Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Cemburu

Berdasar voting, banyak yg minta Sakha dapat peran penting. Memang sih Sakha bakal lebih banyak interaksinya karena dia dosen Adira. Sedang Revan dia berdomisili di Bandung, mengurus distro utama dan rumah produksi di Bandung, jadi cuma sesekali ke Purwokerto. Peran dia tetap ada kok. Dan untuk Andi Arsyil, akan aku jadikan visual Sakha ya. Karena lebih pas aja.


Adira, diimajinasikan sendiri ya tokohnya. Aku belum nemu aja. Ciri fisiknya mukanya cute, polos, nggak pakai make up, natural. Klo artis/selebgram kan banyaknya pada dandan. Gambaranku itu kayak fira tik tok, yg imut banget kayak boneka. Cuma sekarang dia sedang berhijrah, nggak pernah upload video/foto lagi. Jadi aku sangat menghargai dengan tidak meng-upload foto dia di sini, meski kalau nyari di google/youtube masih ada.

Axel Matthew Thomas as Axel

Andi Arsyil as Sakha

Ali Syakieb as Revan


Ini Axel bareng Cherise.

Aku nggak hafal artis2 cowok, pengetahuanku dikit tentang artis karena jarang nonton tv. Pemilihan Andi Arsyil dan Ali Syakieb itu karena dulu ibuku seneng sinetron Haji Muhidin, makanya aku tahu dua cowok ini wkwkwk.

Kejer-kejer nggak nih sama tiga cast ini 😂. Silakan pembaca berimajinasi sebagai Adira, dikelilingi tiga cowok ganteng. Apalagi author pakai sudut pandang orang pertama. Tapi ini khusus untuk yg single. Yang udah emak-emak, inget sama mas bojo & anak di rumah, wkwkwk. Tapi tetep support cerita ini ya... Vote & comment terus pokoknya.

Happy Reading...

Pagi ini aku mampir ke distro dulu sebelum berangkat ke kampus. Mas Revan meminta karyawannya berangkat pagi untuk menerima gaji bulan ini, sedang siangnya dia akan kembali ke Bandung. Mas Deni akan kembali menggantikan posisinya untuk mengawasi kinerja karyawan.

Gaji untuk karyawan masih diberikan secara manual, tidak melalui rekening. Biasanya ada bonus untuk karyawan yang disiplin, tidak pernah telat, dan kinerjanya bagus. Aku pernah menerima bonus berupa satu kaos. Kaos itu aku berikan pada Dika.

Mas Revan menbagikan amplop pada empat karyawan. Kami semua mendapat bonus satu jaket. Omset bulan ini memang naik hampir sembilan puluh persen. Tak heran jika kami mendapat bonus jaket yang bagus. Jika membelinya, kami harus merogoh kocek sebanyak lima ratus ribu rupiah. Semua karyawan tersenyum senang. Mas Revan memang dikenal dermawan dan memperhatikan kesejahteraan karyawan.

Saat aku berpamitan, Mas Revan menawarkan diri untuk mengantarku. Belum juga aku jawab, dia buru-buru menyela.

“Ada ponakanku, kok. Aku sekalian nganterin dia sekolah.”

Kulirik gadis cilik berseragam TK yang digandeng olehnya. Aku baru tahu dia memiliki ponakan di Purwokerto.

“Dia Charisa, anak kakakku,” ucapnya lagi.

Aku tersenyum menatap gadis cilik nan manis itu.

“Hai Charisa,” aku tersenyum padanya.

Charisa membalas senyumku, “Hai, Kak.”

“Mau ya, saya antar,” ujar Mas Revan lagi.

“Saya takut merepotkan.” Aku merasa tak enak hati.

“Tidak apa-apa. Saya mohon, ya. Saya ingin lihat kampus kamu kayak gimana. Nanti siang saya sudah harus balik ke Bandung.”

Aku tak kuasa untuk menolak. Rasanya sungkan menolak ajakan atasan. Toh, ada Charisa bersama kami.

Mas Revan membukakan pintu mobil. Aku masuk ke dalam. Sepanjang jalan, aku teringat pada masa kanak-kanak dan masa SMP-ku sebelum rumah makan ayah kebakaran dan perusahaan almarhumah Oma Rida bangkrut. Dulu aku pernah merasakan nyamannya menaiki mobil. Ayah menjual mobil untuk modal usaha. Tidak ada lagi mobil di rumah kami, yang ada hanya satu motor. Motor lama milik ayah.

Roda terus berputar. Kakek-nenek, orang tua dari bunda pernah menawarkan bantuan modal dan kendaraan untuk ayah dan bunda, tapi orang tuaku menolak. Ayah bukan tipikal yang mau merepotkan orang lain, sekalipun orang tua sendiri. Bantuan Om Rayga juga tidak ia terima. Alhamdulillah, ayah membuktikan bahwa berdiri dengan kaki sendiri juga bisa berhasil. Ayah memang masih jualan di tenda, tapi alhamdulillah, ayah punya banyak pelanggan, bahkan ada instansi yang langganan catering makan siang. Karena itu dari pagi ayah dan bunda biasa sibuk menyiapkan semuanya untuk mengolah pesanan catering, sedang sorenya berjualan di daerah kampus.

Aku tahu, saat ini kami kembali berada di bawah jika dibandingkan dengan kondisi finansial sebelum musibah itu terjadi. Namun ayah dan bunda tak pernah mengajari kami untuk mengeluh dan menyalahkan keadaan. Mereka menguatkan kami untuk tetap berprasangka baik pada Allah bahwa selalu ada hikmah di setiap kejadian. Ayah adalah potret sosok paling optimis yang pernah aku kenal. Ayah tak pernah melewatkan satu malam pun untuk sholat di sepertiga malam. Ayah rajin sholat Dhuha dan selalu menjaga sholat lima waktu dengan berjamaah di Masjid. Ia pahlawan keluarga, pahlawan untukku dan Dika. Darinya aku belajar untuk menjadi tangguh.

Tak terasa kami sudah tiba di depan pintu gerbang kampus.

“Terima kasih, Mas. Maaf ya merepotkan.”

Mas Revan tersenyum tipis, “Sama sekali tidak merepotkan. Kan saya yang minta.”

Saat aku hendak turun, Mas Revan buru-buru mencegahku.

“Jangan turun dulu, biar saya yang buka pintunya.” Mas Revan turun dari mobil dan membukakan pintu.

Aku merasa tak enak sendiri. Dia memperlakukanku seperti seorang putri.

“Terima kasih banyak, Mas. Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam.”

Aku melangkah menuju ruang A3. Mataku dikejutkan dengan seseorang yang juga berjalan tak jauh dariku. Axel melirikku sejenak lalu membuang muka. Ia mempercepat langkahnya seakan ingin menghindariku.

Aku teringat kejadian kemarin di toilet. Ada sesuatu yang berdesir setiap teringat aroma parfum dan embusan nafasnya. Astaghfirullah... Aku kenapa? Harusnya aku marah karena dia sama saja melecehkanku. Dia mencuri pelukanku meski tidak sengaja melakukannya. Harusnya aku kecewa, tapi kenapa saat ini dadaku seakan bergetar hebat. Tiba-tiba jantungku berdegup lebih cepat tanpa aku tahu penyebabnya.

Entah kenapa hari ini dia begitu berbeda. Kemarin ia kesal karena aku cuek padanya. Lalu untuk apa ia menghindariku? Ia bahkan tak menyapaku sama sekali.

Setiba di kelas sudah ada Axel, Dito, Devano, Luna, Syifa, Shelly, Kenzi, dan Januar. Lagi-lagi Axel membuang muka. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya? Kenapa sekarang dia beralih cuek padaku?

“Mah, tadi kamu berangkat dianter siapa?” Syifa bertanya pelan.

Rupanya Syifa tahu jika aku berangkat diantar Mas Revan.

“Aku diantar Mas Revan, pemilik distro. Emang kenapa?” jawabku pelan juga.

Syifa melirik Axel yang duduk di pojok kanan bersama teman-temannya.

“Tadi Papah nanya, kamu diantar siapa. Dia lihat kamu turun dari mobil. Katanya ada cowok bukain pintu mobil.”

Aku mendelik. Apa itu alasan Axel membuang muka? Mungkin dia mengira aku hanya berdua dengan Mas Revan di mobil. Aduh, kenapa aku jadi resah begini. Apa iya aku harus menjelaskan bahwa ada Charisa bersama kami. Tapi dipikir-pikir, untuk apa aku menjelaskan? Aku bukan siapa-siapanya. Dia juga bukan siapa-siapaku.

“Aku tadi nggak cuma berdua sama Mas Revan. Ada Charisa juga, ponakannya Mas Revan.”

Syifa mengangguk, “Oh....”

“Axel kayaknya ngira aku cuma berdua bareng Mas Revan. Gimana ya ngejelasin ke dia biar nggak salah paham?” aku mengernyitkan alisku.

Syifa melompong, “Kenapa harus dijelaskan?”

Aku tak menjawab. Rasanya malah jadi malu sendiri. Mungkin saat ini wajahku sudah terlihat memerah seperti kepiting rebus.

“Kamu takut Papah cemburu, ya?” seringai Syifa. Ia tersenyum meledek.

Segera aku menggeleng, “Nggak kok...”

“Mamah, tadi berangkat diantar siapa, sih? Cowok? Kalian cuma berdua di dalam mobil?" Syifa mengeraskan suaranya hingga menarik perhatian Axel dan teman-temannya.

Aku melirik sejenak ke arah mereka. Axel menatapku tajam seakan menungguku untuk bicara.

“Bareng Mas Revan sama ponakannya. Aku nggak berduaan, ada ponakannya juga,” jawabku tak kalah lantang, agar Axel mendengar dengan jelas.

Kulirik dia sepintas. Wajahnya tidak semasam tadi. Ada kelegaan di ekspresi wajahnya. Berarti benar, kalau tadi ia menghindariku karena salah paham dengan Mas Revan.

Sebenarnya aku bingung akan sesuatu yang terjadi antara aku dan dia. Aku mungkin belum pernah pacaran, tapi setidaknya aku cukup sering menjadi tempat curhat teman-temanku tentang kisah cinta mereka. Rasanya aneh, sih. Seseorang yang belum berpengalaman soal cinta tapi dipercaya menjadi tempat curhat. Aku selalu mengatakan pada mereka bahwa saat ini, lebih penting memikirkan masa depan dan orang tua, dibanding memikirkan seseorang yang belum halal. Akan sangat menyita waktu dan pikiran, jika di usia yang masih belasan ini digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Namun aku tak menampik realita bahwa pacaran sudah mewabah dan dianggap hal biasa. Sesuatu yang diharamkan tak akan serta merta menjadi halal hanya karena sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan oleh banyak orang.

Orang bilang menikah tanpa pacaran itu seperti membeli kucing dalam karung. Kalau tidak cocok bagaimana? Kalau ternyata karakternya menyebalkan bagaimana? Islam punya solusi untuk berta'aruf sebelum memutuskan untuk menikah atau tidak. Menurutku justru mengenal calon lewat ta'aruf itu bisa lebih detail dan gamblang. Seseorang akan mendapat informasi yang jelas dari keluarga, kerabat, teman, dan orang-orang terdekat yang mengenal calon pasangan, selain dari curiculum vitae sang calon. Kalaupun proses ta'aruf itu tidak berhasil, tidak ada yang dirugikan karena mungkin perasaannya belum begitu dalam dan yang pasti belum diapa-apain. Aku jadi ikutan bahasa ala Axel dan teman-temannya. Tapi ini memang fakta, pacaran memungkinkan seseorang untuk saling menatap, bersentuhan fisik, pergi berduaan, dan kesemuanya ini tidak diperbolehkan. Kalau tidak tahan godaan, bisa saja berbuat lebih dari itu.

Mungkin aku terlalu naif. Namun tidak ada yang salah jika kita memiliki prinsip. Dan orang yang berprinsip itu jauh lebih sedikit. Aku akan merasa bangga dan bahagia menjadi bagian dari segelintir orang yang berprinsip itu. Tidak mudah menjadi anak muda dengan berpegang teguh pada prinsip sementara lingkungan sekitar kita sudah teracuni banyak pandangan yang salah kaprah.

Tiba-tiba temanku yang terkenal ceriwis dan manja masuk ke kelas dengan menangis tersedu-sedu. Namanya Sesha. Luna dan Shelly mendekat ke arahnya.

“Kamu kenapa Sesha?” tanya Luna.

“Aku baru aja diputusin. Mana pagi-pagi gini udah diputusin.” Sesha terisak sembari menyeka air matanya dengan tisu.

“Huaaah...huaahh.... Aku diputusiinnn...” Dito menirukan suara Sesha dengan mendayu-dayu.

Devano, Kenzi, Axel, dan Januar terlihat menahan tawa.

“Empati woi... Malah niruin orang nangis.” Luna berkacak pinggang dan menatap tajam cowok-cowok itu.

“Kok bisa diputusin? Kata kamu ayang bebeb kamu orang yang paling baik sedunia? Gantengnya kayak Taehyung, manisnya kayak Jin, lesung pipinya kayak RM, terus bijak kayak Pak Sakha,” cerocos Shelly.

Dito tertawa ngakak.

“Ssszztt...” Luna menempelkan jari telunjuknya di bibirnya.

“Aku juga nggak ngerti. Tadi kita makan nasi kuning. Tumben juga dia pagi-pagi ke kost nganter nasi kuning. Terus aku makan. Eh dia bilang putus. Mana itu nasi lagi ditelan. Jadi nyangkut kan di kerongkongan, buat nelan rasanya sakit banget, dikeluarkan lagi juga nggak bisa. Ya Allah... Nyesek banget sumpah. Sakiiittt banget. Hati aku ancur banget.” Sesha menghapus kembali air matanya.

Lagi-lagi Dito dan cowok-cowok lain tertawa.

“Ini cowok-cowok lemes amat ketawanya. Sesha ini lagi sedih,” ucap Syifa sambil melayangkan tatapan tajamnya ke arah mereka.

“Kalau aku jadi Sesha, ngapain sedih? Udah cari cowok lain aja,” celetuk Devano.

“Bukan gitu caranya ngasih solusi,” tukasku.

“Aku sependapat sama Devano. Obat patah hati itu jatuh cinta lagi. Obat putus cinta ya pacaran lagi.” Axel menatapku tajam.

“Bukannya itu malah nambah masalah baru, ya? Pacaran lagi? Artinya dia harus siap untuk sakit lagi, nangis lagi gara-gara putus cinta. Menurut aku ini mungkin jalan terbaik untuk Sesha dan mantan pacarnya agar masing-masing bisa berbenah dan fokus dengan kuliah mereka.”

Axel menyeringai, “Kalau buat kamu mungkin masalah baru, tapi buat orang yang hatinya baru saja hancur seperti Sesha, kehadiran cinta yang baru, pacar yang baru itu bisa menjadi penyembuh luka dan bikin dia semangat lagi.”

Aku tersenyum miring, “Yakin itu akan menjadi penyembuh? Jangan menawarkan solusi yang bersifat spekulatif. Iya kalau pacar baru bisa menjadi penyembuh, kalau jadi penambah luka gimana? Sesha ini muslim. Dan sudah jelas pacaran tidak diperbolehkan dalam Islam. Kalau kita ingin menyembuhkan hati yang sakit caranya adalah mendekatkan diri pada Allah, bukan malah menambah maksiat. Gimana kita mau dekat sama Allah kalau kita melanggar aturan agama?”

“Kenapa harus terlalu kaku? Kita butuh untuk bersenang-senang biar nggak sepaneng. Silakan kalau kamu mau bikin gerakan anti pacaran. Tapi jangan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti prinsip kamu. Pacaran itu hak semua orang. Kamu nggak bisa melarang seenaknya.” Kata-kata Axel terdengar lantang. Sorot matanya bahkan terlihat begitu tajam, seperti kilat emosi dan kesal berpadu menjadi satu.

“Kamu bilang hak? Kamu tahu makna kata 'hak' itu? Apa yang disebut hak itu? Kalau pacaran kamu bilang sebagai hak, lantas bisakah minum miras dikatakan sebagai hak? Berzina disebut sebagai hak? Nge-drugs juga hak? Bahkan membunuh apa juga disebut hak?”

“Huah...Papah Mamah berantem lagi,” sela Dito disusul tawa cekikikan oleh yang lain.

“Jangan terlalu berlebihan, Mah. Membandingkan miras, narkoba, zina, membunuh dengan pacaran itu nggak apple to apple. Nggak sebanding.” Axel masih berusaha menyerangku.

“Apanya yang nggak sebanding? Nggak sebanding itu kalau aku menggunakan pembanding yang berbeda jauh, misal membandingkan tinggi pohon kelapa sama rumput teki, jelas nggak apple to apple. Pacaran, miras, narkoba, zina, dan membunuh itu sama-sama hal yang dilarang agama.”

“Tapi pacaran itu ringan, Mah. Jangan terlalu ngotot menghakimi sesuatu. Kalau cara kamu kayak gini, nggak akan ada yang mau berteman sama kamu. Nggak ada yang mau dengerin kamu.”

“Jadi menurut kamu aku harus melunak? Maksiat mau seringan apapun itu akan tetap dicatat dan dihitung. Jangan menganggap pacaran itu ringan. Bermula dari pacaran, orang bisa saja berzina. Bahkan gara-gara pacaran dan urusan asmara, orang bisa jadi gelap mata. Kamu mungkin udah tahu kasus bullying yang menimpa siswi SMP baru-baru ini. Kasus ini dipicu dari soal asmara. Aku nggak peduli semisal aku dijauhi karena prinsip aku. Karena aku sayang Sesha makanya aku ngingetin dia untuk nggak mengikuti saran kamu yang mendorongnya untuk pacaran lagi. Teman yang baik itu tidak akan menjerumuskan.” Aku sadari intonasi suaraku meninggi. Aku hanya ingin bersikap tegas dan aku tak mau teman-temanku terjerumus semakin jauh. Terkadang kebenaran harus disampaikan dengan sangat tegas atau bahkan menusuk agar bisa menyentuh sisi hati yang terdalam.

“Oh jadi kamu sayang sama teman-teman kamu makanya mengingatkan soal ini dengan sangat ngotot kayak emak-emak lagi demo minta harga sembako turun.”

Teman-teman yang lain tertawa, aku terdiam.

“Jadi kalau kamu ngingetin aku, itu artinya kamu sayang aku?”

Pertanyaannya kali ini mendapat sambutan riuh dari teman-teman.

“Ciyeeee....” Devano menyenggol lengan Axel.

Aku tak merespons.

“Hidupmu itu terlalu monoton, Mah. Saklek, kaku, membosankan,” ketusnya.

Aku bertahan dengan sikap diamku.

“Mau nggak aku bantu agar hidupmu lebih berwarna?” tanyanya lagi.

Aku membisu.

“Pacaran sama aku, aku jamin hidupmu bakal lebih berwarna.”

“Huaaaaaa....” Luna memegang kedua pipinya dan melirikku dengan senyum penuh arti.

Savage....!” Kenzi ikut berkomentar.

Aku tak berani menatap Axel. Entah kenapa, aku malah jadi deg-degan. Meski aku tahu, itu mungkin bahan candaan saja.

“Serius Papah nembak Mamah?” tanya Dito.

“Ya itu kalau dia mau. Biar dia tahu asiknya pacaran, biar nggak ceramah mulu.”

“Gimana, Mah?” giliran Januar bertanya padaku.

“Aku nggak akan pacaran!” jawabku tegas.

******

Seusai mengikuti kelas, aku bermain basket di lapangan belakang bersama Cherise. Aku senang berteman dengannya. Meski kami berbeda agama, tapi kami saling menghomati keyakinan masing-masing. Kesamaanku dan Cherise adalah, kami sama-sama tidak ingin pacaran. Dia tidak melihat kekurangan fisik yang aku miliki.

Tanpa aku duga, tiba-tiba Axel ikut bergabung bersama kami. Dia merebut bola dari tanganku lalu melempar ke arah ring dan berhasil menembus ring. Cherise bertepuk tangan.

Bola menggelinding ke pinggir lapang. Pak Sakha yang kebetulan lewat mengambil bola itu dan berjalan mendekat ke arah kami.

“Adira jago basket juga, ya? Pak Sakha tersenyum dengan senyum khasnya.

“Nggak jago, kok, Pak, cuma senang aja.”

“Nanti siang Adira mau nggak nemeni saya makan siang? Soalnya ada yang ingin saya sampaikan. Saya ada proyek. Barangkali Adira tertarik. Itung-itung latihan penelitian dan nyusun skripsi. Nanti saya bicarakan lebih detail.”

Aku terdiam sejenak memikirkan tawaran Pak Sakha.

“Harus ya makan siang berdua?” celetuk Axel.

“Ya nggak berdua juga. Ada mahasiswi lain yang akan ikut. Mahasiswi semester akhir,” lanjut Pak Sakha.

“Baik, Mas, ehm maksud saya Pak. Terima kasih banyak.” Aku tersenyum senang. Aku masih saja salah memanggil. Di luar kampus aku memanggilnya Mas. Kami sudah saling mengenal sejak kecil. Beberapa kali orang tuaku bersilaturahim ke rumah orang tuanya. Begitu juga Tante Nara dan Om Argan, mereka juga kerap bersilaturahim ke rumah.

“Baik, Adira. Terima kasih, ya. Mas tunggu...maksud saya, Bapak tunggu di kantin bada' Dhuhur.” Pak Sakha mengulas senyum lalu berbalik, berlalu dari lapangan.

“Ciyeee... Mas... Panggilannya mesra amat. Langsung menerima tawarannya tanpa pikir-pikir,” cibir Axel.

“Iyalah. Kapan lagi ditawarin makan siang sama dosen ganteng,” jawabku sekenanya.

“Ho ho ho... Ini nih kelakuan aktivis anti pacaran. Ternyata jelalatan ya.” Axel menatapku kesal.

“Jelalatan itu untuk sesuatu yang negatif. Aku dan Mas Sakha mau membicarakan proyek penelitian.” Aku sengaja menyebut Pak Sakha dengan panggilan “Mas” agar dia semakin panas.

“Bilang aja nyari-nyari kesempatan lihatin dosen ganteng,” ujar Axel ketus.

“Faktanya dia emang ganteng,” sahutku ringan.

Axel tersenyum sinis, “Ganteng, kharismatik, pinter, apa lagi?” tanyanya sewot.

“Ramah, cool, baik, dewasa, nggak kolokan, bijak, religius, cocok deh jadi suami idaman,” jawabku santai.

Aku lihat raut wajah Axel terlihat geram.

“Cherise....” Dia memanggil Cherise yang tengah mengikat tali sepatunya.

“Apa Om?”

“Minta nomor temanmu yang cantik itu, ya. Yang satu kost sama kamu. Yang rambutnya panjang, cantik, seksi, kulitnya mulus. Mau aku ajak makan malam.”

Aku melongo sejenak. Dia mengatakan itu semua dengan begitu santai. Entah kenapa aku jadi kesal begini. Bukankah dia mau makan sama siapa itu bukan urusanku? Aneh... Kenapa aku kesal?

******

Udah ya.... Lagi ngumpulin mood buat ngetik pak dosen, part terakhir. Tapi nanti malam aku mau belajar buat presentasi. Gak tahu bisa update atau gak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro