Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. New Episode Adira-Axel

Maaf banget lama updatenya. Masih pada minat ga sama cerita ini? Kadang mikir apa nggak aku update sementara coz mau namatin dua ceritaku yang lagi on going juga (MLW & Arranged Marriage). Dua cerita itu nggak lama lagi tamat. Kalau udah tamat dua cerita itu, aku bisa fokus ke Dear, Mas Duda, dan Adira.

Adira bangun dari posisi berbaring dengan gerak tubuh yang pelan. Perutnya semakin besar, rasa tak nyaman pun kerap menerjang. Beberapa hari ini seolah tak ada makanan berat yang bisa masuk karena ia akan memuntahkannya kembali. Hanya buah-buahan yang masih bisa ia terima. Baik Axel maupun orang tua Adira berusaha memberikan perhatian ekstra karena kehamilan kembar ini sering kali membuat Adira tak bisa mengerjakan aktivitas dengan lancar hingga kadang ia izin tidak masuk kuliah. Untuk duduk atau berjalan saja terasa begitu melelahkan dengan dada yang serasa sesak, pengap, entah... Adira sendiri tak bisa menjabarkannya.

Hari Minggu ini Adira menghabiskan waktu di kontrakan saja sementara Axel membantu temannya jualan sandal di GOR Satria. Sejak Adira hamil, Axel semakin getol mencari tambahan penghasilan, apapun pekerjaannya selama halal.

Adira membuka akun instagramnya, mengintip banyaknya akun penjual baju-baju dan produk bayi yang rasa-rasanya ingin ia borong semua. Sederhana tapi mampu terbitkan senyum di kedua sudut bibirnya.

Ia juga melihat gamis-gamis cantik yang selalu memanjakan mata meski ia tak berniat membeli. Ada satu stel gamis yang sangat menarik perhatiannya. Ia berkhayal memiliki gamis itu dengan ukuran lebih besar dari yang biasa ia kenakan agar muat di saat kandungannya semakin besar. Namun saat melihat harganya di atas lima ratus ribu rupiah, senyum yang sempat melengkung seketika memudar. Baginya harga segitu termasuk mahal.

Di saat yang sama suara salam terdengar menggaung. Adira menjawab salam. Axel masuk ke dalam dengan senyum lebarnya.

“Pah, udah pulang?”

Axel mengangguk.

“Iya, Mah. Lumayan sandalnya laku banyak. Ini upahnya.” Axel menyerahkan lembaran uang pada Adira.

Adira menerimanya dengan senyum mengembang.

Alhamdulillah, makasih, Pah.” Adira teringat akan ucapan sang bunda bahwa berapa pun penghasilan suami, harus ia syukuri. Jangan mengeluh jika yang diberikan tidak sesuai harapan, takutnya jadi kufur nikmat. Hargai usaha suami yang sudah bekerja keras demi mencukupi kebutuhan. Hargai setiap tetes keringatnya.

“Papah mau minum teh? Biar aku bikinin.” Adira hendak beranjak tapi dicegah Axel.

“Nggak usah, Mah, kamu duduk aja. Aku minum air putih aja.” Axel berdiri dan melangkah menuju dapur. Sebelum mengambil air putih, ia mencuci tangannya lalu mengambil segelas air.

Axel kembali lagi ke depan. Ia mengintip sejenak layar ponsel Adira. Rupanya sang istri tengah mengamati foto gamis satu set dengan kerudungnya yang terlihat begitu cantik.

“Mamah lagi lihatin foto gamis?”

Seketika Adira terkesiap. Ia mengulas senyum.

“Cantik, ya, Pah?” tanya Adira sembari mengerlingkan senyum.

Axel mengangguk. Ia memerhatikan nama akun yang menjual gamis tersebut sekaligus melihat harganya, enam ratus ribu rupiah. Dulu saat masih hidup berkecukupan bahkan lebih dari cukup, baju seharga itu sangat mampu ia beli. Sekarang jika ingin membelinya, ia harus mencari pekerjaan sampingan yang langsung dibayar karena menunggu gaji dari distro tempatnya bekerja, harus menunggu sampai awal bulan depan. Toko online tersebut juga membuka outlet yang menjual offline dan berlokasi di Purwokerto.

“Mamah suka? Mamah ingin gamisnya?” tanya Axel seraya menatap lembut sang istri.

Adira hanya tersenyum tipis dan agak gelagapan.

“Enggak... Enggak... Mamah cuma suka aja lihatnya.” Adira tak ingin meminta macam-macam. Ia tak mau membebani Axel. Baginya gamis yang ia miliki sudah cukup. Ia hanya senang melihat gamis itu tanpa ada ambisi untuk memilikinya.

Axel melirik foto itu sekali lagi. Uang yang ia miliki belum bisa untuk membeli gamis, tapi ia akan berusaha membelikan gamis itu untuk Adira meski Adira tak memintanya. Ia tahu, Adira begitu menyukainya.

Axel duduk di sebelah Adira lalu mengusap perut sang istri yang sudah terlihat semakin membuncit.

“Dede kembar sayang lagi apa? Papah sampai lupa nggak nyapa dulu tadi.” Calon ayah itu mengecup perut sang istri dengan gemas.

Adira tertawa kecil.

“Papah tiap ngajak dede kembar bicara pasti bikin Mamah ketawa.”

Axel mengelus perut istrinya lagi.

“Belum lahir aja mereka udah ngegemesin ya, Mah. Apalagi kalau udah lahir.”

Adira mengulas senyum, “Pasti nanti lebih lucu lagi.”

“Mah, Papah mau mandi dulu, ya. Rasanya gerah lagi padahal sebelum jualan juga udah mandi.”

Adira mengangguk, “Iya, Pah.”

******

Malamnya sebelum tidur Axel belajar menambah hafalannya. Adira bangga dan bersyukur melihat tekad Axel yang begitu besar untuk belajar Islam secara kaffah. Setelah setor hafalan pada Adira, dia membuka ponselnya.

“Mah, tadi waktu jualan aku baca selebaran kajian yang mau diadakan di Masjid Baitussalam. Nah di selebaran itu ada potongan hadits yang berkaitan dengan tema kajian nanti. Untung tadi aku sempat foto tulisannya.” Axel menunjukkan foto itu pada Adira.

Adira membaca baik-baik.

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”.  (HR.  Tirmidzi).

“Aku sempat bahas hadits ini sama Ari. Ari sempat bahas soal harta itu. Kata Ari di akhirat nanti harta akan dihisab dan katanya orang yang kaya harta masuk surganya belakangan dibanding orang miskin karena lamanya proses hisab harta, benar nggak, Mah?”

Adira menghela napas sejenak.

“Dari yang sering aku dengar emang ada haditsnya , ‘Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.”(H.R Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwad hadits ini hasan).

“Ada kisah sahabat Rasulullah Shallallahu’Alaihi wassalam yang bernama Abdurrahman bin Auf, seorang yang sangat kaya berusaha untuk menjadi miskin karena nggak mau masuk surga terakhir akibat proses hisab yang lama. Ia memborong kurma busuk, dengan harapan jatuh miskin. Qodarulloh di Yaman sedang ada wabah penyakit yang hanya bisa diobati dengan kurma busuk. Raja Yaman memborong kurma busuk milik Abdurrahman bin Auf dengan harga sepuluh kali lipat dari harga kurma biasa. Atas izin Allah, Abdurrahman bin Auf tidak jadi jatuh miskin.”

Axel menaikkan kedua alisnya.
“Berarti jadi orang miskin itu lebih baik, Mah?” Axel mengernyitkan dahi.

Adira tersenyum, “Aku jelasin gini, ya. Saat ada pertanyaan lebih mulia mana orang kaya yang beryukur atau orang miskin yang sabar? Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yang lebih mulia itu orang yang paling takwa. Kalau ketakwaannya sama maka derajatnya sama. Kalau kebaikan orang kaya lebih banyak dari orang miskin, derajatnya lebih tinggi dari orang miskin meski masuk surganya lebih lambat, begitu juga sebaliknya, jika kebaikannya lebih rendah dari orang miskin, maka derajatnya lebih rendah.”

Axel manggut-manggut.

“Jadi Islam nggak melarang umatNya untuk jadi kaya, asal cara memperolehnya dengan jalan halal dan baik, digunakan untuk hal-hal yang baik, untuk beribadah, sedekah, seperti Abdurrahman bin Auf yang meski bergelimang harta tapi tak lupa untuk berbuat kebaikan dan bersedekah, terkenal karena kedermawanannya.”

“Makasih banyak penjelasannya, Mah. Alhamdulillah punya istri yang bisa dijadikan tempat bertanya dan berdiskusi. Hikmah dari kisah Abdurrahman bin Auf itu banyak banget ya, Mah. Rezeki itu mutlak Allah yang atur. Jadi sekalipun barang yang kita jual bukan yang kualitas unggulan, kalau udah rezeki akan tetap jadi rezeki kita. Kita cuma bisa doa dan usaha.”

Adira mengangguk dan tersenyum tipis. Axel semakin memahami tentang nilai-nilai kehidupan.

Tiba-tiba Adira merasakan mual. Sering kali mual menerjang tanpa melihat waktu. Kendati malam sekalipun mual itu bisa saja datang. Axel merasa tak tega melihatnya. Ia mengambilkan air minum.

“Minum dulu, Mah.”

Adira meminum segelas air tersebut.

“Makasih, Pah. Rasanya nggak enak banget. Sampai sekarang masih sering mual.”

Axel mengusap-usap punggung istrinya.

“Sabar ya, Mah. Mudah-mudahan ini jadi ladang ibadah buat kamu. Mending sekarang kamu istirahat aja, ya.”

Adira mengangguk. Ia berbaring dalam posisi miring. Axel memeluknya dari belakang. Gerak tangannya mengelus perut Adira.

“Dede kembar ikut bobo, ya,” ujar Axel lirih.

Adira tersenyum mendengar celoteh suaminya. Axel mengusap rambut sang istri lalu mengecup pipinya bertubi-tubi. Perlahan Adira memejamkan mata. Setiap kali Axel membelai rambut dan memeluknya, Adira merasa tenang dan aman.

Setelah Adira benar-benar pulas, Axel merenung. Ia memikirkan cara bagaimana mengumpulkan uang untuk membelikan gamis yang disukai Adira. Ia ingin membahagiakan sang istri dengan memberikan sesuatu yang spesial. Selama ini ia merasa belum bisa memberikan apa-apa untuk Adira.

Ia teringat akan tanaman hias yang belum laku, termasuk bonsai kelapa yang sudah ia promosikan di semua akun media sosialnya tapi belum juga ada peminatnya. Malam ini Axel mempromosikan kembali tanaman hias hasil kerja kerasnya di banyak grup jual beli. Beberapa bertanya soal harga dan lokasi. Hingga larut Axel belum jua tidur karena sibuk mempromosikan dagangan dan menjawab banyaknya inbox yang masuk.

******

Esok hari, Axel masih mencari pekerjaan yang bisa ia lakukan dan langsung mendapat upah demi bisa membeli gamis untuk Adira. Kuliah pun jadi tak begitu fokus. Tanaman hias yang ia promosikan belum jua ada yang berminat untuk membeli. Kebanyakan inbox yang masuk hanya sekadar bertanya tapi tidak deal.

Hingga akhirnya Axel membaca status whatsapp kenalannya yang pernah bertanding basket bersama antar fakultas. Kenalan yang kuliah di fakultas peternakan ini rupanya sedang membutuhkan partner untuk menemaninya mengisi acara perpisahan anak TK. Ia baru tahu jika temannya ini bekerja sampingan sebagai badut yang kerap mengisi acara ulang tahun anak atau perpisahan TK. Kali ini ia butuh partner untuk mengisi acara perpisahan di beberapa TK.
Axel menawarkan diri untuk mencoba mengerjakan pekerjaan yang cukup menantang itu. Ia bersyukur temannya mau memberinya kesempatan.

Dua hari berlalu, Adira tak tahu Axel bolos kuliah karena acara perpisahan TK diadakan pagi, bersamaan dengan jadwal kuliah. Adira sendiri izin tidak berangkat karena kondisinya yang terus melemah. Untuk berjalan saja rasanya begitu mudah lelah, belum mual-mual yang kerap mendera sewaktu-waktu dan membuatnya lemas, sampai-sampai Firda selalu datang untuk menemani Adira kala Axel kuliah atau kerja. Terkadang Bayu menjemput Adira untuk tinggal di rumahnya sebelum Axel pulang.

******

Sore ini Adira menunggu Axel yang belum juga pulang. Firda yang sebelumnya datang ke kontrakan untuk memastikan keadaan Adira, telah kembali ke rumah.

Adira terkejut bukan kepalang ketika membaca satu pesan whatsapp dari Luna yang mengatakan bahwa Axel telah membolos dua hari berturut-turut.

Axel tak bercerita apapun. Adira semakin penasaran selama dua hari ini apa yang dikerjakan Axel? Kenapa dia membolos kuliah? Adira merasa kecewa. Ia mengirim pesan whatsapp untuk Axel dan menanyakan keberadaan suaminya. Adira semakin kecewa kala Axel membalas bahwa ia sedang berada di kampus. Saat Adira bertanya pada Luna, teman baiknya itu menyatakan bahwa Axel tidak sedang berada di kampus.

Adira langsung mengirim pesan whatsapp pada Axel.

Pah lagi di mana?

Tidak ada balasan dari Axel. Adira semakin gusar. Ada rasa kecewa sekaligus curiga yang tidak-tidak. Adira tak tahu, bahwa di tempat lain suaminya tengah terperangkap dalam kostum boneka beruang yang terasa berat dan di bagian kepala sedikit pengap meski kepala boneka beruang yang menutupi kepalanya terbilang cukup besar.

Axel dan temannya menghibur anak-anak TK dengan kostum unik sekaligus cukup berat. Temannya berkostum badut, sedang Axel berkostum boneka beruang. Axel melakukan semua demi mendapatkan upah yang cukup lumayan agar bisa memberi kejutan untuk Adira.

******

Ketika Axel tiba di rumah sore hari, Adira menyambut dengan wajah ditekuk. Bahkan ia enggan menyapa Axel.

“Mah, tadi main basket dulu makanya pulang sampai sore.” Axel tidak berbohong, setelah mengisi acara perpisahan TK bersama rekannya, dia memang sempat bermain basket sebentar.

Adira tak merespons. Wajah dinginnya membuat Axel dengan mudah menebak bahwa istrinya tengah menahan amarah.

“Mamah kok cemberut? Ada apa, Mah? Apa Papah bikin salah?”

Adira menatap Axel tajam.

“Papah sebenarnya ke mana?” Adira sedikit meninggikan suaranya.

“Papah kan kuliah tadi.”

“Nggak usah bohong, Pah. Luna bilang dua hari berturut-turut Papah bolos kuliah. Tadi aku WA juga nggak dibalas. Apa yang Papah sembunyikan? Kenapa tega banget membohongi Mamah sampai bolos kuliah.” Adira terus mencecar. Sudut matanya sudah terlihat berkaca.

“Jangan sia-siakan beasiswa yang sudah Papah dapat. Tinggal kuliah yang bener, apa berat? Kenapa harus bolos dan nggak jelas ke mana. Nggak inget sama istri yang sering mual dan lemas, bahkan terpaksa mesti izin karena rasanya begitu lemas dan lelah. Ya Allah...” Adira menitikkan air mata yang bergulir. Jari-jarinya mengusap perut besarnya.

Axel mengembuskan napas sejenak. Sekuat apa pun ia menyembunyikan apa yang telah ia lakukan dua hari ini, pada akhrinya Adira mengetahuinya juga.

Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ia menunjukkan satu paper bag di hadapan Adira.

“Ini buat Mamah.”

Adira tercekat. Matanya awas menilik pada satu buah paper bag berwarna ungu muda dalam genggaman Axel. Ia bergantian meneliti wajah Axel yang tampak tenang. Adira meraih paper bag itu. Ditengoknya benda yang ada di dalam. Ia ambil benda itu. Adira terpana menatap gamis yang pernah ia lihat di akun instagram. Gamis cantik yang mencuri perhatiannya. Gamis yang ternyata lebih cantik dibandingkan fotonya. Bahannya begitu adem dan halus, jahitannya sangat rapi, pantas dihargai mahal.
Adira menatap Axel tanpa kata-kata. Ia bertanya-tanya dari mana Axel mendapatkan uang untuk membeli gamis itu. Ia menarik benang merah dari kasus bolosnya Axel, pasti ada hubungannya dengan gamis yang ia genggam.

“Jadi dua hari ini aku nemeni teman ngisi acara perpisahan di TK. Aku coba kerja jadi badut, pakai kostum beruang. Bayarannya lumayan. Alhamdulillah tadi siang ada yang deal beli bonsai dan langsung transfer. Makanya aku bisa mampir toko yang jual gamis ini.”

Adira tersentuh mendengar penuturan Axel yang terdengar begitu polos senada dengan raut wajah innocent-nya. Adira merasa besalah karena telah berprasangka buruk pada Axel. Tanpa ia sadari bulir bening itu jatuh. Tangisnya pecah. Axel terpancing untuk memeluk istrinya. Adira semakin terisak dan membuat Axel merasakan trenyuh hingga tak sadar air matanya ikut mengalir. Ia menangkup kedua pipi Adira seraya menyeka air mata sang istri yang masih membasah. Axel mengecup kening Adira bertubi-tubi.

“Maafkan aku, ya... Aku nggak bermaksud bohong... Kamu masih marah ya sama aku?”

Adira masih saja menangis.

“Kenapa Papah mesti bohong? Kenapa nggak jujur aja kalau Papah kerja sampingan dua hari ini. Aku udah mikir macam-macam...” Deru tangis itu masih berkejaran.

“Aku janji nggak akan kayak gini lagi. Aku akan lebih terbuka ke depan. Aku hanya ingin kasih kamu kejutan. Aku ingin membahagiakan kamu dengan membeli gamis yang kamu suka.” Axel mengecup kening Adira sekali lagi.

“Udah jangan nangis lagi... Aku merasa sangat bersalah. Maafin aku...” Axel menyapukan jarinya untuk mengelap air mata Adira yang masih berjatuhan.

“Aku terharu kamu sampai berkorban gini buat beliin aku gamis. Padahal aku nggak minta kamu untuk membelikannya. Aku nggak mau membebani kamu dengan sesuatu yang memberatkan.”

Axel tersenyum.

“Aku ingin fokus bahagiain kamu. Aku ingin bekerja lebih keras lagi demi kamu dan dede kembar. Aku ikhlas melakukannya.”

Adira menghapus jejak tangis di mata suaminya.

“Aku sangat berterima kasih untuk semua ini. Aku cuma minta lain kali kamu cerita dulu kalau mau beliin aku sesuatu. Dan jangan lagi bolos kuliah.”

Axel mengangguk, “Iya, Mah. Papah akan berusaha untuk nggak bolos kuliah lagi...”

“Jangan dipaksakan untuk membeli sesuatu yang memberatkan. Melihat kamu bertanggungjawab bekerja, memberiku nafkah, dan nggak kalah penting semangat belajar agama, itu udah bikin aku seneng.”

Axel memeluk tubuh itu kembali.
“Maafin aku sekali lagi ya...,” sahut Axel.

“Aku juga minta maaf. Tadi udah nyolot dan marah-marah sama kamu.”

Axel menghapus tangis Adira sekali lagi.

“Kamu suka gamisnya, kan?”

Adira mengangguk dengan senyum terurai, “Suka banget, Pah. Makasih banyak, ya.”

“Nanti dicoba gamisnya, ya. Kamu pasti cantik banget pakai gamis itu.”

Adira tersenyum, “Iya, Pah.”

Axel mengecup kening Adira lalu menurun mengecup perutnya. Kebahagiaan itu begitu sederhana, sesederhana cara mereka belajar untuk lebih saling terbuka satu sama lain.

******

Cerita lain yang lagi digandrungi pembaca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro