Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Bertahan

Maaf ya author lagi lelet update-nya. Alhamdulillah bulan puasa, pesanan banyak. Selain itu aku n keluarga juga lagi sibuk persiapan pindahan, kalau orang Jawa bilang "boyongan", jadi emang lagi sibuk ngurusin ini itu, beres-beres ini itu.

Happy reading....

Malam ini aku tidak bisa tidur. Isi pesan whatsapp yang entah dari siapa mengusik pikiranku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Axel. Dia butuh dukunganku, kami saling membutuhkan satu sama lain. Aku tak pernah memaksa Axel untuk memeluk agama Islam, ia yang memutuskan sendiri.

Satu pesan whatsapp kembali masuk. Kali ini Cherise yang mengirim pesan.

Adira, aku boleh mampir ke kontrakan sekarang? Kebetulan aku lewat situ.

Tumben sekali Cherise ke sini malam-malam. Kubalas pesannya.

Iya, mampir aja.

Lima belas menit kemudian, kudengar suara mobil berhenti di depan pintu pagar kontrakan. Aku melirik ke arah luar dari balik tirai. Cherise tidak keluar sendiri. Ia bersama seorang pria paruh baya. Aku sambar kerudung instanku yang kugantung di hanger.

Suara ketukan pintu terdengar membahana. Kudekati pintu dan kubuka pelan. Cherise tersenyum padaku, sedang pria di belakangnya menatapku datar, bahkan cenderung dingin. Siapa pria itu?

“Adira, maaf mengganggu. Aku datang bareng opa aku. Opa ini papanya Axel.”

Perkataan Cherise membuatku tersentak. Sungguh aku terkejut setengah mati. Aku tak pernah menyangka papa Axel akan menemuiku di kontrakan di saat Axel sedang bekerja. Aku mengangguk dan tersenyum padanya tapi papa Axel langsung membuang muka. Ini begitu menyakitkan. Aku bisa melihat bara amarah dan kebencian di matanya.

“Masuk dulu, Cherise, Om...” Aku ingin memanggilnya “Papa” karena pria itu sudah menjadi ayah mertuaku. Namun aku tahu diri, beliau belum mau menerimaku sebagai menantunya, makanya memanggilnya “Om”.

Cherise dan Papa Axel masuk ke dalam. Aku sungguh sungkan dan tak enak karena kami tidak punya kursi tamu. Apakah sopan jika aku mempersilakan ayah mertua duduk di karpet?

“Maaf, kami nggak punya kursi tamu, ada satu kursi di dalam, apa perlu saya ambilkan?” ucapku seraya menunduk.

“Nggak apa-apa, Dir. Aku suka duduk lesehan, kok.” Cherise tersenyum ramah. Ia duduk di karpet tanpa sungkan. Papa Axel ikut duduk tapi dari bahasa tubuhnya sudah terlihat bahwa beliau tampak keberatan duduk di bawah.

“Saya buatkan minum dulu, ya.”

“Tak perlu. Saya cuma ingin bicara sebentar,” sela Papa axel segera.

Aku pun mengangguk dan duduk di hadapan mereka. Rasanya nervous begini. Tidak ada seorang pun yang ingin hubungannya dan ayah mertuanya buruk, aku juga ingin selayaknya menantu yang diakui dan dianggap oleh mertua.

“Kamu sudah baca pesan whatsapp saya, kan?” tanya Papa Axel begitu tegas. Tatapan itu seolah menghunjam dan bara kebencian masih mendominasi.

Rupanya pesan dari nomor asing itu adalah pesan dari Papa Axel. Ia memintaku untuk menjauhi Axel. Kenapa bisa sampai seperti ini?

Aku mengangguk dan tak mampu berkata-kata lagi. Ancaman dalam pesannya begitu menyakitkan dan aku tak akan mundur.

“Saya ke sini untuk membicarakan hal itu. Sebagai orang tua Axel, apalagi setelah mamanya meninggal, saya punya tanggung jawab lebih. Saya ingin dia tetap berjalan di jalur yang benar, jalur yang memang sudah menjadi jalannya sejak ia lahir, bukan mengikuti sesuatu hanya karena menikah atau bahkan kamu yang memaksanya untuk mengikuti agamamu?”

Aku tersentak mendengar kata-katanya yang menusuk. Beliau memiliki prasangka buruk padaku.

“Saya tidak pernah memaksa Axel untuk mengikuti agama saya, Om. Axel memutuskan menjadi mualaf itu murni dari keinginannya sendiri. Tidak ada yang mempengaruhi ataupun memaksanya.”

“Kamu nggak usah banyak alibi. Saya tahu karakter Axel. Dia cukup keras kepala dan bukan anak yang peduli dengan agama. Sejak mengenalmu dia berubah drastis. Memang sebelumnya dia agnostik. Namun sebagai ayah yang baik, saya masih berharap dia akan kembali pada agama lamanya. Saya tidak pernah rela anak saya mengikuti agamamu dan menikah dengan kamu. Jadi tolong, hargai perasaan saya sebagai ayahnya yang telah membesarkannya dari bayi sampai sekarang. Apa ini adil buat saya? Saya menguliahkan dia di sini untuk masa depannya, agar dia bisa menjadi orang yang berguna dan hidup lebih baik. Tiba-tiba dia memeluk agama lain dan malah menikah muda. Bagaimana saya tidak kecewa? Untuk menghidupi diri sendiri saja dia belum mampu, sudah berani menikah. Masa depannya hancur gara-gara kamu. Aku yakin kamu dan keluargamu yang mempengaruhinya!” Papa Axel meninggikan suaranya. Sorot matanya menunjukkan kemarahan yang begitu besar.

Aku terdiam sejenak karena kata-katanya sungguh menyakitkan. Cherise mengusap lengan kakeknya. Aku bisa membaca raut wajahnya yang seolah menunjukkan rasa sungkannya padaku.

“Opa, sabar, Opa. Jangan bicara keras-keras.” Cherise mengusap-usap punggung sang kakek.

Tatapan gahar Papa Axel masih mengarah padaku, begitu menghunus. Aku siapkan mentalku untuk membalas segala tuduhannya.

“Demi Allah, saya nggak pernah memaksanya untuk memeluk agama Islam dan bahkan menikahi saya. Sebenarnya Axel sudah tertarik dengan Islam sejak lama. Sudah lama ia penasaran. Menikah muda itu bukan penghancur masa depan. Justru saat ini kami tengah membangun masa depan bersama. Kami masih punya banyak kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Saya yakin Axel pasti mampu karena dia orang yang bertanggung jawab dan rajin bekerja.”

“Kerja apa?” bentakan keras dari Papa Axel menciutkan keberanianku. Aku tak sanggup membalas lagi.

“Kerja di coffee shop? Berapa penghasilan dia? Apa dia mampu menghidupi dua orang? Membayar kontrakan dan kebutuhan sehari-hari? Kuliah kalian memang mendapat beasiswa, tapi kebutuhan sehari-hari, biaya ini itu juga banyak. Masa depan apa yang sedang kalian bangun? Apa yang bisa dikerjakan oleh orang cacat seperti kamu selain bergantung sama anak saya?”

Kata-kata yang menggelegar itu mencabik-cabik perasaanku. Tak sadar, air mata meleleh begitu saja. Mungkin ini bukan pertama kali ada orang yang terang-terangan meremehkan kami juga membahas kekurangan fisikku. Namun ketika yang mengatakan adalah seseorang yang seharusnya dipanggil “Papa”, rasanya berkali lipat lebih menyakitkan.

“Opa, jangan bicara seperti itu. Adira ini mandiri banget, Pah. Adira bisa mengerjakannya apa yang orang lain kerjakan. Dia bisa main basket, dia juga bekerja di distro.” Cherise melirikku sesekali. Sepertinya ia memahami perasaanku.

Aku kehabisan kata untuk membalas kata-kata Papa Axel. Rasanya juga tidak sopan jika aku terus membalasnya. Apa yang bisa aku katakan? Kenyataan berbicara, kami memang tengah membangun masa depan dengan kondisi yang serba sederhana dan terbatas seperti ini. Apa yang bisa kusampaikan padanya untuk meyakinkannya ketika kami hanya bermodal rasa optimis dan percaya akan kekuasaan Allah? Sementara beliau begitu membenci agamaku. Gaji kami memang tidak besar dan jika memikirkan apa yang belum kami miliki memang terlampau banyak yang belum diraih. Namun kami tak ingin menghitung apa yang tidak kami punya. Kami tak pernah membayangkan sesuatu yang buruk pada masa depan kami meski kami sadar benar, saat ini kami ada di titik bawah. Mungkin hanya kami sendiri yang berkeyakinan bahwa kami dapat menjalani semua ini dan bersama-sama menaiki tangga sementara orang akan bilang sulit dengan kondisi kami yang masih tertatih.

“Saya harap kamu memikirkan permintaan saya. Jauhi Axel dan kembalikan dia pada keluarganya. Kamu bisa meraih masa depanmu sendiri tanpa Axel, begitu juga dengan Axel. Ikatan keluarga itu tidak bisa dihapus. Dan sampai saya mati saya punya tanggung jawab untuk membuat Axel kembali, tidak terus-terusan berjalan di kesesatan.” Papa Axel membulatkan matanya. Ia beranjak dan keluar dari ruangan ini tanpa berkata-kata lagi.

Air mata ini masih menetes. Cherise menggenggam tanganku.

“Maafkan Opaku, Adira. Opa memaksaku untuk mengantarnya ke kontrakan di saat Axel bekerja, karena Opa cuma ingin bicara sama kamu.” Tergambar jelas ekspresi wajah Cherise yang menunjukkan rasa sedihnya.

“Nggak apa-apa, Cherise, aku ngerti.”

Cherise tersenyum.

“Kalian pasti kuat. Aku selalu mencoba bicara sama Opa untuk menerima Axel dan kamu, untuk tidak memaksakan kehendak Axel. Tapi Opa itu orangnya keras kepala,” ucap Cherise lagi.

“Makasih banyak atas dukunganmu, ya. Mudah-mudahan suatu saat Papa Axel mau menerima kami dan menghormati keputusan Axel.”

Cherise mengangguk dan mengulas senyum kembali.

“Aku pamit, dulu, ya, Dir.”

“Hati-hati, Cherise.”

Aku tatap laju mobil itu masih dengan hati yang perih. Tentu aku tak akan meninggalkan Axel. Aku juga percaya Axel bisa istiqomah di Islam dan menjaga kesetiannya untukku. Aku tak bisa menampik, aku sedih karena penolakan dari ayah mertua. Mungkin berharap hubungan kami akan membaik itu seperti menggantungkan asa yang berakhir sia-sia. Namun aku yakin, mudah bagi Allah membolak-balik hati manusia.

******

Axel pulang saat aku bersiap untuk memejamkan mata. Alhamdulillah tak ada yang lebih membahagiakan selain menyambut suami pulang dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Setelah ia membersihkan diri di kamar mandi dan berganti baju, dia merangkak naik ke ranjang, mendekat padaku yang tengah duduk selonjoran.

Axel mengusap pipiku dan memberikan kecupan di kening serta pipiku. Terakhir, ia mencumbu bibirku. Bisa kurasakan napasnya yang semakin memburu. Mungkin malam ini ia menginginkan sesuatu, mengingat malam-malam kami sebelumnya belum pernah berhasil mengoyak sesuatu yang sudah aku jaga sekian tahun. Aku tahu dia penasaran, begitu juga denganku, tapi sungguh aku sendiri tak mengerti kenapa selalu gagal.

Kulepaskan ciumannya dan kutatap dia tajam. Axel menatapku balik. Sesaat ia mengernyit seakan bisa membaca apa yang tertulis di wajahku.

“Kamu kenapa? Kayak menyembunyikan sesuatu.” Axel selalu tahu kapan aku baik-baik saja, kapan aku merasa ada yang tak baik.

“Tadi papamu ke sini bareng Cherise.”

Axel melongo. Ada keterkejutan yang begitu besar di matanya.

“Papa ke sini? Ngapain Papa ke sini dan kenapa dia nggak ngubungi aku dulu?” Axel menatapku dengan tatapan tertajam.

Aku bingung. Haruskah kuceritakan dengan jujur? Kami harus saling terbuka satu sama lain.

“Papa memintaku untuk meninggalkanmu. Papa masih berharap kamu kembali ke agama yang lama, kembali pada keluarga.”

Axel kembali mengernyit.

“Papa bilang begitu? Aku sudah bilang aku sudah mantap memeluk agama Islam dan aku nggak habis pikir papa sampai meminta kamu menjauh dariku.”

Aku tak tahu harus merespons apa. Axel menggenggam tanganku.

“Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?” wajahnya terlihat memelas.

“Gimana aku tega ninggalin kamu? Aku berharap kita akan terus sama-sama sampai Jannah, aamiin.”

Axel tersenyum.

“Aamiin, Aku takut kamu terpengaruh omongan Papa.”

Aku membisu sesaat. Kutatap Axel lembut.

“Gimanapun perlakuan Papa ke kita, kita tetap harus menghormatinya. Dan mungkin kita perlu silaturahim menemui Papa, Pah. Mumpung Papa lagi di Purwokerto.”

“Apa kamu yakin, Papa mau ketemu sama kita? Tadi aja ke sini saat aku nggak ada. Papa sengaja datang saat aku nggak ada karena memintamu untuk menjauh dariku. Aku nggak siap ketemu Papa, Mah.”

Kutangkup dua pipi Axel, “Pah, coba dulu aja. Kita belum mencobanya, kan? Barang kali kalau Papa bicara langsung sama kamu, Papa akan luluh.”

Axel melirik ke ujung lain lalu memusatkan penglihatannya padaku.

Okay...”

Aku tersenyum, “Alhamdulillah...”

Axel menatapku dengan sorot mata yang tak setegang tadi. Dia menyila rambutku ke belakang telinga.

“Mah, kalau bulan puasa, boleh nggak sih... Ehem-ehem?”

Aku tertawa kecil, “Ehem-ehem apa?”

Axel mencubit pipiku gemas, “Pura-pura nggak tahu, nih...”

Aku tertawa sekali lagi.

“Kalau malam kan nggak puasa, ya boleh. Kalau siang baru nggak boleh.”

“Yuk...” ujar Axel.

“Yuk apa?” aku mencoba meledeknya.

“Ih... Gemes...” Axel mencubit pipiku sekali lagi.

Wajahku mungkin sudah semerah kepiting rebus.

Axel tersenyum cerah. Kami beradu pandang untuk sekian detik. Tanpa aba-aba Axel langsung menyergapku. Dan aku pun larut dalam permainan panas  yang ia ciptakan. Mudah-mudahan malam ini menjadi malam keberhasilan untuk kami.

******

Axel sudah menghubungi papanya, dia ingin bertemu, tapi papanya enggan bertemu dengannya. Malah sang papa sudah kembali ke Jakarta. Kami bisa berbuat apa? Yang penting kami sudah berusaha untuk menyambung kembali tali silaturahim tapi papa Axel belum mau menerima kami.

Hari ini kami berkunjung ke rumah Ayah Bunda. Rasanya kangen ingin bertemu mereka dan adikku. Di jam ini kemungkinan, Adika belum pulang sekolah. Yang mengejutkanku, saat kami tiba di sana, ada Budhe Maulid yang sedang membantu Bunda masak. Kadang ada rasa yang tak bisa aku jelaskan saat bertemu Budhe Maulid. Beliau sering kali berkata pedas. Aku harap di bulan puasa ini, tutur kata beliau lebih terjaga.

Aku bersyukur usaha orang tuaku semakin berkembang. Bahkan ayah sudah mampu membeli mobil untuk mengangkut pesanan catering yang di bulan Ramadhan ini semakin membludag untuk catering buka puasa bersama baik pesanan instansi maupun untuk buka bersama di Masjid-Masjid. Sepertinya orang tuaku memilih fokus di bisnis catering. Mereka juga menerima catering untuk resepsi hajatan.

Aku dan Axel membantu mengiris wortel di dapur. Dapur rumah ini cukup luas. Selain Budhe Maulid, ada tiga orang yang membantu masak. Ayah yang meracik bumbunya. Harus kuakui masakan Ayah itu memang juara.

“Dira udah ada tanda-tanda isi belum?” pertanyaan Budhe membuatku sedikit tersentak. Aku dan Axel berpandangan.

Tiba-tiba keberhasilan malam romantis kami semalam melintas di benak. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas aku merasa lega, bahagia karena aku merasa telah menjadi wanita Axel seutuhnya. Dan bisa dibilang itu adalah gerbang awal untuk memiliki buah hati.

Aku menggeleng, “Belum, Budhe.”

“Lebih baik kamu KB dulu, Dir. Jangan buru-buru hamil. Kalian masih pada kecil-kecil mending fokus kuliah, kerja, kalau ada anak nanti repot. Budhe kasihan aja bayangin kamu masih kecil gini, terus datang ke kampus dengan perut gedhe, dilihatin teman-teman kamu. Yang lain masih pada bebas, kamu udah hamil. Kan malu. Belum kalau bayinya lahir, makin repot dan bisa-bisa kuliahmu terbengkelai.” Budhe nyerocos tiada henti. Ternyata meski puasa sekalipun, omongannya masih saja nyinyir dan pedas.

“Ya, kalau Dira hamil, ya nggak apa-apa. Ada suaminya. Kalau nggak ada suami, baru malu.” Ayah yang tengah mengulek bumbu menanggapi kata-kata Budhe Maulid. Aku merasa terbantu dengan tanggapan Ayah.

“Tapi mereka masih kecil-kecil gini. Aku aja yang nggak nglahirin Adira, nggak tega bayangin Adira hamil terus repot mengurus bayi,” ketus Budhe.

Atmosfer selalu terasa tak menyenangkan jika sudah ada Budhe di tengah-tengah kami.

“Kecil-kecil gimana? Orang udah pada nikah, udah tahu caranya bikin anak,” tandas Ayah disusul tawa dari Bunda dan Budhe.

Aku dan Axel kembali bertatapan. Mungkin wajahku sudah memerah saat ini.

“Ngomong sama kamu mah susah,” balas Budhe.

“Mbak, kalau saya sama Mas Bayu mah seneng-seneng aja semisal Adira hamil. Itu sudah kodratnya. Insya Allah saya akan membantu mengurus cucu nanti, yang penting Adira tetap kuliah.”

Aku senang, Bunda turut membela kami.

“Tapi Axel ini pekerjaannya belum mapan. Biaya banyak. Apalagi kalau anak udah sekolah.” Budhe Maulid masih saja membahas kondisi perekonomian kami yang belum mapan.

“Rezeki Allah yang atur Mbakyu... Kemapanan itu hanya soal waktu. Namanya juga baru menikah ya wajar, ibarat bayi masih merangkak. Insya Allah lama-lama kehidupan mereka akan lebih baik.” Ayah melirikku dan tersenyum. Dukungannya begitu berarti untukku.

Aku tatap Axel yang diam terpekur. Kuulas senyum untuk memberinya support. Axel membalas senyumku. Kami akan selalu saling menguatkan. Nyinyiran atau cemoohan itu pasti ada, tapi aku dan Axel tak akan memedulikan komentar negatif apalagi jika menyangkut kemapanan. Allah Maha Kaya... Selama kita berusaha dan berdoa, kita punya akal, dan kemampuan untuk bekerja, maka tak perlu risau. Rezeki sudah diatur dan kita tak boleh menyerah untuk menjemputnya. Dan kami akan bertahan apapun yang akan kami hadapi ke depan.

******

Btw setuju gak, cerita mereka nanti akan diwarnai kehadiran bayi? Dulu pernah sih gambarin sedikit pasutri nikah muda yg rempong ngurus bayi di cerita Nikah Muda, tapi cuma dikit dan cerita Nikah Muda dipindah ke dreame. Jelas beda sih konflik n konsepnya. Di Nikah Muda itu L & Amber hidup berkecukupan, kalau Adira & Axel ini bener2 gambarin pasangan yang mengawali semua dari nol.

Oya ini ada cover dari putrimaulidiyani

Yang ini dari jwtdmynti

Makasih banyak ya untuk covernya 😍😊❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro