7. Jatuh Cinta?
Aku paling suka foto Axel yang ini.
Oya kemarin ada yang usul visual Adira itu Bella Almira.
Masya Allah cantiknya. Bagi-bagi dong cantiknya wkwkwwk. Begitu lihat langsung cocok.
Happy reading...
Aku duduk di distro dan mengedarkan pandangan ke segala sudut. Kuembuskan napas pelan. Entah kenapa rasanya begitu lelah. Tadi siang aku memenuhi ajakan Mas Sakha untuk makan siang bersama. Selain aku, ada seorang mahasiswi juga yang diajak. Aku masih mempertimbangkan apakah aku akan ambil bagian dalam proyek tersebut atau tidak. Waktunya bertabrakan dengan ujian.
Lamunanku terbangun kala kulihat derap langkah sepasang muda-mudi memasuki distro. Axel datang bersama seorang perempuan. Gadis cantik berambut panjang yang aku lihat sering bersama Cherise di kampus. Apa dia cewek yang dimaksud Axel saat ia meminta nomor ponselnya pada Cherise? Jadi benar Axel mengajaknya makan malam?
Axel menatapku datar. Sepertinya mendatangi distro ini juga menjadi agendanya karena sengaja ingin memanasiku. Aku tak akan terpengaruh. Jika dia pikir caranya ini berhasil mencari perhatianku, maka ia salah. Aku akan berlagak cuek padanya.
Mereka memilih-milih baju. Kupandangi lekat gadis itu, sesuai dengan apa yang digambarkan Axel tentangnya. Cantik, berambut panjang, seksi, dan kulitnya mulus. Ah, apa peduliku? Kenapa aku harus dipusingkan dengan hal-hal tak penting seperti ini? Please girl, don't waste your time just to think about him. I don't even know why I'm being so silly right now? Aku amati mereka, berlagak seperti paparazi yang kepo dan ingin tahu apa yang mereka pilih. Bahkan mereka berbincang lirih, apa sedang membicarakanku?
Sungguh, seharusnya aku tak peduli dengan apapun yang dilakukan Axel. Aku tak perlu bersikap bodoh seperti gadis-gadis lain yang mata hatinya tertutup karena mengidolakan orang seperti Axel. Mereka hanya tak tahu, di balik wajah gantengnya, dia menyebalkan. Tunggu, aku bilang dia ganteng? Maaf, aku harus meralat. Ya Allah... Apa yang terjadi padaku? Aku tak pernah merasa kacau seperti sekarang.
Entah kenapa, rasanya begitu menyesakkan kala kulihat Axel menggandeng tangannya. Bahkan jari-jarinya menyila rambut panjang nan halus itu. Tanpa kusadari mataku berkaca. Bisa kurasakan sedikit genangan itu mulai mengaburkan pandangan. Kuusap segera agar tak jatuh.
Aku selalu membentuk diriku untuk menjadi kuat. Aku tak menangis saat teman-teman SMP mem-bully-ku. Aku memaafkan mereka yang pernah membuatku enggan keluar rumah karena sering kali diejek akan kekurangan fisikku. Aku tak sakit hati saat dulu mengikuti ekstrakurikuler pramuka, tak ada tim yang menerimaku karena mereka pikir aku tak mampu mengimbangi kecekatan mereka. Bagaimana bisa aku bermain tali-temali atau pekerjaan lain yang menuntut ketangkasan tangan dengan kondisi tanganku yang seperti ini? Aku memaafkan mereka dengan senyum. Aku pinjamkan buku catatan saat mereka butuh pinjaman, aku tak keberatan mereka menyontek PR-ku, meski pada akhirnya mereka menjauh. Bahkan berjalan ke kantin saja, tak mau beriringan dan aku ditinggal di belakang.
Namun kini, aku bertanya-tanya, kenapa aku harus bersedih karena melihat Axel menggandeng tangan gadis lain dan mengusap rambutnya? Kondisiku jauh lebih baik dibanding saat SMP dulu. Aku punya teman-teman kuliah yang baik dan tak pernah mempersoalkan kekurangan fisikku. Harusnya hal-hal kecil seperti ini tak mempengaruhi kondisi jiwaku.
“Ini bagus, Xel,” pekik gadis itu.
“Kalau kamu suka, ambil aja,” balas Axel.
Gadis itu mengambil satu gelang. Axel melirikku dan aku malu sendiri karena aku tengah menatap awas ke arah mereka. Kualihkan tatapanku ke arah lain.
Tiba saatnya mereka membayar belanjaan. Aku mengetik nama barang dan harganya di komputer kasir. Gadis itu mengamati telapak tanganku. Aku merasa tak nyaman ditatap sedemikian lekat.
Axel membayar belanjaan. Sikapnya masih dingin.
“Axel, kapan-kapan kita ke sini lagi, ya,” gadis itu menggelayut manja di lengan Axel.
“Okay, apa sih yang nggak buat kamu,” celetuk Axel sembari tersenyum lembut.
Lagi-lagi aku membeku. Jika boleh meminta, aku berharap tidak bertemu dengannya di sini. Aku tak menyangka, hanya disuguhi pemandangan seperti ini sudah membuatku bersedih. Aku bukan gadis yang mudah tertarik dengan lawan jenis. Aku bukan gadis yang mudah terbuai sikap manis laki-laki yang pagi tadi memintaku berpacaran dengannya dan malamnya dia jalan dengan cewek lain. Semenjak kecil Bunda selalu bercerita tentang ketangguhan muslimah yang hidup di zaman Nabi, bukan mendengar cerita-cerita roman picisan atau cerita Cinderella yang dipersunting seorang pangeran tampan. Aku bukan gadis yang tumbuh dengan dicekoki banyak cerita dongeng yang melambungkan khayalan hingga titik tertinggi. Lalu kenapa sekarang seakan aku menjelma menjadi seorang gadis yang mudah baper dan terjangkiti Cinderella syndrome? Di mana aku berharap seorang pangeran yang tulus datang, menyelamatkanku. Astaghfirullah...
Setelah Axel dan gadis itu keluar dari distro, entah kenapa rasa sesak itu belum jua sirna.
******
Sepulang kerja aku berganti baju, membersihkan muka, menggosok gigi, lalu menonton televisi sejenak. Aku belum ngantuk. Adika sudah terlelap. Ayah beristirahat di kamar.
Bunda berjalan mendekat ke arahku.
“Tumben belum tidur, Dir?” tanya Bunda lembut.
“Iya, Bun. Dira belum ngantuk.”
Bunda duduk di sebelahku. Aku merebahkan badan di sofa sedang kepalaku bersandar di pangkuan Bunda. Rasanya begitu nyaman saat seharian lelah kuliah dan bekerja, pulangnya melepas penat dengan tiduran di pangkuan Bunda.
Bunda mengusap rambutku lembut. Aku selalu menyukai cara bunda mengusap kepalaku seakan kasih sayangnya mengalir dari setiap sentuhan jemarinya.
Bundaku cantik, secantik hatinya. Jika pergi kemanapun, kami sering dikira kakak adik karena bundaku memang masih muda. Wajahnya juga awet muda. Bunda melahirkan saat ia berumur 20 tahun, belum genap 21 tahun. Seusia dengan tante Nara. Sudah lama aku tahu bahwa Mas Sakha adalah anak tiri Tante Nara. Namun yang membuatku kagum adalah Mas Sakha dan Tante Nara begitu dekat layaknya anak dan ibu kandung. Satu yang aku pelajari adalah kasih sayang orang tua bisa saja terjalin begitu tulus kendati tak ada ikatan darah. Aku ingat, Mas Sakha pernah mengatakan bahwa ibu tetaplah seorang ibu. Tak peduli dia terlahir dari rahim siapa, baginya tante Nara adalah ibunya. Dan ia juga masih rutin mendoakan almarhumah ibu kandungnya setiap selesai sholat.
Mendadak aku jadi teringat Mas Sakha karena tadi siang aku makan siang bersamanya beserta seorang mahasiswi bimbingannya. Mungkin karena aku anak pertama, jauh di lubuk hati terdalam, aku menginginkan sosok seorang kakak. Aku seperti menemukan sosok seorang kakak ada dalam diri Mas Sakha. Meski begitu, ayah selalu mengingatkan bahwa kami bukan mahram.
Acara televisi tidak ada yang menarik. Menonton film adegan sepasang kekasih bertengkar mengingatkanku pada Axel. Ya Allah, kenapa aku harus teringat padanya? Kejadian sewaktu dia dan cewek itu memilih-milih baju tiba-tiba melintas di kepala. Kenapa jadi kesal dan sedih begini ya...
“Bun...”
“Ya...”
Aku beranjak dari posisiku dan duduk di sebelahnya.
“Bunda dulu pertama kali ketemu sama ayah di mana? Pertama kali jatuh cinta sama ayah gimana, sih?”
Bunda menatapku tajam. Rona merah seketika menyapu wajahnya. Bunda tersenyum. Mungkin Bunda tengah mengingat nostalgia pertemuannya dengan Ayah.
“Bunda ketemu sama ayah di.... Ehm, sebelum bunda cerita, Dira mau tidak berjanji untuk menyikapi cerita bunda dengan pikiran terbuka dan dewasa?”
Aku mengernyit dan semakin penasaran. Kuanggukan kepalaku.
“Bunda dan ayah waktu muda dulu bukan anak manis yang anteng di rumah atau kost. Bunda dan ayah dulu bisa dibilang bandel. Bunda suka clubbing dan ketemu sama ayah di night club.”
Sampai di sini aku bengong. Ternyata dulu mereka juga pernah nakal. Melihat sosok mereka yang sekarang, rasanya sungguh tak percaya.
“Pertama kali bunda melihat ayah, bunda jatuh cinta padanya. Mungkin kamu kaget dengan cerita ini. Bunda dan ayah melalui jalan yang berliku untuk bisa mencintai Allah, benar-benar mencintai Allah. Bunda dan ayah berjuang bersama untuk berhijrah dan memperbaiki diri. Manusia selalu punya kesempatan untuk bertaubat.”
Aku tercenung. Aku tak peduli pada masa lalu mereka yang kelam. Justru aku bangga dan salut karena mereka bisa belajar dari dosa masa lalu dan membenahi diri. Orang yang berhasil itu adalah seseorang yang mampu bangkit dari kegagalan dan menjadi orang yang lebih baik dibanding kemarin. Orang yang berhasil bukan berarti dia baik tanpa cela dan selalu lurus. Ketika dia menyadari ada yang salah darinya, lalu dengan kebesaran hati dia bertaubat dan memperbaiki diri, maka dia sudah berhasil memerangi diri sendiri. Terkadang musuh terbesar itu adalah perjuangan melawan diri sendiri.
“Nak, mungkin di sekitarmu juga banyak teman yang bengal, suka clubbing, atau mungkin seks bebas... Maka kamu harus menghadapi mereka dengan bijak dan dewasa. Jangan buru-buru menghakimi karena pasti ada latar belakang yang menyebabkan kenapa mereka bersikap seperti itu. Bukan berarti bunda meminta kamu untuk membenarkan tindakan mereka. Jika kamu sayang teman-teman kamu dan ingin mereka kembali ke jalan Allah, rangkul mereka dengan kasih sayang. Tunjukkan keindahan Islam dengan rasa sayang karena Allah. Seperti Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang berdakwah dengan kelembutan. Bisa jadi saat ini hati mereka tertutup. Jika Allah berkehendak dan hati mereka tersentuh hidayah, tidak ada yang mustahil bagi mereka untuk kembali mencintai Allah. Kamu pasti sudah tahu kan bagaimana perjalanan Umar bin Khattab Radhiyallahu'anhu yang semula menentang Islam menjadi pembela Islam yang gigih. Allah Maha pembolak-balik hati manusia.”
Kata-kata bunda begitu menyejukkan. Aku bisa mengira-ngira, ayah jatuh cinta pada bunda mungkin karena kelembutannya. Kugenggam tangan Bunda erat.
“Makasih bun, udah berbagi cerita. Banyak yang Dira pelajari dari obrolan kita. Dira salut dengan Ayah dan Bunda yang akhirnya menemukan jalan untuk berhijrah. Cerita Bunda sangat menginspirasi. Dira juga akan belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain dan akan merangkul teman-teman yang salah langkah untuk kembali ke jalan Allah dengan kasih sayang.”
Bunda mengusap pipiku, “Anak shalihah Bunda ternyata bisa sedewasa dan sebijak ini.”
Aku tersenyum, “Dira masih harus belajar lebih banyak.”
“Oya, kenapa Dira tiba-tiba nanya awal bunda ketemu ayah?”
Aku tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. Tiba-tiba jadi gelagapan gini, seperti maling kepergok. Ya Allah, memangnya apa yang sudah aku lakukan? Apa memikirkan cowok itu dosa? Aku nggak ingin memikirkan Axel, tapi tiba-tiba saja sosoknya menari-nari di kepala. Aku nggak bisa mencegahnya.
“Dira Cuma ingin tahu aja.” Aku tersenyum semanis mungkin.
“Ya, udah. Dira tidur ya, udah malam. Besok kan harus kuliah.”
Aku mengangguk.
“Iya, Bun.”
******
Pagi ini aku janjian dengan Luna dan Syifa di kantin. Katanya mereka belum sarapan, jadi aku akan menemani mereka sarapan lebih dulu sebelum masuk kelas. Maklum sih mereka anak kost, sarapan, makan siang, dan makan malam mesti nyari sendiri. Atas dasar inilah, ayah dan bunda menghendaki aku untuk kuliah di Purwokerto saja. Mereka mengkhawatirkanku jika aku kuliah di kota yang jauh dan harus kost. Anak kost kadang makan tidak teratur atau tak terkontrol, makan di luar yang belum tentu sehat.
Aku duduk bertiga bersama Luna dan Syifa. Syifa memesankan teh hangat dan donat untukku, padahal aku tidak meminta. Lagipula aku sudah sarapan di rumah.
“Nih ikutan makan, biar cepet gedhe,” tukas Syifa.
Aku dan Luna tertawa. Badanku memang kurang berisi. Sebenarnya tinggi badanku nggak mungil-mungil amat, 160an senti, cuma badanku memang cenderung kurus.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan cewek yang semalam datang ke distro bersama Axel. Ia duduk di belakangku persis bersama dua temannya.
“Semalam jadi jalan sama Axel?” tanya salah satu temannya.
Mendengar nama Axel, Luna dan Syifa ikut terdiam.
“Jadi,” jawab gadis itu santai.
“Ditraktir apa aja?” tanya teman yang satunya.
“Cuma makan nasgor, terus ke distro dibeliin gelang doang.”
Kedua temannya tertawa.
“Nggak modal amat, sih. Cuma makan nasgor dan dibeliin gelang. Bukannya Axel anak orang kaya, ya?” ledek salah satu temannya.
“Namanya anak kost, meski anak orang kaya sekalipun ya tetap perhitungan keles. Lagipula uang sakunya dipotong sama papanya karena ketahuan dugem sama Cherise. Cherise laporan deh ke mamanya,” cerocos gadis itu.
“Lagipula sebelum jalan kita perjanjian dulu,” ucap gadis itu lagi.
“Perjanjian gimana?”
“Axel bilang aku jangan minta macam-macam saat ke distro. Padahal aku udah ngincer sepatu cewek, barang baru di distro itu. Kata dia, kalau nanti ada uang, aku bakal dibeliin tapi syaratnya aku mesti bisa bikin cewek itu cemburu, yang jadi kasir di distro itu. Ya udah aku cuma ambil gelang."
Aku terhenyak saat mendengarnya mengatakan cewek yang jadi kasir di distro... Axel mengajak cewek itu ke distro untuk membuatku cemburu?
“Cewek yang disukai Axel kayak gimana, sih? Cantik?”
“Ya, cantik, sih. Manis, mukanya imut-imut. Tapi pas dia ngetik di komputer gitu, ternyata tangannya nggak punya jari. Padahal cantik, sih. Aku nggak nyangka juga selera Axel yang seperti itu. Bayanganku tuh ceweknya yang gimana gitu, yang seksi, yang glamor. Ini cewek berjilbab lebar, kayak akhwat-akhwat yang suka ngaji di Masjid kampus. Mukanya muka polos.”
Glek...
Aku, Luna, dan Syifa saling berpandangan. Entah kenapa aku tersipu. Ada rasa lega sekaligus senang mengetahui perasaan Axel.
“Terus cewek itu cemburu, nggak?” tanya temannya lagi.
“Ceweknya tetap stay cool. Lagian si Axel ini, ganteng-ganteng geblek. Lha mereka nggak ada status apa-apa, kok berharap ada reaksi dari si cewek. Kalau aku ada di posisi ceweknya juga palingan diem, masa iya mesti marah atau melabrak. Orang nggak ada status apapun.”
“Terus nih ya... Si Axel memanfaatkan kesempatan megang-megang rambut dan tanganku. Makanya aku minta ganti rugi. Dia bersedia beliin aku sepatu. Huff, rambut aku kan mahal. Sembarangan aja disentuh-sentuh,” cerocos gadis itu lagi.
Kedua temannya tertawa.
“Bukannya kamu seneng dipegang Axel?” ledek temannya.
“Nggak, lah... Bukan tipe aku, mah.”
Aku kembali berpandangan dengan Luna dan Syifa.
“Kok Papah lucu ya, pakai minta bantuan temennya buat bikin Mamah cemburu,” Luna berbisik lirih.
“Mamah cemburu nggak, Mah?” Syifa ikut meledek.
Aku termangu. Kini aku tahu jawabannya kenapa semalam Axel sengaja mendatangi distro. Mungkin ia berhasil membuatku cemburu. Tunggu, cemburu? Apa benar aku cemburu padanya? Tidak, aku tidak cemburu. Aku hanya merasa tak terima dengan sikapnya yang menggampangkan perasaan orang lain. Dengan gampangnya dia memintaku berpacaran dengannya, tapi malamnya mengajak cewek lain jalan. Aku hanya merasa tak terima saja. Kupastikan aku masih waras dan tidak jatuh cinta padanya.
Seusai makan, kami berjalan menuju kelas. Sudah ada cukup banyak teman yang hadir. Axel menatapku tajam tanpa senyum atau ekspresi berarti. Tanpa aku duga, dia duduk di depanku dan tertegun melihatku. Aku memalingkan wajah, menghindari kontak matanya.
“Mah, sepatu cewek yang warna navy itu kira-kira masih ada nggak ya sampai seminggu ke depan?” tanyanya tiba-tiba.
“Kalau ada yang beli ya mungkin habis. Tapi bisa datengin lagi. Itu sepatu import dan stoknya terbatas,” jawabku sebiasa mungkin.
“Aku mau beli buat Rena, tapi uangnya baru ada minggu depan. Nunggu honorku cair,” sahutnya.
Honor? Dia punya pekerjaan sampingan? Penasaran juga tapi aku nggak mau menunjukkannya. Aku tak ingin terkesan terlalu kepo.
“Barang-barang di distro bagus-bagus, ya?”
Aku mengangguk tanpa menatapnya.
“Iya, kamu bisa beli tas juga, jaket, dompet, atau apapun buat Rena. Dia pasti suka.” Aku berusaha bersikap tenang agar tidak mengindikasikan kecemburuanku.
Axel mengernyitkan alis.
“Kamu dukung aku sama Rena?”
Aku memicingkan mata.
“Kalau kamu suka, silakan. Aku punya hak apa untuk melarang?”
“Kamu nggak marah?” tanyanya dengan dahi berkerut.
“Kenapa aku harus marah?”
Dia terdiam.
“Kamu suka apa?” tanyanya kemudian.
“Hah?”
Aku tak mengerti apa yang ia tanyakan.
“Aku suka makan, suka baca, suka basket...,” balasku.
“Maksud aku barang yang ada di distro, kamu suka yang mana?”
Aku semakin tak paham dengan pertanyaannya.
“Suka semuanya. Aku karyawan di sana. Jelas aku suka semuanya.”
“Yang paling kamu suka? Atau yang kamu inginkan?” tanyanya lagi.
Aku tercenung sesaat.
“Aku suka jaketnya. Dan kemarin alhamdulillah aku dapat bonus jaket,” balasku tenang.
“Selain jaket?” dia menaikkan alisnya.
Aku berpikir sejenak.
“Sepatu, sama kayak disukai Rena. Aku juga suka sepatu itu.”
“Okay,” balasnya singkat lalu beranjak dan berlalu dari hadapanku.
Aku bertanya-tanya, kenapa dia menanyakan hal ini?
******
Next part keluarga Bayu-Firda bakalan ketemuan sama keluarga Nara-Argan. Ada yang nanya apa Alea bakal ada di cerita ini? Iya nanti ada Alea.
Oya part Adira nanya ke bundanya awal ketemu sama ayahnya inspirasi dari real. Dulu waktu jatuh cinta sama suami, aku sempat sharing ke ibu terus nanya awal ibu ketemu bapak. Katanya, dulu bermula dari sandal jepit. Waktu itu ibu main ke tempat kerabat. Nah di saat yang sama, bapakku juga lagi main di situ. Bapakku berteman sama anak kerabat ibu. Waktu adzan Ashar berkumandang, ibu mau sholat. Dia nyari sandal jepit buat wudhu. Eh sama bapak dipinjemin sandalnya. Terus bapak ngomong dalam hati, "kayane kiye sing arep dadi bojoku." (Kayaknya ini yang mau jadi istriku). Ibu cerita sambil tersipu-sipu dan aku pun tertawa mendengar ceritanya, lucu juga haha. Hal yang sama dipikirkan suami waktu pertama kami kenal. Katanya dia sempat ngomong di hati, "Kayaknya dia calon istriku, calon ibu dari anak2ku."
Setiap kisah cinta itu ada manis-manisnya yang nggak bisa dilupain.
Oya Adira ini tokoh2nya banyak yang umurnya 18an. Jadi dimaklumi aja kelabilannya, ke-alay-annya, kelucuannya, apalagi tokohnya baru pada kenal cinta haha.. Aku sengaja pakai tokoh yang baru pertama kali jatuh cinta biar terasa galau dan feelnya ketika seseorang jatuh cinta pertama kali. Apalagi yang punya prinsip untuk gak pacaran kayak Adira.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro