17. First Night
Aku dan Axel untuk sementara tinggal di rumah orang tua. Sebenarnya Axel sudah mencari-cari kontrakan, tapi kata ayah dan bunda, lebih baik kami tinggal di sini dulu sampai menunggu Axel benar-benar sembuh. Pertimbangannya agar ada yang mengurus dan merawat saat aku berangkat kuliah. Untuk sementara, aku tidak bekerja dulu. Rasanya tak tega kalau siang aku meninggalkannya ke kampus, malamnya aku pergi bekerja.
Malam ini aku menyiapkan buku-buku untuk kuliah besok. Tidak ada cuti honeymoon seperti pengantin baru lainnya. Kondisi kaki Axel juga masih sakit.
“Sayang...”
Telingaku meremang mendengar Axel memanggilku sayang. Aku menolehnya yang tengah duduk selonjoran di ranjang.
“Ya, Pah.”
“Mamah duduk di sini dulu. Masa pengantin baru jauh-jauhan,” ucapnya dengan senyum terulas.
Aku menuruti kemauannya. Aku duduk di sebelahnya. Axel mengusap rambutku berulang.
“Rambut kamu bagus, Mah. Aku sudah sudah berhak melihatnya.” Tatapan Axel begitu menelisik, seperti tengah meneliti setiap helai rambut yang terurai.
Aku tersipu. Dipuji oleh suami sendiri itu rasanya indah. Axel menurunkan jari-jarinya dan mengusap pipiku. Tatapannya masih tajam. Aku jadi berdebar ditatap sedemikin lekat.
“Mah, kita udah nikah, berarti udah boleh ciuman?” tanyanya polos.
Aku mengangguk pelan. Mungkin wajahku sudah memerah seperti kepiting rebus.
“Lebih dari itu juga boleh, Pah.”
Aku lihat wajah Axel juga sedikit memerah.
“Tapi sayang aku belum bisa melaksanakan kewajibanku memberi nafkah batin. Kakiku masih sakit. Tapi boleh kan cium-cium?” Axel menaikkan alisnya.
Lagi-lagi aku tersipu. Aku hanya mengangguk. Axel mendekatkan wajahnya. Aku semakin deg-degan. Sepertinya jantungku berpacu lebih cepat. Wajah Axel kian dekat. Ujung bibirnya sudah menyentuh ujung bibirku. Aku terdiam sesaat, tak tahu harus bagaimana membalasnya.
“Bibirnya sedikit dibuka, Mah, biar Papah bisa bebas nyiumnya,” ucap Axel dengan ujung bibir yang menyentuh sudut bibirku.
Aku deg-degan bukan main, gugup, berdebar, semua bercampur jadi satu. Ini ciuman bibir pertama untuk kami.
“Aku belum pernah ciuman,” ujarku pelan.
Axel tertawa kecil, “Aku juga belum pernah. Aku mungkin kelihatan badboy, tapi aku belum pernah pacaran. Aku belum pernah ciuman.”
“Tapi Papah kok kayaknya udah ahli,” ujarku sembari menatap wajahnya yang begitu dekat.
Lagi-lagi Axel tertawa, “Manusia kan punya insting, Mamah. Meski belum berpengalaman tapi kalau udah urusan ranjang pasti punya insting. Manusia itu dibekali sexual instinct. Ibarat orang makan, nggak akan nyasar dan selalu tepat menuju mulut, berhubungan intim juga gitu, nggak akan nyasar," bisiknya lirih.
"Kata Sigmun Freud, segala kenikmatan yang dicari manusia dalam bentuk dasar adalah kenikmatan seksual.” Axel mengecup leherku, membuatku semakin berdebar. Sensasinya begitu menggetarkan dan membuatku tak berkutik.
“Coba lagi ya ciumannya,” bisik Axel pelan.
Kulirik pintu kamar. Kamar ini sebelumnya adalah kamar pribadiku, saat ini menjadi kamar kami berdua. Pintu sudah tertutup. Axel memegang daguku hingga wajahku menghadapnya. Aku tak membalas apapun, tapi debaran itu masih menguasai.
Axel kembali mendekatkan wajahnya, menyentuh ujung bibirku dan berusaha membukanya. Mataku terpejam. Aku ikuti ritmenya. Ciuman itu terasa begitu hangat dan memabukkan. Seakan tak pernah puas mengemut permen yang belum jua habis, kami melakukannya berulang hingga tanpa sadar satu erangan kecil lolos dari bibirku. Bisa kudengar Axel melenguh dan tangannya aktif mengusap punggungku.
“Pah... Nanti keterusan. Papah kan masih sakit,” ucapku setelah melepas ciuman.
Axel terkekeh, “Godaan banget, Mah. Mana kaki masih sakit. Pingin makan Mamah sampai habis.”
Aku tertawa kecil, “Papah bisa aja.”
“Ciuman ternyata enak banget ya, Mah. Pantesan Devano bisa uring-uringan kalau nggak dikasih ciuman sama pacarnya,” balasnya seraya mencubit pipiku pelan.
“Ciuman kita jauh lebih indah, Pah. Kita kan udah halal.”
Axel mengangguk, “Iya, Mah.”
“Pah, kita belun sholat sunnah. Setelah akad itu dianjurkan sholat sunnah dua rakaat.”
“Kalau sholat Sunnah doanya sama kayak sholat wajib, nggak?” tanya Axel polos.
“Sama, Pah. Untuk surat-suratnya, hafalin Surat Al-fatihah sama minimal dua surat pendek dulu nggak apa-apa, Pah.”
Axel tersenyum, “Iya Alhamdulillah Papah udah hafal Surat Al-fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, sama An-Nas.”
“Alhamdulillah, Pah. Terus semangat belajarnya, ya, Pah. Kita belajar bareng-bareng.”
Aku membimbingnya untuk berwudhu. Sebelumnya dia berkonsultasi pada ustadz, bagaimana cara berwudhu sedang kakinya dibalut gips dan tidak boleh tersiram air. Kata ustadz bagian tubuh yang boleh kena air, dibasuh dengan air seperti wudhu biasa, sedang bagian yang digips cukup diusap saja. Aku pernah mendengar kajian bahwa luka yang tidak boleh kena air, saat berwudhu maka bagian tersebut tak masalah jika tidak dikenai air. Islam itu tidak memberatkan.
Seusai sholat, kami berbincang-bincang diiringi candaan ringan dan tawa. Masya Allah, indah sekali bercanda tawa dengan suami sembari saling menggenggam. Sesekali Axel mencium keningku, mengecup pipi, lalu bercumbu lagi. Aku sendiri lupa, entah sudah ciuman yang keberapa kali. Rasanya tak ada bosannya.
“Mah, kamu tahu nggak, awal mula aku penasaran sama agama Islam?”
Aku menggeleng.
“Penasaran kenapa?”
“Waktu itu aku baca artikel tentang tiga tahapan terbentuknya janin dalam rahim. Di Al-Qur’an sudah dijelaskan. Jauh sebelum alat-alat kedokteran dan penelitian canggih ada, Al-Qur’an sudah membahasnya. Mamah coba deh ambil ponsel papah. Papah masih nyimpen artikelnya.”
Aku ambil ponsel Axel di nakas. Ia membuka artikel yang ia simpan. Aku baru tahu, Axel menyimpan banyak artikel religi dan pembahasan-pembahasan sesuatu berdasar Al-Qur’an dan kajian ilmiahnya.
“Nih, ada di surat Az-Zumar ayat 6. Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?"
“Terus aku baca keterangan tentang tiga tahapan ini. Dalam buku Basic Embryologi, kehidupan rahim ada tiga tahapan, tahap pre-embrionik, tahap embrionik, sama tahap fetus. Kalau pre-embrionik itu zigot tumbuh membesar, membentuk segumpal sel dan membenamkan di dinding rahim, tahap embrionik itu disebut embrio, organ bayi udah mulai kebentuk, nah tahap terakhir, tahap fetus di mana bayi udah menyerupai manusia, udah kebentuk wajah, tangan, kaki.” Axel membuka artikel yang ia simpan.
“Semua dijelaskan dalam surat Al-Mukminun ayat 12 sampai 14.”
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al-Mukminun : 12-14).
“Aku takjub dengan isi kandungan dalam surat tersebut, Mah. Betapa Al-Qur’an telah menjelaskan semua. Ilmu pengetahuan modern pun membuktikan bahwa apa yang disampaikan di surat Al-Mukminun ayat 12 sampai 14 benar adanya. Ada sebenarnya penjelasan yang lebih lengkap lagi. Aku nyimpen artikelnya juga.”
“Iya, Pah. Semakin kita banyak membaca dan memahami isi Al-Qur’an, makin besar rasa cinta kita pada Al-Qur’an dan pada Allah. Papah pernah dengar nggak tentang terbentuknya jenis kelamin bayi menurut Al-Qur’an?”
Axel menggeleng, “Kalau itu belum, Mah.”
“Di surat An-Najm ayat 45-46, dijelaskan, Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita, dari air mani, apabila dipancarkan."
“Jadi dalam surat tersebut sudah sangat jelas diterangkan bahwa sperma laki-laki yang menentukan jenis kelamin. Kita tahu kan, kalau sel kelamin pria mempunyai kromosom X dan Y, sedang sel telur memiliki sepasang kromosom X. Kalau kromosom X sel telur bergabung dengan kromosom X dari sperma, maka bayi yang lahir perempuan, tapi kalau bergabung dengan kromosom Y dari sperma, yang lahir bayi laki-laki. Jadi singkatnya, jenis kelamin bayi tergantung dari kromosom manakah dari sperma yang membuahi sel telur. Seperti apa yang tercantum dalam surat An-Najm ayat 45 dan 46. Ilmu genetika baru berhasil mengungkap fakta ini di abad 20,” pungkasku.
Axel manggut-manggut, “Luar biasa, ya, Mah. Mentang-mentang udah halal kita bahas ginian. Mana belum bisa dipraktekkan. Padahal udah nggak sabar membuahi sel telur Mamah.”
Kami tertawa bersama.
“Papah pikirannya udah ke sana.”
“Nggak apa-apa, kan udah halal," seringainya.
“Udah malam, bobo, yuk...” Aku menaikkan kedua alisku.
“Ciuman dulu.., ya, ya, ya..,” rengeknya seperti anak kecil minta es krim.
“Ih, Papah, nggak ada bosennya.”
“Mamah juga suka kan?”
Dan kami pun berciuman lagi untuk kesekian kali. Setelah itu kami tidur. Axel tidur terlentang karena belum bisa banyak bergerak. Aku memeluk pinggangnya. Saat sudah terbaring pun, Axel mengecup keningku berulang.
“I love you, Mah...”
“I love you too, Pah...”
******
Pendek dulu ya. Dihargai ya, jangan diprotes kependekan. Ini aku sempetin banget padahal tugas revisi masih banyak. Kalau nggak puas, silakan nulis sendiri saja 😂.
Yang mau urun cover Dear, Pak Dosen 2 silakan. Nanti aku minta pembaca untuk milih atau aku pakai gantian.
Btw karakter sakha di Dear, Pak Dosen 2 itu lebih detail dan gemesin gimana, sekaligus bikin kesal. Jangan kaget kalau dia agak nakal dikit, turunan dari Argan 😂. Nakalnya cuma sama Alea doang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro