Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Chimera

Sebelumnya aing mau tanya, gimana perasaan kalian setelah nonton SNOWDROP eps 9? Sumpah, itu episode nano-nano banget isinya. Diajak naik rollercoaster mulu.

Ntar kita cerita di bawah, ya, sekarang kita berkelana di alternative universe-nya Moora dan Mr. J dulu.


"Han Jisoo. Han Jisoo. Han Jisoo." Moora terus menggumamkan nama itu untuk membuatnya terbiasa. Jangan sampai dia hanya diam saja saat seseorang memanggilnya dengan nama itu. "Han. Ji. Soo."

Ada sesuatu yang sedikit berbeda dari penampilan Moora siang ini. Dia yang biasanya tidak suka menggunakan kacamata, kini terpaksa menggunakannya untuk memberikan kesan lembut pada wajahnya, juga untuk menghindari seseorang mengenalinya—kalau-kalau dia pernah bertemu dengan salah satu anggota Chimera di masa lalu.

Sambil menunggu mobil jemputan, Moora melakukan peregangan mulut, kemudian merapalkan lagi nama palsunya. Satu minggu benar-benar tidak terasa. Buktinya saja, Moora sudah harus menjalankan misi terakhirnya.

Selama seminggu terakhir ini, Moora menyusun beberapa rencana, juga melakukan konsultasi untuk metode pembunuhan seperti apa yang harus dia gunakan untuk membunuh Mr. J nanti—kalau memang laki-laki itu masih hidup. Moora juga menyiapkan banyak rencana kalau-kalau ada hal tidak terduga yang terjadi nanti.

Meski sudah memiliki banyak pengalaman untuk penyusupan seperti ini, tapi Moora harus menyiapkan diri sebaik mungkin karena tempat yang akan dia susupi adalah markas besarnya sekumpulan gangster. Satu hal kecil saja yang mencurigakan darinya, maka kepala Moora adalah taruhannya.

Mari mengenal Moora lebih dulu sebelum mengikuti perjalanan wanita itu untuk misi terakhirnya. Moora bukanlah nama aslinya, melainkan sebuah kode nama yang dipilihnya ketika dia bergabung dengan sebuah perusahaan besar yang melatih para agen untuk misi khusus, tapi bukan untuk membantu negara, melainkan untuk menyulitkan negara karena perusahaan underground dengan nama Flutter itu justru bekerja sama dengan para kriminal.

Bukan tanpa alasan Moora terjebak di sana. Keputusasaannya saat itu membuat Moora tidak bisa berpikir jernih dan menerima tawaran Tiger begitu saja yang mengajaknya untuk bergabung di Flutter.

Seseorang yang putus asa adalah seseorang yang paling mudah diperalat. Pikiran mereka yang kacau mudah disusupi ideologi yang menyesatkan, ditanamkan akan suatu tujuan yang salah dan diyakinkan kalau dunia yang busuk ini bisa diubah.

Omong kosong semacam itu Tiger katakan pada Moora ketika wanita itu berada di titik terendahnya dan tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat Moora menerima ajakannya.

Namun lambat laun Moora sadar kalau bekerja untuk Flutter bukanlah pekerjaan impiannya. Keputusasaannya membuat wanita itu tersesat dalam lingkaran setan yang telah dia geluti selama belasan tahun.

Pikirannya yang mulai terbuka membuat Moora mengambil keputusan untuk mundur, tapi perusahaan tidak begitu saja menyetujui keputusan wanita itu. Alhasil, Moora meminta tujuh misi terberat untuk dia jalankan. Sendirian.

Apabila Moora berhasil menyelesaikan ketujuh misi itu tanpa kegagalan satu kali pun, maka wanita itu tidak akan menjadi agen rahasia untuk Flutter lagi. Dia bebas menghirup udara tanpa memikirkan bahaya apa lagi yang akan mengintainya besok.

Tin! Tin!

Suara klakson menyentak Moora dari kegiatan olahraga wajahnya. Wanita itu mengedarkan pandangan dan melihat sebuah mobil Jeep terparkir delapan langkah darinya. Moora mengecek catatannya untuk memastikan apa mobil itu memang jemputan miliknya atau milik orang lain.

Moora melangkah, pertanda memang Jeep itu jemputan miliknya. Baiklah, sepertinya cerita mengenai Moora dan masa lalunya harus berhenti sampai di sini karena saatnya untuk menjalankan misi terakhir.

"Kenapa mataku harus ditutup?" Moora menghindar ketika seseorang ingin menutup matanya dengan kain. Meski tidak mengetahui siapa yang menjemputnya, tapi Moora yakin betul kalau tiga laki-laki yang ada di mobil bersamanya saat ini adalah anggota Chimera.

"Kau tidak membaca surel yang dikirimkan padamu?" Laki-laki itu bertanya setengah sinis.

Surel?

Moora jelas tidak menerima surel apa pun. Pasti yang menerima surel itu adalah Han Jisoo yang asli, tapi harusnya Tiger memberitahu Moora mengenai surel penting yang berhubungan dengan misinya kali ini.

Sialan kau, Tiger. Kini, Moora hanya bisa mengumpat dalam hati. Wanita itu pikir, Tiger pasti sengaja tidak memberitahunya agar gagal dalam misi terakhirnya.

"Aku tidak sempat mengecek surelku," kata Moora beralasan.

"Bagaimana kau akan bekerja dengan kami jika hal sekecil itu saja bisa luput dari perhatianmu?" Laki-laki yang berada di balik kemudi mencibir dan menatap Moora dengan sangat remeh. "Apa kau benar-benar seorang perawat? Bagaimana jika kau salah menyuntik obat nantinya?"

Moora kesal. Ini hanya masalah surel yang tidak dibaca, tapi orang-orang Chimera terlihat seperti ingin membuangnya ke jalanan sekarang juga.

"Perhatikan saja jalanmu, Min-gyu," kata seseorang di sebelah kemudi, kemudian membalikkan tubuhnya untuk menatap Moora. "Dan kau, turuti saja setiap perintah yang diberikan untukmu jika kau ingin leher dan kepalamu tetap bersama."

Jika saja Moora tidak sedang menjalankan misi, maka wanita itu tidak akan segan untuk meninju laki-laki yang baru saja mengancamnya. Demi kesuksesan misinya, Moora harus membiarkan orang-orang Chimera menginjak harga dirinya.

Pada akhirnya, Moora bersedia matanya ditutup. Wanita itu tidak lagi bertanya karena jawabannya sudah ada di dalam kepala. Apalagi kalau bukan karena tidak ingin orang lain mengetahui letak markas Chimera yang sebenarnya.

Dua jam menempuh perjalanan dengan mata ditutup membuat Moora mengantuk, terlebih lagi tidak ada pembicaraan apa pun di sepanjang jalan, membuatnya bosan dan nyaris saja tertidur.

"Kita sudah sampai." Laki-laki di samping Moora mengumumkan dan menarik seluruh kesadaran Moora yang nyaris hilang di bawah alam sadarnya. Belum sempat Moora merespons, suara pintu terdengar menutup dua kali, menandakan hanya ada dia dan satu orang anggota Chimera di mobil.

"Apa aku sudah boleh membuka—" Moora tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya karena kain yang menutupi matanya sudah ditarik turun lebih dulu.

Min-gyu.

Sosok laki-laki yang bersama Moora di dalam mobil adalah Min-gyu.

"Turun," titahnya.

Tanpa disuruh dua kali, Moora segera turun dari mobil sambil memakai kacamatanya. Nalurinya sebagai seorang agen tidak pernah bisa disembunyikan. Setiap kali menginjakkan kakinya di tempat asing, Moora selalu meneliti area sekitarnya. Sebuah sungai yang terbentang luas langsung tertangkap oleh kedua mata Moora. Bangunan yang berada di belakang perbukitan menjadi rumah tunggal yang ada di sana, dengan dominasi cat warna hitam, rasanya rumah itu terlihat seperti rumah hantu yang tidak berpenghuni. Menoleh pada jalanan yang tadi dilewatinya, Moora mendapati jalan setapak yang begitu panjang dan semakin sempit jika dilihat semakin jauh.

Wanita itu pastikan kalau dia sedang berada di kedalaman hutan yang begitu jauh.

"Jika kau mati di sini, maka tidak akan ada yang bisa menemukan mayatmu." Min-gyu menyeletuk seraya menurunkan koper Moora dari mobil, kemudian menjatuhkannya ke tanah begitu saja. Lalu, berjalan melewati lawan bicaranya yang sedang berusaha mati-matian untuk tidak menembak kepalanya. "Ikut aku."

Dengan helaan napas panjang, Moora meraih kopernya yang tergeletak di tanah, kemudian menyeretnya untuk menyusul Min-gyu.

"Jadi, dia perawat barunya?"

Perhatian Moora teralihkan pada suara seseorang. Beberapa langkah darinya, ada sosok wanita yang berjalan ke arahnya sambil menggigit apel.

Wanita itu cantik dan tampak masih muda. Kakinya jenjang bak model terkenal. Di lengan kirinya terdapat tato naga yang setengah tertutupi oleh rambut dan poni ratanya dibiarkan menutupi kening.

Min-gyu membungkuk sopan untuk menyambut kedatangan wanita itu. "Benar, dia perawat baru yang kita rekrut."

"Apa menurutmu dia bisa diandalkan?" tanya wanita itu.

Min-gyu mengangkat bahu, kemudian menatap Moora sekali lagi dengan sinis. "Kupikir dia hanya akan bertahan selama satu jam."

Wanita yang menjadi lawan bicara Min-gyu harus menahan tawanya karena sedang mengunyah apel. "Kau terlalu meremehkannya. Aku bertaruh tiga hari untuknya."

Moora melipat bibirnya untuk menahan umpatan yang sudah berada di ujung lidah. Misi terakhirnya bahkan belum resmi dimulai, tapi sudah ada banyak hal yang ingin membuat Moora ingin meledakkan rumah ini.

Min-gyu menyambut dengan tawa. "Kau yang mengurus sisanya, 'kan?" tanyanya yang mendapatkan anggukan dari wanita di depannya. Merasa tugasnya sudah selesai, Min-gyu segera pergi meninggalkan dua wanita itu.

"Ikut aku," kata si wanita berponi, yang langsung direspons cepat oleh Moora, "Tanpa koper, tanpa tas," tambahnya saat Moora ikut menyeret kopernya.

Dengan terpaksa, Moora meninggalkan kopernya dan mengikuti langkah wanita berponi di depannya.

"Namaku Lisa." Si wanita berponi memperkenalkan dirinya lebih dulu. "Di rumah ini hanya aku satu-satunya wanita, tapi sekarang berdua denganmu. Aku tidak peduli dengan siapa kau ingin tidur, tapi laki-laki bernama Sehun adalah milikku. Sentuh dia sedikit saja, maka kupastikan mayatmu akan mengapung di sungai belakang." Sama sekali tidak ada nada mengancam di dalam suara Lisa. Malah sebaliknya, wanita itu memperingati dengan begitu ringan.

"Karena kau tidak membaca surel yang dikirimkan, maka aku akan menjelaskannya sedikit padamu," kata Lisa saat peringatan panjang sebelumnya hanya dibalas dengan anggukan kecil oleh Moora. "Aku hanya akan menjelaskannya satu kali dan jika kau melanggar aturan ini, maka kepalamu adalah taruhannya. Kau paham?"

Lagi, Moora mengangguk sebagai jawaban dan memperhatikan betul-betul apa yang ingin Lisa katakan padanya.

"Selama bekerja di sini, kau tidak boleh berhubungan dengan orang luar, itu artinya kau tidak diperbolehkan menggunakan ponsel atau pun telepon rumah." Lisa melangkah menghampiri Moora dengan sebelah tangan yang terulur. "Jadi, berikan ponselmu."

Mau tidak mau, Moora memberikan ponselnya pada Lisa.

"Aturan kedua, apa pun yang kau dengar dan apa pun yang kau lihat di sini, kau tidak boleh menyimpannya di dalam ingatanmu." Lisa melanjutkan penjelasannya setelah memasukkan ponsel Moora ke dalam gelas berisikan air.

"Bagaimana caraku melakukannya?" Moora bertanya hati-hati.

Lisa mengangkat bahu. "Di sini kau harus menjadi buta dan tuli. Jika kau ketahuan melanggar, maka mata dan telingamu yang akan dipertaruhkan."

Moora menelan saliva gugup. Misi ini memang benar-benar gila. Mungkin harusnya dia tidak menerima misi membunuh Mr. J sebagai misi terakhirnya.

Dengan banyaknya anggota Chimera yang tinggal di sini, pasti sulit untuk membunuh Mr. J tanpa diketahui yang lain dan keluar dalam keadaan masih bernyawa.

Moora benar-benar mempertaruhkan hidupnya untuk membunuh Mr. J.

"Lalu, siapa yang akan aku rawat?" tanya Moora. Wanita itu berharap kalau yang akan dirawatnya memanglah Mr. J.

"Sehun akan menjelaskannya untukmu, tapi sebelum itu ada yang perlu kupastikan dulu."

"Apa itu?"

"Tanggalkan pakaianmu," titah Lisa.

"Ya?" Moora membeo, meminta penjelasan sekali lagi atas perintah yang baru saja diberikan.

"Aku memang memintamu untuk menjadi tuli di sini, tapi tidak secepat ini juga." Lisa menggeleng dengan wajah yang penuh kecewa. "Jadi, lakukan saja perintahku sebelum Min-gyu yang kusuruh untuk melakukannya."

Moora mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia pikir, wanita di depannya ini sangat cabul karena menyuruh wanita lain bertelanjang.

"Apa kau benar-benar ingin Min-gyu yang melakukannya?" Lisa bertanya dengan penuh keseriusan saat Moora bergeming menatapnya.

Moora buru-buru menggeleng. "Tidak, aku akan melakukannya sendiri."

Dengan sangat terpaksa, Moora menanggalkan pakaiannya satu per satu dan berdiri di depan Lisa dengan tubuh telanjang. Tidak seperti Lisa yang memiliki tato di beberapa bagian tubuhnya, tubuh Moora terlihat bersih dari lukisan tinta apa pun, tapi ada beberapa bekas luka di tubuhnya. Tentu saja semua luka itu dia dapatkan saat menjalankan misinya.

"Berputar dengan perlahan." Lisa memberikan perintahnya lagi, yang Moora respons dengan mata membulat. "Aku hanya menyuruhmu berputar, bukan merancap. Jadi, lakukan saja."

Tampaknya Moora harus mengubah rencananya. Setelah membunuh Mr. J nanti, wanita itu akan membunuh Lisa sebagai bonus.

Moora pun berputar seperti yang Lisa minta.

"Kau bisa memakai pakaian yang ada di sana," kata Lisa seraya menatap ranjang dengan satu set pakaian. "Tujuanku menyuruhmu bertelanjang adalah untuk memastikan tidak ada yang kau sembunyikan di dalam pakaianmu. Bersyukurlah karena aku yang melakukannya untukmu karena biasanya Min-gyu yang melakukannya."

Moora sudah menduga kalau dia akan melewati pemeriksaan semacam ini saat memasuki markas Chimera dan menyimpan semua perlengkapannya di dalam koper, dengan tempat-tempat tersembunyi yang hanya diketahui olehnya—mungkin dia juga harus bersyukur juga karena yang berdiri di depannya saat ini bukanlah Min-gyu.

"Setelah berpakaian, susul aku keluar," kata Lisa seraya melewati Moora. "Dan biarkan saja pakaianmu di lantai."

Setelah Lisa keluar, Moora segera mengambil pakaian barunya. Ada banyak sekali pasang mata di rumah ini, maka Moora harus ekstra berhati-hati dalam bertindak. Satu kesalahan kecil saja bisa membuat nyawanya terancam.

"Tenang, Moora. Tenang. Kau hanya perlu beradaptasi sebentar." Moora yang mulai mengkhawatirkan misi terakhirnya harus sering-sering menenangkan diri agar tidak terlihat mencurigakan di mata siapa pun. "Kau hanya perlu bertahan selama dua minggu atau paling lama sebulan. Lalu, kau akan bebas."

Memikirkan kebebasan yang akan dia dapatkan setelah misi ketujuh selesai membuat kekhawatiran Moora sedikit berkurang. Tekadnya harus lebih kuat dari ketakutannya, dengan begitu misi ini akan berakhir dengan keberhasilan di tangannya.

"Kau berganti pakaian atau tidur? Lama sekali." Lagi-lagi, Min-gyu menunjukkan kesinisannya pada Moora, kemudian melewati wanita itu untuk masuk ke kamar.

"Pakaian dan koperku mau dibawa ke mana?" Moora bertanya saat Min-gyu hendak menyeret kopernya.

"Semua barang-barangmu akan dibakar karena kau tidak diperbolehkan membawa apa pun ke sini, kecuali dirimu." Suara itu menyahut lebih dulu, tapi bukan suara Lisa.

Moora menoleh dan mendapati sosok laki-laki yang baru pertama kali dilihatnya. Wanita itu bisa menebak kalau yang menjawabnya tadi adalah sosok Sehun yang Lisa sebutkan sebelumnya. Mudah saja bagi Moora untuk menebaknya karena Lisa melilit lengan Sehun seperti ular yang melilit mangsanya.

Laki-laki itu memang terlihat sangat tampan dengan tato yang mengintip di balik kemeja yang bagian dadanya dibiarkan terbuka. Pantas saja Lisa terlihat sangat posesif dan tidak akan segan untuk membunuh siapa saja yang mendekati kekasihnya. Karena sejatinya, setiap wanita yang melihat Sehun pasti akan langsung jatuh cinta padanya, tapi tidak dengan Moora.

"Semuanya tertulis di surel yang kami kirimkan." Sehun menambahkan ketika Moora terlihat bingung.

"Dia tidak membaca surelnya." Tanpa diduga siapa pun, Min-gyu dan Lisa menjawab bersama-sama, sementara Sehun terlihat mengembuskan napas.

"Tapi di sana ada barang-barang yang penting untukku." Moora tampak protes, "Setidaknya izinkan aku mengambil beberapa barang."

Sehun menggeleng tegas. "Salahmu karena tidak membaca surel itu. Jika kau sudah menginjakkan kaki di sini, itu artinya kau sudah setuju dengan semuanya dan kau tidak bisa mundur setelah sampai di sini. Hanya aku yang bisa memutuskan kontrak kerja ini."

Tamat sudah riwayat Moora. Wanita itu benar-benar melemparkan dirinya ke dalam neraka kematian.

"Ayo, ikut aku," titah Sehun.

Lagi-lagi Moora dikalahkan oleh perintah. Wanita itu harus merelakan semua barang-barangnya dibakar dan harus menghadapi apa pun di rumah ini sendirian karena alat komunikasi miliknya yang terhubung ke Flutter akan lenyap sebentar lagi.

"Ini kakakku, namanya Hae-in," kata Sehun memperkenalkan sosok yang harus Moora rawat. "Tugasmu tidak sulit. Kau hanya perlu memandikannya, serta mengganti pakaiannya setiap pagi dan sore. Untuk urusan makan dan perawatan medis lainnya, ada dokter yang akan mengurusnya." Sehun menjelaskan tugas apa saja yang harus dilakukan Moora, sementara wanita itu menatap sosok laki-laki yang terbaring lemah tidak berdaya di ranjangnya dengan alat bantu pernapasan.

"Bagaimana caraku memandikannya dengan kondisi seperti ini?" Moora bertanya dengan hati-hati.

"Kau hanya perlu menyeka tubuhnya dengan air hangat. Kau tidak pernah merawat pasien yang koma?" Alis Sehun berkerut bingung. Apa wanita ini sungguh perawat yang direktrutnya dengan segala kelebihan yang tertera di resume-nya?

"A-aku pernah," Moora menjawab dengan gugup, "Tapi tidak pernah sampai memandikannya."

Sehun menjilat bibirnya, tampak tidak senang dengan fakta yang baru saja dibicarakan. Percuma saja memiliki banyak pengalaman merawat orang sakit, tapi tidak pernah merawat orang yang sedang koma.

"Suruh saja dia memandikannya," usul Lisa saat pandangan matanya tidak sengaja bertemu dengan Sehun. "Jika tidak cocok, kita bisa memulangkannya tanpa mata," tambahnya dengan bisikan.

Sehun setuju dengan usul Lisa. Laki-laki itu meminta sebaskom air hangat untuk menguji kelayakan Moora sebagai perawat kakaknya.

Nyatanya, uji kelayakan untuk menjadi perawat laki-laki yang sedang koma lebih sulit daripada ujian kelayakan untuk menjadi agen rahasia di Flutter. Moora lebih suka dijadikan target tembakan dengan apel di atas kepala daripada harus memandikan laki-laki yang tidak dikenalnya.

Harus Moora akui kalau laki-laki yang sedang koma ini sangat tampan. Wajahnya tampak sangat lembut dengan mata tertutupnya, meski pipinya terlihat begitu tirus. Namun, ketampanan itu tidak bisa berguna sama sekali karena faktanya Moora semakin gugup ketika mulai membuka kancing piama Hae-in.

"Dia benar-benar sangat gugup." Lisa berbisik pada Sehun di sebelahnya yang tengah menatap dengan serius. "Dia pasti tidak pernah melihat laki-laki yang bertelanjang," tambahnya dengan tawa geli.

"Tidak seperti wanita di sampingku yang terobsesi melihat laki-laki bertelanjang," balas Sehun dengan sindiran.

Gemas dengan sindiran kekasihnya, Lisa segera memberikan cubitan penuh cinta pada pinggang Sehun. "Tubuh telanjang yang setiap hari kulihat adalah milikmu dan kau adalah milikku. Lalu, di mana salahku?" tantangnya tepat di depan wajah Sehun.

"Salahmu adalah kau tidak ingin keluar dari kamar ini, sementara kakakku akan bertelanjang sebentar lagi."

Lisa menyemburkan tawanya. Apa Sehun cemburu kalau Lisa melihat tubuh telanjang kakaknya?

Tidak ingin membuat kekasihnya salah paham, Lisa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sehun, kemudian memberikan kecupan di leher sebagai bentuk godaan. "Ayolah, kenapa harus melihat tubuh laki-laki telanjang yang sedang koma, sementara di depanku ada laki-laki yang bisa membuatku memohon atas sentuhannya?" Lagi, satu kecupan nakal Lisa berikan di leher Sehun, dengan sebelah tangan yang bergerak turun memasuki celana jins kekasihnya untuk meraih sesuatu.

Merasa ada hal lain yang lebih penting dari bercinta dengan kekasihnya, Sehun menarik tangan Lisa untuk keluar dari dalam celananya—meski matanya terlihat begitu mendambakan sentuhan.

"Sepuluh menit," pinta Sehun.

Lisa tersenyum penuh kemenangan, kemudian menyempatkan diri untuk melumat sebentar bibir kekasihnya. "Aku tunggu di kamar, Sayang."

Sehun balas mengecup bibir Lisa dan membiarkan wanitanya pergi ke kamar duluan, sementara dia menguji perawat baru untuk kakaknya. Mengembalikan pandangan pada Moora, rupanya wanita itu sudah selesai menanggalkan pakaian laki-laki yang akan dirawatnya.

Berbeda dengan Sehun yang sepertinya memiliki banyak tato, Hae-in hanya memiliki beberapa di tubuhnya dengan ukuran yang tidak terlalu besar dan Moora tidak memiliki waktu untuk mengaguminya.

Wanita itu harus menarik napas dalam sebelum menyeka tubuh Hae-in dengan handuk. Layaknya seorang perawat yang berpengalaman, Moora bergerak dengan lembut dan penuh kehati-hatian, menunjukkan pada Sehun kalau dia akan merawat laki-laki yang koma ini dengan sangat baik. Jadi, sebaiknya Sehun tidak memulangkan Moora tanpa mata.

Setiap inci permukaan Hae-in telah diseka dengan air hangat dan sejauh ini, Sehun menyukai kinerja Moora yang memperlakukan kakaknya dengan sangat hati-hati.

"Kau melewatkan sesuatu," kata Sehun mengingatkan setelah Moora mengumumkan kalau dia telah selesai memandikan Hae-in. "Sesuatu yang paling penting."

"Ya?" Moora tampak bingung. Wanita itu pikir sudah menyeka seluruh tubuh Hae-in. Memang ada bagian yang sengaja Moora lewatkan karena merasa itu bukan haknya.

"Kau yakin sudah menyeka seluruh tubuhnya?" tanya Sehun memastikan. "Tanpa ada yang terlewat?"

Moora gugup. Apa yang Lisa katakan sebenarnya salah besar. Sama seperti Lisa yang sering melihat Sehun bertelanjang, Moora pun pernah melihat beberapa laki-laki bertelanjang, juga sesekali bercinta. Namun, menyentuh milik orang lain tanpa izin Moora anggap sebagai tindakan yang cabul dan terlebih lagi Sehun sedang melihatnya.

Bisakah Moora dikirim ke medan perang saja untuk misi terakhirnya, alih-alih menjadi perawat laki-laki yang sedang koma?

"Kupikir, kau yang akan melakukannya," cicit Moora.

Sehun melepaskan decihannya, tapi tidak benar-benar bermaksud untuk mengejek. "Jika aku yang melakukannya, lalu apa gunamu di sini? Kau dipekerjakan untuk alasan yang satu itu."

Baiklah, demi kebebasan yang akan dia dapatkan nantinya, Moora harus menyeka bagian penting yang sengaja dilewatinya. Dengan gigi gemertak, Moora kembali mengambil handuk untuk menyekanya dengan perlahan tanpa ingin melihat apa yang dilakukan tangannya.

Sehun menelan salivanya ketika Moora disibukkan dengan tugas terakhirnya. Laki-laki itu mengusap tengkuknya dengan sebelah tangan. "Oke, cukup. Kau bisa memakaikannya piama."

Setelah memberikan titah terakhirnya, Sehun buru-buru keluar dari kamar kakaknya. Laki-laki itu membutuhkan wanitanya saat ini.

Moora sendiri jatuh terduduk di samping tempat tidur setelah pintu kamar ditutup dengan terburu-buru. Tangannya terlihat bergetar.

Misi terakhir ini benar-benar sangat gila! Berapa lama Moora harus melakukannya untuk Hae-in? Bisakah dia membunuh Mr. J sekarang juga?

"Apa dia Mr. J? Bisa saja kecelakaan waktu itu membuatnya koma, 'kan?" Moora bertanya seraya menatap lekat wajah Hae-in. "Tapi penampilannya tidak seperti pimpinan gangster."

Jika dilihat berdasarkan penampilan, maka Moora akan menebak kalau Sehun-lah Mr. J yang dia cari. Menurutnya aneh saja kalau seorang pimpinan gangster memiliki tato yang bisa dihitung dengan jari, alih-alih memenuhi tubuhnya seperti gangster kebanyakan.

Tapi bodoh namanya kalau Moora memutuskan untuk membunuh Sehun sebelum memastikan apakah laki-laki itu benar Mr. J atau bukan. Jika Moora salah, maka nyawanyalah yang menjadi taruhan.

Ya, Moora tidak boleh gegabah. Setiap langkah yang diambilnya harus disertai pertimbangan yang matang untuk menghindari kesalahan sekecil pasir pun.

Untuk sekarang, biarlah Moora melakukan siksaan neraka ini. Wanita itu juga bisa mengumpulkan informasi mengenai Chimera untuk dijual pada orang-orang yang berencana menghancurkannya—itu pun jika dia berhasil keluar hidup-hidup.

"Mari pakaikan dia piama dulu sebelum masuk angin," kata Moora pada dirinya.

Saat berusaha memakaikan piama Hae-in pada tubuh laki-laki itu, Moora memperhatikan paras tampannya dengan sangat lekat. Rasanya dia pernah melihat Hae-in jauh sebelum ini.

"Kenapa wajahnya tampak tidak asing, ya?" Moora mendesis, mencoba untuk mengingat di mana dia pernah bertemu Hae-in sebelum ini. Wanita itu merasa pernah melihat paras tampannya dan tampak sangat jelas di dalam ingatannya. Hanya saja Moora kesulitan mengingat pada momen apa mereka bertemu.

"Ya, Tuhan!" Moora menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan membiarkan matanya membulat karena terkejut.

Wanita itu ingat di mana dia pernah bertemu dengan Hae-in sebelumnya.

Ketika mereka pertama kali bertemu, Moora sedang menjalakan tugasnya sebagai agen rahasia dengan misi menghabisi nyawa seorang pembunuh bayaran. Saat itu pun, Moora sedang mempertaruhkan nyawa atas misinya. Setengah dari misi yang dijalankan taruhannya selalu nyawa. Meski selalu berada dalam bahaya dan selalu berhasil melarikan diri dari maut, tapi bukan berarti Moora tidak takut mati.

Dan hanya tersisa waktu dua jam untuk menyelesaikan misi terakhirnya. Mobil wanita itu melaju di atas kecepatan rata-rata dan membelah jalanan yang tidak terlalu ramai saat ini.

Setelah membuntuti mobil targetnya selama beberapa saat, Moora memutuskan untuk menyejajarkan posisi mobil mereka. Sebelah tangannya memegang setir, sebelah lagi digunakan untuk menggenggam pistol. Hanya perlu dua detik untuk Moora menentukan bagian tubuh mana yang akan dia incar, tentu saja itu kepala.

Satu tembakan Moora lepaskan, tapi sial beribu sial, mobil pembunuh bayaran yang menjadi targetnya dilapisi dengan kaca anti peluru. Hanya satu tembakan saja tidak akan bisa membuat targetnya mati.

Mendapati mobilnya diserang, laki-laki itu menoleh tepat pada sisi jendela yang baru saja diserang oleh sebuah tembakan. Senyum kecil di sudut bibirnya terukir untuk mengejek siapa saja yang melihat ke arahnya.

Kesal dengan sikap sinis itu, Moora kembali melepaskan tembakannya. Tidak tanggung-tanggung, tiga tembakan beruntun wanita itu lepaskan sekaligus, tapi tetap tidak mampu menembus kaca anti pelurunya.

Aksi kejar-kejaran pun tidak terelakkan lagi.

Masih tersisa dua jam untuk menyelesaikan misinya, tapi Moora merasa kalau misi hari ini tidak akan berjalan dengan lancar. Firasatnya mengatakan akan ada sesuatu yang buruk menimpanya nanti.

Empat tembakan Moora dibalas dengan satu tembakan yang langsung memecahkan kaca jendela mobil wanita itu. Terkejut dengan serangan peluru yang memecahkan kaca mobilnya, Moora sedikit kehilangan kendali kemudinya. Posisi yang semula beriringan, kini Moora tertinggal beberapa meter di belakang targetnya.

Setelah kaca jendela, sekarang giliran kaca depan Moora yang diserang timah panas. Untungnya tidak sampai mengenai wanita itu.

"Sial!" Moora mengumpat, "Harusnya aku menerima bantuan yang Tiger tawarkan."

Menggunakan tangan kirinya, Moora berusaha mengincar ban mobil dari targetnya. Wanita itu berencana menabraknya dari belakang saat mobil di depannya nanti kehilangan keseimbangan karena mengemudi dengan satu ban yang pecah.

Namun lagi-lagi keberuntungan tidak berpihak pada Moora karena tembakannya meleset. Dengan terpaksa, wanita itu menghubungi rekannya yang lain untuk meminta bantuan.

"Aku akan keluar dari jembatan Hangang dua menit dari sekarang. Kirimkan siapa saja untuk mengadang mobil Pajero putih, aku sedikit kesulitan karena mobilnya menggunakan kaca anti peluru."

Sungguh, Moora tidak menduga kalau dia akan mengejar targetnya dan berkali-kali menghindari tabrakan dari mobil yang berlawanan arah dengannya. Wanita itu membayangkan kalau satu tembakan di kepala akan langsung menghabisi nyawa targetnya, tapi siapa yang tahu kalau mobil pembunuh bayaran itu dilengkapi dengan kaca anti peluru?

Bunyi klakson mulai terdengar di mana-mana karena ada dua mobil yang mengemudi dengan ugal-ugal, juga di atas rata-rata kecepatan yang diperbolehkan dan tembakan yang dilepaskan membuat beberapa pengemudi jalanan lainnya panik dan menyebabkan insiden kecil di belakang sana.

"Aku akan benar-benar menembakmu di kepala." Moora membulatkan tekadnya seraya menginjak pedal gasnya lebih dalam untuk menyejajarkan posisi dengan targetnya.

Belum sempat Moora menyusul, sebuah mobil lebih dulu menyalipnya di sisi sebelah kanan, disusul dengan mobil lainnya di sisi sebelah kiri. Kini, target Moora sedang dihimpit oleh dua buah mobil yang entah milik siapa dan wanita itu hanya bisa mengekori dari belakang tanpa memiliki kesempatan lagi untuk menyejajarkan posisinya.

Dua mobil yang datang itu tiba-tiba kompak merapatkan badan mobil masing-masing pada mobil si pembunuh bayaran. Alhasil tiga mobil itu berjalan dengan berdempetan.

Apa-apaan ini? Siapa yang berani mengganggu misi Moora dengan ikut menyerang targetnya? Apa tugas ini tidak hanya diberikan padanya, tapi juga pada orang lain?

"Tidak akan kubiarkan siapa pun mengambil targetku!" kata Moora dengan tekad yang begitu kuat. Mati-matian dia berusaha menyusul, kemudian menabrak salah satu mobil yang menghimpit mobil targetnya, lalu disusul dengan satu tembakan lagi. Kali ini, tembakannya tidak meleset. Ban mobil incaran Moora pecah karena serangan timah panasnya, otomatis mobil mulai kehilangan kendali.

Berhasil memecahkan ban mobil targetnya bukan berarti masalah Moora selesai. Justru dia mendapatkan masalah tambahan saat mobil yang dia tubruk tadi balas menubruknya.

Moora tidak henti-hentinya mengumpat karena situasi yang tidak terduga ini. Sama sekali tidak ada waktu untuk berpikir siapa kira-kira yang mengincar targetnya ini. Apakah ada seseorang yang ditugaskan untuk membunuh pembunuh bayaran itu selain dirinya?

"Aku tidak sudi berbagi target dengan siapa pun!" Kembali memantapkan keyakinannya, Moora bertekad untuk mengakhiri aksi kejar-kejaran ini secepatnya.

Jendela anti peluru yang hanya tergores bila ditembak kembali menjadi sasaran utama Moora. Anti peluru bukan berarti tidak bisa ditembus sama sekali. Kaca itu tetap bisa ditembus, hanya saja perlu usaha yang lebih ekstra.

"Ah, sial!" Moora melempar kesal pistolnya karena kehabisan peluru dan mencoba untuk mencari pistol cadangan.

Belum sempat Moora menggenggam pistol cadangannya, sebuah mobil dari depan datang dan menabrak mobil si pembunuh bayaran, alhasil mobil Moora yang berada tepat di sampingnya ikut menjadi korban.

Tubrukan yang keras dan tiba-tiba membuat Moora kehilangan kendali kemudinya. Mobilnya berputar beberapa kali karena berusaha mengendalikan hantaman yang begitu tiba-tiba.

Semuanya terjadi begitu cepat. Tidak ada satu detik pun yang bisa Moora proses karena terlalu mengejutkan.

Tembakan beruntun kembali dilepaskan, tapi bukan Moora yang melakukannya, melainkan seseorang yang menabrak mobil si pembunuh bayaran dari depan.

Empat mobil yang bertikai di jalan tadi sudah mematikan mesin mobil masing-masing. Tentu saja dengan posisi yang tidak beraturan.

Moora mendapati seseorang berdiri di depan mobil si pembunuh bayaran, dengan M4 Carbine di kedua tangannya yang terus melepaskan pelurunya tanpa henti. Wanita itu tidak sempat menghitung berapa banyak tembakan yang didengarnya, tapi berani bertaruh kalau senapan semi otomatis itu setidaknya pasti telah melepaskan 40 tembakannya.

Tembakan beruntun dengan senapan dalam jarak yang begitu dekat membuat kaca depan mobil si pembunuh bayaran mengalami kerusakan yang parah, meski sudah dilapisi kaca anti peluru.

Laki-laki yang juga menargetkan si pembunuh bayaran mengganti senapannya dengan Glock 17—pistol semi otomatis—yang bisa menampung 15 peluru. Jika tadi tembakannya terdengar tanpa jeda, maka tembakan kali ini memberikan jeda satu detik sebelum kembali menembak.

Moora terkejut. Nyatanya bukan dia saja yang mengincar si pembunuh bayaran, tapi ada orang lain juga bertekad untuk membunuhnya atau bisa Moora katakan kalau laki-laki itu jauh lebih bertekad darinya.

Jalanan tampak sangat sepi. Para pengguna jalan yang mendengar suara tembakan serta aksi kejar-kejaran sebelumnya memutuskan untuk tidak terlibat ke dalam masalah apa pun yang tengah mengacaukan jalanan ini.

Meski sudah tidak bernyawa dengan darah yang mengucur dari berbagai lubang di tubuh yang dihasilkan dari tembakan Glock 17, tapi sang pemilik seakan belum puas karena terus menembakkan pelurunya pada laki-laki yang sudah bisa dipastikan mati ditempat setelah dihujani belasan peluru.

Moora tahu kalau dia akan mendapatkan masalah besar karena kegagalannya pada misi kali ini, tapi wanita itu tidak ingin memiliki penyesalan apa pun. Setelah mendapatkan pistol cadangannya yang merupakan tipe yang sama dengan laki-laki yang sudah merebut targetnya, Moora secara sadar melajukan mobil untuk melewati sosok yang tidak lain adalah Hae-in.

Jika Moora tidak bisa membunuh targetnya, maka setidaknya dia bisa membunuh orang yang sudah merebut targetnya, 'kan?

Moora melepaskan satu tembakan pada perut Hae-in ketika melewati laki-laki itu yang hanya berjarak 4 meter saja darinya. Hae-in terkejut, tapi tidak langsung membalas tembakan Moora, tapi mencari tahu siapa yang sudah menembaknya.

Keduanya menatap satu sama lain. Tiba-tiba saja dunia berputar dengan sangat lambat. Hal yang terjadi tidak lebih dari dua detik terasa 10x lebih lambat ketika pandangan dua insan yang saling tidak mengenal itu bertemu, tapi satu tembakan langsung mengembalikan keadaan waktu yang sedang membeku.

Menyadari ada seseorang yang baru saja melepaskan tembakan pada mobilnya, buru-buru Moora menginjak pedal gasnya dalam-dalam.

Sejak saat itu, Moora tidak pernah melupakan wajah Hae-in selama berbulan-bulan lamanya karena sudah menggagalkan misinya hari itu. Nyatanya, misi hari itu hanyalah milik Moora seorang. Wanita itu baru ingat kalau kecelakaan yang menimpa Hae-in dan Goo Chan-soo tiga tahun lalu jaraknya tidak terlalu jauh dari pertemuan pertama mereka. Moora menduga kalau pembunuh bayaran itu ditugaskan oleh Goo Chan-soo untuk membunuh Hae-in, tapi gagal. Itulah sebabnya Hae-in balas mengincar si pembunuh bayaran itu. Lalu, entah bagaimana caranya Hae-in bisa terlibat kecelakaan dengan Goo Chan-soo tidak lama setelah aksi kejar-kejaran itu.

"Tuhan, bagaimana bisa semua mata pisau itu mengarah padaku?" Moora mendesah penuh sesal setelah selesai dengan ingatannya.

Menyamar sebagai perawat saja sudah menjadi tantangan yang besar untuknya, ditambah lagi sosok yang dirawatnya adalah seseorang yang pernah coba dia bunuh di masa lalu.

"Bagaimana kalau dia masih mengingat wajahku?" gumam Moora berandai-andai. Jika memang Hae-in masih mengingat Moora sebagai orang yang pernah menembaknya, maka tidak ada alasan untuk tidak membunuh Hae-in sekarang juga, 'kan? "Tidak, tidak." Moora menggeleng tegas dan mengingatkan diri untuk tetap tenang saat menatap Hae-in. "Dia sedang koma dan tidak ada jaminan kalau dia akan sadar sebelum aku membunuhnya, bahkan jika dia sadar nanti, belum tentu dia mengingat wajahku. Koma selama tiga tahun pasti membuatnya banyak kehilangan memori ingatannya."

Lagi-lagi Moora harus meyakinkan dirinya kalau misi ini akan berjalan dengan lancar seperti yang dia rencanakan—meski sudah memiliki firasat yang sangat buruk sejak awal menginjakkan kakinya di markas Chimera.

Mungkin harusnya Moora memang tidak menerima tugas membunuh Mr. J sebagai misi terakhirnya. Harusnya dia menunggu sebentar lagi untuk diberikan tugas baru yang tidak berhubungan dengan masa lalunya sendiri karena ketika masa lalu yang belum usai dipertemukan dengan masa yang sekarang, maka hanya ada kekacauan di dalamnya.

Dan Moora tidak bisa menghindari bencana yang akan menimpanya nanti.

Yoksi, selesai sudah chapter pertama dari Adorable J yang sebenarnya tidak menggemaskan seperti judulnya hahaha

Ini pertama kalinya aing nulis action yang bukan cuma baku hantam. Jadi, nggak bisa menjamin hasil dari scene Moora dan Mr. J tiga tahun lalu nyampe ke kalian atau enggak. Tapi semoga aja nyampe, ya.

Nah, aing mau dongeng snowdrop dulu. Episode semalam tuh nano-nano banget sih? Di awal episode udah deg-degan aja pas Young-ro ngambil detonator, kirain Soo-ho bakalan marah, tapi ternyata tidak, gaes. Dia sudah menjadi bucin akut sehingga tidak bisa marah dan malah memohon agar dipercaya kali ini saja.

Lalu, yang tidak terduga adalah kemunculan kapal Bunjoo. Ada penumpangnya kah? 🤣🤣🤣🤣 tapi kayaknya Kamerad Joo peduli ke Bun-ok karena kasihan deh, tapi dodolnya itu si bawel malah nyolong tas duit Soo-ho. Ketahuan Kamerad Joo apa tidak ditodong senapan itu kepala 😭😭😭

Tapi Kamerad Joo abis makan ramen 10 mangkuk anteng banget, nggak ada teriak-teriak sejak awal episode, pas liat orang-orang mau kabur aja dia kumat, tapi nggak seberapa parah kayak sebelum dia mukbang ramen 😂

Endingnya sih yang bikin nangis banget. Ini Soo-ho udah kayak hopeless banget, pasrah kalau memang dia bakalan mati karena semuanya udah kacau, tapi tatapannya tuh kayak melas banget buat minta dimaafin karena udah bikin Young-ro menderita 😭😭😭

Ketahuilah, bahwa Soo-ho ini udah cinta mati banget sama Young-ro, sampai dia pun nggak ada kuasa buat marah sama Young-ro. TAPI GAES, DI BALIK LAYARNYA SANGATLAH UWU, SAKING UWUNYA PENGIN AING JEDOTIN KEPALA MEREKA BIAR JADIAN

Di layar, maupun di balik layar, si abang tetaplah bucin, gaes. Dia yang bucin, tapi kita yang dibaperin. Curang sih sebenarnya, tapi ya udahlah, daripada di balik layar juga nelangsa, maka biarlah si abang ngebucin sampe ngerasa kalau dunia itu isinya cuma ada dia sama objek bucinnya.

Udah panjang banget, ya? Hahaha. Mari kita akhiri sampai di sini saja.

Untuk chapter 2, mungkin bakalan update setelah tayangan Snowdrop biar aing bisa mendongeng lagi di sini.

Dan mari kita antisipasi adegan ini untuk episode mendatang 🌚🌚🌚🌚🌚

10 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro