5. Baper
Kulirik jarum jam. Sudah pukul sembilan malam. Sebentar lagi distro tutup. Biasanya ayah sudah datang menjemput. Ini belum sampai juga. Vida mengambil jaket lalu mengenakannya.
“Ayahmu belum datang, Dir?” tanyanya sembari menarik resleting jaketnya.
“Iya, nih. Tadi udah WA sih, katanya lagi di jalan.”
“Dir, aku duluan, ya. Aku mau ngerjain tugas, besok pagi mesti dikumpulin.” Vida menjinjing tas punggungnya lalu terburu-buru mendekat ke arah pintu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa'alaikumussalam.”
Kupandangi derap langkah Vida yang tengah menyeberang jalan.
“Ayahmu belum datang, Dir?”
Suara yang terdengar familiar dalam dua hari ini membuyarkan konsentrasiku yang tengah memasukkan buku ke dalam tas. Aku lupa, masih ada Mas Revan di sini. Astaghfirullah...
“Iya, Mas. Tadi waktu berangkat sih ngabari di whatsapp. Tapi ini belum sampai juga.”
Aku merasakan ada kecanggungan menguar begitu kental. Rasanya tak nyaman berada di ruangan berdua dengan Mas Revan.
“Mas, saya nunggu di luar, ya.” Aku bersiap melangkah.
“Dira...”
Aku menghentikan langkahku. Aku merasa semakin tak nyaman saat Mas Revan melangkah mendekat.
“Biar saya saja yang di luar. Kamu di dalam saja. Di luar dingin. Kamu bisa manfaatin waktu dengan membaca atau main hape. Saya akan menunggu di luar sampai ayah kamu datang.”
Aku merasa tak enak sendiri.
“Saya saja yang di luar, Mas.”
“Kamu turuti saya saja. Kamu tunggu ayah kamu di sini. Saya akan menunggu di luar.”
Kalau sudah begini, aku hanya bisa menurut. Mas Revan membuka pintu dan keluar ruangan. Ia mematung di emperan. Sebagai atasan, Mas Revan memang begitu perhatian pada bawahannya. Dia tidak hanya perhatian padaku, tapi juga karyawan yang lain.
Kendaraan masih terlihat hilir mudik, tapi ayah belum juga tiba. Aku mengirim satu pesan padanya. Aku menanyakan kenapa ayah belum tiba jua. Tak lama setelah aku kirim WA, ayah membalas whatsapp-ku.
Ayah lagi di bengkel. Ban motornya bocor. Tunggu sebentar ya, Nak.
Rupanya ban motor ayah bocor. Pantas saja ayah belum datang.
Rasanya bosan menunggu. Aku melihat-lihat aksesoris yang dijual di distro ini. Perhatianku terfokus pada gelang karet yang menurutku unik dan lucu. Beberapa kali aku melihat mahasiswi mengenakan gelang seperti ini. Saat aku berbalik, aku tak sengaja menyenggol manekin yang mengenakan kaos rancangan terbaru dari distro ini. Aku kaget saat manekin itu terjatuh dan mengeluarkan bunyi yang cukup keras.
Mas Revan yang tengah berada di luar bergegas masuk ke dalam. Ia membantuku mendirikan manekin itu.
“Kamu nggak apa-apa, Dir?” tanya Mas Revan dengan raut wajah yang terlihat cemas.
“Alhamdulillah, nggak apa-apa. Maafkan saya, Mas. Saya ceroboh nyenggol manekinnya, sampai jatuh gini.” Aku menunduk. Rasanya begitu sungkan jika harus menatap pemilik distro ini.
“Nggak perlu minta maaf. Kamu juga nggak sengaja nyenggol.”
Hening sesaat.
“Oya, kamu ambil jurusan apa?” tanyanya seakan memecah kesunyian.
“Manajemen, Mas.”
Dia tersenyum dengan lesung di pipinya.
“Dulu saya juga mengambil jurusan itu. Sama seperti kamu, dulu saya kuliah sambil bekerja juga. Awal mendirikan distro itu karena saya suka jualan kaos dan kemeja. Awalnya jualin produk orang, lama-lama nyoba design sendiri dan menjual secara online. Sampai akhirnya usaha saya semakin berkembang.”
Cerita-cerita tentang keberhasilan usaha seseorang itu selalu menjadi kisah yang inspiratif untukku. Aku kagum pada ketelatenan Mas Revan yang akhirnya berbuah manis dengan mendirikan distro di beberapa kota.
“Masya Allah, Mas Revan hebat ya. Di usia muda sudah menjadi pengusaha sukses dan memiliki beberapa cabang distro.”
Mas Revan tertawa kecil.
“Sebenarnya saya nggak hebat. Ini semata karena kasih sayang Allah. Tanpa kehendakNya, tentu usaha ini nggak akan berkembang.”
“Iya, Mas. Allah telah menjawab doa dan usaha Mas Revan.”
“Saya kepikiran buat jual baju-baju muslimah juga. Selama ini banyakan menjual baju laki-laki. Kalau ditambah baju untuk muslimah, mungkin menarik. Seperti baju-baju muslimah yang kamu kenakan. Ini hal yang positif jika anak-anak muda punya kesadaran untuk berjilbab syari'i.”
“Wah, bagus itu, Mas. Mudah-mudahan niat yang baik akan dimudahkan oleh Allah.”
Mas Revan kembali mengulas senyum. Namun senyum itu perlahan memudar dan wajahnya terlihat mendung.
“Sebenarnya menjual baju-baju perempuan itu adalah impian seseorang yang pernah saya suka. Jadi dulu kami pernah berta'aruf. Lalu kami dan keluarga masing-masing menentukan tanggal pernikahan. Dia pernah bilang kalau dia punya cita-cita ingin punya butik pakaian muslimah. Dan kami akan mewujudkan setelah menikah. Dua minggu sebelum pernikahan, dia membatalkan pertunangan dan sebulan kemudian, dia menikah dengan orang lain.”
Aku terdiam. Rasanya serba salah juga menanggapi perkataannya yang secara tak langsung dia tengah mencurahkan isi hatinya. Aku bisa merasakan ada kesedihan dari suaranya yang tersengar mencekat.
“Kamu mengingatkan saya sama dia, kalian mirip.”
Aku tercenung dan sedikit kaget juga.
“Maaf, ya, saya malah jadi cerita nggak jelas.” Mas Revan memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
“Nggak apa-apa, Mas. Jodoh itu sudah ada yang mengatur. Mudah-mudahan Allah memberikan jodoh yang terbaik untuk Mas Revan.”
Mas Revan mengangguk pelan, “Aamiin, terima kasih banyak.”
Suara motor yang berhenti di tepi jalan depan distro membuatku menoleh ke arah jalan. Ayah sudah datang.
“Ayah sudah datang. Saya pamit dulu, ya, Mas.”
Mas Revan tersenyum tipis, “Hati-hati, ya.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Aku mendekat ke arah Ayah. Ayah memberikan helm padaku.
“Kamu nunggu lama, ya? Maaf, ya sayang, ayah lama jemputnya.”
“Nggak apa-apa, Ayah. Namanya juga resiko naik kendaraan, kadang bannya bocor, kadang bannya kempes.”
Ayah mengulas senyum, “Iya. Tadi pulang jualan, ayah beres-beres terus langsung ke sini. Bunda udah bikin masakan spesial, semur ayam kesukaan kamu. Udah dipisahin sama bunda, takut diembat Dika.”
Aku tertawa membayangkan kelakuan adikku yang suka menyerobot bagianku.
“Jadi nggak sabar pingin cepet sampai rumah. Yuk, ah, pulang...” Aku duduk di belakang ayah.
“Pegangan yang kenceng, ya,” seringai ayah.
Aku tersenyum. Rasa syukur menyelinap ke lubuk hati terdalam. Aku tak mau menghitung apa yang tidak aku miliki. Aku tak mau berpusat pada kekuranganku. Karena sejatinya apa yang aku miliki, jauh lebih banyak dari apa yang tidak aku miliki. Nikmat yang diberikan Allah jauh lebih banyak dibanding keterbatasan yang ada. Aku memiliki keluarga yang selalu ada untukku apapun keadaanku. Aku memiliki keluarga yang membuatku merasa bahwa aku memiliki tempat terbaik untuk pulang. Sedang di luar sana, mungkin ada banyak orang yang bahkan tak tahu harus melangkah kemana saat pulang. Tidak ada tempat yang bisa ia sebut rumah, apalagi keluarga. Mereka memiliki keluarga tapi merasa sendiri karena hubungannya dengan keluarganya tidak harmonis. Atau banyak juga anak-anak yang tidak lebih beruntung dariku karena sedari bayi dibuang oleh orang tua mereka atau orang tuanya meninggal sejak bayi. Untuk memaknai kata “ayah” dan “bunda” saja, mungkin mereka sulit memahami karena mereka hanya bisa melafalkan dan tahu makna secara leksikal, tapi mereka tak pernah merasakan kehadiran dan kasih sayangnya.
Aku berterima kasih untuk hidupku, untuk ayah-bunda dan adikku yang luar biasa. Sungguh, tak ada alasan apapun untuk bersedih karena Allah begitu memyayangiku dengan mengirimkan orang-orang terbaik.
******
Aku berderap menyusuri koridor. Hari ini ada kuliah jam delapan. Biasanya banyak mahasiswa yang telat jika ada kuliah pagi. Hari ini, kelas kami kuliah di ruang B2. Saat aku berjalan di depan ruangan itu, aku mendengar selentingan obrolan teman-temanku yang sudah datang. Ketika kudengar suara Dito menyebut namaku, kuputuskan untuk berhenti dan mendengarkan obrolan mereka dari luar ruangan.
“Hati-hati lho Pah, nanti kamu baper sendiri sama si Mamah. Awalnya dari panggilan, eh nanti jadi suka beneran.”
“Nggak kok, tenang aja. Gue... Maksudnya aku... Aduh sorry guys, kadang logat Jakarte gue masih kebawa. Aku becanda, kok. Seru-seruan aja manggil dia mamah. Toh sekelas juga pada manggil mamah semua, kan? Ya aku sama kayak kalian waktu manggil dia mamah. Biasa aja, nggak ada yang spesial.”
Kudengarkan ucapan Axel. Dalam hati aku bertanya-tanya, tumben mereka datang lebih awal dan sekarang malah membicarakan aku.
“Yakin nggak spesial? Tipe kamu mah yang seksi, ya, Pah? Yang dadanya besar, enak buat diremas. Wajahnya cantik enak buat dipandang. Kulitnya putih mulus, pokoknya yang enak buat dielus-elus. Bibirnya yang sensual, enak buat dicipok. Kalau macam Mamah nggak bisa diapa-apain.” Devano tertawa renyah, disusul teman-temannya yang lain.
Entah kenapa aku tak nyaman mendengarnya, seolah perempuan dipandang sebagai objek untuk bersenang-senang.
“Wajar cowok pinginnya dapat cewek cantik, seksi, aku nggak muna,” Axel menimpali.
“Berarti kamu sama Mamah nggak serius, ya?” suara Dito terdengar nyaring.
“Nggak, lah. Mamah bukan tipeku. Aku suka cewek yang seksi, kulitnya mulus, cantik. Okay, Mamah cute, sih, tapi dia bukan kriteriaku. Dia terlalu saklek, tertutup, bener apa yang Devan bilang, nggak bisa diapa-apain.”
Dito dan Devano tertawa terbahak-bahak. Sumpah, aku jadi ill-feel mendengar perbincangan mereka. Apa segitu rendahnya mereka memandang perempuan? Nggak bisa diapa-apain? Berarti mereka pacaran, tujuannya agar bisa ngapa-ngapain ceweknya? Dasar!!!
Kemarin aku sempat merasa Ge-er, agak baper karena sikap manis Axel. Aku sempat mengira dia tertarik padaku. Namun sekarang aku tahu, Axel menganggap apa yang dia lakukan adalah hal yang biasa. Dia tidak tertarik padaku dan aku bukan kriteria perempuan yang ia suka, karena jelas ia menyukai perempuan yang cantik, seksi, dan bisa diapa-apain.
Aku tidak jatuh cinta padanya. Aku tidak menyimpan perasaan untuknya. Namun seperti ada yang retak di dalam. Sungguh aku belum jatuh cinta padanya dan seharusnya aku tak kecewa atau kesal. Sudah fitrahnya laki-laki menyukai perempuan cantik dan seksi. Bukan salah Axel menyukai tipe wanita seperti itu. Mungkin aku yang terlalu ke-Ge-er-an.
Setelah mereka beralih topik pembicaraan, aku melangkah masuk. Di saat yang sama, ada Shelly juga yang masuk kelas. Aku sedikit terperanjat melihat Axel tengah merokok. Begitu aku datang, dia langsung mematikan rokoknya dan mengulas senyum ke arahku. Aku tak merespons dan memilih cuek terhadapnya. Aku tak akan peduli dengan apapun yang ia lakukan.
Satu per satu teman-temanku datang. Pak Sakha, dosen yang mengampu mata kuliah Pengantar Bisnis datang tepat waktu. Dia dosen yang masih muda, 27 tahun dan belum menikah. Banyak mahasiswi mengidolakannya karena wajah tampan dan kharismanya. Dia juga dosen yang cerdas. Di usia semuda itu dia sudah menyelesiakan pendidikan S3-nya. Waktu awal perkenalan di kelas, dia mengatakan sejak SMP selalu berhasil masuk kelas akselerasi. Tak heran di usia semuda itu sudah bergelar doktor.
Pak Sakha ini anak dari tante Nara, sahabat baik bundaku. Meski kami saling mengenal, Pak Sakha selalu bersikap profesional dan tidak pilih kasih.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Selamat pagi semuanya. Sebelum kita lanjut ke materi selanjutnya, ada yang tidak datang pagi ini? Saya nggak mau ada yang titip absen.” Pak Sakha menyasar pandangannya ke segala sudut.
“Hadir semua, Pak,” jawab Januar.
Tentu saja hadir semua. Para mahasiswi selalu bersemangat setiap kali diajar Pak Sakha. Para mahasiswa juga tak berani menitip absen. Pak Sakha dikenal tegas dan disiplin.
“Baik, sekarang kita belajar tentang manajemen pemasaran. Untuk pengertian manajemen pemasaran sudah dijelaskan di buku, kalian bisa membacanya sendiri. Saya tidak akan mengulas banyak tentang definisi manajemen pemasaran. Saya akan membahas lebih banyak tentang strategi pemasaran. Ketika kalian memiliki usaha atau perusahaan, kalian butuh yang namanya strategi pemasaran agar produk kalian diminati konsumen.”
Semua mahasiswa mendengarkan penjelasan Pak Sakha dengan seksama. Ciri khas setiap Pak Sakha mengajar, seisi kelas selalu tenang dan serius. Terkadang diselingi tawa karena Pak Sakha juga memiliki selera humor.
“Pertama, saya ingin bertanya. Ada yang bisa menjelaskan tujuan dari pemasaran itu apa?” Pak Sakha mengedarkan pandangannya.
“Untuk meningkatkan laba,” jawab Januar.
“Iya, betul. Ada lagi?”
“Untuk mengenalkan produk kita ke konsumen? Misal memberikan informasi tentang produk kita sehingga mereka tertarik untuk membeli,” tukas Syifa.
“Okay, ada lagi?”
“Untuk meningkatkan penjualan dan menarik konsumen baru,” giliran Kenzi yang menjawab.
“Ya, benar semua. Dan untuk meraih tujuan ini tentunya perusahaan harus memiliki strategi. Bisnis atau usaha tanpa strategi yang matang itu rasanya sulit untuk bertahan. Yang namanya persaingan bisnis selalu ada. Misalnya saja, kalian punya usaha bakso. Semakin banyak orang berjualan bakso, maka persaingan itu akan semakin terasa kuat. Kalau kalian tidak memiliki strategi khusus dalam menggaet konsumen, bisa jadi mereka beralih ke pedagang bakso lain yang mampu menawarkan sesuatu yang menarik atau khas dari produk mereka.” Pak Sakha menghela napas sejenak.
“Sesuatu yang menarik itu apa, sih? Bisa saja tempatnya yang menarik, dekorasinya membuat pengunjung suka, apalagi sekarang orang makan di rumah makan terkadang pesannya cuma segelas teh, tapi eksisnya yang diutamain. Foto-foto, terus diposting di media sosial. Ciri khas mahasiswa banget, datang ke tempat makan yang menawarkan free wifi, pesennya cuma kopi, tapi nggak pulang-pulang karena ingin memanfaatkan wifi gratis.”
Para mahasiswa tertawa kecil, merasa tersindir.
“Selain tempat apa lagi yang menarik? Semisal lokasi yang strategis. Ini juga berpengaruh. Lalu yang tak kalah penting juga price, harga yang kompetitif. Kemudian kualitas produk, dan satu lagi yang menjadi nilai jual, yaitu ciri khas. Dari semua faktor, kalau menurut saya, menciptakan ciri khas ini yang susah. Butuh ide dan kreativitas untuk menciptakan ciri khas karena ciri khas ini yang membedakan produk tersebut dengan produk lain. Produk yang punya ciri khas itu akan lebih diingat konsumen dan membuat mereka susah move on. Bukan cuma soal hati saja yang susah move on.”
Teman-temanku bersorak.
“Tuh dengerin Papah Axel, nggak cuma hati yang susah move on.” Ledek Dito disusul tawa teman-teman yang lain.
“Ada satu lagi faktor yang bisa menjadi strategi pemasaran agar berhasil, yaitu promosi. Kalau zaman belum ada media sosial, orang mau promosi itu lewat media massa kayak koran, majalah, atau media elektronik seperti televisi dan radio. Biaya advertisement ini lumayan lho. Apalagi di televisi, sekali tayang dihitung durasinya berapa. Sekarang banyak perusahaan memanfaatkan media sosial karena dinilai lebih praktis, lebih murah, dan bisa menjangkau seluruh dunia. Saya sering melihat laman instagram, rumah-rumah makan menawarkan produk mereka dengan memposting foto makanan yang menggugah selera. Bahkan ada yang mengundang selebgram yang memang sering post kuliner di laman instagramnya dan memiliki banyak follower. Beginilah era digital, selamat datang di era digital di mana orang makan, direkam, dipost di youtube atau instagram juga bisa jadi duit. Ini bisa jadi peluang sebenarnya. Media sosial yang dimanfaatkan untuk sesuatu yang positif itu bisa menjadi hal yang baik.”
Pak Sakha kembali menyapu pandangannya ke arah kami.
“Ada yang mau menjelaskan tentang promosi ini? Misal kalian memiliki usaha tertentu, promosi seperti apa yang akan kalian lakukan agar promosi kalian berhasil? Silakan yang mau sharing.”
Januar mengangkat tangannya.
“Ya, silakan.”
“Kalau menurut saya, pertama kita mesti mengenal dengan baik akan karakteristik produk kita. Produk yang kita jual ini sasarannya siapa? Sebagai contoh perusahaan minuman berenergi dan rokok yang sasarannya kaum laki-laki. Sering mereka menggunakan jasa SPG atau Sales Promotion Girl untuk menawarkan produk mereka. Saya rasa ini satu cara promosi yang berhasil. Laki-laki memang tertarik dengan wanita cantik dan seksi. Banyak contoh penjualan meningkat setelah mereka menggunakan jasa SPG untuk promosi.”
Pak Sakha mengangguk, “Ada yang mau menanggapi?”
Entah kenapa aku kurang sreg dengan pendapat Januar. Kuberanikan diri mengangkat tanganku.
“Ya, Adira.”
“Maaf, saya kok kurang sreg ya dengan pendapat Januar. Jadi sebenarnya yang menarik minat pembeli itu produknya atau SPG-nya? Bisa nggak sih promosi tanpa harus menjual sesuatu yang menarik dari seorang perempuan? Maksud saya bukan menjual dalam tanda kutip. Cuma sebagai perempuan kadang merasa gimana di saat melihat fenomena banyak perempuan yang dijadikan objek. Para SPG ini diminta mengenakan pakaian yang menarik bahkan ada beberapa perusahaan yang meminta mereka mengenakan pakaian seksi. Mereka mempromosikan dagangan dengan wajah full make up, senyum yang menarik, bahkan mungkin ada yang merayu, lalu pembeli yang kebanyakan laki-laki ini memandangi tubuh mereka yang seksi, wajah mereka yang cantik, dan akhirnya membeli. Kesannya gimana ya, perempuan kayak dimanfaatkan untuk menarik pembeli.”
“Pak, saya mau menyanggah pendapat Mamah...eh maksudnya Adira,” tukas Axel.
Teman-teman yang lain bersorak meledek.
“Silakan, Axel.”
“Mamah... Eh, Adira bilang kalau perempuan itu dijadikan objek dan bertanya kenapa harus menjual sesuatu yang menarik dari perempuan untuk menggaet pembeli? Sekarang saya balik tanya sama Adira. Yang memaksa perempuan ini untuk menjadi SPG siapa? Mereka menjadi SPG karena mereka mau. Mereka berpakaian seksi juga karena mereka mau, nggak ada yang memaksa. Dan fenomena seperti ini udah hal biasa. Masing-masing SPG dibebaskan untuk mempromosikan dagangan dengan caranya sendiri. Kalau misal mereka merayu, pakai make up menor, itu bukan salah perusahaan. Mereka berpromosi dengan cara mereka sendiri dan mereka juga punya target berapa jumlah produk yang harus terjual. Nggak bisa dicampur-adukkan dengan agama. Aku paham banget pasti Mamah... Maksud aku Adira, memandang kasus ini dari sudut pandang agama. We are talking about marketing strategy, not about religion. Coba memandang sesuatu dari perspektif yang lebih luas, bukan dari satu sudut saja.”
Aku terdiam sejenak, sementara teman-teman yang lain seakan menungguku berbicara.
“Boleh saya memberi sanggahan untuk Axel, Pak?” aku meminta izin Pak Sakha terlebih dahulu.
“Boleh, silakan.”
“Apa kamu memperhatikan pertanyaan Pak Sakha di awal? Pak Sakha bertanya seandainya kita memiliki suatu bisnis atau perusahaan, apa yang akan kita lakukan agar promosi kita berhasil? Ini artinya pendapat ini memang bersifat subjektif, berbeda untuk setiap orang. Saya berpendapat dari sudut pandang saya, seandainya saya memiliki perusahaan. Karena saya memiliki agama yang punya aturan maka segala kehidupan yang saya jalani harus bersendikan pada agama. Termasuk urusan bisnis, nggak bisa dipisahkan. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam adalah contoh pedagang, pebisnis yang sukses. Dalam agama saya, Al-Qur'an dan As-sunnah ini jadi pedoman untuk menjalani kehidupan termasuk berdagang, berbisnis. Jadi kalau saya mengaku cinta Rasul, maka saya harus mencontoh cara Rasul dalam berdagang dengan tidak melanggar aturan agama. Karena itu saya tidak sependapat dengan Januar maupun kamu yang mengatakan tidak ada salahnya promosi dengan menggunakan jasa SPG di mana para SPG ini berpakaian yang tidak sesuai syariat dan tabarruj juga karena berhias untuk non mahram.”
“Okay, dengan kata lain, kamu mau bilang kalau pekerjaan sebagai SPG itu rendah? Ingat, mereka nggak semuanya Muslim. Mereka juga nggak menjual diri hanya tampil cantik untuk menggaet pembeli. Hati-hati dalam berbicara. Teman kita juga ada yang menjadi SPG, dan kata-katamu bisa menyinggung mereka.” Axel menajamkan matanya.
“Apa ada kata-kataku yang menyatakan kalau pekerjaan sebagai SPG itu rendah? Nggak usah ngelantur kemana-mana karena inti diskusi kita adalah tentang promosi yang kita lakukan seandainya kita memiliki perusahaan. Dan saya hanya berpendapat dari kacamata saya seandainya saya seorang pengusaha bahwa saya tidak akan menjual produk saya dengan cara promosi seperti itu. Memang para SPG ini tidak dipaksa untuk menjadi SPG. Mereka melamar menjadi SPG karena perusahaan memang merekrut. Kalau perusahaan tidak merekrut, mereka tidak akan datang. Saya bicara seperti ini juga bukan sedang menggeneralisasi semua perusahaan yang memanfaatkan jasa SPG. Banyak juga perusahaan yang menggunakan jasa mereka untuk sebatas promosi dan tetap mengenakan pakaian yang sopan. Yang saya soroti adalah perusahaan-perusahaan yang meminta para SPG untuk berpakaian seksi. Karena Januar bilang tidak ada salahnya menarik pembeli dengan para SPG cantik dan seksi karena laki-laki memang tertarik dengan perempuan cantik, makanya saya menyorot soal ini. Apa iya laki-laki harus disuguhi dengan perempuan cantik agar mau membeli? Bukannya yang lebih paham akan produk yang diperuntukkan untuk laki-laki adalah laki-laki sendiri? Kenapa harus perempuan cantik dan berbaju seksi yang mempromosikan? Yang sebenarnya para perempuan ini tidak mengonsumsi produk yang mereka promosikan. Bagi saya berbisnis atau berdagang itu bukan semata mencari keuntungan, tapi yang lebih penting adalah kehalalan dan keberkahannya.”
Beberapa teman memberikan applause untukku.
“Okay, dan aku juga punya pendapat sendiri. Untuk memajukan bisnis aku akan mengikuti perkembangan zaman. Globalisasi itu nggak bisa dihindari. Globalisasi bukan untuk ditolak tapi bagaimana kita membuat diri kita menjadi bagian dari globalisasi itu sendiri.” Axel belum ingin menyudahi argumennya.
“Ya, kita memang sudah menjadi bagian dari globalisasi, tapi bukan berarti kita dikendalikan oleh dampak negatif globalisasi. Kalau menurut anda menjual sesuatu yang menarik dari perempuan untuk memikat pembeli laki-laki adalah suatu kemajuan dalam globalisasi, mohon maaf, saya katakan itu sebagai kemunduran,” pungkasku mengakhiri perdebatan yang rasanya tak berujung ini.
“Wuih rameee... Papah dan mamah kalau lagi berantem, anaknya kicep semua,” ujar Dito dibalas tawa oleh teman-teman yang lain.
“Diskusi yang menarik ya. Setiap orang bebas berpendapat. Kalau saya pribadi, saya sependapat dengan Adira, bahwa dalam berbisnis dan berdagang, kita juga harus mematuhi aturan, entah aturan agama maupun norma hukum dan sosial. Penggunaan jasa SPG yang berpakaian seksi mungkin tidak melangggar aturan daerah setempat, tapi dari segi agama memang tidak sesuai. Jangankan SPG, kalian yang muslimah tapi belum berjilbab juga sama saja tidak mematuhi perintah Allah untuk menutup aurat. Mohon maaf kalau saya suka blak-blakan saat bicara. Kebenaran itu memang harus disampaikan. Saya doakan kalian yang belum menutup aurat diberikan kemantapan hati untuk mengenakannya, aamiin.”
“Aamiin,” sahut seisi kelas serempak.
“Mungkin kalian ada yang nyeletuk, saya ini dosen pengantar bisnis apa agama? Dikit-dikit ngomongin agama... Karena bagi saya agama itu jadi pondasi, agama jadi pedoman. Akan kacau kalau manusia melakukan sesuatu seenaknya sendiri. Termasuk bisnis, dagang, bagi saya harus mematuhi aturan agama. Berbisnis itu harus jujur. Kalau nggak jujur nanti nggak berkah. Namun meski kita beda pendapat, kita harus saling menghargai.”
Kami semua mengangguk. Kutoleh Axel yang melirikku. Aku segera memalingkan wajahku.
“Ya sudah, sekarang kita lanjut pembahasan kita ke bauran pemasaran.”
******
Seusai mengikuti kelas Pak Sakha, aku, Luna, dan Syifa menonton mahasiswa semester akhir bermain basket di lapangan. Mereka sudah tinggal mengurus skripsi, jadi kadang banyak yang memanfaatkan waktu menunggu dosen atau seusai konsultasi dengan bermain basket.
Axel, Dito, dan Devano juga ikut menonton pertandingan.
“Mamah tadi debatnya keren banget, ya.” Axel melirikku. Ia dan tiga temannya berdiri di sebelah bangku tempat kami duduk.
Aku tak membalas dan tetap fokus melihat pertandingan.
“Ehem... Diam aja dari tadi. Di kelas juga gitu. Selalu membuang muka. Jangan-jangan debat di kelas tadi dibawa sampai ke hati,” ucapnya lagi.
Lagi-lagi aku diam. Aku anggap, dia tidak ada di sini kendati tidak semudah itu untuk menganggap dia tidak ada.
“Mamah... Mamah....”
Dari seberang, aku lihat Shelly berlari ke arahku.
“Ada apa, Shel?”
“Coba deh ke Bapendik. Ada pengumuman nama-nama mahasiswa yang berhasil lolos seleksi beasiswa. Ada nama kamu, lho.” Shelly terlihat berseri-seri.
Aku menganga sekian detik, “Beneran, Shel? Alhamdulillah ya Allah... Ini beneran kan?”
Shelly mengangguk, “Beneran, aku nggak bohong. Kamu lihat sendiri, deh.”
“Wah selamat, ya, Mamah. Kita ikut seneng,” Luna tersenyum lebar.
“Mamah keren, padahal yang ikut seleksi itu banyak. Selamat, ya.” Dito tak ketinggalan mengucap selamat.
“Makasih banyak, ya, teman-teman.”
“Mah, selamat, ya,” Axel tersenyum padaku.
Aku tak membalas dan tak menolehnya. Aku, Shelly, Luna, dan Syifa berjalan menuju ruang Bapendik. Aku tak peduli dengan reaksi Axel. Entahlah, aku malas berbicara dengannya.
Alhamdulillah, aku bersyukur sekali karena aku berhasil mendapatkan beasiswa. Aku diminta mengisi data diri dan menandatangani surat pernyataan. Ayah dan bunda pasti senang mendengar kabar bahagia ini.
“Aku ke toilet dulu, ya.” Kutatap Syifa dan Luna bergantian.
“Okay, kita tunggu di sini, ya,” balas Syifa.
Aku berjalan menuju toilet. Suasana agak sepi. Setelah beres, aku buka pintu dan keluar. Aku kaget setengah mati saat melihat Axel berdiri mematung di depanku. Apa dia mengikutiku?
“Kamu ngapain ke sini? Kamu ngikutin aku?” aku mendelik ke arahnya.
“Kenapa kamu ngindarin aku? Nyuekin aku sejak pagi tadi.” Dia menatapku tajam.
Aku merasa tak nyaman berada di toilet berdua dengannya. Segera kulangkahkan kakiku ke depan. Tiba-tiba dia menarik pergelangan tanganku dan mendorong tubuhku hingga menghimpit dinding. Aku hendak berteriak, tapi secepat kilat Axel membungkam mulutku dengan telapak tangannya.
“Jangan teriak. Aku cuma ingin ngomong sama kamu. Aku nggak akan berbuat macam-macam sama kamu.” Perlahan Axel menurunkan tangannya.
Aku mengatur napasku. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri, aku takut ada yang melihat dan salah paham. Dadaku berdebar hebat, entah karena takut atau karena berada sedekat ini dengan Axel.
“Kalau mau bicara jangan di sini,” ucapku tak berani menatapnya. Aroma parfumnya menyeruak, begitu manly tapi juga lembut.
“Aku pingin bicara di sini. Kalau di tempat lain, kamu pasti menghindar lagi. Kenapa dari pagi kamu diemin aku? Tiap aku nyapa, kamu nggak balas. Apa gara-gara debat di kelas tadi?”
Kulirik dia sejenak. Aku menunduk lagi. Rasanya tak nyaman ada di posisi ini. Sementara kedua tangannya menahanku. Ia menyandarkan kedua tangannya di dinding dan memenjarakanku agar tidak bisa keluar. Kucoba menabrak tangannya, yang ada dia malah menahan tubuhku hingga tangannya memeluk pinggangku. Astaghfirullah... Aku takut Axel berbuat nekat. Apalagi baru saja dia mencuri pelukan dariku meski dia tak sengaja karena ingin menahanku. Aku serba salah. Kalau aku bergerak, dia akan menyentuhku kembali. Jika aku teriak, aku takut orang akan salah paham.
“Astaghfirullah... Biarin aku pergi, Xel. Aku beneran nggak nyaman.”
“Jawab dulu pertanyaanku. Kamu pikir enak dicuekin? Kamu sengaja pingin bikin aku galau nggak karuan?”
“Kenapa harus galau? Memangnya aku ini siapa, sampai bikin kamu galau hanya karena aku nyuekin kamu?”
Axel menghela napas. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang beraroma mint.
“Kenapa kamu nyuekin aku? Dari tadi kamu nggak jawab. Salahku apa?”
Aku terpaku. Jujur, aku juga tak tahu apa kesalahan dia. Aku juga tak mengerti kenapa aku menghindarinya, kenapa aku kesal dan kecewa padanya. Apa karena aku terlanjur baper dengan sikapnya dan di saat aku tahu bahwa aku bukan seseorang yang spesial untuknya, aku kecewa? Kenapa aku begitu kekanakan? Kenapa aku harus sakit hati? Perasaan seperti apa ini? Kenapa semua terasa aneh dan membingungkan.
“Kenapa kamu nggak jawab?”
Kuberanikan diri menatapnya.
“Kenapa kamu sakit hati saat aku nyuekin kamu? Bukannya kamu menganggapku biasa saja? Kamu harus sakit hati dicuekin sama gadis yang pakaiannya tertutup, nggak seksi, sementara kamu bisa dapat perhatian lebih dari cewek-cewek lain yang seksi dan cantik, yang mungkin bisa kamu apa-apain.”
Giliran Axel terdiam. Kedua tangan yang bersandar di dinding, dia turunkan. Aku segera berlalu dari hadapannya. Entah apa reaksinya. Dan entah kenapa ada debaran yang membuat jantungku berdegup kencang.
******
Part panjang nih, sampai 4rb kata. Mohon maaf pak dosen blm up. Di situ blm ada ide. Aku kepikiran utk menamatkan pak dosen dan cuma sampai part nara melahirkan. Kalau masih ingin ada cerita mereka mungkin dibikin lapak baru setelah bayi nara lahir. Tapi ga janji ya. Seiring dgn banyaknya kesibukan, aku kadang ga bisa membagi waktu dgn mudah. Jadi mohon maaf jg kalau cerita lain blm pada di-up dan mungkin hiatus dulu krn aku mau fokus di satu cerita saja. Dear Pak Dosen akan aku pertimbangkan untuk segera menamatkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro