Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Cemburu

Tak terasa puasa Ramadhan sudah tinggal beberapa hari lagi. Sejauh ini, Axel selalu tamat puasanya sampai Maghrib. Awal puasa memang terasa cukup berat untuknya, terutama saat menahan rasa haus. Mulai pertengahan bulan Ramadhan, Axel sudah lebih mudah beradaptasi. Kadang godaan itu datang. Semisal teman-temannya mengajak main basket siang-siang. Ia senang bermain basket, tapi saat puasa, ia tak ingin melakukan aktivitas yang rawan membuatnya haus. Tak semua teman-teman satu tim basket yang beragama Islam berpuasa. Salah satu dari mereka yang tidak berpuasa sengaja meledek Axel untuk membatalkan puasanya dan ikut bermain basket. Berkat dukunganku, ayah bunda, teman-teman, dan yang lebih utama adalah niat dan tekad kuat Axel, dia berhasil mengalahkan godaan.

Aku dan Axel masih bekerja di luar aktivitas kampus. Namun Axel memintaku untuk berhenti bekerja karena ia tak tega melihat keadaanku yang akhir-akhir mudah sekali lelah. Aku berencana untuk meminta izin Mas Revan terkait rencana resign-ku. Sejak mengerjakan proyek yang sama dengan Alea, Mas Revan lebih sering tinggal di Purwokerto dibanding Bandung.

Seorang istri harus meminta izin pada suaminya jika hendak keluar rumah, begitu juga untuk bekerja. Jika suami tidak mengizinkan, maka sebaiknya istri menurut apalagi Axel memiliki alasan yang kuat. Aku pikir, aku bisa bekerja dari rumah. Mungkin itu pilihan yang baik untukku saat ini. Aku membantu kakaknya Sesha mengelola online shop-nya. Axel masih bekerja di coffee shop, menulis artikel di web sepakbola, membuat website, dan sedang belajar jualan online kaos dan jaket hasil rancangannya dan Devano.

Hari ini aku, Axel, dan teman-teman berkumpul di taman Masjid. Kami membicarakan untuk memberi bingkisan lebaran pada orang-orang yang membutuhkan sebelum kami libur. Yang menjadikan bulan Ramadhan menjadi bulan yang sangat dirindukan jika sudah berlalu, salah satunya seperti ini, banyak kegiatan positif yang bisa dikerjakan bersama-sama, banyak yang berduyun-duyun bersedekah.

“Biasanya isi bingkisan lebaran apa saja?” tanya Kenzie sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Paling sembako gitu, kan? Ada minyak, beras, gula, telur, kadang ada kue-kue juga,” jawab Luna.

“Nanti kita belanja di tokonya Januar aja. Mamanya kan punya toko sembako,” timpal Dito.

“Iya, boleh juga, ide yang bagus,” Sesha tersenyum cerah.

“Ngomong-ngomong kalian udah zakat fitrah belum, nih?” Aku tatap temanku satu per satu.

Semua kompak menggeleng.

“Eh, Masjid kampus kita kan mengurus zakat juga. Abizar jadi panitianya. Mending kita zakat ke Masjid kampus aja,” seloroh Syifa.

“Zakat fitrah itu aturannya gimana, sih, Mah? Yang aku tahu, zakat itu memberikan makanan pokok ke fakir miskin, kan?” Axel melirikku.

“Iya, zakat fitrah itu wajib dikeluarkan oleh muslim bagi yang mampu menunaikannya dan dikeluarkan setahun sekali, waktunya itu pada awal bulan Ramadhan hingga batas sebelum sholat hari raya Idul Fitri.” Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana.

“Kalau semisal dikeluarkan setelah sholat Idul Fitri gimana, Mah?” tanya Devano.

“Ada hadits yang mengatakan bahwa setelah sholat Idul Fitri, zakat fitrah dinilai sebagai sedekah. Dari Ibnu Abbas r.a. Berkata: Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan ucapan yang kotor, serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat ied, itulah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah salat ied, maka itu sekedar sadaqah. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah serta disahihkan oleh al-Hakim).”

“Terus dari yang aku pelajari, mungkin teman-teman juga masih inget tentang waktu pelaksanaan zakat?” kutatap teman-temanku satu per satu.

“Dari awal Ramadhan sampai sebelum sholat Ied, kan?” Januar memicingkan matanya.

“Iya, lebih lengkapnya ada pembagian waktu dikeluarkannya zakat fitrah. Pertama itu waktu yang diperbolehkan, mulai dari tanggal satu Ramadhan sampai hari terakhir bulan Ramadhan sebelum matahari terbenam. Lalu waktu yang diwajibkan itu saat sejak matahari terbenam di akhir bulan Ramadhan sampai sebelum sholat Subuh satu Syawal. Waktu yang disunnahkan yaitu setelah sholat Subuh tanggal satu Syawal sampai sebelum sholat Idul Fitri, lalu ada juga waktu yang dimakruhkan, setelah sholat Idul Fitri sampai sebelum matahari terbenam tanggal satu Syawal, dan terakhir waktu yang diharamkan, yaitu setelah matahari terbenam tanggal satu Syawal.”

Temanku mengangguk-angguk.

“Makasih tambahan ilmunya, Mah. Kadang kita menganggap enteng soal zakat fitrah ini. Padahal mesti paham aturannya.” Kenzie melirik kami bergantian.

“Iya,betul.” Januar mengangguk.

“Besarnya 2,5 kilo kan ya?” gantian Sesha yang bertanya.

“Iya. Karena makanan pokok kita beras, jadi zakatnya berupa beras sebesar 2,5 kg atau 3,5 liter beras,” jawabku.

“Bisa nggak sih berasnya diganti uang? Semisal nggak punya beras, mau beli beras eh nggak dapet,  toko pada tutup.” Axel mengernyitkan alis.

Aku mengangguk, “Dari yang pernah aku dengar dan baca, boleh, berarti disesuaikan dengan harga berasnya. Ada perbedaan pendapat ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak membolehkan. Masing-masing ada dalilnya, cuma aku lupa. Nanti deh aku cari-cari lagi referensinya."

“Oya, Axel ini kan mualaf, dia termasuk golongan penerima zakat ya?” Dito menatap Axel.

Aku mengangguk.

“Iya, ada delapan golongan penerima zakat, pertama itu fakir yaitu orang yang tidak berharta, golongan kedua itu orang miskin. Yang membedakan dengan orang fakir adalah dia memiliki penghasilan, tapi nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lalu ada amil zakat, yaitu orang yang bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat kepada yang berhak. Setelah itu ada mualaf, orang yang baru memeluk agama Islam. Tujuan memberi zakat pada mualaf juga untuk mempererat tali silaturahim dan agar mereka semakin mengerti tentang syariat Islam dan mengamalkannya. Golongan berikutnya adalah riqab, yaitu hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya. Lalu ada gharim, yaitu orang yang terlilit hutang, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan catatan hutangnya bukan untuk maksiat. Berikutnya adalah fi Sabilillah, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah. Kemudian ada ibnu sabil, yaitu musafir yang melakukan perjalanan bukan untuk maksiat, lalu mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya, termasuk para perantau.”

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).

Alhamdulillah dapat ilmu banyak nih dari Mamah,” Luna tersenyum padaku.

“Aku sambil belajar juga,” balasku. Kutoleh Axel yang tersenyum padaku.

“Nggak salah aku milih Mamah. Aku bisa belajar banyak dari dia,” Axel melempar senyum padaku.

“Ciyeee....”

Teman-teman kompak meledek kami. Aku jadi malu sendiri.

“Ya, udah sekarang kita bicarain lagi ya rencana kita...” Januar menatap kami satu per satu.

Okay...”

Kami melanjutkan diskusi mengenai bingkisan lebaran yang akan kami bagikan ke orang-orang yang kurang mampu. Ada rasa bangga terselip kala melihat teman-temanku yang meski sebagian terlihat slebor tapi punya jiwa sosial yang tinggi.

******

Seperti hari-hari sebelumnya, kami berbuka puasa bersama di kontrakan kecil kami. Sederhana tapi selalu berkesan. Aku selalu menyempatkan waktu untuk memasak. Axel banyak membantuku di dapur. Kadang ayah dan bunda mengirim masakan untuk kami atau mengundang kami berbuka puasa bersama mereka.

Setelah tarawih, entah kenapa aku ingin ikut Axel ke coffee shop dan melihatnya bekerja. Tak masalah jika nanti aku harus duduk di dapur. Axel keberatan aku ikut karena dia bekerja sampai malam.

“Mamah di rumah aja, ya. Aku kerja sampai malam, nanti kalau kamu ngantuk gimana?” Axel menatapku tajam.

Keinginanku kali ini begitu kuat. Hari ini distro libur dan besok aku akan mengundurkan diri. Rasanya ini waktu yang tepat untuk ikut Axel ke tempat kerjanya.

“Aku ingin ikut, Pah. Boleh ya, sekali ini aja. Aku pingin tahu kerjaan kamu, apa yang kamu kerjakan di sana.”

Axel mengembuskan napas.

“Kerjaanku itu bikin kopi, nganterin ke meja pembeli. Kalau lagi ramai, mau duduk aja suka nggak sempat. Aku takut kamu bosen di sana, terus kalau kamu ngantuk, gimana?” Axel masih saja keberatan jika aku ikut.

Aku jadi makin penasaran.

“Sekali ini aja aku ikut, ya. Anggap aja aku seperti pembeli. Nanti aku bisa pesan kopi juga.”

Axel menatapku dengan lebih menelisik. Mungkin dia heran, aku sampai segitunya ingin ikut dia ke coffee shop. Kutatap dia dengan raut wajahku yang mungkin tampak lebih memelas.

“Baiklah....”

Akhirnya Axel menyerah juga. Aku tersenyum lebar merayakan kemenangan.

Kami berangkat ke coffee shop mengendarai sepeda motor. Sepanjang jalan, Axel memintaku memeluk pinggangnya. Selalu saja ada rasa nyaman dan damai ketika berboncengan seperti ini. Setiap dekat dengannya, ada rasa terlindungi karena dia selalu berusaha untuk menjagaku dengan baik.

Setiba di sana, aku duduk di pojok ruangan. Axel masuk ke dapur untuk bersiap bekerja. Axel kembali mendekatiku dengan membawa secangkir kopi.

“Mah, ini ada flat white, kayaknya kamu suka. Kalau mau pesan makanan bilang aja. Mumpung pengunjung belum banyak, aku masih bisa nemeni kamu bentar. Kalau nanti udah ramai, nggak apa-apa, kan, aku tinggal?” Axel duduk di hadapanku.

“Iya, nggak apa-apa, Pah. Kopinya kayaknya enak, ya.”

Aroma kopi itu begitu menggugah selera. Karena masih sangat panas, aku nggak berani untuk langsung meneguknya.

“Enak banget, Mah. Biasanya sebentar lagi pengunjung berdatangan.”

Tiba-tiba seorang rekan Axel melangkah mendekat ke arah kami.

“Hai, Xel. Istrimu ya?” Cowok yang aku taksir seumuran kami tersenyum lebar menatap Axel lalu melirikku sepintas.

Axel membalas senyumnya, “Iya, dia ngotot ingin ikut.”

Cowok itu tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku balas dengan mengangguk dan tersenyum juga.

“Nggak apa-apa, kalau ditemani istri nanti jadi lebih semangat.” Ledek cowok itu.

“Jelas dong. Oya Mah, ini Hendri, dia udah lebih lama kerja di sini. Kuliah di fakultas peternakan.”

“Aku emang lebih lama kerja di sini, tapi Axel lebih menguasai cara meracik kopi,” ujarnya dengan senyum yang semakin lebar.

“Ah, aku kan belajar dari kamu, bro.” Axel menyikut lengan Hendri.

Tak lama kemudian, datang lagi satu teman Axel, cewek berambut panjang dan berwajah cantik. Ia menyapa Axel dan Hendri.

“Kalian masih di sini aja, nggak langsung ke dapur?” tanya cewek itu sembari melengkungkan segaris senyum.

“Nanti bakal ke dapur lagi. Aku nemeni istriku dulu,” balas Axel.

Gadis itu menoleh ke arahku dan menelisik penampilanku dari ujung atas hingga bawah.

“Mah, ini Tamara. Dia karyawati juga di sini.” Axel mengenalkan rekannya.

Aku tersenyum padanya. Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Sebelum menjabat tanganku, dia memperhatikan telapak tanganku. Aku tahu, ketiadaan jari di telapak tanganku membuatnya kaget dan mungkin dia belum pernah melihat penampakan tangan seperti tanganku secara langsung. Air mukanya yang awalnya tersenyum berubah datar dan tampak sekali ia keberatan untuk menjabat tanganku. Aku cukup tahu diri. Segera kutarik tanganku mundur.

Tamara memandang Axel dan Hendri bergantian.

“Aku ke dalam dulu, ya.” Tamara berjalan menuju dapur.

Satu per satu pengunjung berdatangan.

“Mah, aku kerja dulu, ya. Kalau kamu pingin pesan makanan, bilang aja.” Axel mengulas senyum dan mengelus punggung telapak tanganku.

Aku mengangguk pelan dan membalas senyumnya.

Aku menikmati secangkir flat white sembari mengedarkan pandangan ke segala sudut. Jumlah pengunjung cukup ramai. Aku mengamati Axel yang tengah sibuk melayani pembeli. Dia terlihat cekatan dan terampil. Aku bangga melihatnya. Dia begitu giat bekerja.

Aku cukup tersentak melihat Tamara mengajak Axel berbincang sambil tertawa-tawa. Bahkan tangannya sesekali menepuk lengan Axel. Mereka berhaha-hihi begitu akrab. Yang bikin aku kesal, Axel juga tertawa-tawa. Seolah dia melupakan kehadiranku. Aku geram sendiri melihatnya.

Aku pikir pemandangan seperti itu hanya akan aku lihat satu kali saja, ternyata masih berlanjut. Sepertinya Tamara tipe perempuan yang mudah jowal-jawil ke cowok, yang tak sungkan memegang atau menyentuh kulit laki-laki dan tertawa-tawa begitu lepas.

Sesekali Axel melirikku dan tersenyum. Aku memasang muka cemberut, bahkan membuang muka. Axel membawakan cupcake untuk teman ngemil, tapi aku sudah tak berselera.

“Dimakan, ya, Mah. Aku masih agak lama,” ucapnya.

Aku diam saja.

Seusai kerja, Axel berpamitan dengan teman-temannya. Yang membuatku semakin kesal, Tamara sempat mengacak rambut Axel sambil mengucap, “Hati-hati di jalan.”

Harus ya sambil mengacak rambut? Aku semakin kesal. Kini serangkaian rasa curiga berseliweran dalam benak, apa ada hubungan antar mereka? Astaghfirullah aku jadi senewen begini dan berprasangka buruk pada suami sendiri.

Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Bahkan saat Axel mengajakku bicara, Aku tak menanggapi atau hanya menyahut dengan deheman.

Setiba di kontrakan, aku membersihkan wajah dan berganti baju. Axel sepertinya menyadari sedari tadi aku menekuk wajahku dan enggan bicara dengannya. Setelah berganti baju, ia duduk di ujung ranjang dan menatapku tajam.

“Kamu kenapa? Dari tadi cemberut.”

Aku diam saja dan malah balik menatapnya dengan lebih cemberut.

“Mah, kalau ada masalah bilang, dong. Jangan dipendem sendiri.” Axel mengernyitkan alis.

Aku masih enggan untuk menjawab.
Axel memperpendek jarak. Ia duduk lebih dekat di sebelahku.

“Mah, tolong bicara. Katakan ada apa sebenarnya?”

Aku tak sanggup jika harus berdiam diri terus. Kutatap dia masih dengan ekspresi yang dingin.

“Kamu sama sekali nggak merasa? Kamu ini nggak peka atau gimana?”

Axel melongo. Ia menaikkan kedua alisnya, “Nggak peka gimana?”

“Tau ah...” balasku sewot.

Raut wajah Axel semakin bingung. Masa sih, dia nggak tahu apa yang kurasakan?

“Mah, please bilang apa salahku? Jangan main teka-teki gini.”

Aku melirik Axel. Apa memang laki-laki terkadang tidak peka dan harus diberi tahu segalanya dengan detail?

“Ada hubungan apa antara kamu dan Tamara?”

Axel bengong.

“Dia teman kerja, Mah.”

Aku membisu.

“Oh, sekarang aku tahu, kamu cemburu? Ya Allah, Mah, apa yang kamu cemburui?”

Aku menghela napas sejenak. Aku tajamkan mataku hingga pandangan mata ini tepat mneghunjam di bola matanya.

“Apa yang aku cemburui? Dia jowal-jawil ke kamu, neplak-neplak ke kamu, ngacak-ngacak rambut kamu, ketawa-ketawa sama kamu, akrab banget sama kamu, masa iya aku nggak bereaksi apapun? Wajar banget kalau aku cemburu. Aku yakin istri manapun bakal cemburu.” Aku membuang muka, enggan melihatnya.

“Jowal-jawil? Dia emang biasa kayak gitu ke anak-anak, Mah. Nggak cuma ke aku aja, ke yang lain juga. Anaknya emang suka neplak, suka ketawa. Aku menganggapnya biasa aja.”

“Aku perhatiin, dia cuma pegang-pegang ke kamu doang, ke yang lain nggak. Cewek kok gitu amat, nggak malu megang-megang cowok. Mana ketawa-ketawa. Kamu juga ketawa-ketawa, nggak tahu ngomongin apa sama dia. Kalian kelihatan akrab banget.”

“Ya Allah, Mah. Masa iya ada teman ngajak bercanda, ngajak ngobrol, aku diemin aja? Masa iya aku nggak nanggepin? Aku nanggepin sebatas teman yang menanggapi temannya ngobrol, nggak ada interaksi lebih.”

Aku semakin gregetan dan geram. Axel tak memahami keresahanku.

“Dalam agama kita sudah sangat jelas antara laki-laki dan perempuan non mahram tidak boleh pegang-pegang. Mana ini akrab banget, ketawa-ketawa. Yang nggak aku habis pikir, waktu pamitan dia sempat ngacak rambut kamu. Wajar kalau aku merasa kalian ada sesuatu.”

Giliran Axel membatu.

“Kenapa kamu bisa begitu nyaman berinteraksi dengannya dan bercanda tawa? Harusnya kamu jaga perasaanku. Pantas saja sebelum berangkat ke coffee shop, kamu sempat keukeuh melarangku ikut. Rupanya karena ada Tamara di sana.” Kutegaskan kata-kataku.

Axel menggeleng, “Astaghfirullah, Mah. Aku mesti jelasin gimana kalau aku dan Tamara nggak ada hubungan apapun.”

“Ini bukan sekedar kalian ada hubungan atau tidak. Ini tentang interaksi antara laki-laki dan perempuan non mahram yang menurutku sudah berlebihan. Kamu sudah punya istri, Pah. Harusnya kamu lebih membatasi diri untuk tak akrab dengan perempuan non mahram manapun. Jangankan yang sudah menikah, yang belum menikah juga tak boleh sembarangan berinteraksi dengan perempuan non mahram, apalagi sudah menikah. Ada perasaan yang harus dijaga.”

Okay, Mah. Aku akan lebih menjaga diri. Aku nggak akan sembarang berinteraksi dengan perempuan non mahram.”

Aku sudah terlanjur kesal. Aku masih kecewa padanya. Jadi lebih baik kami saling introspeksi diri saja. Aku merebahkan badanku dan bersiap tidur dengan memunggunginya. Axel ikut berbaring.

“Aku minta maaf, Mah,” ucapnya dengan intonasi yang lebih lembut.

Aku membisu dan tak menanggapi apapun. Malam ini kami tidur saling memunggungi. Hingga akhirnya aku merasa ada yang tak enak dengan perutku. Rasanya mual dan ingin muntah.

Dorongan untuk muntah serasa lebih kuat. Aku melangkah menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutku. Ya Allah, rasanya nggak enak banget dan aku penasaran, sakit apa ini?

******

Sekedar nanya, kalian ingin anak Axel-Adira laki-laki atau perempuan? Kembar apa bukan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro