8. Hadiah
Penting! Baca dulu sebelum baca ceritanya.
1. Please jangan mempermasalahkan visual/cast. Karena itu sifatnya untuk seru-seruan. Kalau nggak sreg imajinasikan sendiri. Jangan lagi mengusulkan, kalau menurut aku yang cocok meranin si A itu si B, aduh ini gak cocok, bla bla. Udah telat kalau mau usul. Inti cerita itu isinya, pesannya, bukan castnya. Aku paling nggak mood kalau ada comment yang mengkritisi visual karena ini sebenarnya hal sepele yang nggak perlu untuk dikritisi. Kadang pembaca nanya castnya siapa? Giliran dikasih protes. Terima saja siapapun castnya. Kalian mau mengimajinasikan tokohnya adalah diri kalian sendiri juga boleh kok.
Visual Axel itu udah paten. Karena cast Axel (Axel Matthew) emang turut andil menjadi inspirasi aku menciptakan karakter Axel di Adira. Udah lama aku ingin pakai dia jadi cast di ceritaku. Kalau lagi ngayal nggak jelas, membayangkan cerita ini difilmkan, aku mau Axel Matthew yang meranin Axel. Duh ini authornya ngayal ketinggian hahaaha. And I don't care about his real life, I don't care about his tattoo, nggak ada hubungannya antara his real life dengan karakter Axel di cerita ini.
2. Jangan berekspektasi lebih akan kesempurnaan cerita maupun tokoh-tokohnya ya. Semua tokoh punya kekurangan dan kelebihan, bukan gambaran tokoh yang sempurna.
Kemarin malam mau ngetik, rasanya ngantuk bgt. Pulang kul, sampai rumah Maghrib. Tadinya mau ngetik pak dosen, cuma respon lagi kenceng di sini. Nek ora di-up mbok pada ngorong-ngorong.
Ini aku tadi juga pulang kul sore. Sabtu Minggu itu pasti slow update.
Oya maaf ya aku belum sempat balas2 comment di dua part sebelumnya.
Happy reading...
Hari Minggu ini aku tidak pergi kemana-mana, begitu juga dengan Adika. Ayah libur berjualan. Bunda juga libur menerima pesanan catering. Setiap hari Minggu kami libur dari aktivitas karena ingin menghabiskan waktu yang berkualitas bersama keluarga.
Siang ini keluarga Om Argan dan Tante Nara hendak berkunjung. Bunda sudah menyiapkan masakan yang spesial. Persahabatan antar orang tuaku dan orang tua Mas Sakha memang sudah terjalin lama. Rasanya senang melihat hubungan mereka yang begitu baik.
Om Argan dan Tante Nara datang bersama keempat anaknya, Mas Sakha, Kiara, serta duo kembar Ardi dan Ardan.
Kiara cuma setahun lebih muda dariku. Ia kelas tiga SMA, sedang Ardi dan Ardan berusia sembilan tahun.
Seperti biasa setiap datang kemari, Tante Nara pasti membawa banyak makanan. Ia juga memberi kerudung untukku dan Bunda. Ia memiliki butik yang menjual baju muslimah.
Atmosfer terasa begitu hangat. Berada di tengah keluarga Om Argan dan Tante Nara, seperti berada di tengah-tengah keluarga sendiri. Kehangatan sikap Om Argan dan Tante Nara seperti hangatnya sikap ayah dan bunda. Tak heran, anak-anak mereka baik-baik dan manis-manis. Kasih sayang yang melimpah dalam keluarga memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter anak.
"Adira gimana kuliahnya? Mas Sakha ngajarnya bisa dipahami, nggak?" Om Argan melirikku yang duduk di sebelah Bunda.
Aku menoleh Mas Sakha yang duduk di sebelah Tante Nara.
"Cara mengajar Mas Sakha bagus banget, Om. Dira suka karena Mas Sakha selalu jelas menerangkan materi. Mas Sakha juga sering mendorong mahasiswa aktif dalam berdiskusi dan mengeluarkan pendapat."
"Alhamdulillah. Mas Sakha ini nurun ayahnya. Dosen terbaik di kampusnya dulu," Ayah tersenyum menimpali.
"Wah, saya dulu kayaknya cuma beruntung saja dinobatkan jadi dosen terbaik. Pencapaian Sakha ini jauh lebih baik dari saya." Om Argan tertawa kecil.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Mudah-mudahan aku dan Firda bisa mencontoh caramu mendidik anak-anak," lanjut Ayah.
"Aku dan Nara masih terus belajar. Kami juga perlu belajar darimu, Bay." Om Argan tersenyum menatap ayahku.
"Yang pasti kita harus saling support. Anak-anak itu amanah yang harus dijaga, dididik, dan dibimbing," sahut Om Argan.
"Oya, kata Sakha, Adira lolos seleksi beasiswa, ya?" giliran Tante Nara yang bertanya padaku.
Aku mengangguk dan tersenyum, "Alhamdulillah, iya Tante."
"Alhamdulillah, selamat ya Adira. Tante salut sama kamu. Mudah-mudahan pendidikan kamu lancar, ya." Tante Nara tersenyum lembut padaku.
"Aamiin, makasih Tante. Semua ini rezeki dari Allah," balasku.
"Adira rencananya kalau sudah lulus nanti, mau langsung lanjut S2, bekerja, atau menikah?" pertanyaan Om Argan kali ini membuatku bingung untuk menjawab.
"Ya, kalau ada rezeki pingin lanjut S2. Dan kalau datang jodohnya, Dira tak masalah untuk menikah," aku agak tertunduk. Mengucap kata "menikah" rasanya gimana gitu... Aku belum kepikiran untuk menikah. Namun jika melihat riwayat bundaku yang menikah muda, kadang ada rasa penasaran, bagaimana rasanya menikah muda?
"Dulu Tante Nara malah menikah sama Om saat umurnya sembilan belas, masih kuliah. Alhamdulillah pendidikan dan tugasnya sebagai istri dan ibu dapat berjalan beriringan." Om Argan melirik Tante Nara dengan senyum diiringi sorot mata yang memancarkan cinta. Bisa kulihat cinta keduanya tak pernah menua, selalu bersemi bagai tunas yang baru tumbuh, seperti cinta ayah dan bundaku yang juga masih bergelora hingga detik ini.
"Kalau semisal Adira siap menikah meski masih kuliah, saya tidak akan melarang. Yang penting dia dan calon suaminya sudah siap lahir batin untuk membangun rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah." Ayah tersenyum padaku.
Aku terdiam. Pandanganku justru tertuju pada Adika yang tengah sibuk bercengkerama dengan Ardi dan Ardan di karpet. Kiara ikut bergabung dengan mereka, entah membicarakan apa.
"Sakha sendiri, kalau saya tanyakan apa ada niat menikah, dia selalu menghindar. Padahal usianya sudah matang, pekerjaan udah ada, entah apa lagi yang dipikirkan," Om Argan melirik putranya.
Mas Sakha tersenyum simpul. Sepertinya ia memang belum siap menikah.
"Barangkali Mas Sakha belum menemukan calon yang cocok," tukas Bunda.
"Mungkin. Dia belum ingin berta'aruf dengan siapapun. Aku sering ngingetin dia. Jangan terlalu asik berkarir, nanti lupa mencari pendamping." Tante Nara mengusap kepala Mas Sakha.
"Mama nggak usah khawatir. Nanti kalau Sakha sudah siap dan menemukan seseorang yang sreg, Sakha bakal melamar orang itu," ujar Mas Sakha tenang.
"Semoga segera menemukan seseorang yang sreg, ya, Mas. Sepertinya ayah sama mama kamu udah kepingin cepet nimang cucu," ucap bunda.
Kedua orang tuaku dan orang tua Mas Sakha tertawa. Aku masih diam. Kulihat, Mas Sakha menatapku dan aku tak berani balik menatapnya. Meski aku sudah menganggapnya seperti seorang kakak, tetap saja ada rasa canggung kala tak sengaja tatapan kami bertabrakan.
Selanjutnya Ayah dan Bunda mempersilakan Om Argan sekeluarga untuk makan siang bersama. Sudah menjadi kebiasaan keluarga kami, di saat saling mengunjungi, kami akan memasak menu spesial dan makan bersama.
Setelah keluarga Om Argan pamit, aku menata buku untuk kuliah besok. Aku mendengar percakapan ayah dan bunda di ruang tengah.
"Sakha ini pemuda yang baik. Bunda kok suka ya sama karakternya. Bunda berharap, Adira menemukan jodoh seperti Sakha."
"Ya, ayah juga suka. Semua tergantung Adira dan Sakha. Kalau semisal saling menyukai, ayah setuju-setuju saja Adira menikah dengan Sakha. Tapi ayah nggak mau main jodoh-jodohan. Siapapun yang dipilih Adira, asal seiman dan sholeh, ayah setuju."
"Iya, seiman itu syarat mutlak."
Tiba-tiba hatiku tersentil. Seiman? Aku dan Axel.... Astaghfirullah. Kenapa aku baru memikirkannya sekarang? Aku tak tahu pasti apa yang kurasakan pada Axel? Apa rasa cemburu ketika melihatnya bersama Rena bisa dikatakan bahwa aku memiliki perasaan untuknya? Apa rasa sedih ketika dia mendiamkanku bisa dibilang bahwa aku jatuh cinta padanya? Kalau iya, kenapa hatiku harus berlabuh padanya? Pada seseorang yang bahkan dalam hatinya tidak ada iman pada Allah. Bahkan dia menganggap agama itu tidak penting dan dia memutuskan untuk tak memeluk satupun agama.
Axel bukan seorang ateis yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Dia lebih bisa disebut agnostik. A berarti tidak atau tanpa, sedangkan gnostik adalah pengetahuan. Menurut kamus Merriam Webster, agnostik adalah orang-orang yang memiliki pemahaman bahwa ada tidaknya Tuhan tidak dapat diketahui.
Karena penasaran dengan keyakinan yang diyakini Axel, aku pernah browsing mencari tahu apa agnostik itu. Ternyata ada empat spektrum. Pertama adalah Ateis agnostik yang berarti orang yang tidak percaya Tuhan, tapi ia juga tak yakin apakah Tuhan benar tidak ada atau mungkin ada. Kedua adalah Ateis gnostik yang berarti orang yang percaya Tuhan itu tidak ada dan tahu bahwa Tuhan memang tidak ada. Ketiga teis-agnostik yang percaya bahwa Tuhan ada tapi tak bisa mengetahui apakah pemahamannya benar atau tidak. Keempat teis-gnostik, yang percaya bahwa Tuhan ada dan tahu bahwa Tuhan benar-benar ada.
Axel meyakini Tuhan itu ada, tapi dia menganggap agama tidak penting, karena itu ia tak menjalankan ritual agama manapun. Ia tak memeluk satupun agama.
Bagaimana bisa aku melabuhkan hati pada seseorang yang bahkan dalam hidupnya tak menganggap agama itu penting.
Ya Allah... Kenapa urusan perasaan bisa serumit ini? Aku selalu berdoa, ketika aku jatuh cinta nanti, cintaku akan berlabuh pada seseorang yang tepat. Seseorang yang sudah halal dan mampu membimbingku untuk lebih mengenalMu dan mencintaiMu. Apakah aku terlalu rapuh hingga tak bisa menjaga hatiku untuk tidak jatuh pada seseorang yang salah? Apakah aku sudah sangat berdosa?
Apa aku harus mengubur semua yang terlanjur kurasakan sebelum rasa itu semakin dalam? Aku tak mau seperti Sesha yang menangis tersedu-sedu karena patah hati. Bagaimana bisa aku menjadi galau seperti ini? Bingung akan perasaanku sendiri... Astaghfirullah, ampuni aku ya Allah...
******
Di sepertiga malam ayah dan bunda tak pernah telat untuk sholat Tahajjud. Aku pun menunaikan sholat Tahajjud. Aku memohon ampun dengan air mata yang sudah membasah di wajahku. Aku memohon ampun atas ketidakberdayaanku yang tak bisa menghindari perasaan yang kurasakan semakin bersemi. Belakangan ini aku memang sering memikirkannya. Aku begitu takut... Takut terjerumus semakin dalam pada rasa yang tak seharusnya tumbuh. Aku memohon doa padaNya untuk menjaga langkahku agar selalu berjalan di jalanNya. Aku berdoa agar hatiku kuat dan terjaga dari segenap perasaan yang tak berguna.
******
Seminggu kemudian, Mas Revan kembali datang ke Purwokerto. Sudah dua hari ini ia mengawasi kinerja kami langsung. Satu hal yang membuatku dan Vida senang adalah Mas Revan menghadiahi kami sepatu, sepatu yang telah lama aku inginkan. Kata Mas Revan, kinerjaku dan Vida sangat memuaskan, makanya kami diberi bonus sepatu. Ini seperti mendapat durian runtuh.
Aku pikir stok sepatu ini sudah habis. Setahuku sepatu ini stoknya tinggal satu dan sudah ada yang membeli kemarin. Aku tak melayani pembeli tersebut karena hari Minggu kemarin aku libur kerja.
"Makasih banyak, Mas. Sepatu ini memang udah lama aku pingin." Wajah Vida terlihat berseri-seri mengamati sepatu barunya.
"Kalian pantas mendapatkannya. Selama ini kalian bekerja dengan sangat baik, jujur, dan disiplin." Mas Revan menatapku dan Vida bergantian.
"Adira suka juga kan sama sepatunya?" tanya Mas Revan dengan senyum khasnya.
"Suka banget, Mas. Saya malah berencana gajian bulan depan nanti mau beli sepatu ini."
"Alhamdulillah, ini rezeki buat Adira dan Vida, biar semakin semangat bekerja," balas Mas Revan.
"Mbak Dira..."
Panggilan seseorang mengagetkanku. Rupanya dia Kiara, adik Mas Sakha. Aku lihat di belakangnya menyusul Mas Sakha dan Alea. Alea adalah anak Tante Diandra, istri dari Om Rayga. Om Rayga adik dari ayah. Dulu Tante Diandra single parent dengan satu anak, Alea. Om Rayga menikahinya saat Alea berumur enam tahun. Alea lima tahun lebih tua dariku, tapi karena dari silsilah keluarga, akulah kakak sepupunya, harusnya dia memanggilku "Mbak". Namun karena aku lebih muda, dia tetap memanggilku Dira.
Aku mendekat ke arah mereka untuk menyambut kedatangan mereka.
"Kamu datang bareng ramai-ramai sama Mas Sakha dan Alea?" ucapku dengan senyum merekah.
"Iya, Mbak. Aku ingin beli jaket di sini. Barang di sini bagus-bagus," jawab Kiara.
"Hai, Dira..." Alea tersenyum padaku. Aku tak heran dia datang bersama Mas Sakha dan Kiara. Setahuku, Alea berteman dengan Mas Sakha sejak kecil. Tante Diandra adalah sahabat baik almarhumah ibu kandung Mas Sakha. Tante Diandra juga sahabat baik ayah sejak SMA. Dunia seakan berputar-putar di satu titik. Sering kali orang tuaku, orang tua Mas Sakha, orang tua Alea entah Tante Diandra dan Om Rayga, maupun papa kandung Alea, Om Aldebaran dan istrinya, Tante Riana, mengadakan pertemuan di salah satu rumah untuk menyambung tali silaturahim.
"Hai Alea... Kalian janjian ke sini barengan, nih..," balasku.
"Nggak janjian, sih. Tadi ketemu orang ini di jalan. Mobilnya mogok. Ya udah aku kasih tumpangan. Sebelum nganterin dia pulang, mampir dulu ke sini. Karena memang aku udah janji sama Kiara untuk nemeni beli jaket," jawab Mas Sakha dengan terperinci, persis seperti caranya menerangkan materi di kelas.
"Kalau bukan karena Kiara yang maksa, aku juga pikir-pikir untuk ikut dia. Tadinya mau ngubungin papa buat jemput, sementara mobil diderek ke bengkel. Eh ada orang aneh lewat. Ya udah ikut aja, udah malam juga," jawab Alea tanpa mau menatap Mas Sakha.
"Okay, silakan pulang sendiri kalau memang terpaksa," balas Mas Sakha sedikit ketus.
Alea menyila rambut panjangnya dan berkacak pinggang. Aku tak tahu malam-malam begini Alea habis pergi dari mana. Tapi melihat pakaiannya yang agak terbuka dengan rok di atas lutut membuatku berpikir macam-macam. Alea ini memang istimewa... Saking istimewanya, Om Rayga kerap mengelus dada melihat tingkahnya yang sering melanggar aturan.
"Apa kamu bilang? Aku dibiarkan pulang sendiri. Gampang, aku tinggal telepon Om Argan, lalu aku bilang padanya, anaknya yang katanya dosen bergelar doktor ternyata tidak tahu caranya memperlakukan perempuan."
Aku dan Kiara saling berpandangan dengan tampang polos sekaligus memelas. Kami terjebak diantara pertengkaran dua orang yang sudah dewasa tapi saat beradu argumen begini, terlihat seperti anak-anak.
"Nggak usah lebay. Kalau masih mau pulang bareng aku, nggak usah bawel. Pakaian yang kamu kenakan bisa memancing cowok berbuat jahat." Mas Sakha enggan membuat kontak mata dengan Alea.
Alea menghentakkan kaki dan bibirnya mengerucut, bergumam, entah apa yang diucapkannya.
Pada akhirnya mereka kembali akur ketika Alea memilih tas selempang, Mas Sakha membantu memilihkan.
Kulirik kotak sepatu yang diberikan Mas Revan. Besok aku akan mengenakannya ketika berangkat ke kampus.
******
Hari ini aku lebih bersemangat berangkat ke kampus dengan sepatu baruku. Sepatu ini begitu nyaman digunakan, ringan, dan warnanya juga manis dan kalem.
Setiba di kelas, teman-temanku sudah banyak yang hadir.
"Wah, Mamah sepatunya baru, ya?" Luna tersenyum mengamati sepatu yang aku pakai.
Teman-teman yang lain ikut memperhatikan sepatu yang aku pakai. Mereka berkomentar bahwa sepatuku bagus dan cocok untukku.
"Mah, dicari Papah. Ditungguin di teras, noh." Tiba-tiba Dito mendekat ke arahku.
"Kenapa dia nggak masuk aja?" tanyaku.
"Katanya penting. Dia ingin bicara di luar. Tenang banyak orang lewat kok di luar," balas Dito.
Aku melangkah keluar. Axel menungguku dengan menjinjing sesuatu. Ia tersenyum melihatku.
Entah kenapa hatiku lembali deg-degan dan berdesir hanya dengan melihat senyumnya. Astaghfirullah, segera kutundukkan kepalaku.
"Mah, ini buat kamu." Axel menyodorkan kotak sepatu untukku. Kotak sepatu yang sama seperti yang diberikan Mas Revan.
"Kemarin honorku cair. Aku sengaja beli ini buat kamu. Tadinya aku mau kasih ini kemarin, tapi lupa bawanya."
Aku terdiam dan ragu untuk menerima pemberiannya. Di saat aku mencoba berbenah hati untuk tak lagi memikirkannya, dia menawarkan sesuatu yang berpotensi menjadi kenang-kenangan yang selalu mengingatkanku akan dirinya.
Axel mengernyit seolah bertanya kenapa aku enggan menerimanya. Ia mengalihkan tatapan ke arah bawah. Raut wajahnya berubah kaget.
"Sepatu itu... Kamu beli sepatu ini juga?" tanyanya seraya menatapku tajam.
Aku tertegun sesaat, berusaha mencari kata yang pas.
"Ini hadiah dari Mas Revan. Katanya kinerjaku bagus jadi dia ngasih aku dan Vida sepatu."
"Baik banget ya dia sering banget kasih kamu hadiah..." ujarnya sewot.
"Dia juga memberikannya pada Vida. Ini hadiah karena profesionalisme pekerjaan."
"Tapi tetap saja kamu menerima, sedang hadiah dari aku, kamu biarkan gitu aja. Nggak mau menerima."
Rasanya sulit menjelaskan pada Axel. Aku tak enak hati menerimanya karena ia memberikannya karena alasan pribadi.
"Bukan begitu maksudnya. Aku nggak enak menerima karena kamu ngasih ini untuk sesuatu yang bersifat pribadi."
"Apa bedanya dengan hadiah yang diberikan Mas Revan? Bisa aja dia juga ngasih dengan alasan pribadi, tapi dia bilang untuk menghargai kinerja kamu yang bagus agar kamu mau menerima. Kamu memang nggak mau menerima hadiah dari aku."
Belum sempat aku bicara, Axel melanjutkan ucapannya.
"Aku mengagumi semangatmu bekerja meski sibuk kuliah. Aku termotivasi untuk mencari pekerjaan agar nggak sepenuhnya bergantung sama orang tua. Aku nulis artikel khusus sepak bola di situs sepak bola. Aku membuka jasa pembuatan website. Aku manfaatin kemampuan yang aku miliki untuk mencari penghasilan. Setelah aku benar-benar dapat penghasilan, aku ingin membagi kebahagiaanku sama kamu. Aku pingin kamu jadi orang pertama yang menikmati penghasilan pertamaku. Tapi kamu menolak pemberianku. Sama saja kamu nggak menghargai usahaku."
Aku tercekat. Dia melakukan semua ini untukku?
"Aku nanya-nanya ke Syifa berapa nomor sepatumu. Waktu aku ke distro, aku lihat nomor sepatu ini sesuai dengan nomor sepatumu. Aku senang, karena bisa ngasih sesuatu buat kamu dengan uang aku sendiri... Tapi ternyata kamu sudah menerima hadiah yang sama dari orang lain."
Axel melepas kotak sepatu itu hingga terjatuh. Sepatu yang ada di dalam kotak tersebut keluar dari kotak. Warnanya navy, sedang sepatu dari Mas Revan berwarna abu-abu, tapi model dan merknya sama.
Belum sempat aku menanggapi perkataannya, dia berlalu dari hadapanku tanpa suara.
Aku tercenung. Kata orang, saat kita menerima pemberian seorang pria dengan alasan pribadi bukan untuk profesionalisme pekerjaan, itu artinya kita sudah membuka hati untuk orang itu.... Ya Allah lagi-lagi hatiku terombang-ambing. Aku tak ingin dia merasa sakit hati tapi aku juga tak bisa serta merta menerima pemberiannya. Apa yang harus aku lakukan?
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro