Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Kesederhanaan

Maaf baru update, semalam ngantuk banget jadi gak ngetik. Ngetik pas abis sahur, nungguin adzan.

Oya untuk tahu daftar ceritaku yang bisa dibaca di wattpad, yang bisa dibaca di dreame, yang sedang on going, termasuk cerita yang hiatus, ada di profilku. Kalau udah lihat daftarnya, insya Allah nanti tahu ada dua cerita yang sedang Hiatus jadi tak perlu ditunggu updatenya.

Cerita yang ada di wattpad ini yang dosen series, saling berkaitan satu sama lain. Saran urutan membaca :
1. Dear Pak Dosen (completed)
2. My Baby, My Strength (completed)
3. Brondong, I'm in Love (completed)
4. Mengejarmu Sampai Halal (completed).
5. Adira (on going)
6. Dear, Pak Dosen 2 (on going)

Btw nggak perlu membandingkan antar cerita ya. Misal lebih suka cerita A dibanding B, ya udah ikuti A, tanpa harus membandingkan dengan B dan tak perlu minta update A di lapak B, begitu juga sebaliknya. Kalau sempat insya Allah di-up. Bulan Ramadhan ini aku emang slow update.

Happy reading...

Aku dan Axel datang ke kampus naik angkot. Motor Axel ada di bengkel karena ada kerusakan yang menyebabkan motornya mogok. Ini pertama kali Axel berangkat ke kampus setelah sebelumnya beristirahat di rumah sampai kakinya sembuh seperti sedia kala.

Ketika kami berjalan beriringan di sepanjang koridor, tak sedikit yang menyapa sekaligus bersorak meledek, "Manten anyar, nih... Pengantin baru." Sepertinya rona merah tengah menghiasai wajahku. Malu sih diledek, tapi tak apa. Kami sudah halal jadi tak perlu malu.

Hal yang tak terduga adalah saat kami berpapasan dengan Mas Sakha. Ia mengulas senyum. Aku dan Axel mengangguk dan tersenyum. Pasca menikah dengan Alea, Mas Sakha terlihat lebih ceria. Aku bahagia dengan pernikahan mereka. Aku selalu melihat chemistry yang kuat diantara mereka.

Setiba di kelas, teman-teman menyambut kedatangan kami dengan ledekan-ledekan khas mereka. Mereka senang melihat Axel kembali ke kelas, tapi yang lebih menarik perhatian mereka justru mengomentari status baru kami sebagai suami-istri.

Dito dan Devano, yang selalu menjadi terdepan untuk urusan meledek orang seolah tiada bosannya meledek Axel habis-habisan.

"Papah, habis nikah auranya beda banget. Kelihatan lebih seger dan cerah," tukas Dito sembari menaikkan alisnya.

Devano tertawa cekikikan, "Maklum sudah ada yang mengurus. Ada yang masakin, ada yang mijitin, ada yang jadi tempat curhat, ada yang kasih semangat. Nggak kayak kamu Dit, selalu kesepian mengenaskan."

Teman-teman yang lain tertawa.

"Gimana sih rasanya menikah muda? Aku pingin..." Sesha memilin rambutnya, menatapku dan Axel bergantian.

Aku dan Axel saling berpandangan.

"Rasanya luar biasa. Iya kan, Mah?" Axel menaikkan alisnya seakan meminta persetujuanku.

Aku mengangguk.

"Aku bersyukur dengan pernikahan ini. Buat aku, menikah itu jembatan untuk beribadah. Ada hadits yang mengatakan bahwa Allah akan memberi pertolongan pada orang yang menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga orang yang akan mendapatkan pertolongan Allah: (1) orang yang berjihad di jalan Allah, (2) orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya, (3) budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya." (HR. An-Nasa'i, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655; Ibnu Majah, no. 2518. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

"Banyak banget sih kebaikan yang aku dan Axel rasakan setelah menikah. Rasanya tak cukup kalau dijabarkan satu per satu. Aku jadi semangat belajar masak, lebih semangat kuliah karena ingin meraih masa depan bersama suami, belajar menghargai pasangan dan memahami, belajar lebih sabar dan dewasa menyikapi persoalan. Dan yang pasti hati jauh lebih tenang dan aman karena ada seseorang yang berjuang bareng-bareng dan menemani saat susah maupun senang," lanjutku.

"Wah, sweet banget, Mamah. Pingin nikah muda juga, deh." Sesha menangkup pipinya sendiri dan mengurai senyum manisnya.

"Kalau hal positif yang Papah dapet apa? Aku jadi ikutan kepo." Luna ikut bergabung dalam obrolan kami.

"Banyak banget, Lun. Yang pasti aku makin semangat belajar agama. Belajar jadi lebih menyenangkan karena ada yang sabar dan telaten membimbing. Aku lebih optimis dan mensyukuri hal-hal kecil yang dulu sering luput dari perhatianku. Mamah selalu meyakinkanku bahwa aku mampu dan dia membangkitkan kembali kepercayaan diriku. Alhamdulillah indah banget yang namanya pacaran setelah menikah. Aku juga jadi lebih semangat kerja karena sekarang ada seseorang yang harus aku nafkahi." Axel melirikku dan mengulas senyum terbaik.

"Ciyeee... Jadi pingin cepat nikah." Januar mengelus dagunya.

"Tuh, nikah sama Sesha. Kayaknya udah ngebet pingin nikah." Dito melirik Sesha.

Sesha membulatkan matanya, "Ngacau kamu."

"Tadi katanya bilang pingin nikah muda?" ledek Dito.

"Iya, tapi kan nggak sama Januar," balas Sesha sedikit sewot.

"Daripada sama ayang bebeb yang katanya udah selingkuh, mending sama Januar. Terbukti...!" jawab Dito seraya menunjukkan ibu jarinya.

"Terbukti apa?" tanya Januar.

"Terbukti setia," balas Dito singkat.

"Aku juga kadang mikir pingin cepet nikah, tapi kayaknya belum siap juga," celoteh Syifa.

"Nikah itu emang harus siap lahir batin, sih. Kalau belum siap, jangan dipaksakan," tukasku segera.

"Kalau udah siap tapi belum nemu jodoh, gimana?" tanya Luna.

"Ya, bersabar aja. Yakin aja kalau jodoh datang di saat yang tepat," balasku.

"Kadang ceweknya nunggu kepastian, tapi cowok nggak peka dan nggak tergerak untuk menghalalkan." Syifa kembali berkomentar.

"Berarti cowoknya memang belum pingin nikah. Cowok kalau belum siap menghalalkan, ya jangan ngajak pacaran." Axel menimpali.

"Tapi, Pah, sebenarnya pacaran itu ibarat nabung. Maksudnya kita mempersiapkan suatu hubungan, untuk suatu saat dihalalkan. Selama proses pacaran kita belajar mengenal karakter pasangan kita. Jadi setelah nikah udah nggak kaget." Devano mengeluarkan argumennya.

"Pacaran ibarat nabung? Nabung maksiat, maksudnya? Sekarang aku mau tanya deh, pacaran lama apa jaminan akan berujung di pernikahan? Banyak juga yang bubar di tengah jalan. Lalu apa pacaran lama jaminan bakal langgeng saat nanti menikah? Banyak juga yang bercerai. Kalau soal mengenal karakter pasangan kayaknya semua pasangan entah yang baru menikah atau sudah lama, akan selalu belajar untuk mengenal dan memahami karakter pasangan. Biasanya ada proses ta'aruf sebelum memutuskan untuk lanjut menikah atau tidak. Di proses ta'aruf ini seseorang bisa mengenal karakter calon melalui pihak ketiga juga membaca CV ta'aruf." Aku mencoba menjelaskan.

"Banyak yang berpandangan bahwa menikah tanpa pacaran diibaratkan membeli kucing dalam karung. Padahal tetap ada yang namanya mengenal karakter calon, tanpa melalui pacaran tapi ta'aruf," ucapku kemudian.

Devano manggut-manggut, "Aku agak gimana nih soal nabung maksiat. Kalau semisal pacarannya nggak ngapa-ngapain, namanya nggak nabung maksiat, kan?"

"Yakin nggak ngapa-ngapain? Makan berdua? Pergi berduaan? Kalau Devano mah, aku yakin mainnya udah jauh. Nggak mungkin nggak ngapa-ngapain," cetus Axel disusul tawa yang lain.

"Nggak jauh-jauh amat, kok. Paling banter ciuman doang, beneran." Devano mengangkat dua jarinya.

"Ciuman juga udah bisa dibilang nabung maksiat lah," balas Axel.

"Cuma kalau lihat zaman sekarang, ciuman termasuk hal wajar sih, Pah. Asal nggak sampai jebol aja," sela Devano.

"Jebol, emang lagi main bola terus ngegolin ke gawang?" Axel memicingkan matanya.

Teman-teman yang lain tertawa cekikikan.

"Sesuatu yang dianggap wajar bukan lantas hukumnya berubah jadi halal. Mungkin zaman sekarang namanya ciuman dianggap wajar. Tapi yang namanya aturan agama itu tetap berlaku, nggak pandang zaman. Dan bisa jadi dari ciuman terus beralih ke hal-hal lain yang lebih berbahaya. Kita diperintahkan untuk tidak mendekati zina." Kutatap temanku satu per satu.

"Idealnya emang gitu, sih. Cuma kalau udah terlanjur, kok susah lepas, ya. Rasanya ada yang kurang aja kalau pacaran nggak dibumbui ciuman," tukas Devano.

"Semua kembali ke diri masing-masing, sih. Kalau tetap pada jalurmu, ya kamu harus siap dengan konsekuensinya. Segala hal, entah kebaikan atau kejahatan, sekecil apapun tak akan luput dari perhitungan, ada balasannya. Manusia emang sudah fitrahnya punya nafsu, tapi kita juga dibekali akal untuk berpikir, untuk memilih mana yang baik, mana yang nggak. Kita bisa belajar untuk mengendalikan diri. Kalau kita bisa tetap menjaga langkah di jalan yang benar, artinya kita menang dari godaan. Kalau kita menuruti hawa nafsu, berbuat maksiat, berarti kita kalah."

"Tuh dengerin penjelasan, Mamah. Devano kayaknya perlu diruqyah." Dito asal nyeplos, membuat yang lain tertawa.

"Yang pasti kalau kamu cuma berani macarin anak orang, apalagi sampai ngapa-ngapain anak orang sebelum halal, berarti kamu bukan cowok gentle. Perempuan menilai laki-laki itu dari cara dia memperlakukan perempuan, bisa nggak menghargai perempuan?"

Syifa bertepuk tangan, "Mantap, Mamah."

"Woi, dosen dateng..." Kenzie berteriak.

Kami semua kembali ke tempat masing-masing.

******

Sore ini Axel bersiap berangkat kerja. Ia masih bekerja di coffee shop, menulis artikel sepakbola, dan membuat website. Hari ini aku libur kerja. Sekali dalam seminggu, karyawan mendapat jatah libur satu hari. Aku mendapat izin bekerja dari Axel. Aku bersyukur Mas Revan masih menerimaku untuk bekerja di distro. Pertimbangan yang aku ambil untuk tetap bekerja adalah kami sama-sama masuk kerja sore. Aku nggak akan bosan di kontrakan menunggu Axel pulang kerja. Selain itu, kami ingin belajar mandiri, membiayai hidup dengan hasil jerih payah kami berdua, tidak meminta dari orang tua. Ayah dan Bunda pernah berujar bahwa mereka akan tetap membantu, mengingat usia kami yang masih muda dan belum mapan. Namun Axel mengatakan bahwa dia akan bertanggung jawab sepenuhnya mencukupi kebutuhanku.

Aku menyiapkan bekal untuknya makan malam nanti. Selain lebih sehat, juga lebih hemat. Axel bilang masakanku enak. Padahal kadang aku merasa masakanku rasanya aneh, tapi Axel selalu melahap masakanku tanpa protes atau meminta macam-macam.

"Mah, sebenarnya ada aturan nggak sih mengenai jumlah nafkah yang harus aku berikan? Aku takut kalau nafkah yang aku kasih ke kamu, jumlahnya sedikit. Aku takut berdosa kalau nggak bisa mencukupi kebutuhanmu."

Axel menatapku dengan tatapan polos. Sorot matanya tampak bening dan aku menyukai raut wajahnya yang terkadang tampak innocent. Dia memiliki image bengal, selengekan, cuek, tapi sebenarnya dia orang yang polos dan penuh perhatian.

"Berikan nafkah sesuai kemampuan. Aku ingat surat At Talaq ayat 7. Aku nggak hafal isi dan terjemahannya. Nanti aku cari dulu ya terjemahnya."

Aku ambil smartphone-ku. Sebelumnya aku pernah men-download aplikasi untuk membaca Al-Qur'an dan terjemahannya untuk memudahkanku membaca saat tengah menunggu dosen atau saat menunggu pembeli di distro. Kucari surat At Talaq ayat 7.

"Ini terjemahannya, Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."

"Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan padanya. Ini senada dengan penggalan ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 286, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

Axel mengangguk, "Yang penting aku sudah berusaha ya, Mah. Dan aku akan mengusahakan semaksimal yang aku bisa. Untuk saat ini penghasilanku belum banyak. Tapi aku punya rencana untuk nyambi ngojek juga, Mah. Kalau semisal jadwal kuliah lagi longgar kan lumayan juga, Mah."

"Kalau itu nggak mengganggu jadwal kuliah dan kamu nggak kelelahan, aku akan dukung. Sebenarnya apa yang kamu kerjakan sekarang sudah cukup untuk kita. Aku juga nggak ingin waktu kamu terforsir untuk bekerja sampai kamu abai sama kesehatan kamu. Yakin saja, seperti dalam surat At Talaq ayat 7, bahwa Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. Hal ini ada juga dalam surat Al Insyirah ayat 5-6, Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Ini adalah janji Allah." Kugenggam tangan Axel.

"Setiap mendengar penjelasan kamu, apalagi kalau menyebutkan ayat suci, perasaanku jadi lebih tenang, Mah. Aku akan berusaha untuk membahagiakanmu, Mah."

Kuulas senyum. Kutepuk pipi Axel lembut.

"Aku nggak pernah meragukanmu, Pah. Aku tahu, kamu orang yang bertanggung jawab."

"Ya, udah aku berangkat dulu, ya." Axel mengecup kening, pipi, dan bibirku.

Aku jabat tangannya dan menciumnya.

"Hati-hati, ya, Pah."

"Iya, Mah. Aku tadi udah pesan ojek online. Kamu juga hati-hati, yah. Pintu jangan lupa dikunci."

Aku mengangguk.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah Axel berangkat, suasana kontrakan terasa sepi. Baru ditinggal kerja sebentar saja, rasanya tak sabar untuk menyambutnya pulang. Axel bilang, ia selesai bekerja pukul sembilan malam.

Selama ditinggal kerja, Axel mengirim pesan whatsapp ketika sedang rehat. Tak lupa kuingatkan dia setelah masuk waktu sholat Maghrib untuk sholat. Setelah sholat, aku ingatkan untuk makan malam.

Setiap detak jarum jam seakan berjalan lambat. Aku harap waktu cepat tiba di jam sembilan malam. Bagi seorang istri, bertemu suami kembali setelah seharian ditinggal kerja terbitkan kebahagiaan tersendiri. Sederhana tapi begitu bermakna.

Ponselku berbunyi. Aku harap itu pesan dari Axel. Benar saja, Axel mengirim pesan whatsapp.

Mah, aku lembur malam ini. Yang dapat jatah lembur nggak berangkat, jadi bos minta aku lembur. Coffee shop malam ini mengundang band lokal. Mereka tampil sampai malam dan banyak pengunjung datang. Nggak enak nolaknya.

Ada kekecewaan karena Axel lembur malam ini. Namun aku tak boleh egois dengan melarangnya. Kalau aku ada di posisinya juga akan merasakan apa yang dirasakan Axel, tak enak menolak permintaan bos. Lagipula setiap ada lembur juga ada tambahan gaji. Aku balas pesan whatsapp-nya.

Iya, nggak apa-apa, Pah.

Datang lagi balasan dari Axel.

I love you.. and I miss you so...

Aku tersenyum sendiri membacanya. Baru tak bertemu beberapa jam saja sudah menerbitkan rasa rindu. Atau memang begini rasanya pacaran setelah menikah. Kubalas pesan whatsapp-nya.

I love you too... I miss you too...

Selama menunggu Axel, aku tak bisa tidur. Rasanya mata ini sulit terpejam dan hatiku belum lega sebelum melihat Axel pulang. Kulirik jam, sudah pukul sebelas malam. Axel belum mengirim pesan whatsapp lagi. Ia tak mengatakan apapun soal jam berapa ia selesai bekerja. Aku kirim pesan whatsapp untuknya.

Pah, lemburnya sampai jam berapa?

Pesan yang kukirim barusan hanya satu centang saja, artinya belum terkirim. Aku mulai cemas. Bagiku meski pesan belum dibalas, asal sudah sampai, aku merasa lega. Kucoba meneleponnya, nomornya tidak aktif. Mungkin ponselnya mati. Kulirik charger handphone Axel yang tertinggal di meja.

Sudah hampir jam 12 malam, belum ada kabar lagi dari Axel. Belum ada tanda-tanda suara derap langkah di luar kontrakan. Aku mengkhawatirkannya. Pikiranku kacau tak menentu. Aku tak tahu harus menghubungi siapa. Aku tak menyimpan nomor teman kerja Axel. Aku hanya bisa berdoa agar Allah selalu melindunginya di mana pun dia berada.

Ya Allah ternyata rasanya tak enak begini. Suami lembur tak ada kabar dan tak ada kepastian tentang kapan ia pulang. Hanya dzikir dan doa yang mampu menenangkanku, mengobati keresahan, dan yakin bahwa dia baik-baik saja.

Ketika kudengar suara derap langkah semakin dekat, secercah asa menelusup. Aku harap itu suara langkah Axel.

"Assalamu'alaikum, Mah."

Hatiku lega bukan main. Akhirnya Axel pulang. Segala kekhawatiran pun hilang karena penantianku telah terjawab.

"Wa'alaikumussalam."

Saat kubuka pintu, sosoknya mematung dengan senyum manis tersungging dari kedua sudut bibirnya. Aku yang sudah menahan rindu dan kekhawatiran sejak nomornya tidak bisa dihubungi refleks menitikkan air mata. Ada rasa lega dan haru yang bercampur-campur. Aku tak bisa membendungnya.

Axel mengusap bulir bening yang jatuh.

"Kenapa nangis? Aku minta maaf ya tadi hapeku mati. Lupa nggak bawa charger. Teman juga nggak bawa. Aku udah nebak kamu pasti khawatir."

"Lain kali charger-nya jangan lupa dibawa ya. Aku nggak masalah kamu lembur, yang penting ada kabar, itu udah bikin aku lega."

"Cup cup... Iya sayang, aku minta maaf udah bikin kamu khawatir. Tadi aku beli martabak telur. Kamu suka martabak telur, kan?" Axel menunjukkan kantong kresek yang berisi satu kotak martabak.

"Sebenarnya tadi aku jalan kaki, makanya aku pulang telat. Lokasinya nggak jauh-jauh amat dari kontrakan. Uangku juga udah habis. Yang penting aku pulang nggak dengan tangan kosong. Waktu aku lihat penjual martabak, aku inget kamu. Ya udah aku beli aja."

Aku semakin terharu. Dia masih saja memikirkan untuk membawa oleh-oleh. Padahal bagiku, dia sudah tiba di kontrakan saja sudah membuatku senang.

Aku masih tercenung. Axel tersenyum sekali lagi.

"Udah, jangan sedih lagi. Yang penting aku udah pulang. Sekarang kita makan martabak bareng, ya," ujar Axel seraya memeluk dan mengusap kepalaku.

Axel berganti baju dan mencuci tangannya. Sudah jam 12 lewat dan kami menghabiskan martabak dalam kesederhanaan tapi begitu indah. Mungkin ini adalah moment sederhana, sesuatu yang kecil, tapi bagiku apa yang dilakukan Axel begitu bermakna untukku. Dia sengaja jalan kaki agar bisa pulang membawakan martabak. Dia selalu menomorsatukan kebahagiaanku dan siap berkorban serta berjuang untukku.

Sepanjang aku mengunyah martabak, Axel sesekali menyila rambutku, tersenyum melihatku lahap menyantap buah tangan darinya. Kebahagiaan itu memang bersumber dari hati, hati yang mau bersyukur, hati yang tidak mengeluhkan apa yang tidak kita miliki. Malam ini salah satu malam paling indah dan romantis yang pernah aku lalui bersamanya.

******

Part ini inspired by real story haaha. Udah pernah jadi inspirasi juga di cerita Kia-Gharal. Bedanya waktu itu suami lembur, sedang hp udah dijual. Jadi nggak ada kabar dr suami. Untungnya aku nyimpen nomor temannya. Aku hubungi temannya, katanya kemungkinan lembur. Mereka beda bagian dan nggak ketemu seharian itu. Tapi memang ada lembur. Lemburnya mendadak, nggak dikasih tahu sebelumnya. Aku khawatir nungguin pulang. Rasanya nggak karuan, cemas, khawatir campur aduk. Jam 12 malam dia baru sampai kontrakan. Ternyata dia jalan kaki dari pangkalan ojek ke kontrakan, uangnya dibelikan martabak. Waktu itu aku ultah. Dia minta maaf karena cuma bisa kasih martabak. Aku nggak menilai apa yg dia berikan, tapi lebih terharu dengan pengorbanannya. Waktu itu aku nangis-nangis kayak anak kecil, sampai sesenggukan saking khawatirnya.

Moment2 sederhana dalam pernikahan itu akan selalu terkenang. Sampai sekarang masih ingat moment-moment sederhana tapi manis. Kelak segala yang dialami di masa-masa awal nikah, terutama yang tertatih-tatih dari titik nol, akan menjadi penguat hubungan. Sampai sekarang kami juga masih berjuang untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Selamat menjalankan ibadah puasa. Mudah2an lancar semuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro