepertinya dia sudah sejak lama mengincar posisi itu."

Min-gyu semakin menundukkan kepala. Laki-laki itu tidak ingin terlibat dalam konflik Jang Bersaudara itu.

"Berikan semua berkas yang berhubungan dengan Chimera selama aku koma dan bawa ke kamarku, juga siapkan mobil," titah Hae-in pada Min-gyu. Sebelah tangannya meraih tangan Jisoo, bermaksud meminta wanita itu agar membantunya untuk berdiri.

"Apa kau akan pergi keluar?" tanya Min-gyu memastikan. Wajahnya tampak terkejut karena mendengar perintah barusan.

Hae-in membalas dengan gumam, kemudian melingkarkan tangannya pada bahu Jisoo. "Aku perlu melihat perubahan dunia."

"Mr. J, tapi ...," Min-gyu menjeda kalimatnya, kemudian menggeleng ragu. "... kupikir bukan ide yang bagus untuk pergi sekarang. Kondisimu masih belum pulih."

"Siapkan saja mobil dan jangan membantahku." Hae-in menggeram, pertanda dia tidak ingin mendengarkan apa pun dari orang lain, khususnya bantahan untuk apa yang dia perintahkan.

Pada akhirnya, Min-gyu hanya bisa mengangguk, kemudian menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda pamit.

"Ke mana kita akan pergi?" Jisoo bertanya seraya memapah Hae-in kembali ke kamar.

"Ke mana saja." Hae-in menyahut asal-asalan. Tampaknya dia sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang. "Yang penting keluar dari rumah yang menyesakkan ini."

Jisoo sungguh tidak tahu kalau di balik sifatnya yang kejam, Hae-in itu sangat kekanak-kanakan. Buktinya saja laki-laki itu ingin pergi ke taman hiburan untuk sekadar melepaskan stress.

"Kenapa taman hiburan?" tanya Jisoo seraya terus mendorong kursi roda Hae-in.

"Entahlah. Aku hanya butuh suasana baru," sahut Hae-in asal-asalan.

"Kau ingin es krim?" Jisoo bertanya ketika mereka melewati beberapa stand makanan dan minuman.

Hae-in menoleh pada Jisoo di belakangnya. "Daripada es krim, bagaimana kalau belikan aku permen kapas saja?"

Jisoo tampak bingung, tapi tidak bisa menahan senyumnya. Sungguh, laki-laki di depannya ini benar-benar tidak sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan Jisoo selama ini.

"Kau pasti merindukan masa kecilmu," celetuk Jisoo.

Hae-in hanya mengangguk asal dan mendorong tubuh Jisoo untuk segera pergi membelikannya permen kapas, sementara dia menunggu di pinggir sambil melihat-lihat di sekitarnya.

"Jadi, dia Mr. J?"

Jisoo yang sedang menunggu pesanannya spontan menoleh dan mendapati Tiger berdiri di sampingnya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Tiger?" Jisoo bertanya dengan nada panik dan melirik ke arah Hae-in, takut kalau laki-laki itu melihatnya berbicara dengan orang lain.

"Bersenang-senang. Memangnya apa lagi?" Tiger merespons dengan tawa.

Jisoo berdecak dan memastikan keberadaan Hae-in sekali lagi yang diawasi oleh Min-gyu. "Pergilah, Tiger. Aku sedang bekerja sekarang."

Alih-alih pergi, Tiger malah memesan permen kapas seperti Jisoo agar memiliki alasan untuk tetap berdiri di samping perawat palsu itu. "Jadi, kapan kau akan membunuhnya?"

"Dia bukan Mr. J." Jisoo menjawab dengan sebuah kebohongan. Wanita itu tidak ingin membagikan informasi apa pun pada Tiger. "Dia hanya pasienku."

Tiger bergumam dengan anggukan. "Jadi, di mana Mr. J? Apa dia masih hidup?"

"Entahlah." Jisoo menyahut setengah acuh. "Tidak ada siapa pun yang dipanggil Mr. J di rumah itu."

Tiger merespons dengan tawa. "Mustahil penyamaranmu tidak mendapatkan informasi apa pun, Moora."

Jisoo yang tampak kesal karena kehadiran Tiger menatap lawan bicaranya dengan sengit. "Jika dia adalah Mr. J, apa kau pikir aku akan menunda selama ini untuk membunuhnya? Dia hanya laki-laki lumpuh."

Sebenarnya, Jisoo merasa agak bersalah karena mengatakan Hae-in lumpuh, tapi dia harus meyakinkan Tiger.

"Jadi, kapan kau akan menyelesaikan misi terakhirmu? Kupikir kau sangat tidak sabar untuk menyelesaikan misi ini, tapi sepertinya kau sangat menikmati peranmu," ejek Tiger.

"Jangan lupa, Tiger, setelah aku menyelesaikan misi ini, kau adalah target selanjutnya," kata Jisoo dengan gigi gemertak, "Jadi, siapkan dirimu menuju kematian."

Jisoo segera mengambil pesanan permen kapasnya dan meninggalkan Tiger dengan tatapan yang begitu sengit.

Rupanya, sosok yang Tiger kenal dengan kode nama Moora itu masih sama seperti biasa, berapi-api dan penuh dengan dendam.

"Harusnya kau katakan itu pada dirimu sendiri, Moora," gumam Tiger dengan senyum mengejek di sudut bibirnya.

Ketika kembali pada Hae-in, Jisoo sebisa mungkin mengatur ekspresinya agar menjadi lebih ceria. Wanita itu tidak boleh terlihat kesal karena dia harus menghibur sang Pimpinan Chimera.

"Satu permen kapas untuk laki-laki yang ingin mengenang masa kecilnya." Jisoo berdiri di depan Hae-in dengan wajah yang penuh dengan keceriaan.

Hae-in hampir merona dibuatnya, tapi sebisa mungkin bersikap dingin guna menekan getaran aneh yang tiba-tiba saja timbul karena senyum wanita di depannya.

"Kenapa lama sekali sih?" protes Hae-in. Wajahnya dibuat menekuk sebagai tanda kalau dia kesal karena menunggu terlalu lama.

Jisoo mencibir dan membiarkan Hae-in mengambil alih permen kapas darinya. "Aku bahkan pergi tidak sampai 10 menit."

"Ayo, jalan," ajak Hae-in.

Jisoo mengembuskan napas kasar, kemudian mendorong kembali kursi roda Hae-in, yang diikuti oleh Min-gyu yang sengaja menjaga jarak di belakang.

"Hei, Nona, tunggu!" Teriakan itu sampai pada telinga Hae-in dan Jisoo, tapi keduanya tidak merasa kalau merekalah yang dipanggil, terutama Hae-in.

"Setelah ini, ke mana lagi kita akan—"

"Hei, Nona."

Pertanyaan Jisoo dipotong begitu saja oleh seseorang, lengkap dengan sebelah tangan yang menarik lengannya, membuat wanita itu terkejut dan nyaris saja menunjukkan gerakan refleksnya, yang pasti akan membuat Hae-in semakin curiga padanya.

Min-gyu bersiap di posisinya dan menatap dengan begitu waspada untuk memantau apa yang akan terjadi.

Hae-in pun ikut menoleh karena penasaran kenapa Jisoo tiba-tiba berhenti dan melihat sosok Tiger dengan penuh kebingungan, sementara Jisoo menggertakkan rahangnya menahan amarah.

Wanita itu bertanya-tanya, apa yang sedang coba Tiger lakukan dengan menunjukkan dirinya seperti ini.

"Kau meninggalkan kacamata ini," kata Tiger seraya memberikan kacamata pada Jisoo.

Alih-alih mengambilnya, Jisoo malah melirik Hae-in seolah sedang meminta izin untuk mengambilnya, tapi Hae-in yang merasa tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan tidak memberikan respons.

Tiger menggerakkan sedikit tangannya, bermaksud agar Jisoo segera mengambilnya.

"T-terima kasih." Jisoo mengambilnya dengan sedikit gugup, kemudian kembali mendorong kursi roda Hae-in setelah memasukkan kacamatanya ke dalam saku jaket.

"Aku tidak tahu kalau kau memakai kacamata," celoteh Hae-in seraya memasukkan sesuap permen kapas ke dalam mulutnya. "Dan tidak pernah melihatnya juga."

"Aku tidak memakainya dengan rutin. Hanya kadang-kadang saja," balas Jisoo beralasan. "Dan aku membawanya hanya untuk berjaga-jaga."

Hae-in mengangguk dengan gumam dan kembali menikmati permen kapasnya.

"Berhenti di sana." Hae-in menunjukkan sebuah bangku yang berjarak hanya beberapa meter dari tempatnya sekarang.

Akhirnya, setelah hampir 1 jam berjalan, Jisoo bisa juga mengistirahatkan kakinya. Wanita itu ingin mengeluh lelah sebenarnya, tapi menahan diri karena tidak ingin merusak suasana hati Hae-in yang tidak terlalu baik.

"Bisa kau belikan aku hamburger dan soda?" Hae-in bertanya pada Min-gyu yang tetap menjaga jarak darinya. "Masing-masing dua."

"Dengan saus pedas?" tanya Min-gyu memastikan.

"Kau bisa makan pedas?" Hae-in justru malah bertanya pada Jisoo, membuat wanita itu agak terkejut.

"Aku tidak bisa makan pedas," balas Jisoo dengan gelengan.

Hanya dengan tatapan saja, Min-gyu sudah mengerti dan tidak lagi memastikan pada Hae-in. Laki-laki itu segera pergi untuk membelikan apa yang sang pimpinannya inginkan.

Senyum kecil terlihat di wajah Jisoo ketika sobekan permen kapas muncul di depannya, tapi Hae-in tidak menatap wanita di sebelahnya, justru malah bersikap seperti tidak pernah menawarkan apa pun.

Namun, diamnya Jisoo membuat Hae-in menoleh untuk mencari tahu kenapa wanita itu diam saja ketika diberikan sesuap permen kapas.

"Kita bukan pasangan kekasih, tapi kau memperlakukan seperti kita sedang berkencan," celoteh Jisoo dengan tawa tertahan.

"Hanya ingin berbagi saja, kalau-kalau kau ingin mencicipinya," sahut Hae-in setengah acuh.

Mendapatkan perhatian dari Hae-in jelas sesuatu yang tidak boleh Jisoo lepaskan begitu saja. Wanita itu menyambar permen kapas di tangan Hae-in langsung dan tanpa sengaja bibirnya menyentuh jari Pimpinan Chimera itu.

"Terlalu manis," kata Jisoo berkomentar. Wanita itu mengabaikan fakta kalau jantungnya baru saja berdebar karena sentuhan kecil itu.

"Kehidupan ini sudah sangat pahit. Jadi, setidaknya kau harus menikmati sesuatu yang manis sebagai penawar," balas Hae-in seraya melahap kembali permen kapasnya.

Ujung jari yang tadi tidak sengaja mengenai bibir Jisoo, kini sepenuhnya berada di dalam mulut Hae-in ketika laki-laki itu iseng mengemut jarinya.

Ketika Hae-in sibuk dengan permen kapasnya, ada Jisoo yang sedang menatap laki-laki itu. Kalau dipikir-pikir lagi, Hae-in benar-benar tidak terlihat seperti pimpinan gangster. Justru yang Jisoo lihat saat ini hanyalah sosok laki-laki yang putus asa, tapi mendambakan cinta.

"Tadi pagi kau bermimpi buruk." Hae-in tiba-tiba menoleh dan menangkap basah Jisoo yang sedang menatapnya. "Apa yang kau mimpikan?"

Nyatanya, Hae-in tidak bisa menahan rasa penasarannya. Laki-laki itu merasa perlu tahu dengan mimpi apa yang menghantui perawatnya ini sampai terlihat sangat ketakutan.

"Hanya mimpi buruk pada umumnya." Jisoo menjawab seadanya karena merasa Hae-in tidak perlu tahu tentang mimpinya.

Setelah mendengar jawaban Jisoo yang terkesan enggan, Hae-in memutuskan untuk berpaling dari wanita di sampingnya dan hanya memberikan respons dengan anggukan dan gumam. Dia juga tidak lagi memakan permen kapasnya.

Sebenarnya, Jisoo penasaran dengan kacamata pemberian Tiger tadi. Dia yakin kalau kacamata itu diberikan dengan alasan khusus dan Jisoo merasa perlu untuk mengetahuinya secepat mungkin.

Ketika Jisoo hendak berdiri dan beralasan pergi ke toilet, Min-gyu datang dengan hamburger dan soda di kedua tangannya. Langsung saja dia memberikannya pada Jisoo dan Hae-in.

Permen kapas yang tadi sepenuhnya milik Hae-in, kini dialihkan pada Min-gyu karena sang Pimpinan Chimera ingin menikmati hamburger-nya.

Saat Hae-in mengatakan ingin pergi keluar untuk sekadar menghilangkan stress, sebenarnya laki-laki itu sedang berusaha untuk melupakan tentang pengkhianatan sang adik, sekaligus mencari tahu seberapa banyak dunia berubah.

"Ayo, pulang," ajak Hae-in. Tampaknya laki-laki itu sudah cukup melepaskan setengah rasa stressnya saat ini.

Jisoo membalas dengan anggukan, kemudian bangkit dari duduknya dan kembali mendorong kursi roda Hae-in.

"Kau ingin membeli sesuatu sebelum pulang?" tawar Jisoo, "Es krim mint choco mungkin."

Hae-in menggeleng. "Langsung pulang saja."

Saat dalam perjalanan pulang, Hae-in dan Jisoo tampak seperti dua orang asing yang dipaksa untuk berada di satu mobil yang sama. Keduanya tidak terlihat terlalu canggung, tapi jelas mengabaikan satu sama lain dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Namun, Jisoo tetap melakukan tugasnya sebagai perawat Hae-in dan selalu mengutamakan laki-laki itu daripada urusannya sendiri. Rasanya penasarannya pun terpaksa ditekan dalam-dalam karena dia tidak memiliki alasan untuk meninggalkan Hae-in barang 1 menit pun guna memeriksa kacamata pemberian Tiger.

"Mr. J, kupikir sudah cukup untuk hari ini. Kau harus istirahat sekarang." Jisoo dengan lancang menarik lembaran kertas yang sejak pulang dari taman hiburan tadi menjadi fokus Hae-in. "Kau tidak boleh terlalu lelah."

"Ada banyak hal yang harus aku tahu karena semua tanggung jawab akan kembali padaku. Jadi, aku tidak bisa hanya diam saja, sementara Chimera tidak ada yang mengurus." Penjelasan panjang Hae-in barusan menegaskan bahwa laki-laki itu tidak akan membuang waktunya dengan bermalas-malasan.

"Aku tahu kau mengkhawatirkan bisnismu, tapi pikirkan juga kesehatanmu." Jisoo membalas dengan penuh pengertian agar Hae-in segera tidur. "Kau sudah bekerja terlalu banyak hari ini. Jadi, tolong istirahat sekarang."

Hae-in mengembuskan kasar. Apa yang Jisoo katakan memang benar adanya, Hae-in terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja hari ini. Meski tidak melakukan pekerjaan yang berat, tapi otak Hae-in dipaksa untuk mengingat dan menampung banyak informasi sekaligus, membuat laki-laki itu merasa agak pusing sekarang.

Anggukan dari Hae-in adalah pertanda kalau dia setuju untuk istirahat sekarang dan membiarkan Jisoo membereskan segala macam informasi rahasia mengenai bisnis Chimera.

"Kau ingin susu hangat?" Jisoo menawarkan ketika dia sudah selesai membereskan kertas-kertas milik Hae-in.

Merasa diperlakukan seperti anak kecil membuat Hae-in berdecak sebal. "Apa aku terlihat seperti anak 10 tahun di matamu, hingga harus minum susu dulu sebelum tidur?"

Jisoo mengangkat bahu. Bukan salahnya karena menawarkan susu hangat sebelum tidur karena Hae-in memang terkadang menginginkan sesuatu yang disukai anak kecil, contohnya saja permen kapas seperti tadi siang.

"Kau juga beristirahatlah," kata Hae-in setengah acuh. Laki-laki itu memperbaiki posisi selimutnya.

"Uhm, Mr. J, ada sesuatu yang ingin aku katakan."

Hae-in yang sudah menutup mata dan bersiap untuk tidur, terpaksa membuka matanya karena diajak bicara. "Apa?"

Jisoo terlihat bingung ketika ingin mengatakan keinginannya, bahkan dia harus meremas tangan untuk sekadar menahan gugup.

"Aku membutuhkan pembalut." Saat mengatakannya, Jisoo menunduk dan tidak menatap Hae-in karena terlalu malu.

Kening Hae-in berkerut bingung. "Kau membutuhkan apa?"

Jisoo menarik napas dan menekan rasa malunya dalam-dalam, kemudian menatap lawan bicaranya agar tidak harus mengulang jawaban untuk ketiga kalinya. "Aku membutuhkan pembalut."

"Ah~ Pembalut." Hae-in mendesah dengan wajah yang terlihat memerah salah tingkah. "Aku akan meminta Min-gyu untuk membelikannya."

"Kupikir terlalu lama kalau menunggu Min-gyu keluar," sanggah Jisoo hati-hati, "Kalau diizinkan, apa aku boleh meminta pembalut Lisa saja untuk malam ini. Pasti dia memilikinya, 'kan?"

Hae-in berpikir sejenak, kemudian memutuskan untuk setuju dengan usul Jisoo sementara ini. Laki-laki itu meminta agar Min-gyu menghadapnya, lalu menyuruhnya mengantar Jisoo ke ruangan bawah tanah tempat Lisa dan Sehun dikurung.

Karena Jisoo membutuhkan sesuatu yang bersifat sangat pribadi, maka ada baiknya kalau wanita itu bertanya langsung pada Lisa.

Saat menuruni tangga, rasa lembap dari dinding batu yang tidak pernah disinari oleh cahaya matahari langsung terasa di kulit. Min-gyu yang memimpin jalan bahkan harus membawa senter sebagai penerangan karena kondisinya benar-benar sangat gelap.

Jisoo tidak melihat dengan jelas karena minimnya cahaya, tapi tempat yang dia injak saat ini bisa dibilang sebagai penjara bawah tanah.

"Siapa di sana?" Itu suara Sehun. Laki-laki itu bertanya ketika ada cahaya yang mendekat ke arahnya.

"Aku Min-gyu," jawab Min-gyu. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengarahkan senternya pada tempat yang mengurung Sehun dan Lisa.

Jisoo pun ikut menyaksikan betapa menyedihkannya kondisi Lisa dan Sehun saat ini. Keduanya tampak begitu pucat dan lelah, terlebih lagi Lisa yang sedang tertidur di atas pangkuan Sehun.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Jisoo agak kasihan dengan keduanya karena harus melewati hukuman ini, tapi menjaga rahasianya jauh lebih penting dari rasa kasihannya saat ini.

"Ada apa?" Sehun bertanya dengan dingin.

Min-gyu menoleh pada Jisoo dan mempersilakan wanita itu untuk mengutarakan keinginannya.

Jisoo maju selangkah, kemudian meyakinkan dirinya untuk berbicara pada Sehun. "Begini ... aku membutuhkan pembalut, tapi aku tidak memilikinya karena barang-barangku sudah dibuang. Jadi, kalau tidak keberatan, apa aku boleh meminta pembalut Lisa untuk malam ini?"

Sehun mendecih tidak percaya. "Jadi, kau datang ke sini hanya untuk pembalut?"

"Maaf, tapi aku benar-benar membutuhkannya," sesal Jisoo. Wanita itu sungguh menunjukkan rasa bersalahnya pada Sehun karena datang hanya untuk meminta pembalut.

Sehun menunduk dan menatap wanitanya yang tertidur. Bibir laki-laki itu kering karena sudah belasan jam berlalu sejak terakhir kali dia membasahi tenggorokannya dengan air dan sama sekali tidak menyangka kalau orang pertama yang datang mengunjunginya adalah Jisoo yang meminta pembalut.

"Cari saja di kamar kami," kata Sehun pada akhirnya.

Jisoo mengucapkan terima kasih pada Sehun sebelum pergi.

Ketika wanita itu mencari di kamar Sehun dan Lisa, ada Min-gyu yang mengawasi di depan kamar. Laki-laki itu memastikan kalau tidak ada hal lain yang Jisoo lakukan selain mencari pembalut.

"Hei, Mr. J mencarimu." Seseorang baru saja datang dan menghampiri Min-gyu untuk menyampaikan pesan.

Min-gyu mengangguk, kemudian menatap Jisoo yang masih sibuk membuka lemari. "Kau masih belum menemukannya?"

Jisoo menggeleng lemah. "Sehun hanya mengatakan cari saja di kamar, tapi tidak mengatakan di mana pastinya."

Min-gyu berdecak. Laki-laki itu merasa perlu mengawasi Jisoo, tapi juga harus segera pergi menghampiri Hae-in. "Cepat keluar dari sini kalau sudah menemukannya."

Jisoo menyanggupi perintah Min-gyu dengan anggukan. Ketika Min-gyu sudah pergi, buru-buru Jisoo menutup pintu dan memastikan tidak ada yang melihatnya menggeledah kamar dari adik Pimpinan Chimera itu.

Sebelum masuk ke kamar Hae-in, Min-gyu lebih dulu mengetuknya untuk memberitahu kedatangannya dan mendorong pintu ketika sudah mendapatkan izin masuk.

"Kau memanggilku?"

Hae-in mengangguk. "Bagaimana dengan informasi yang aku minta?"

"Aku sudah menyuruh seseorang untuk mencarinya. Apa kau ingin menambahkan detailnya?" tanya Min-gyu hati-hati.

Hae-in berpikir sejenak, mencoba mengingat apakah ada detail yang bisa ditambahkan untuk memudahkan informannya mencari informasi.

"Tidak ada," kata Hae-in pada akhirnya. Laki-laki itu pikir, dia sudah memberikan semua petunjuk yang dimilikinya.

"Aku akan langsung memberitahumu kalau ada informasi sekecil apa pun," kata Min-gyu menenangkan Hae-in yang tampak agak gelisah.

Hae-in mengangguk kecil. "Kau boleh pergi."

Sebenarnya, ada banyak sekali yang mengganggu pikiran Hae-in saat ini. Bukan hanya mengenai bisnis, tapi juga masalah pribadinya. Laki-laki itu bahkan bingung harus fokus memikirkan masalah yang mana. Andai saja adiknya tidak berkhianat, pasti Hae-in akan fokus untuk pemulihannya.

"Kuharap kau masih hidup, Haesoo."

Tampaknya abang gangster kita ini udah mulai bucin ke perawatnya, gaes 🤣🤣

Marikita tunggu patah hati vol. 2 nya si abang. Apakah dunianya akan hancur leburatau dia bakalan kalap dan membabi buta 🌚🌚🌚

Bonusnya foto si abang yang lagi ulang tahun, yak.

TAPI TOLONG JANGAN TANYA AING SIAPA YANG SI ABANG KUE BOCAH 5 THN GINI 😭😭😭😭😭

01 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro