9. Maaf
Yang bikin kalian suka cerita ini apa? Kok minta update mulu hahaa. Kalau emang suka voment ya.. hehe.. 😊😁
Aku tertegun dengan kotak sepatu dari Axel di genggamanku. Teringat ucapan Axel yang mengatakan bahwa ia belajar mandiri dengan mencari penghasilan sendiri. Ia ingin aku menjadi orang pertama yang ikut menikmati jerih payahnya. Bukankah itu manis? Jujur, aku merasa tersanjung. Aku merasa diperjuangkan meski baru tahap awal, dia berusaha mencari penghasilan sendiri. Kenapa aku malah jadi baper. Ya Allah, apa mungkin orang sepertinya tersentuh hidayah untuk mengenal-Mu?
Kutatap baik-baik sepatu itu. Seorang Axel yang dikenal bengal dan suka hura-hura, nyatanya ia punya sisi positif yang tak banyak orang tahu. Ia mau bekerja sementara sebelumnya dia mungkin tak pernah berpikir untuk mencari uang sendiri. Dia termotivasi karenaku. Jika aku menolak pemberiannya, sama saja aku menghancurkan hatinya, meluluhlantakkan semangatnya.
Aku buka kotak itu dan kuambil sepatunya. Kulepas sepatu pemberian Mas Revan. Aku pakai sepatu dari Axel, sedang sepatu dari Mas Revan aku masukkan ke kotak. Aku ingin menghargai pemberian Axel dan usaha kerasnya.
******
Seusai mengikuti kuliah di jam pertama, aku, Syifa, dan Luna mengikuti rapat di sekretariat Himpunan Mahasiswa Kreatif, organisasi mahasiswa yang mengusung visi dan misi untuk memotivasi para mahasiswa agar lebih kreatif dalam berkarya. Kami dibebaskan mengeksplore ide dan kreativitas untuk diwujudkan dalam karya nyata. Pernah kami mengadakan kegiatan membuat kerajinan tangan, hasilnya dijual di bazar. Masing-masing anggota membuat kerajinan dari bahan apa saja, bahkan banyak juga yang membuat dari barang bekas. Aku memilih membuat hiasan kaligrafi dan daun kering yang ditempelkan di pigura membentuk sebuah gambar. Hasil dari jualan ini kami sumbangkan ke panti asuhan.
Rapat kami kali ini membahas rencana kegiatan mengajarkan kreativitas kerajinan tangan dari barang bekas untuk warga desa yang masih terpencil dengan harapan bisa meningkatkan produktivitas warga.
Sekitar tiga hari lagi wakil dari organisasi kami akan mendatangi salah satu desa target untuk survey lapangan. Kami akan mencari tahu komoditi unggulan dari desa tersebut juga mencari tahu apa yang diminati warga dan ketrampilan apa yang dikuasai warga. Menurutku kegiatan ini bagus karena para mahasiswa terutama yang bukan semester akhir turut belajar untuk penelitian di lapang.
Setelah mengikuti rapat, kami mampir ke kantin untuk membeli makanan ringan. Aku tak selalu membawa bekal dari rumah. Kadang aku mencicipi makanan yang dijual di kantin.
Mataku dikejutkan saat Axel, Dito, dan Devano melangkah menuju kantin. Mereka duduk di meja sebelah tempat kami duduk. Axel sama sekali tak menolehku. Aura kecewa masih mendominasi wajahnya. Dia masih marah padaku.
Suasana kantin tidak begitu ramai. Aku memesan jus alpukat, sedang Syifa dan Luna masing-masing memesan jus jeruk dan mangga.
“Pah, nanti malam mau ikut main nggak?” tanya Dito pada Axel. Kulirik Axel tengah memakan siomay.
“Kemana?” tanya Axel santai.
“Ajeb-ajeb. Katanya DJ Anne mau perform nanti. Sumpah seksi banget itu cewek. Greget pingin iihhh....”
Axel dan Devano tertawa.
“Pingin apa?” ledek Devano masih terkikik.
Aku, Luna, dan Syifa terdiam dan saling menatap. Kenapa ya, obrolan cowok itu terkadang begitu vulgar.
“Ayolah, Xel. Nyari kenalan cewek-cewek cantik di sana,” ujar Dito lagi.
“Ide yang bagus. Pingin refreshing aja nih otak. Daripada pusing mikir kuliah atau urusan cinta yang bikin patah hati, mending seneng-seneng aja sama cewek di club. Cewek-cewek di club lebih pinter bikin kita seneng dibanding cewek-cewek yang katanya baik-baik tapi demen banget nyakitin hati cowok.”
Deg...
Kata-kata Axel terdengar begitu menyakitkan. Aku merasa kata-kata itu ditujukan untukku. Aku terdiam. Entah kenapa, jus alpukat yang manis kini terasa hambar.
“Eh, ada Mamah, tuh. Nanti Mamah marah.” Dito melirikku dan tertawa kecil.
Aku tak merespons.
“Mah, Papah boleh nggak main ke club?” tanya Devano.
“Aku nggak punya hak untuk melarang,” jawabku segera.
“Kok gitu sih, Mah? Emang Mamah nggak cemburu?” Devano kembali meledek. Dito tertawa kecil.
Syifa dan Luna yang biasa meledekku, kini hanya menatapku sepintas dan membisu. Mungkin mereka tahu apa yang tengah bergejolak di hatiku. Beberapa jam yang lalu aku bertanya apakah orang seperti Axel, hatinya dapat tersentuh hidayah? Dan beberapa menit yang lalu aku mendengarnya bicara dengan begitu entengnya bahwa ia menyukai cewek-cewek di club karena pintar membuatnya senang. Mengubah karakter memang sulit. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Kenapa aku harus sakit mendengarnya? Sedang aku tak punya hak apapun untuk kecewa atau bersedih karena ulahnya. Memangnya dia siapa? Dia laki-laki, bukan mahramku, dan tak seharusnya aku begitu peduli padanya.
Aku diam, bibirku serasa kelu untuk menjawab.
“Hidup itu untuk dinikmati. Ngapain dibuat sepaneng? Apalagi harus tunduk pada doktrin mengatasnamakan agama. Toh yang penting kita nggak ngrugiin orang lain.” Nada suara Axel masih tersengar ketus.
Dito dan Devano mulai diam. Sepertinya mereka baru menyadari bahwa antara aku dan Axel memang sedang ada yang tak beres. Aku memilih diam, tak ingin menanggapi apapun perkataan Axel.
“Ntar malam aku ke kostmu, ya. Kita berangkat bareng,” sahut Axel menatap Dito.
Dito melirikku dan aku tak tahu kenapa dia menatapku dengan raut wajah yang menyiratkan bahwa ia merasa tak enak hati, seolah ingin meminta izin apakah aku membolehkan Axel pergi dengannya atau tidak. Aku melotot ke arahnya.
“Nggak... nggak... Nggak jadi, Pah. Mending di kost aja lah, bobo, mimpi ketemu Lisa atau Jennie.” Dito menyeringai.
Axel melirikku. Aku langsung membuang muka.
“Dev, mau ikut nggak?” Axel bertanya pada Devano.
Devano menggeleng, “Nggak, lah. Ntar malam mau nonton bola.”
“Ya, udah aku berangkat sendiri,” Axel sesekali melirik ke arahku.
Aku tetap membisu. Rasanya percuma jika aku menanggapi ucapannya. Aku tahu, ia tengah marah dan bicara sekenanya untuk memancing perhatianku.
“Kenapa ya cewek-cewek sekarang hobi banget nyakitin cowok, nggak menghargai, meremehkan. Udah usaha keras juga nggak dihargai. Mesti gimana lagi ya?" celetuk Axel.
“Nggak semuanya begitu kali,” Luna menimpali.
“Kayaknya dari tadi Papah marah-marah mulu. Misuh-misuh ora jelas, kayak kesambet jin.” Dito tertawa kecil.
“Tanda-tanda orang galau karena patah hati tuh begini. Ngromed bae ora nggenah,” sahut Devano disusul tawa yang lain.
“Aku bicara fakta. Cewek sekarang jarang yang bisa menghargai laki-laki. Kadang mereka memilih laki-laki yang udah mapan, dewasa. Kalau yang model mahasiswa, masih jadi tanggungan orang tua mah nggak masuk hitungan. Apalagi yang baru belajar kerja serabutan,” Axel terus nyerocos menumpahkan kekesalannya.
“Papah sehat?” tanya Dito memicingkan matanya.
“Papah lagi curhat?” lanjut Devano.
Aku terpaku. Entah kenapa kata-kata itu begitu menusuk. Aku menerima hadiah dari Mas Revan karena memang sepatu itu diberikan atas alasan pekerjaan. Aku sama sekali nggak memandang Mas Revan sudah dewasa dan mapan sebagai alasanku menerima hadiahnya.
“Cewek itu rata-rata materialistis. Ada yang mapan kenapa harus milih yang masih jadi tanggungan orang tua,” oceh Axel lagi.
“Bahkan yang berjilbab lebar sekalipun, yang katanya kalau nanti mau jadi istri sholehah, apa itu namanya? Qona'ah? Ah bullshit. Kalau ada yang bisa ngasih daging sapi, ngapain milih yang cuma bisa kasih ikan asin.”
“Kenapa selalu bawa-bawa jilbab?” tukasku akhirnya. Aku tak tahan juga. Axel terlalu menyudutkanku dan bicara seenaknya, menuduhku yang tidak-tidak.
“Memangnya aku salah? Kenyataannya begitu? Kamu lebih milih nrima sepatu dari Mas Revan dibanding aku. Apa alasannya kalau bukan karena dia mapan? Setidaknya kasih aku kesempatan sampai aku lulus kuliah, kerja, kalau memang Tuhan menghendaki, aku bisa kasih kamu lebih dari yang Mas Revan kasih.” Sorot matanya begitu tajam menatapku.
Entah kenapa hatiku bergetar mendengarnya mengatakan 'kalau Tuhan memang menghendaki'. Dia meyakini segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Aku tahu meski kadang bicaranya seenaknya dan terlihat arogan, tapi dia masih punya aturan. Dia tidak sebengal yang orang pikirkan.
“Aku sudah bilang, aku menerima hadiah Mas Revan karena alasan pekerjaan. Kalau itu memang jadi masalah buat kamu, sepatu itu akan aku berikan untuk Luna atau Syifa.” Kukeluarkan kotak sepatu yang sudah aku tukar dengan sepatu dari Axel. Kotak itu berisi sepatu dari Mas Revan. Aku ketakkan di atas meja.
“Syifa, Luna, nomor sepatu kalian yang cocok sama nomor sepatuku siapa? Ini buat kalian saja.”
Luna memekik girang, “Berarti buat aku. Nomor sepatuku sama kayak nomor Mamah.”
Axel membulatkan mata. Ia beranjak dari posisinya dan mengamati sepatu yang aku kenakan. Aku bisa melihat ada keterkejutan di matanya. Dia baru menyadari aku mengenakan sepatu darinya.
“Kamu pakai sepatu dari aku?” tanyanya dengan tatapan yang tak lepas mengawasi ujung sepatuku.
Aku diam. Kutatap Luna dan Syifa bergantian.
“Lun, Syifa, aku pulang dulu, ya. Rasanya pusing. Ingin istirahat.” Aku ambil tas punggungku dan menggendongnya.
“Hati-hati ya, Mamah. Istirahat aja, biar cepet sembuh,” ucap Syifa.
“Makasih sepatunya, ya, Mah,” lanjut Luna.
“Aku pamit dulu, ya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Aku berjalan meninggalkan mereka. Aku benar-benar ingin beristirahat.
“Mamah....”
Kudengar derap langkah Axel mengejarku. Aku berjalan lebih cepat. Axel setengah berlari mengejarku. Dia berhenti di hadapanku, membuatku menghentikan langkah.
Aku hendak lewat samping, dia bergeser untuk kembali menghalangi jalanku.
“Aku mau pulang,” ujarku.
“Aku minta maaf...,” balasnya sembari menatapku tajam.
Wajahku menunduk. Aku tak berani menatapnya.
“Lupakan saja soal hadiah dari Mas Revan. Aku nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku nggak pernah menilai seseorang dari kemapanannya.”
Axel mengangguk, “Ya, aku tahu. Maaf aku tadi men-judge-mu macam-macam. Aku benar-benar menyesal, aku minta maaf.”
Kami terdiam sesaat.
“Nggak apa-apa. Aku juga minta maaf,” balasku.
“Kamu nggak salah apa-apa.”
“Terima kasih sepatunya,” ujarku pelan.
“Kamu suka?”
Aku mengangguk, “Suka banget.”
Axel tersenyum. Wajahnya yang sebelumnya dikuasai aura marah telah lenyap, berganti dengan senyum cerah.
“Beneran kamu suka?”
Aku mengangguk sekali lagi, “Navy itu salah satu warna favoritku.”
“Alhamdulillah...” sahutnya ringan.
Aku bengong. Dia mengucap hamdallah? Tak heran sih, temanku yang lain meski non muslim, kadang mengucap kalimat thayyibah, menirukan teman-temannya yang muslim.
“Aku pulang dulu, ya.”
Axel mengulas senyum, “Aku anterin, mau?”
Aku menggeleng pelan, “Aku nggak bisa. Kamu paham, kan? Tolong jangan tersinggung.”
“Iya, aku ngerti, kok.”
“Ya, udah aku pulang dulu.” Aku berjalan meninggalkan Axel.
"Mamah..."
Aku menoleh ke belakang.
"Hati-hati, muach..," ucapnya seraya memberikan kiss lewat udara.
Aku menggeleng pelan dan melanjutkan langkahku. Tanpa kusadari senyum terulas dari kedua sudut bibirku. Namun tiba-tiba aku tersadar... Aku dan Axel begitu berbeda. Ya Allah, kenapa jatuh cinta bisa seindah ini? Kenapa perasaan itu semakin menguat? Sadarkan aku ya Allah... Tak seharusnya aku jadi melunak begini...
******
Pendek aja ya. Maaf kalau ke depan slow update. Aku mau revisi beberapa naskah dulu.
Perdebatan Axel-Adira masih akan terus berlangsung kok meski di part ini manis gimana ya ahhaha. Next gimana reaksi Firda dan Bayu saat tahu anak gadisnya mendapat sepatu dari Axel? Lalu gimana perasaan Revan saat tahu Adira mengenakan sepatu dari Axel dan tidak lagi mengenakan sepatu darinya? Yg ngeship Alea-Sakha banyak jg ya hahhaa.
Buat yang minta cast Alea, ini castnya.
Jangan protes. Aku gak akan ganti cast. Udah lama aku ngeship Arsyil-Ciki ahhaahaa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro