22. Istiqomah
Dini hari ini aku dan Axel sibuk memasak di dapur. Banyak aktivitas sederhana yang bisa dilakukan bersama untuk semakin menghangatkan hubungan, termasuk memasak bersama. Hari ini akan menjadi puasa pertama untuk Axel. Tak terasa Ramadhan telah tiba, kami menyambut Ramadhan dengan suka cita. Axel begitu bersemangat dan sebelumnya sudah membaca banyak artikel tentang puasa juga bertanya padaku atau ustadz.
Axel berdiri di sebelahku, sedang aku tengah mengaduk-aduk nasi.
“Kecapnya kurang nggak, ya?” tanyaku sembari menoleh Axel.
“Udah cukup kayaknya,” timpal Axel.
Kumatikan api lalu menuang nasi goreng ke dua piring. Nasi goreng tersebut dicampur telur yang diorak-arik dan potongan sosis. Saat menata nasi di piring, aku menambahkan potongan timun, tomat, dan selada. Satu toples kerupuk juga sudah disiapkan.
“Alhamdulillah udah jadi, yuk kita makan,” ucapku ceria.
“Ayo,” balas Axel bersemangat.
Kami makan lesehan dengan menggelar karpet. Meski sahur dengan menu yang sederhana, tapi rasa syukur dan bahagia karena menyambut Ramadhan sebagai suami istri itu tak berkurang sedikit pun.
Seusai makan kami berbincang sembari menunggu adzan Subuh. Axel membaca-baca buku tentang puasa.
“Mah, puasa itu manfaatnya banyak ya buat kesehatan. Bisa untuk detoksifikasi. Dari artikel ini disampaikan bahwa makanan olahan yang kita konsumsi mengandung zat tambahan yang bisa jadi racun kalau nggak sering dikeluarkan. Racun ini disaring hati, tapi hati saja nggak cukup untuk benar-benar membersihkan racun. Makanya kita diperintah puasa wajib sebulan penuh, sekali dalam setahun sama Allah, itu hikmahnya untuk membersihkan racun di tubuh kita. Racun sebagian besar disimpan di lemak. Pas kita puasa, lemak itu dibakar. Bisa untuk menurunkan berat badan juga, ya, Mah.” Axel membaca apa yang tertulis di buku.
“Iya, selain itu organ pencernaan juga kerjanya jadi nggak terlalu berat. Sebelumnya kan kita makan setiap hari dari pagi, siang, malam, belum lagi ngemil di luar jam makan, nah di bulan puasa ini, waktu makan kita digeser, jadi dua kali, sahur dan buka puasa. Siangnya organ pencernaan bisa istirahat.” Aku mencoba menanggapi.
“Tapi fungsi fisiologis itu tetap berjalan normal, kan? Termasuk produksi sekresi. Apa nggak kekurangan cairan, ya, Mah?” Axel mengelus dagunya.
Aku tersenyum, “Nggak akan kekurangan cairan, Pah, karena kan berlangsung pada tingkat yang lebih rendah jadi cairan akan terjaga keseimbangannya. Allah itu tahu kok apa yang terbaik untuk kita. Tidak ada aturan agama yang tujuannya untuk mencelakakan manusia.”
Axel mengernyitkan dahi. Sepertinya ada banyak pertanyaan yang masih bercokol di kepala.
“Terus kalau semisal ada yang sakit dan harus minum obat dan obat ini nggak bisa dilewatkan, jadi aturan dari dokter harus diberikan di jam-jam puasa itu gimana, Mah?”
“Kalau kondisinya seperti itu, maka ada keringanan yang diberikan. Dia boleh tidak berpuasa dan mengganti puasanya di waktu lain, setelah sembuh dari sakitnya. Dan kadang memang ada keadaan sakit, di mana keadaannya semakin lemah jika dibawa berpuasa, karena selain harus minum obat juga tubuh butuh asupan yang cukup. Kita juga nggak boleh menzalimi diri sendiri."
Melihat Axel begitu antusias bertanya soal ini, rasanya aku ingin berbagi sedikit dari yang aku tahu.
“Ada orang-orang yang diberikan keringanan untuk nggak puasa. Pertama orang yang sakit. Kalau cuma sakit ringan, misal pilek, ya nggak apa-apa berpuasa. Tapi kalau dengan berpuasa dikhawatirkan bertambah parah atau lama sembuh jika berpuasa, dia diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Nanti dia mengqodho atau mengganti puasanya di hari lain. Semisal ada sakit yang tak kunjung sembuh, dia boleh tidak berpuasa dan cara membayar puasanya dengan membayar fidyah. Fidyah itu memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Begitu juga dengan orang tua yang lemah, yang sudah lanjut, dan kondisinya sangat lemah, tidak memungkinkan untuk berpuasa, maka dia boleh tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah.”
Axel manggut-manggut.
“Lalu ada lagi yang boleh tidak berpuasa. Musafir atau orang yang melakukan perjalanan jauh boleh nggak puasa kalau puasa ini memberatkannya atau dia mengalami kesulitan yang tidak memungkinkan untuk berpuasa. Dia wajib mengqodho di hari lain. Wanita hamil dan menyusui juga diberi keringanan tidak berpuasa. Kalau yang ini penjelasannya agak panjang.” Aku mengambil napas lalu mengeluarkannya perlahan.
“Untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila berpuasa, maka dia wajib mengqodho di hari lain ketika sudah sanggup berpuasa. Cuma mengqodho saja tanpa fidyah. Kedua, untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan dirinya dan bayinya, boleh tidak berpuasa dan sama kayak yang pertama tadi, ia wajib mengqodho tanpa fidyah di hari lain jika telah sanggup berpuasa. Ketiga untuk wanita yang hanya mengkhawatirkan bayinya saja, sedang ia mampu berpuasa, dengan catatan bukan berdasar pekiraan lemah, tapi ada dugaan kuat bahwa puasa dapat membahayakan bayinya, atau sudah dicoba berpuasa dan memang berbahaya bagi bayinya, atau karena diagnosa dokter, maka ada perselisihan pendapat ulama tentang cara membayar puasanya. Yang pertama pendapat yang mengatakan bahwa wanita hamil tersebut wajib mengqodho saja tanpa fidyah, pendapat kedua mengatakan wajib membayar fidyah saja, sedang pendapat ketiga mewajibkan mengqodho juga membayar fidyah.”
Axel tersenyum lebar, “Mantap deh penjelasannya. Kalau ada perbedaan pendapat ulama gitu, sebaiknya ambil pendapat yang mana dan gimana sih cara nyikapi perbedaan kayak gitu?”
“Ya silakan mau ambil yang mana, yang sesuai apa yang diyakini. Untuk menyikapi perbedaan seperti ini harusnya disikapi dengan bijak, saling menghargai karena masing-masing pendapat ada dalilnya. Yang pasti Islam itu nggak memberatkan. Jika yang belum tahu hikmah positif dari berpuasa serta nggak tahu soal keringanan ini kadang menganggap Islam itu memberatkan. Kita yakini saja semua aturan dalam agama itu tidak akan mencelakakan manusia, tapi justru untuk kebaikan manusia itu sendiri.”
Axel mengangguk, “Iya, Mah. Dulu aku pun berpikir demikian. Kenapa sih orang Islam harus puasa Ramdhan, nggak makan, nggak minum, waktu makannya cuma saat sahur dan buka aja. Tapi setelah banyak bertanya dan membaca, aku jadi paham.”
“Mudah-mudahan puasa kita lancar, ya, Pah. Apalagi ini puasa pertamamu.”
“Aamiin. Mudah-mudahan nanti aku kuat puasanya, ya, Mah.”
“Insya Allah, Pah. Moga nggak cuma dapat lapar dan dahaga saja. Karena puasa itu nggak cuma menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan hawa nafsu, harus banyak bersabar.”
Axel mengangguk. Aku senang, semakin hari, dia semakin semangat belajar. Aku harap keistiqomahannya akan tetap terjaga.
Adzan Subuh berkumandang dengan merdunya, terbitkan ketenteraman dan ketenangan yang menyusup hingga ke hati. Axel bersiap sholat Subuh di Masjid. Aku sudah sering melihatnya berpamitan menuju Masjid. Namun tetap saja, setiap kali melihat langkahnya keluar kontrakan menuju Masjid, ada rasa haru yang menyeruak, membuatku bersyukur berulang kali karena Allah mengirimkan seorang imam yang meski baru memeluk Islam, tapi semangat belajarnya luar biasa. Apa yang dia pelajari, dia berusaha untuk mengamalkannya.
Hari ini kami kuliah seperti biasanya. Alhamdulillah teman-teman sekelas tetap bersemangat meski hari ini kami ada jadwal tiga mata kuliah. Menurutku, tetap beraktivitas di bulan puasa justru membuat kita tetap semangat dan tak lemas, waktu juga rasanya berjalan cepat.
Setelah sholat Dhuhur aku dan Axel duduk-duduk di taman kampus sembari menunggu kelas berikutnya.
“Haus, ya, Mah.” Axel mengibas kerah kemejanya. Siang ini memang begitu terik.
“Sabar, Pah. Ditahan hausnya.” Aku mencoba memberinya semangat. Aku bisa membayangkan, Axel yang belum pernah berpuasa, hari ini harus berpuasa sampai Maghrib nanti. Tentu tak mudah untuknya.
“Iya, Mah. Kalau nahan lapar, aku masih sanggup. Tapi nahan haus ini rasanya berat banget, ya. Bismillah... Moga dikasih kekuatan sampai nanti Maghrib.”
“Aamiin, semangat dong, Pah.”
Axel tersenyum, “Iya, Mah, aku pasti semangat.”
“Mah, aku ke kamar mandi dulu, ya. Pingin pipis.” Axel beranjak dan berjalan menuju kamar mandi yang lokasinya agak jauh dari taman.
Ada suara dari ponsel Axel. Aku ambil ponselnya dari tasnya. Rupanya ada pesan whatsapp dari seseorang bernama Egi. Aku baca isi pesannya.
Bro, gue kangen pemikiran lo yang lama. Logika lo ilang kemana, sih? Kita kehilangan lo. Sekarang lo kayaknya menghindar, nggak mau ngumpul lagi sama kita.
Aku cukup terkejut membaca isi pesannya. Aku coba scroll ke atas untuk membaca pesan lainnya.
Bro, gimana rasanya puasa? Lo mau aja tersiksa nggak makan dan minum. Heran gue sama lo. Hanya karena lo cinta sama cewek Muslim dan pingin nikah sama dia, lo bela-belain masuk Islam.
Entah kenapa, aku agak kesal membacanya.
Aku baca balasan dari Axel.
Gue udah lama tertarik sama Islam. Gue mualaf karena keinginan hati gue sendiri, bukan karena mau nikah sama Adira.
Aku lega membaca jawaban Axel. Egi ini banyak mengirim pesan-pesan memprovokasi Axel untuk kembali menjadi manusia yang tidak beragama. Aku tidak menyukai isi-isi pesan Egi. Kadang Axel membalas dan menjelaskan semuanya. Terkadang Axel mendiamkan. Namun sepertinya Egi ini masih terus berusaha mempengaruh Axel untuk meninggalkan Islam.
Iseng aku cek isi pesan whatsapp lain. Aku tipikal istri yang percaya dan tidak menaruh curiga akan isi ponsel suami yang aneh-aneh. Kami juga terbiasa bertukar ponsel.
Aku cukup terkejut menemukan pesan dari papanya. Aku pikir papa Axel sudah tidak pernah lagi menghubungi Axel.
Aku baca isi chat papanya.
Axel, papa rasa kita tidak perlu lagi berselisih. Papa ingin hubungan kita membaik. Tapi papa mohon, kembalilah ke agama lamamu semasa kecil. Atau silakan memilih agama apa saja asal jangan Islam.
Kalau kamu meninggalkan Islam, papa akan menerimamu lagi. Kamu akan mendapatkan apa yang memang menjadi hakmu. Kekayaan, perusahaan keluarga, mobil, semua akan papa berikan. Asal jangan lagi memeluk agama Islam karena papa sangat membenci agama itu.
Papa dengar kamu tinggal di kontrakan kecil, yang bahkan mungkin tidak lebih luas dari kamar tidurmu di rumah ini. Papa kasihan sama kamu. Setelah kamu memeluk Islam justru kesulitan finansial. Apalagi kamu menikahi seseorang dari keluarga sederhana dan juga punya cacat. Buka logikamu Axel. Buka hati kamu. Apa yang kamu dapatkan setelah memeluk Islam?
Membaca isi chat papa Axel rasanya sangat menyesakkan. Namun aku lega membaca balasan Axel.
Axel sudah mantap memeluk Islam, Pa. Di mata Axel, Papa tetaplah papa Axel. Axel juga ingin hubungan kita kembali baik. Jika Papa mensyaratkan Axel untuk meninggalkan Islam, mohon maaf Axel tidak bisa. Axel akan tetap mempertahankan iman. Keinginan terbesar Axel adalah mati dalam keadaan beriman, mati tetap sebagai Muslim. Axel nggak menginginkan kekayaan dari Papa. Axel cuma berharap Papa menghargai pilihan Axel dan tetap menerima Axel meski Axel telah memeluk agama Islam. Islam itu indah, Pa. Jangan membenci sesuatu jika Papa belum tahu banyak tentang sesuatu yang Papa benci. Islam agama yang penuh kasih sayang dan cinta damai. Terima kasih Papa udah menghubungi Axel. Axel bahagia sekali, Pa. Axel harap, komunikasi dan ikatan keluarga kita dapat terjalin lagi.
Papa Axel membalas dengan kata-kata pedas.
Baiklah jika itu sudah jadi keputusanmu. Itu artinya kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi. Papa nggak akan menerimamu selama kamu masih memeluk agama Islam.
Aku terharu membaca kata demi kata yang Axel ketik. Aku berdoa agar Allah selalu menjaga langkahnya dan menguatkan hatinya agar tidak mudah tergoda bujuk rayu dunia. Aku harap dia istiqomah. Aku terharu, bagaimana seseorang yang dulu antipati dengan ajaran agamaku, kini menjadi seseorang yang begitu mencintai agama ini dan sudah mantap untuk tetap beragama Islam meski banyak godaan yang mengajaknya untuk meninggalkan Islam. Aku bangga padanya. Namun entah kenapa Axel tidak bercerita tentang isi pesan ini.
Aku lihat Axel berjalan ke arahku. Aku ingin membicarakan soal ini dengannya. Aku ingin memberinya dukungan bahwa dia sudah mengambil langkah yang benar.
******
Part pendek aja. Selama puasa, aku sering up pendek. Waktunya terbatas haha. Next akan ada yg manis2 lagi antara Axel-Adira. Up siang jadi nggak ada romantic scenenya hehe.
Cerita ini ringan, tapi tetep aku mesti nyari2 referensi, entah bertanya atau membaca untuk sisipan religinya. Karena di sini Axel kan memang mualaf, jadi ada sisipan religi karena dia baru belajar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro