20. Pacaran Setelah Menikah
Alhamdulillah, Axel sudah lepas gips dan sudah bisa berjalan normal. Kami sudah menemukan kontrakan yang lokasinya tidak begitu jauh dari alun-alun. Yang kami suka, lokasi kontrakan dekat Masjid, hal ini memudahkan Axel untuk berdisiplin sholat berjamaah di Masjid.
Kontrakan yang kami tempati ukurannya sedang. Bentuknya seperti rumah ala perumahan yang minimalis dengan satu ruang tamu, satu ruang tengah, satu kamar, dapur, dan satu kamar mandi, cocok untuk tempat tinggal dua orang. Pagi sampai siang tadi, Dito, Devano, Luna, dan Syifa ikut mengantar kami pindahan. Bahkan Devano meminjamkan mobil pick-up milik ayahnya untuk membantu mengangkut barang-barang kami yang tak seberapa. Alhamdulillah, rasanya semua yang ada di kontrakan ini sudah cukup dan benar-benar kami butuhkan. Ada satu spring bed, hadiah dari om Rayga, satu lemari kayu dan satu lemari plastik. Lemari kayu ini adalah lemari pakaianku saat tinggal di rumah orang tua, sedang lemari plastik hadiah dari Budhe Maulid. Satu kompor rasanya sudah cukup dengan tabung gas ukuran kecil. Untuk masak nasi, Bunda membawakan magic com. Alat-alat di dapur juga secukupnya saja, seperti panci, wajan, pisau dapur, termos, botol air, piring, gelas, mangkok, sendok-garpu, rak piring kecil, toples untuk tempat gula, teh, bumbu dapur, dan lain-lain.
Kami tidak memiliki kursi di ruang tamu, hanya menggunakan karpet yang agak empuk. Ada satu kursi dan meja belajar untuk meja kerja Axel, sekaligus tempatku belajar. Satu meja lagi untuk tempat makanan. Tidak ada tv, kulkas, dan mesin cuci. Aku dan Axel sudah sepakat untuk mencuci baju bersama, mengucek manual dengan tangan. Axel tak keberatan untuk belajar. Bahkan ia bercerita bahwa saat tinggal di kost, dia sudah belajar mencuci baju manual setelah papanya tidak lagi mentransfer uang ke rekeningnya. Sebelumnya ia selalu mengandalkan laundry.
Aku lihat langit-langit kontrakan, lalu merebahkan badan di ranjang. Kuembuskan napas kelegaan. Ya Allah, meski ini bukan rumah pribadi, tapi aku sangat bahagia. Tinggal terpisah dari orang tua dan belajar hidup mandiri adalah cita-citaku dan Axel setelah menikah. Cita-cita yang sempat tertunda karena Axel kecelakaan.
Axel ikut merebahkan badan di sebelahku. Ia melirikku lalu tersenyum. Dia memiringkan badan, menyangga sebelah pipinya dengan tangannya lalu menelisik wajahku. Lagi-lagi sambil tersenyum.
“Kamu bahagia nggak nikah sama aku?”
Pertanyaan yang tiba-tiba itu sempat membuatku melongo sekian detik. Apa harus kujawab? Sementara tanpa kujawab sekalipun, dia sudah tahu jawabannya. Aku belajar satu hal, seseorang mungkin akan menanyakan sesuatu yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya, bukan untuk mendapatkan jawaban, tapi sekedar memastikan apakah seseorang yang ditanya dalam keadaan baik? Dan sudah sewajarnya seseorang ingin selalu memastikan orang yang dicintai dalam keadaan baik.
“Kamu pasti sudah tahu jawabannya, Pah. Aku bahagia. Bahagia banget.” Aku tersenyum menatapnya. Mungkin jika aku bisa melihat sorot mataku sendiri, saat ini tengah terpancar pendaran cinta sekaligus embun di sudut mataku. Kujawab dengan segenap jiwa. Ya aku bahagia. Aku bahagia menikah dengannya.
“Yakin? Meski kita tinggal di kontrakan kecil? Meski aku belum bisa kasih sesuatu yang layak buat kamu? Meski kita harus hidup sederhana?” Axel mengusap pipiku dengan tatapan awas yang tak lepas mengunci tatapanku agar tertuju hanya padanya.
Aku mengangguk. Senyum kembali terkerling. Aku menikah untuk menyempurnakan separuh agama. Aku menikah karena ingin beribadah. Aku percaya, bahwa apa yang kulalui bersama Axel saat ini barulah awal perjuangan kami. Aku berharap, kami akan saling menguatkan dalam keadaan apapun.
“Aku bahagia bersamamu, Pah. Apapun yang terjadi.”
Axel tersenyum lembut.
“Mah, aku pernah mendengar hadits tentang wanita dinikahi karena empat perkara. Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung. Aku memilihmu jelas yang utama karena agamamu. Apalagi aku mualaf. Aku butuh bimbingan dan dukungan. Kamu juga bisa menjadi tempat bertanya dan teman diskusi yang menyenangkan. Sekarang aku ingin nanya sama Mamah. Mamah dulu memutuskan menerimaku karena apa? Agama, jelas pemahamanku akan ilmu agama itu masih sangat cetek. Dalam hal agama, bukannya aku yang membimbing, tapi Mamah yang membimbing. Lalu harta, aku nggak punya apa-apa. Pekerjaanku juga cuma pekerjaan kecil dengan gaji yang pas-pasan. Keturunan, jelas aku lahir dari keluarga non muslim, jauh dibandingkan dengan keluargamu yang agamis, lalu ketampanan... Mungkin kalau ini lumayan lah masuk...”
Aku tertawa kecil mendengar kalimatnya yang terakhir. Ya dia memang tampan. Bagiku, suami itu pria paling tampan di mataku, paling istimewa di hatiku.
“Alasan terbesar apa yang bikin Mamah mau menerimaku?” tanyanya begitu serius. Aku bahkan lupa bahwa laki-laki di hadapanku dulu sering kali membuat banyolan yang kerap membuat seisi kelas tertawa.
“Sebelumnya, aku sholat istikharah, Pah. Aku semakin mantap untuk memilihmu. Secara agama kamu memang masih belajar. Namun itu bukanlah masalah. Karena hikmahnya, aku jadi lebih bersemangat belajar dan terus memperdalam ilmu agama dan mengamalkannya. Aku termotivasi melihat semangatmu belajar. Yang terpenting bukan tingginya ilmu seseorang tapi bagaimana orang itu mengamalkannya dan bagaimana ilmu itu digunakan karena nanti di akhirat kita akan ditanya perihal ilmu yang kita miliki. Karena itu kamu nggak perlu berkecil hati, Pah. Meski kamu merasa ilmu kamu sangat sedikit, tapi jika kamu berusaha mengamalkan dan menggunakan ilmu itu di jalan kebaikan, insya Allah, ini jadi nilai plus untuk kamu.” Aku genggam tangan Axel dengan telapak tanganku. Axel menatapku lekat. Sinar matanya terasa begitu menenangkan.
“Lalu soal harta. Aku tak melihat berapa banyak harta yang kamu miliki. Allah saja tidak memandang seseorang dari rupa, harta, kedudukan, pangkat, masa iya aku melihat seseorang dari atribut-atribut keduniawian yang hanyalah titipan. Harta sebanyak apapun, kalau Allah berkehendak melenyapkannya, semua bisa lenyap dalam sekejap.”
Axel menggenggam balik tanganku dan menempelkannya di pipinya. Ia mengecupnya berkali-kali.
“Materi dan kemapanan itu bisa kita usahakan bersama.” Aku usap pipinya. Aku tahu, Axel tengah minder soal finansial. Tugasku adalah memberikan kepercayaan diri untuknya dan mendukungnya untuk terus bersemangat bekerja.
“Terima kasih untuk pengertiannya, Mah. Kamu tahu, tahun ini adalah tahun terbaik dalam hidupku. Pertama aku memeluk agama Islam, kedua aku mengenalmu dan menikah denganmu. Allah sayang sama aku, Mah. Allah memberiku jodoh yang seperti paket lengkap. Kecantikan hati kamu yang membuatku semakin mencintaimu.”
Aku tersipu mendengar penuturan Axel.
“Aku masih belajar, sayang.” Kuusap pipinya sekali lagi.
“Kamu tahu nggak, Mah? Aku tuh seneng banget kalau kamu manggil aku sayang. Berasa disayang banget sama kamu.”
Aku tertawa kecil, “Emang kenyataannya begitu.”
Axel mengecup keningku lembut.
“Mah, kita rayakan hari pertama kita ngontrak, yuk.” Matanya berbinar cerah, seperti kelinci yang baru saja mendapatkan wortel.
“Dirayakan gimana?” kukernyitkan alisku. Aku ikut bersemangat melihat sikap antusiasnya.
“Kita jalan-jalan keluar. Jalan kaki aja. Kita kan nggak pernah jalan berdua malam-malam. Sejak nikah kita belum pernah jalan berdua kemana...”
“Emang Papah ingin kemana?”
“Ingin makan bakso. Di jalan Pekih. Kan dekat dari sini, tinggal jalan kaki.”
Aku tersenyum lebar.
“Ide bagus, Pah. Udah lama aku nggak makan bakso Pekih. Aku kangen makan bakso di situ.”
Kami tersenyum sumringah. Axel mengenakan jaket. Aku mengganti pakaian rumahanku dengan gamis, tak lupa pakai kerudung instant yang lebar serta kaos kaki. Kami berjalan bergandengan menuju jalan Pekih yang tak jauh dari alun-alun dan Masjid Agung Baitussalam. Kami lewat alun-alun yang terlihat begitu ramai di malam Minggu ini. Jangan ditanya jumlah pedagang yang berjualan, tak terhitung. Yang paling aku suka adalah wedang ronde di pinggir alun-alun.
Malam ini begitu indah. Axel menggandeng tanganku erat. Kuamati genggaman tangannya di tanganku. Masya Allah... ternyata seperti ini rasanya pacaran setelah menikah. Luar biasa indah... Luar biasa manis... Rasanya aman, damai, dan terlindungi ketika dengan gagahnya sang suami menggandeng tangan kita dan saat menyeberang jalan, dia menuntunku dengan sangat hati-hati.
Setiba di bakso Pekih, jumlah pengunjung yang datang cukup banyak. Tempat ini memang sering kali ramai didatangi pengunjung. Bakso ini sudah terkenal seantero Purwokerto. Rasanya memang enak. Tempatnya luas. Jumlah karyawannya juga cukup banyak.
Axel memesan bakso urat tetelan, sedang aku memesan bakso urat telur.
“Aku tuh baru tiga kali ini makan di sini. Tapi malam ini paling spesial karena makan bareng Mamah.”
Aku tersenyum mendengar penuturannya. Suamiku sepertinya pintar menggombal.
“Papah pinter ngegombal.”
“Nggak nggombal, Mah. Beneran... Malam ini spesial banget.”
Perbincangan kami terpotong saat pelayan menghidangkan dua mangkok bakso di hadapan kami.
Untuk minuman, kami memesan es teh. Aku sudah beberapa kali mencicipi bakso ini. Namun, malam ini memang benar-benar spesial, seperti apa yang dikatakan Axel. Yang membuat malam ini lebih spesial adalah karena kami makan bersama sebagai pasangan halal. Anggap saja ini adalah first date untuk kami.
Satu hal sederhana tapi terasa begitu manis adalah saat Axel tersenyum mengamati cara makanku yang mungkin terlihat begitu lahap di makannya.
“Enak?” tanyanya lembut dengan senyum terulas.
Aku mengangguk, “Iya.”
“Aku seneng lihat Mamah lahap makan,” ujarnya lagi.
Axel mengelap sudut bibirku.
“Ada sedikit sisa makanan, nih,” ucapnya.
“Mah, cobain punyaku, nih.” Axel menyuapkan sesendok irisan bakso beserta kuahnya. Aku ragu sejenak, tapi akhirnya aku buka mulutku.
Mungkin aku tipikal perempuan yang mudah baper. Namun sungguh, diperlakukan sedemikian lembut oleh Axel, ada kalanya membuatku merasa bahwa aku begitu dicintai dan diinginkan. Dia begitu menjaga dan memperhatikanku.
Ada banyak laki-laki di dunia yang mengaku mencintai wanitanya. Namun tak banyak laki-laki yang mampu mencintai wanitanya begitu hebat dengan memperlakukannya begitu baik, menghargai, dan melindunginya agar dia tak sakit. Aku merasa dicintai sedemikian tulus olehnya. Apalagi saat aku menyadari adanya kekurangan fisik padaku. Axel menerima dengan tulus. Ia tak pernah melihat kekuranganku.
Seusai makan bakso, kami jalan beriringan menuju kontrakan. Axel menggandengku erat. Sepanjang jalan kami memperbincangkan hal-hal kecil atau bahkan cita-cita dan impian kami. Dia ingin kami wisuda bersama, meraih cita-cita bersama. Betapa indah membicarakan impian-impian kami. Alhamdulillah, pernikahan tak menjadi penghambat. Justru aku merasa, kehadiran Axel menjadi semangat sendiri untukku. Merajut impian dan masa depan bersama menjadikan motivasi tersendiri untuk kami, bahwa ada seseorang yang akan membantu kita bangkit saat terjatuh dan seseorang yang akan bersama-sama mengepakkan sayap saat terbang.
******
Warning 18+
Kami bersiap untuk tidur. Sebelumnya sudah membersihkan diri, termasuk menggosok gigi, membersihkan muka, dan berwudhu.
Axel mengecup keningku lalu beralih mencium bibirku.
“Mah, sepertinya sekarang waktu yang tepat. Mamah siap, nggak?”
Aku deg-degan bukan main. Deru debaran itu kian menguasai. Apakah aku sudah siap? Kenapa aku gugup dan takut?
“Kamu berhak untuk itu, Pah. Aku siap....”
“Jujur, aku penasaran banget, Mah. Kata orang seperti surga dunia, saking enaknya.” Axel berbisik lirih.
Debaran di dadaku kian bertalu. Bisa kurasakan gairah Axel semakin melesak hingga sayu matanya tak bisa berdusta. Embusan napasnya terdengar memberat dan mendesah. Tangannya sudah mulai aktif mengabsen setiap inci tubuhku dan melepaskan kancing dari gaun tidurku. Kuingatkan Axel untuk berdoa sebelum melakukannya. Lucu, aku dan Axel bersama-sama membaca doa sebelum berhubungan yang ada di buku panduan pernikahan.
Malam ini kuserahkan segalanya, sesuatu yang sudah aku jaga. Aku pasrah atas apapun perlakuan Axel dan kunikmati setiap sentuhannya. Dia memperlakukanku begitu lembut dan romantis. Pencapaian awal seorang istri adalah ketika ia menyerahkan kehormatannya pada suami, seseorang yang sudah halal dan berhak untuknya.
******
Selesai melalui moment yang begitu panas dan romantis, kami saling berpelukan. Entah apa yang harus kujelaskan, tapi malam ini kami belum berhasil mengoyak sesuatu yang sudah kujaga selama ini. Rasanya membingungkan dan aku tak pernah menyangka, rasanya bisa sesakit ini. Aku memang pernah mendengar pertama kali berhubungan akan terasa sakit bagi perempuan. Axel tak tega melihatku merintih kesakitan. Dia menghentikan aksinya.
“Maafkan aku, sayang. Aku nggak bisa menahan sakit. Apa kamu kecewa?” kutangkup kedua pipinya.
“Sama sekali nggak, Mah. Kita masih punya banyak waktu ke depan. Kita masih punya banyak waktu untuk belajar. Mungkin kita masih sama-sama polos, belum tahu triknya.”
Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Adalah hal yang lucu ketika aku sempat bertanya padanya, “Bener nggak sih caranya kayak gini?” Membuat Axel berpikir ulang, apa dia salah bertindak. Meskipun demikian, itu semua tidak mengurangi keromantisan yang terbangun. Rupanya dalam malam pertama pun ada istilah gol atau belum.
Kami saling berpelukan. Axel mencium keningku berulang dan meminta maaf jika apa yang dia lakukan tadi menyakitiku. Tentu itu bukan salahnya. Semua ini memang berjalan natural dan hal yang wajar jika ada rasa asing dan sedikit aneh. Kami belum terbiasa. Akan ada saatnya kita berhasil menciptakan gol dalam malam romantis kami berikutnya.
Aku terlelap, menghirup aroma parfum Axel yang begitu menenangkan. Kulirik Axel yang sudah terpejam. Masya Allah... Pria ini begitu baik dan sangat menyayangiku. Aku mencintainya dan bersamanya kan kubangun masa depan yang cerah.
******
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Mudah-mudahan kita mampu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya ya untuk memperbanyak ibadah dan melakukan hal-hal positif. Menulis atau membaca wattpad jadikan selingan saja.
Cerita Adira ini mengalir saja ya, kayak kehidupan real saja. Ke depan akan tetap dikupas kehidupan kampus mereka, keseharian mereka sebagai suami istri juga mahasiswa. Maaf kalau tidak ada konflik gimana, karena ini realita aja sih. Namanya nikah muda, tinggal di kontrakan, tuh kayak gini sensasinya, dari pengalaman author. Cerita fiksi sih, cuma kan namanya inspirasi bisa digali dari pengalaman real.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro