3. New Episode Adira-Axel
Adira dan Axel berjalan beriringan menuju kelas. Perut Adira sudah terlihat semakin buncit. Ia bersyukur terbiasa membeli gamis dengan ukuran lebih besar jadi meski perutnya sudah terlihat besar, gamis-gamis itu masih muat di badannya.
Ketika sudah tiba di kelas, suasana kelas sudah cukup ramai karena sudah banyak yang datang.
“Mah, Pah, udah ngerjain tugas yang kemarin belum?” tanya Luna menatap sepasang suami istri itu bergantian.
“Udah. Mamah udah ngerjain malam, aku baru ngerjain pagi buta sebelum Subuh, baru sempat.” Axel mengeluarkan lembaran kertas dari dalam tasnya.
“Keren kalian, meski aktivitas banyak soal tugas tetap bisa on time.” Luna berdecak kagum.
“Gue eh aku nyontek, ya.” Devano mendekat ke arah keduanya.
“Ini nih tipikal mahasiswa ogah mikir dan jadi parasit di mana-mana, apa-apa nyontek, apa-apa nyontek. Harusnya kamu malu. Mamah, Papah aja yang sudah punya tanggung jawab lebih bisa bagi waktu. Kamu nggak ngerjain emang ngapain aja?” Luna geleng-geleng kepala.
“Gini, nih, mahasiswi tipe main judge dan nyinyir. Emang cuma Mamah Papah aja yang punya kesibukan, aku juga punya, lah. Aku kan punya kerjaan sambilan juga.” Devano mengambil tugas milik Axel.
Seketika Luna mencibir.
“Ya, semua orang juga punya kesibukan. Kamu nggak ngerjain tugas emang karena nggak memprioritaskan tugas. Kalau kamu niat ngerjain pasti selesai, kok,” balas Luna sedikit ketus.
“Ketus amat. Ribet amat ngurusin hidup aku,” seloroh Devano dengan tampang cemberut.
“Itu artinya Luna peduli sama kamu. Ciyeeee....” Dito yang tengah asik berselancar lewat smartphone pun tertarik ikut nimbrung.
“Ciyeee....” Teman-teman yang lain, yang tak tahu permasalahannya pun asal aja latah mengikuti Dito.
“Ih, apaan, sih?” Luna mengerucutkan bibirnya.
“Oh, kamu ribet ngurusin aku karena kamu peduli sama aku? Makasih deh kalau gitu.” Devano nyengir lalu tertawa sembari mengangkat kerah bajunya.
Yang lain tertawa dan sebagian bersorak meledek. Sejak teman sekelas mereka ada yang menikah, yang lain terbawa bapernya dan main jodoh-jodohan, ledek-ledekan, siapa tahu akan ada pasangan lain yang menyusul Adira dan Axel.
“Pah, kayaknya bisnis jual beli tanaman hias makin lancar? Kemarin aku baca status WA-mu, selain tanaman hias sekarang lagi getol bisnis ikan hias juga. Keren banget sih, Pah? Ajarin aku bisnis juga.” Dito duduk di hadapan Axel.
Axel tersenyum lebar.
“Alhamdulillah, pembeli ikan hias nggak cuma dari dalam negeri, orang luar negeri juga banyak yang minat. Aku bakal serius buat nerusin usaha ini. Soalnya aku mikir, aku masih kuliah, kandungan Mamah juga makin besar, kadang gimana ya kalau harus bolos kuliah atau urusan terbengkalai karena pekerjaan sementara aku harus mempertahankan IP tiga koma, syukur-syukur meningkatkan biar beasiswaku nggak dicabut. Aku juga khawatir kalau sering ninggalin Mamah sampai malam. Jadi pekerjaan seperti ini yang paling fleksibel buat aku.” Axel melirik Adira. Adira membalas dengan senyum.
Dito, Devano, dan Luna tersenyum dan bangga dengan sikap dewasa Axel. Mereka tak menyangka, teman mereka yang selengekan bisa berubah begitu dewasa dan bertanggungjawab.
“Kalian nih selalu bikin baper. Perjuangan kalian patut diacungi jempol,” timpal Luna.
Tak lama kemudian Sesha dan Syifa datang mendekat.
“Ada kabar baru, teman-teman... Kabar yang sangat membahagiakan,” celetuk Sesha seraya menempelkan kedua telapak tangan di wajahnya.
“Kabar apaan?” Devano mengernyitkan alis.
“Dosen kita yang ganteng, yang sebentar lagi masuk kelas ini, mau punya baby karena sang istri sedang hamil. Aku kan stalking ig-nya. Pak Sakha posting nasi goreng masakannya, caption-nya, spesial buat yang lagi ngidam.” Sesha menjelaskan detail.
“Alhamdulillah... Aku ikut seneng dengernya. Alea belum ngasih tahu ke aku. Om Rayga sama Tante Diandra pasti seneng banget.” Adira tersenyum senang. Ia ingat saat Alea berbincang dengannya di telepon dan mengungkapkan kesedihannya karena tak kunjung hamil. Rasanya dia ingin segera menghubungi saudara sepupunya itu untuk meminta konfirmasi kenapa ada kabar gembira tapi tak cerita.
“Pak Sakha datang, woi...” Januar berteriak ke segala penjuru. Semua yang ada di kelas kembali ke kursinya masing-masing.
Dosen berkharisma itu memasuki kelas dengan percaya diri. Dari cara berjalannya saja sudah membuat para mahasiswi terpana.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Selamat lagi semua, gimana kabarnya?” Sakha mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan senyum ramahnya.
“Alhamdulillah baik....”
“Bapak kayaknya lagi happy banget, ya? Mau jadi seorang ayah,” ucap Sesha nyaring dengan suara cemprengnya yang khas.
Semburat merah menyapu wajah Sakha.
“Iya, Alhamdulillah. Mohon doanya untuk semuanya, semoga lancar semuanya.”
“Aamiin,” jawab mahasiswa serempak.
“Kemarin kita udah bahas fungsi permintaan ya. Fungsi permintaan ini menunjukkan hubungan antara jumlah produk yang diminta dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan. Sekarang kita mempelajari tentang variabel yang menentukan permintaan. Ada variabel yang bisa dikendalikan langsung oleh perusahaan, ada yang tidak bisa dikendalikan. Variabel yang bisa dikendalikan langsung oleh perusahaan itu namanya variabel strategis. Yang termasuk dalam variabel strategis itu misalnya harga barang, advertensi barang tersebut, kualitas barang, saluran distribusi. Ada yang bisa menjelaskan variabel lainnya?” Sakha mempersilakan para mahasiswa untuk menjawab.
Axel mengangkat tangannya. Semua yang ada di kelas melirik ke arahnya. Sejak menikah, Axel semakin bersinar. Belajarnya semakin baik, begitu juga dengan nilai-nilainya.
“Silakan Axel.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan coba menjelaskan. Kemarin baru aja baca, masih lumayan inget....”
“Papah semakin terdepan,” celetuk Dito.
Yang lain tertawa mendengar celotehan Dito.
Axel meneruskan perkataannya.
“Variabel konsumen, ini segala yang berhubungan dengan konsumen, contohnya pendapatan konsumen, selera konsumen, harapan konsumen akan harga barang di masa mendatang. Lalu ada variabel pesaing, yaitu harga barang substitusi atau komplementer, advertensi dan promosi barang lain, kualitas barang lain, serta saluran distribusi barang lain. Terakhir variabel lain, seperti kebijakan pemerintah, jumlah penduduk, dan cuaca.”
Seisi kelas memberi tepuk tangan meriah.
“Boleh nggak aku nanya ke Papah?” Syifa mengangkat tangannya.
“Silakan, Syifa.”
“Aku mau nanya maksud dari harapan konsumen akan harga barang di masa mendatang itu apa?”
Axel menghela napas, “Harapan konsumen di masa depan itu misalnya konsumen memperkirakan harga barang tertentu naik, maka ia membeli barang itu dalam jumlah banyak, harapannya bisa menghemat di masa depan karena sudah membeli dalam jumlah banyak di masa sekarang.”
“Boleh nambahin, nggak?” tanya Adira seraya milirik Axel.
“Ciyeeee... Namanya juga suami istri, saling melengkapi,” ledek Januar yang diikuti tawa oleh yang lain.
“Silakan, Mah.” Axel mengulum senyum.
“Harapan konsumen akan harga barang di masa depan bisa diartikan sebagai prediksi konsumen akan harga barang di masa depan. Misal konsumen memprediksi emas akan mengalami kenaikan harga di bulan depan, maka permintaan akan perhiasan emas meningkat karena mereka ingin menjualnya lagi di bulan depan,” pungkas Adira.
“Bagus Adira dan Axel. Penjelasan kalian sangat bagus,” Sakha tersenyum menatap dua insan itu bergantian.
Sakha melanjutkan materi. Seusai jam kuliah berakhir, Cherise berlari tergopoh-gopoh ke kelas mereka. Axel membantu Adira bangun dari duduknya. Adira menyadari, semakin besar perutnya, geraknya semakin lambat.
“Axel, Dira...”
Baik Axel maupun Adira menatap ke arah Cherise yang berdiri di depan pintu.
“Ada apa Cher?”
“Opa saat ini lagi di Purwokerto. Katanya ada urusan pekerjaan. Tapi mungkin tujuannya pingin ketemu kalian. Nanti sore Opa mau datang ke kontrakan kalian.”
Rasanya Axel tak percaya mendengarnya. Selama ini ia berusaha untuk membuka hati papanya agar mau menerimanya dan Adira, tapi hati sang ayah belum juga terketuk. Sang ayah tak mau bertemu setiap kali Axel meminta waktu sang ayah untuk bertemu.
Axel beradu pandang sejenak dengan Adira.
“Alhamdulillah akhirnya Papa mau ketemu.” Axel bernapas lega.
Sebelum pulang ke kontrakan, Axel dan Adira menyempatkan mampir membeli makanan dan lauk spesial untuk menyambut kedatangan ayah mereka nanti. Keduanya bersyukur karena sang ayah terketuk hatinya untuk menemui mereka.
******
Atmosfer terasa begitu canggung. Khrisna duduk di hadapan Axel dan Adira tanpa banyak bicara. Hatinya belum sepenuhnya terbuka untuk menerima Axel dan Adira. Diliriknya buah dan cemilan yang disajikan anak dan menantunya.
Pandangannya menyapu pada perut Adira yang tertutup kerudung tapi tak dapat menutupi bentuknya yang semakin membesar. Ia menghela napas, dalam perut itu ada cucunya.
Sedari tadi obrolan hanya berkisar pada basa-basi yang kurang penting. Dalam hati, Khrisna pun trenyuh melihat sang anak dan istrinya tinggal di kontrakan kecil yang bahkan tak memiliki kursi tamu, hingga sang tamu pun harus duduk lesehan. Ia melirik tanaman-tanaman hias yang berkejer di halaman kontrakan. Ia juga melirik ember dan akuarium-akurium berbagai ukuran yang menampung ikan-ikan hias yang dijual Axel. Ia tak menyangka sang anak yang dulu selalu minta uang jajan, kini bisa mencari uang sendiri, bahkan menafkahi keluarga.
Khrisna mengeluarkan sebuah amplop dan ia letakkan di karpet.
“Gunakan ini untuk biaya melahirkan nanti,” ucap Khrisna tanpa ekspresi. Raut wajahnya yang datar tak terbaca, entah apa yang dirasakan olehnya.
Axel dan Adira terkesiap. Untuk sesaat mereka membeku.
“Pa....”
“Tolong terima.... Papa mau pamit, nanti malam balik ke Jakarta.” Khrisna segera menyela perkataan anaknya. Ia beranjak. Tak ada seulas senyum yang tersungging.
Axel ikut beranjak. Ia membantu Adira bangun dari posisinya.
“Pa...” Axel memanggil ayahnya sekali lagi.
Laki-laki itu tak bereaksi. Ia sibuk mengenakan sepatunya.
“Terima kasih, Pa,” ucap Adira.
Seketika Khrisna terdiam. Ia melirik Adira yang tampak benar tak merasa nyaman dengan kondisi perut yang semakin besar. Ia membayangkan, pastilah berat menanggung beban perut sebesar itu.
“Terima kasih banyak, Pa. Papa sudah berkenan datang....” ucap Axel dengan sudut mata yang tampak berkaca.
Khrisna tak berkata apa-apa lagi. Ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan pintu gerbang. Laki-laki itu masuk ke dalam mobil. Ia melihat sepintas Axel dan Adira yang berdiri di depan pintu dari kaca jendela mobilnya yang tertutup. Tak ada satu pun yang sanggup menghapus ikatan darah antara ayah dan anak. Tak ada satu pun yang sanggup mengubah keadaan... Anak tetaplah anak, kendati hatinya sakit dikecewakan. Selama ini Axel dan Adira mungkin mengira hatinya begitu keras. Mereka hanya tak tahu, sepanjang hari, selama napas masih berhembus, hanya satu nama yang terus ia pikirkan siang dan malam, yang tak luput dari doa yang ia panjatkan. Dan satu nama itu kini beriringan dengan nama istrinya juga calon anaknya. Ya mereka tak tahu... Khrisna kerap mendoakan yang terbaik untuk Axel, Adira, dan calon cucunya.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro