Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AB | 03

Selamat Membaca!


Ara tak henti-hentinya meringis pelan, merasakan perih di kedua lutut dan juga keningnya yang terluka. Dia tidak sadar lututnya pun bernasib serupa, padahal dia kira hanya dahi saja yang terluka. Sedangkan Angelina dan Diana yang sejak tadi mengobatinya tak henti-hentinya memarahi tersangka.

Xander William Petrov. Anak pertama dari pasangan Angelina dan Adam. Dilihat dari pahatan wajahnya yang kaku, pastinya lelaki itu bersifat dingin dan datar. Mengingat sejak tadi lelaki itu hanya diam tanpa mau minta maaf pada Ara.

"Xander, jangan ulangin lagi sikapmu. Dia ini adikmu, bukannya dijaga malah dibikin celaka," omel Angelina yang sudah selesai mengobati kening Ara.

Xander yang duduk di single sofa hanya menarik sebelah alisnya ke atas dengan tatapan sinis. Tangannya bersidekap di depan dada dan terus mengamati Ara, ralat, menilai perempuan yang disebut adiknya itu.

"Adik?" tanyanya, dengan wajah yang sangat menyebalkan.

Angelina dan Diana kompak mengangguk antusias, sedangkan Ara menunduk dalam. Rasanya nada yang Xander katakan terlalu menusuk. Tidak menyenangkan.

"Seingatku, Mommy tidak pernah melahirkan anak perempuan. Ah, atau dia anak haram dari wanita jalang itu?"

"Xander!" bentak Angelina dan Diana bersamaan. Mereka menatap tajam Xander yang tidak terpengaruh sama sekali.

"Jaga ucapanmu! Kamu menyakiti Ara. Dia itu adikmu, mau lahir dari rahim siapapun, kalian jelas sedarah," jelas Angelina, sembari memeluk Ara yang terus menunduk dalam. Dia sadar gadis itu jelas terguncang dengan ucapan Xander barusan.

Xander terkekeh sinis. Dia semakin mengintimidasi Ara lewat tatapannya. "Aku tidak punya adik perempuan, apalagi dia." Xander menunjuk Ara yang memperlihatkan ekspresi takutnya.

Angelina menatap Xander tajam. "Jaga ucapanmu! Dia adikmu," katanya dengan penuh penekanan, "lagipula bukannya sejak dulu kamu ingin punya adik perempuan."

"Iya. Tapi bukan dari wanita jalang," tukas Xander dengan senyum meremehkan, "lagipula dia tidak pantas menjadi keluarga Petrov."

Diana yang sejak tadi diam, hanya bisa mengelus bahu Ara dengan sayang. Diana hanya bisa menenangkan hati perempuan yang berada di dekapannya ini.

"Kamu jangan ambil hati sama omongan kakakmu, ya," bisiknya lembut.

Ara mengangguk pelan. Mau mengintip raut wajah sang kakak, tak berani. Akhirnya dia hanya menunduk dalam dan menjadi pendengar dari pertikaian tersebut. Banyak pertanyaan yang mengumpul di otaknya. Namun mau dikeluarkan, lidahnya seakan kelu.

"Mom harap kamu bisa lebih menghargai Ara di sini," ucap Angelina final, tidak menerima bantahan lagi.

Xander mendengus. Menatap Ara terakhir kali sebelum beranjak pergi dari sana dengan tangan yang mengepal kuat. Emosinya sudah memuncak dan melampiaskan pada Ara dengan adanya Angelina jelas bukan hal yang bagus. Maka dari itu, Xander memilih mengurung diri di kamarnya saja.

Angelina yang melihat tingkah anaknya hanya bisa mengelus dada, sabar. Masa lalu yang menimpa keluarganya jelas sangat membekas pada putra sulungnya itu. Xander tidak seperti dirinya yang bisa berdamai dengan keadaan.

Angelina menatap ke samping, di mana Ara masih dalam dekapan Diana. Dia tersenyum tipis. Tidak pernah mengutuk keberadaan Ara di dalam hidupnya. Itu bukan salah Ara, hanya takdir yang sedang bermain-main pada kehidupan keluarganya dulu.

"Kamu ke kamar saja. Istirahat dulu," pesannya.

Ara mengangguk pelan. Dia berpamitan pada kedua wanita tersebut dan segera pergi ke kamarnya.

Setiap langkah yang membawanya, mengandung banyak pertanyaan. Tentang bagaimana kehidupan keluarganya dulu. Tentang maksud perkataan Xander tadi yang tak dimengertinya. Jalang? Anak haram? Apa maksud lelaki itu? batinnya.

Melihat ke samping kamar, tepat kamar Xander berada membuatnya menghela napas gusar. Belum sehari di sini sudah ada yang tidak menyukainya. Ini baru Xander, bagaimana dengan tiga lelaki lagi di rumah ini. Apakah dia juga akan diperlakukan sama? Dibenci?

Ara menggeleng pelan. Sepertinya memilih tinggal di sini juga bukan pilihan yang bagus. Apakah dia harus pergi lagi?

-oOo-

Beberapa maid lengkap dengan seragamnya hilir mudik menyiapkan makan malam. Satu per satu keluarga Petrov yang sudah pulang kerja, mulai mengisi kursinya masing-masing.

Adam yang duduk di kursi paling ujung sebagai kepala keluarga mengamati semua orang di sana, tatapannya seperti mencari seseorang yang belum bergabung di meja makan.

"Angelina, di mana Ara?"

Angelina dan Diana kompak saling pandang. Mereka hampir lupa tidak memanggil Ara. "Aku panggil dulu," jawabnya, dan beranjak dari sana.

"Aku ikut." Diana ikut beranjak dan menyusul langkah Angelina ke kamar atas.

Sedangkan dua lelaki yang baru datang dari kegiatan masing-masing, saling bertukar pandang. Menanyakan seseorang yang dimaksud oleh Adam tadi.

"Kita masih nunggu siapa, Dad?" tanya Zander, anak kedua Adam yang berarti adik dari Xander.

Adam menatap anaknya dengan senyum tipis. "Nanti kamu juga tahu."

Zander yang baru pulang kegiatan kampus hanya mengedikkan bahunya pelan. Pilihannya adalah menunggu siapa orang yang dimaksud.

Hingga beberapa saat kemudian, suara langkah kaki membuat semua orang menoleh. Ara yang mengenakan gaun sederhana, melangkah dengan diampit oleh Diana dan Angelina. Ara menunduk, merasa kurang nyaman dengan tatapan semua orang padanya.

Baik Zander dan Aron menatap perempuan itu dengan kening berkerut samar. Beda dengan Xander yang malah mendengus sampai mendapatkan tatapan peringatan dari sang ayah.

"Dia siapa, Dad?" Giliran Aron yang bertanya pada Adam.

Adam belum menjawab. Dia menatap Ara yang sudah tiba di meja makan. "Ara duduk di samping Zander!" titahnya dengan nada lembut.

Ara menatap sang ayah ragu. Dia melirik lelaki yang katanya bernama Zander tersebut.

Zander memang tidak memiliki wajah datar dan tatapan tajam seperti Xander. Hanya saja, cara Zander menatapnya membuat Ara sedikit risih. Apalagi dengan dua lelaki lagi yang duduk di seberang tempatnya.

Satu lelaki yang pertama kali dilihatnya, tapi belum diketahui namanya.

"Ara?"

"Baik, Dad," jawab Ara dan segera duduk di kursi yang dimaksud.

Zander mengamati Ara dengan seksama, sampai Ara balas menatapnya. Tatapan mereka yang bertemu membuat keduanya sadar, mereka memiliki warna mata yang sama. Dan beberapa bagian wajah yang hampir serupa, meski wajah Asia tetap paling dominan bagi Ara.

Zander segera menyudahi acara tatapannya dan kini beralih menatap Adam, menuntut penjelasan.

"Dia adikmu, Zander. Adik kalian semua. Anak Daddy."

"Anak Daddy?" beo Zander. Menatap Ara dan Adam bergantian.

Adam mengangguk tegas. Memberikan tatapan yakin pada semua orang di sana.

"Sudah. Nanti kita lanjut lagi. Sekarang waktunya makan," ujar Lucas yang sejak menjadi pendengar.

Semua menurut. Mereka kembali pada kegiatan awal. Sibuk dengan makanan masing-masing. Hanya Ara yang diam dengan kepala menunduk. Piringnya masing kosong dan belum ada niatan mengambil makanan sampai Zander menegurnya dengan suara pelan.

"Kenapa?" tanya Zander, merasa heran dengan sikap Ara yang pendiam

Ara mendongak, terkejut mendapatkan pertanyaan dari Zander, Kakaknya. "Hmm, tidak apa-apa."

"Apa kamu tidak suka makanannya?"

Ara buru-buru menggeleng, bukan itu maksudnya. Hanya saja dia masih sedikit sungkan berada di tengah-tengah keluarga sang ayah. Apalagi dengan lirikan Xander yang sangat menyeramkan.

"Terus? Mau aku ambilkan?" tawar Zander yang belum menyerah mengajak Ara bicara.

Belum Ara menolak, Zander sudah membantu mengisi piring Ara dengan makanan. Kegiatan yang membuat Zander menjadi pusat perhatian semua orang di meja tersebut. Mereka semua tertegun

Zander William Petrov yang terkenal kekanakan, manja, dan tidak peduli kini malah terlihat sangat perhatian pada orang lain yang tak lain adalah adiknya. Jangan lupakan juga bagaimana dengan tatapan lembut yang Zander berikan.

Diam-diam, kedua pasangan paruh baya itu tersenyum lega. Setidaknya Zander tidak bersikap acuh pada Ara. Hanya menunggu waktu hingga semua anaknya bisa akrab dan saling menerima.

"Kamu tidak punya alergi, kan?" Zander melirik Ara yang makan dengan kepala menunduk. Dia berdecak. Ingin menegur sang adik, hanya saja merasa belum waktunya. Ara pasti belum merasa nyaman di tengah-tengah mereka. Jadi, Zander akan berusaha agar Ara nyaman dahulu. Apalagi seperti yang orang tuanya katakan jika Ara adalah adiknya. Dia jelas sangat bahagia.

Ara menatap Zander dan menggeleng pelan. "Belum tahu."

"Hah?" Zander memberikan tatapan bingungnya mendengar jawaban tersebut.

"Ara tidak tahu. Karena Ara tidak pernah coba makan yang macam-macam sejak dulu."

Zander mengangguk paham. Dia mengelus surai hitam sang adik yang sangat lembut. Tersenyum tipis dan menyuruh Ara menghabiskan makanannya.

"Jangan sampai bersisa!" ujarnya. Setelah itu Zander kembali sibuk pada makanannya sendiri, meski sesekali melirik Ara. Sekadar memastikan adiknya makan dengan lahap.

Ara mengangguk. Dia kembali menunduk dan makan dalam diam. Mencoba mengabaikan tatapan orang-orang di meja tersebut yang memperhatikan tingkahnya dan Zander sejak tadi.

Sikap Zander yang hangat membuatnya bersyukur dalam hati. Setidaknya ada orang yang mau menerimanya di sini.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro