Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Indahnya Berbagi

Axel duduk di sebelahku setelah sebelumnya ke kamar mandi. Aku tersenyum padanya dan kuserahkan ponselnya.

“Tadi ada WA dari Egi...”

Axel membaca pesan whatsapp itu. Dia menatapku.

“Egi ini satu komunitas agnostik. Dulu dia seorang muslim. Sekarang antipati sama Islam. Sebenarnya aku kasihan juga sih. Dia dapat nikmat Islam sejak kecil, terlahir dari keluarga muslim yang taat, tapi memutuskan murtad saat remaja. Pernah aku ngajak dia buat kembali ke Islam, tapi tak mudah untuk mengetuk hatinya lagi. Aku masih berusaha untuk meyakinkannya, sama kayak usaha dia yang selalu memprovokasiku untuk meninggalkan Islam.”

Aku speechless mendengarnya. Bahkan ketika kita terlahir dari keluarga muslim yang taat sekalipun, belum tentu nikmat Islam itu akan dirasakan hingga akhir hayat. Pondasi agama yang kuat menjadi salah satu langkah untuk tetap Istiqomah. Dan hidayah itu bukan hanya untuk dijemput oleh orang yang jauh dari agama. Untuk orang-orang yang menjalankan kewajibannya sebagai muslim pun harus mengusahakan untuk selalu menjemputnya agar tetap istiqomah dan terus memperbaiki diri.

“Mudah-mudahan suatu saat dia kembali pada Islam,” ucapku sembari melempar senyum padanya.

“Aamiin.”

Aku ingin menanyakan perihal pesan whatsapp yang dikirimkan papa Axel, tapi rasanya agak sungkan. Namun aku berhak untuk menanyakannya karena aku sudah menjadi istri Axel. Urusan keluarga Axel dan papanya, menjadi urusanku juga.

“Oya, Pah, tadi aku baca pesan whatsapp papamu. Maaf kalau aku lancang bacanya. Aku salut dengan keistiqomahanmu.”

Axel menaikkan alisnya. Dia menganga sekian detik. Mungkin dia tak menyangka jika aku membaca pesan itu.

“Aku butuh dukunganmu untuk terus istqomah, Mah. Hingga detik ini papa belum bisa menerimaku.”

Kuanggukan kepalaku, “Tentu aku akan selalu mendukungmu. Tetap berdoa untuk papa. Meski berbeda agama, kamu harus tetap menghormati papa dan memperlakukannya dengan baik. Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik pada orang tua.”

Axel mengangguk, “Ya, aku selalu mengusahakan untuk memperbaiki hubungan kami. Aku yakin suatu saat papa pasti bisa menerimaku.”

“Aamiin. Oya, Pah, karena ini puasa pertama distro tutup. Katanya sih biar karyawan bisa menjalani puasa pertama bareng keluarga. Udah gitu distro bakal buka cuma pagi sampai sore aja. Biar karyawan bisa fokus ibadah. Malamnya kan bisa fokus tarawih. Nanti aku bakal ngatur jadwal sama Vida, kita akan gantian jaga distro disesuaikan jadwal kuliah. Alhamdulillah Mas Revan pengertian banget. Sebenarnya dia bisa aja nyari karyawan lain yang benar-benar bebas, bukan mahasiswa. Tapi Mas Revan udah percaya sama aku dan Vida, jadi nggak akan ganti karyawan.”

Axel mengangguk, “Bagus, Mah. Coffee shop selama bulan Ramadhan juga bukanya malam setelah tarawih. Jadi aku punya kesempatan buat buka puasa bareng Mamah dan tarawih juga. Alhamdulillah owner coffee shop orangnya taat juga ibadahnya. Jadi dia lebih mementingkan untuk fokus ibadah. Soal rezeki, dia nggak takut rezekinya akan terpangkas karena dipotong waktu jualannya buat ibadah. Dia nggak mau kehilangan Ramadhan begitu saja. Sibuk ngejar uang tapi ibadah dikesampingkan. Apalagi Ramadhan cuma datang setahun sekali.”

Alhamdulillah banget ya, Pah, kita punya atasan-atasan yang pengertian dan mementingkan ibadah. Jarang-jarang atasan seperti itu. Punya atasan yang baik itu juga rezeki. Rezeki nggak cuma melulu soal materi.”

“Papah... Mamah....”

Aku dan Axel sedikit kaget mendengar panggilan lantang dari teman-teman.

Syifa, Luna, Dito, dan Devano berjalan ke arah kami.

“Kalian di sini rupanya. Mentang-mentang udah halal, mojok terus,” Dito meledek dan tertawa cekikikan.

“Kami habis sholat Dhuhur tadi. Ada apa nih?” kuedarkan pandanganku menyapu satu per satu temanku.

“Nanti sore kalian ada kegiatan, nggak? Kita mau bagi-bagi makanan gratis di jalan, untuk para pengendara, menjelang buka puasa. Makanannya itu kolak sama nasi bungkus. Kalian mau ikut nggak? Nanti cewek-ceweknya masak bareng di rumah Januar. Rumah dia kan luas, sudah siap peralatannya juga,” ucap Syifa dengan wajah berbinar.

“Wah, idenya bagus banget. Ini bisa jadi cara untuk bersedekah juga. Hari ini aku libur kerja. Axel juga kerja jam delapanan, jadi insya Allah kami bisa ikut.” Aku tersenyum melirik Axel.

“Mau ikutan kan, Pah?” tanyaku.

Axel tersenyum lebar, “Boleh... Ini kegiatan positif. Daripada cuma tiduran atau main game, lebih baik kita melakukan kegiatan positif.”

“Jam kuliah kan kosong, nih. Tadi Pak Heru WA Januar, nggak berangkat. Jadi kita bisa langsung masak. Kita iuran buat beli bahan-bahannya, terus kita ngumpul di rumah Januar buat masak. Uang untuk beli bahannya juga diambil dari uang kas. Uang kas kita kan cukup banyak,” Luna menjelaskan dengan rinci.

Okay, siap,” ujar Axel lantang, disusul anggukan setuju dari yang lain.

******

Sepulang dari kampus, ada sepuluh anak yang berkumpul di rumah Januar. Aku, Axel, Luna, Syifa, Dito, Devano, Januar, Kenzie, Sesha, dan Shelly akan mewakili teman-teman satu kelas untuk menyiapkan segala makanan yang akan dibagikan pada pengendara jalan.

Para cowok bertugas membeli bahan-bahan. Para cewek bertugas memasak. Tapi tidak menutup kemungkinan juga para cowok akan membantu kami memasak. Orang tua Januar begitu ramah menyambut kami. Bahkan Mama Januar juga ikut membantu menyiapkan segala sesuatu. Rasanya sangat menyenangkan bisa kompak bareng teman-teman melakukan sesuatu yang positif di bulan Ramadhan.
Kami akan membuat kolak dan nasi bungkus. Sebelumnya kami mencari-cari resep kolak, sayur tumis, dan telur balado. Alhamdulillah, Mama Januar banyak memberikan arahan.

“Aduh perih...” Sesha mengerjap berkali-kali menahan perih saat mengiris bawang merah.

“Gitu aja perih... Ketahuan nih nggak pernah masak,” cibir Dito.

“Tapi asli ini perih banget... Aku ngiris sayuran aja, lah.” Sesha meletakkan pisau itu. Ia menyerah.

“Payah, sini biar aku yang ngiris bawang.” Dito bergeser posisinya menggantikan posisi Sesha, sedang Sesha bergantian mengiris wortel.

“Dari cara mengiris sayuran, kayaknya kelihatan nih siapa yang suka masak sama nggak. Jelas Mamah yang paling terampil,” Devano melirikku.

Meski tak punya jari, aku bisa mengiris sayuran tanpa kesulitan berarti.

“Mamah mah hebat. Udah nikah juga sih, jadi rajin masak,” Luna menimpali.

“Berarti rata-rata perempuan baru bisa masak itu setelah menikah, ya?” Kenzie mengernyitkan alis.

“Nggak juga, sih. Banyak juga yang udah pada rajin atau minimal bisa masak sederhana sebelum nikah. Aku dulu waktu belum nikah, sesekali belajar masak. Ayah bundaku kan usahanya jualan makanan. Aku suka bantuin juga. Tapi memang kemampuan masak aku makin berkembang setelah menikah.” Aku menyapu pandangan pada teman-temanku.

“Mungkin karena setelah menikah, ada suami yang dimasakin ya jadi semangat belajar masak,” Shelly tersenyum.

“Kapan aku punya suami yang bisa dimasakin? Mata perih karena ngiris bawang juga nggak masalah, asal masak untuk suami tercinta.” Sesha tersenyum cerah dan menangkup kedua pipinya.

“Yang ngebet nikah tapi nggak punya calon,” Januar tertawa cekikikan.

“Tiap lihat Papah Mamah mah bawaannya pingin nikah muda,” seloroh Sesha seraya melirikku.

“Mamah sama Papah mah couple goal banget hehehe.” Gantian Devano yang meledek.

“Ciye... Ciye....” Dan sekarang semua teman meledek kami.

Aku dan Axel hanya senyum-senyum dan sepertinya wajahku memerah. Kami sudah biasa diledek seperti ini. Bahkan kami sudah biasa diledek sebelum menikah.

Aku salut pada teman-temanku yang menyediakan waktu untuk ikut memasak. Jika melihat latar belakang mereka, mereka ini berasal dari keluarga yang berkecukupan. Beberapa bahkan bisa dibilang anak orang berada yang punya jabatan atau kedudukan penting. Dan mereka mengakui kalau di rumah, mereka jarang atau malah nggak pernah bantu-bantu di dapur atau membersihkan rumah. Apalagi teman-teman cowok. Mereka jarang banget peduli pada life skill seperti ini. Padahal sebenarnya life skill dasar itu penting karena sangat bermanfaat. Ada masanya kita harus belajar mandiri, mengerjakan tugas-tugas dasar sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

Suasana masak bersama ini cukup riweh tapi menyenangkan. Kebersamaan ini aku harapkan akan selalu terjaga sampai nanti kami wisuda dan menjalani kehidupan kami masing-masing. Persahabatan sejati itu tak akan lekang oleh waktu.

Selesai memasak, kami sholat Ashar di Masjid dekat rumah Januar. Setelah itu kami kembali ke rumah atau kost masing-masing untuk mandi dan bersiap-siap turun ke jalan, membagikan makanan pada pengendara.

Aku senang melihat Axel bersemangat menjalani aktivitas ini. Katanya waktu seolah berjalan lebih cepat dan ia lupa pada rasa lapar dan hausnya.

Kami semua berkumpul di kampus sebelum berpencar di beberapa titik untuk membagikan makanan dan minuman gratis. Aku dan Axel ditempatkan di lokasi yang sama. Menjelang buka puasa, suasana jalan cukup padat. Banyak kendaraan berlalu lalang. Mungkin saja para pengendara ini tujuannya sama, hunting menu untuk berbuka karena banyak sekali penjual makanan yang berjualan di pinggir jalan.

Aku dan teman-teman membagikan makanan saat lampu merah menyala. Senyum dari pengendara dan ucapan terima kasih menjadi penawar dari rasa capai setelah sebelumnya memasak. Bahkan lelah itu tidak terasa karena kami mengerjakan dengan ikhlas.

Semua makanan sudah dibagikan. Untuk mahasiswa yang turun ke jalan juga mendapatkan satu box nasi dan lauk dari hasil praktik masak kami. Kalau yang ini, mamanya Januar yang khusus menyediakan bahan-bahan dan membantu memasak menu buka puasa kami. Keramahan dan sikap hangat Mama Januar mengingatkanku pada bunda. Rasanya aku kangen rumah. Axel bilang, saat nanti dia libur kerja, kami akan main ke rumah ayah dan bunda.

******

Kami tiba kembali di kontrakan setelah menyelesaikan kegiatan. Selanjutnya kami bersiap untuk berangkat tarawih. Ini akan menjadi moment pertamaku sholat tarawih di Masjid bersama suami. Jangan ditanya rasanya seperti apa, Alhamdulillah bersyukur luar biasa.

Seusai tarawih, kami kembali ke kontrakan. Axel akan beristirahat sebentar, setelah itu berangkat ke coffee shop. Dia masih bersemangat. Sebenarnya aku tak ingin ditinggal kerja, tapi bagaimana lagi, sudah menjadikan kewajiban suami untuk mencari nafkah.

“Gimana rasanya tarawih, Pah?” kutanya Axel yang tengah menyiapkan barang yang akan dia bawa ke tempat kerja. Handphone, charger hape, juga sebotol air.

“Seru, Mah. Jujur tadi sempat mikir, kapan ya ini selesainya? Kok lama?”

Aku tertawa, begitu juga dengan Axel.

“Wajar kalau kamu merasa lama, ini pertama kali kamu tarawih. Yang udah biasa aja kadang meggerutu lama. Tapi kamu ikhlas, kan?”

Axel mengangguk, “Aku ikhlas, Mah. Malah seneng juga punya kesempatan untuk ngrasain gimana rasanya tarawih itu. Dulu sebelum mualaf, aku heran teman-temanku yang muslim lama sholatnya. Setelah dijelaskan aku baru tahu.”

Aku tersenyum tipis. Axel mengenakan jaketnya.

“Mah, aku berangkat dulu, ya.”

Kuanggukan kepalaku. Aku raih tangannya, kujabat, dan kucium tangannya. Axel mendaratkan kecupan di kening, pipi, dan terakhir ciuman singkat di bibirku.

“Hati-hati, sayang. Jangan lupa kasih kabar kalau udah sampai.”

Axel mengangguk dan mengusap pipiku.

“Kamu juga hati-hati di kontrakan. Aku sebenarnya nggak ingin ninggalin kamu malam-malam, tapi saat ini kerjaan memang hanya bisa dikerjakan malam. Kalau nanti udah masuk semester-semester akhir, aku bisa ambil kerja siang biar malam udah bisa di kontrakan.” Axel menatapku dengan binar matanya yang begitu teduh.

“Nggak apa-apa, Pah. Di sini insya Allah aman.”

“Ya, udah aku berangkat dulu, Mah. Assalamu'alaikum

Wa’alaikumussalam.”

Axel menaiki motornya dan melaju meninggalkan pelataran kontrakan. Aku masuk ke dalam, mengunci pintu, dan bersiap untuk tidur. Rasanya sangat mengantuk. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku buka satu pesan whatsapp dari nomor asing.

Tolong tinggalkan Axel. Aku yakin kamu telah mempengaruhi Axel untuk memeluk agamamu dan meninggalkan keluarganya! Biarkan dia kembali pada keluarganya dan jangan paksa dia untuk memeluk agamamu!

******

Udah dulu. Mau ngerjain pesanan. Mohon maaf kalau slow update.

Sebenarnya ada sumbangan cover dari pembaca tapi file-nya ternyata belum didownload yang satunya. Padahal perasaan udah didownload. Ini mau download, Instagram eror, nggak bisa munculin berita sama ga bisa buka inbox.

Nanti klo udah bisa save gambar, aku tampilin lagi di sini.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro