15. Langkah Awal
Cuap-cuap sejenak...
Btw karena cerita ini pakai sudut pandang orang pertama, segala perjuangan Axel aku ceritain dari sudut pandang Adira.
Pembaca kemarin kesel sama Sakha yg main php. Sebenarnya ini inspirasi dari real, kisah teman2 yang di-php sama cowok yang sebenarnya punya banyak kelebihan. Karir oke, pendidikan oke, ganteng, baik, tapi kok main php? Nggak semua cowok dengan sederet kualitas itu main php, banyak juga yang serius. Cuma dari yg aku amati emang ada yg karakternya begitu. Atau mungkin karena merasa dirinya berkualitas, jadi dia milih calon juga yg selektif banget, tanpa sadar menerapkan standar yg tinggi untuk calon pasangannya. Jika ketemu calon yg menurut dia lebih memenuhi kriteria, dia tinggalin cewek yg udah dikasih php.
Kadang cowok-cowok yang sederhana, belum mapan, malah beberapa langkah ke depan. Nggak semuanya sih yg kayak gini. Cuma aku berkaca dari pengalaman waktu suami dulu ngajak nikah, dia itu sosok yang apa adanya, sederhana, belum mapan, punya pekerjaan tapi penghasilannya nggak wah, tapi dia berani ngajak nikah meski belum lama kenal. Padahal waktu itu pernah ada dua cewek yang suka sama suami, cantik2, anggun, tapi suami nggak nanggepin malah kekeh ngejar cewek yang tomboy, nggak cantik, dan waktu itu aku masih jutek sama suami. Jadi mikir apa laki-laki sederhana cenderung berpikir sederhana juga soal jodoh. Ketika dia menyukai seseorang, dia nggak kepikiran untuk menyeleksi yg lain, mencari-cari yang terbaik, bagi dia satu cewek yg udah membuatnya yakin ya itulah yang dikejar, nggak peduli dengan segala kekurangan cewek itu, yang ia inginkan, ia ingin menikah dengan cewek itu. Atau mungkin karena dia juga merasa dirinya masih punya banyak kekurangan jadi mikirnya gak mau menerapkan standar yang muluk-muluk, yang penting ayo sama-sama kita belajar.
Scene Axel yang bilang ingin menikah karena selain dapat istri juga dapat keluarga itu inspirasinya dari pikiran suami waktu dulu serius ingin menikah. Suami itu anak broken home. Ayah ibunya cerai waktu dia kecil dan ayahnya tinggal di tempat yang jauh. Setelah cerai ayahnya lepas tanggung jawab, nggak mau jenguk, nggak mau menafkahi. Saudaranya banyak dan ekonomi keluarga morat-marit sampai suami sekolah pun sambil kerja karena nggak ada biaya. Pengalaman pahit orang tuanya gak bikin dia trauma memandang pernikahan, tapi justru ingin cepat menikah karena merindukan kehangatan keluarga, dan dia mendapat kehangatan keluarga di keluargaku, di mana bapak ibu harmonis dengan anak-anaknya. Belum lama ibunya meninggal, dia melamar saya. Ayahnya nggak mau tahu dia mau nikah, udah nggak mau ngurus, jadi suami bener2 ngumpulin modal sendiri. Mau ngandalin siapa lagi karena saudara2nya juga ekonominya belum mapan. Dan setelah menikah, dia merasa punya keluarga utuh. Bapak ibuku otomatis jadi orang tuanya juga. Kata dia, rasanya hangat dan damai banget kalau lagi kumpul bareng keluargaku. Ini juga yang dirasakan Axel yang merindukan kehangatan keluarga. Di part ini akan diceritakan lebih jelas.
Maaf cuap2nya kepanjangan hahahah. Abaikan saja jika sekiranya tidak bermanfaat.
Happy reading....
Waktu berjalan begitu cepat. Semester pertama berakhir. Nilai ujian alhamdulillah memuaskan. Rasanya bersyukur ketika membaca tulisan Indeks Prestasi Semester 3,87. Aku juga bersyukur Axel berhasil meraih IP 3,25. Syarat mendapatkan beasiswa dari salah satu perusahaan air mineral yang memiliki program beasiswa untuk 50 mahasiswa dari semua fakultas adalah lulus test dan IP semester kemarin minimal 3,00. Alhamdulillah Axel berhasil lulus test dan mendapat IP yang memenuhi persyaratan.
Cherise bercerita bahwa Axel berusaha keras untuk belajar agar lolos seleksi beasiswa. Allah memberi kemudahan. Dia juga semakin rajin mendalami agama Islam. Salah satu moment bersejarah yang tak akan terlupakan adalah saat Axel mendeklarasikan dua kalimat syahadat di depan jamaah Masjid dekat kampus. Aku turut menjadi saksi bagaimana dengan lantang Axel berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Shalallahu alaihi wasallam adalah utusan Allah. Speechless... Seketika air mataku berderai. Teman-teman yang lain ikut menitikkan air mata.
Satu hal yang membuat suasana hatiku bertambah haru adalah ketika mama Axel turut hadir menyaksikan peristiwa sakral itu. Papa Axel masih belum mau berdamai dengan pilihan putranya. Air mataku menetes terharu ketika mama Axel menangkup kedua pipiku dan mengatakan bahwa Axel tak salah jatuh cinta padaku. Aku terharu dengan kebesaran hati mama Axel yang berjiwa besar mendukung keputusan Axel untuk memeluk agama Islam. Beliau mengatakan, baginya yang terpenting anaknya bahagia dan hidup dalam bimbingan Tuhan. Ia bangga melihat perubahan sikap Axel yang menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab. Ia berpesan khusus padaku untuk membimbing Axel agar selalu menjaga langkahnya di jalan yang benar. Aku tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat itu. Mama Axel wanita yang baik. Aku tersentuh ketika ia menggenggam kedua telapak tanganku dan ia tak menanyakan apapun terkait kondisi tanganku meski ia tahu benar, telapak tanganku tak memiliki jari.
Axel memutuskan menjadi mualaf setelah melalui perenungan yang panjang. Ia tersentuh dengan hadits yang mengatakan bahwa bakti kepada ibu tiga kali lebih banyak dibanding ayah.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Dia pernah mengatakan hadits itu begitu bermakna untuknya karena ia dekat sekali dengan mamanya. Islam begitu memuliakan perempuan, menghargai perjuangan perempuan yang telah bersusah payah mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Awalnya Axel selalu menganggap agama Islam merendahkan perempuan. Pertama Axel tak bisa menerima dengan logika kenapa perempuan muslim yang sudah baligh diwajibkan berjilbab. Katanya setiap manusia memiliki hak untuk berpakaian senyaman yang ia suka. Apalagi perempuan itu makhluk yang memiliki visual indah. Pakaian yang seksi dan terbuka akan semakin menonjolkan keindahannya. Namun setelah aku menjelaskan pentingnya menjaga pandangan bagi laki-laki dan perempuan yang berpakaian sesuai syariat sebenarnya telah membantu laki-laki untuk menjaga pandangannya, ia pun berpikir ulang.
Sampai-sampai aku bercanda dan bertanya padanya, Apa Papah rela melihat Mamah pakai baju terbuka terus dilihatin sama laki-laki non mahram? Dia tak menjawab malah melonjak-lonjak karena itu pertama kali aku memanggilnya “Papah”. Dia bilang, dia tak akan rela melihatku mengenakan baju terbuka dan dilihatin banyak orang karena takut akan menjadi bahan objek fantasi laki-laki. Begitulah konsep sederhana dari cara berpakaian. Islam sangat memuliakan perempuan. Karena itu cara berpakaian pun diatur demi kebaikan perempuan juga laki-laki.
Aku jelaskan ada banyak perlakuan tidak adil terhadap perempuan di zaman jahiliyah. Islam datang untuk menghapus kebiasaan jahiliyah yang merugikan perempuan. Contohnya dulu saat seorang laki-laki meninggal dunia, istrinya dijadikan harta warisan yang akan diwariskan pada ahli waris. Islam datang menghapus kebiasaan ini. Masih terkait warisan, banyak yang belum paham aturan terkait pembagian warisan ini hingga menyebut aturan dalam agama Islam telah mendiskriminasi perempuan karena laki-laki mendapat bagian lebih banyak dari perempuan. Axel pernah menanyakan hal ini. Aku jelaskan bahwa perempuan itu tidak memiliki kewajiban mencari nafkah. Sebelum menikah, tugas ayah dan saudara laki-lakinya yang menanggung biaya makan, sandang, dan papan. Setelah menikah, ia menjadi tanggungan suaminya. Karena itulah bagian laki-laki lebih banyak karena ia memiliki kewajiban menafkahi keluarga. Sedangkan harta perempuan menjadi milik perempuan itu sendiri. Selain itu, banyak yang hanya merujuk pada satu ayat saja, padahal ada banyak kondisi di mana perempuan memiliki hak waris yang sama besarnya dengan laki-laki, ada kasus yang mengatur bahwa jumlah warisan yang diterima perempuan lebih banyak dari laki-laki, dan ada kasus yang mengatur bahwa perempuan mendapatkan warisan sedang laki-laki tidak mendapatkannya. Aku memintanya untuk bertanya lebih detail pada ustadz yang rutin mengajarinya membaca Al-Qur’an dan ilmu agama.
Axel juga masih teringat akan penjelasan Mas Sakha tentang alasan ilmiah di balik masa iddah yang juga bisa menjadi jawaban atas pertanyaan kenapa wanita tidak boleh poliandri sedangkan laki-laki boleh poligami. Ia menyadari, ini salah satu dari sekian banyak aturan dalam agama Islam yang menjaga martabat perempuan. Wanita memiliki sistem imun khusus yang mampu menyimpan karakteristik genetik objek asing yang masuk ke dalam tubuhnya selama 120 hari di sistem reproduksinya. Bisa dibayangkan jika perempuan diperbolehkan poliandri, objek asing (sperma) yang masuk ke dalam tubuhnya bergantian dan akan mengacaukan keseimbangan sistem kekebalan tubuh, yang pada akhirnya bisa mendatangkan penyakit.
Axel juga mempelajari banyak aturan lain dalam agama Islam dengan bimbingan ustadz lalu dikaji bersama tentang dampak positif dari sebuah aturan. Termasuk adab makan ala Rasulullah yang terlihat sepele tapi ada makna di baliknya. Axel bercerita padaku bahwa dia pernah bertanya pada Abizar, kenapa Rasullullah memerintahkan untuk makan dengan tangan kanan serta menggunakan tiga jari di tangan kanan, yaitu jempol, jari telunjuk, dan jari tengah.
“Jika salah seorang dari kalian akan makan, hendaknya makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaknya minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya” (HR. Muslim).
Berdasarkan hasil penelitian tangan kanan mengandung enzim RNAse yang dapat menghambat aktivitas bakteri pada tubuh manusia. Bakteri tersebut diikat sehingga pergerakannya terbatas. Dengan demikian makan dengan tangan kanan dapat membantu sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit yang mungkin terbawa makanan. Enzim RNAse ini lebih banyak terdapat pada tiga jari.
Cintanya pada Islam tumbuh mengalir berawal dari hal-hal sederhana. Ditambah ia dikelilingi banyak teman muslim, jadi dia bisa bertanya pada siapapun. Karena itu aku dulu sempat heran, Axel sering bertanya tentang aturan agamaku, terkesan menyepelekan, tapi dia bisa paham istilah-istilah seperti bukan mahram, laki-laki ajnabi, qona'ah, khalwat, tabarruj, khimar, dan istilah lain. Rupanya dia sering berdiskusi dengan Abizar.
Liburan semesteran kemarin, Axel, Dito, Luna, dan Syifa datang ke rumah sebelum Dito, Luna, dan Syifa pulang ke kampung halaman. Mereka anak kost. Masa-masa liburan diisi dengan liburan di kampung halaman masing-masing. Axel tidak pulang. Selama hubungannya dengan papanya belum membaik, dia tak akan pulang. Papanya juga belum ingin bertemu dengannya. Bahkan ia terang-terangan mengusir Axel. Axel memanfaatkan waktu liburan untuk bekerja.
Waktu mereka bersilaturahim, di saat itulah ayah dan bunda berkesempatan mengenal Axel dan berbincang dengannya. Orang tuaku menyambut baik kedatangan teman-temanku termasuk Axel. Aku senang melihat Axel berbincang hangat dengan ayah. Aku terharu saat sebelum berpamitan, Axel mengatakan ia seperti menemukan keluarga ketika tengah berkumpul bersama keluargaku. Ia jarang sekali berkumpul dengan papa mamanya bahkan di saat sebelum Axel diusir oleh papanya. Orang tuanya sibuk berbisnis dan jarang meluangkan waktu bersama kecuali liburan.
Satu kejadian besar sempat menggoncang kekuatan Axel. Ia sangat terpukul mendengar kabar mamanya meninggal karena serangan jantung. Kabar duka ini juga meluluhlantakkan pertahananku. Aku menangis, mama yang begitu hebat dan mendukung ke-Islaman Axel telah berpulang. Masih teringat kelembutan tangannya saat menangkup kedua pipiku. Aku masih terbayang pesan beliau yang memintaku untuk membimbing Axel agar langkahnya selalu terjaga di jalan yang benar. Aku juga memikirkan nasib Axel yang telah kehilangan mamanya untuk selamanya dan papanya pun masih belum mau menerimanya.
Axel nekat pulang ke Jakarta demi melihat prosesi pemakaman sang mama. Yang membuatku sakit mendengarnya, papanya mengusirnya lagi dan mengatakan mamanya terkena serangan jantung karena memikirkan Axel.
Semangat Axel sempat turun. Aku memintanya untuk banyak berdoa dan sholat malam agar hatinya lebih tenang. Sehancur apapun perasaannya, ia berusaha untuk bangkit dan menjalani aktivitasnya tanpa mempedulikan hatinya yang porak-poranda.
Ada satu peristiwa besar yang ingin aku ceritakan juga saat liburan semester kemarin. Om Argan dan Tante Nara datang ke rumah bersama Mas Sakha. Mereka dan orang tuaku sempat berbincang menginginkan persahabatan mereka dapat terjalin lebih erat. Entah ini serius atau bercanda, Tante Nara sempat nyeletuk, “Wah kalau kita besanan kayaknya hubungan kita akan semakin baik...”
Perkataan Tante Nara disambut baik oleh bundaku. Aku hanya terdiam, begitu juga Mas Sakha. Sejak kejadian Alea menemui kami di kampus, mas Sakha tidak pernah lagi membahas soal ta'aruf. Orang tuaku menyerahkan keputusan padaku. Kalau memang aku bersedia menikah dengan Mas Sakha, mereka tak akan keberatan. Aku katakan bahwa aku belum memikirkan pernikahan. Rasanya sungkan untuk langsung mengatakan tidak.
Hari-hari terus berlalu. Semester dua telah datang. Usia sembilan belas datang menyambut. Hatiku bergetar hebat kala Axel meminta izinku untuk datang ke rumah. Bukan sekedar bersilaturahim tapi ingin memintaku pada orang tuaku. Memintaku menjadi istrinya. Ini serius? Apa dia siap dengan segala konsekuensi menikah muda? Usia baru sembilan belas. Dia memang bekerja tapi belum mapan. Ia berpikir sederhana bahwa ia tak mau menggantung status kami terlalu lama. Tidak pacaran, tapi ada perasaan yang tumbuh besar diantara kami. Ia akan merasa lega jika telah menghalalkan hubungan kami.
Ada banyak pertimbangan kenapa ia memutuskan untuk melamarku. Pertama dia tak mau menambah dosa dengan terus memikirkanku, mencuri pandang ke arahku di kelas, dan menahan rindu yang belum halal, kedua dia ingin aku membimbingnya lebih baik dalam mempelajari Islam. Semua akan terwujud jika kami menikah. Aku bisa membimbingnya kapanpun dan kita bisa bediskusi dengan bebas tanpa takut berinteraksi berlebih. Ketiga dia sudah bekerja, kami sama-sama mendapat beasiswa, dia akan berusaha untuk memenuhi segala kebutuhanku dan rumah tangga. Hanya ia memintaku untuk menyesuaikan dengan kondisi finansialnya yang tak berlebih. Dia akan terus berusaha untuk memberikan penghidupan yang layak dan baik untukku. Keempat dia ingin memperkuat rasa cintanya pada Islam, ingin istiqomah sebagai Muslim. Kehadiranku akan semakin menguatkan langkahnya karena aku bisa menjadi supporter terbesar untuknya. Kelima ia takut aku keburu diambil orang. Alasan kelima ini membuatku tertawa. Dari semua pertimbangan ada satu alasan terbesar, bahwa dia ingin menikahiku karena Allah, karena ingin membangun rumah tangga sakinah mawadah warahmah sebagai jembatan beribadah.
Ada satu pertimbangan lagi yang ia sampaikan belakangan. Ia bilang, “Aku merasa menemukan keluarga ketika berada di tengah keluargamu." Ibunya sudah meninggal, dan papanya sudah tak peduli lagi akan hidupnya. Ia menemukan pelengkap kekosongan itu pada keluargaku. Aku terharu dan rasanya aku tak ingin mengecewakannya dengan menolaknya. Meski aku tahu, menikah muda itu tidak semudah dalam bayangan. Banyak sekali konsekuensi yang harus dihadapi.
Axel juga mengatakan ia akan berterus terang pada orang tuaku bahwa ia tak bisa memberikan mahar dalam jumlah banyak. Namun ia berjanji akan berusaha memberikan nafkah yang cukup jika orang tuaku mengizinkannya menikahiku.
Aku sholat istikharah meminta petunjuk apa aku harus menerima lamarannya atau tidak. Sekalipun aku sudah yakin, aku ingin tetap meminta petunjukNya. Hatiku semakin mantap menerimanya.
******
Waktunya tiba juga. Saat ini Axel duduk di hadapanku dan orang tuaku. Ada Budhe Maulid juga yang sedang berkunjung ke rumah. Budhe Maulid adalah kakak sepupu ayah. Dia datang ke rumah bersama suaminya.
“Kamu yakin ingin menikah dengan Adira? Sudah mempertimbangkan semua dan sudah siap menghadapi segala konsekuensinya?” Ayah menatap tajam Axel.
Axel yang ditanya, tapi aku yang deg-degan bukan kepalang.
Axel mengangguk, “Insya Allah, saya yakin dan siap.”
Ayah beralih menatapku.
“Kamu yakin untuk menikah dengan Axel?”
Aku mengangguk, “Dira, yakin Ayah.”
“Coba dipikirkan baik-baik. Kalian masih muda. Mending fokus ke kuliah dulu. Jangan gegabah minta nikah. Dikiranya nikah itu enak? Jangan menuruti nafsu. Hidup aja masih ditanggung orang tua kok minta nikah.” Budhe Maulid bicara dengan ketusnya.
Axel terkesiap. Aku juga kaget mendengarnya. Budhe Maulid memang kadang pedas dalam berucap.
“Axel sudah hidup mandiri, Budhe. Axel punya pekerjaan.” Aku berusaha membela Axel.
“Namanya nikah butuh modal. Emang cukup cuma kasih mahar cincin satu biji? Belum lagi nanti kalau hamil, punya anak, mau dikasih makan apa anaknya? Jangan sok-sokan mau nikah kalau cuma ingin bikin sengsara anak orang.” Budhe Maulid kembali nyerocos dengan lebih ketus.
Aku lihat Axel terdiam dengan raut wajah yang tak terbaca. Ada rasa sedih dan sakit yang tergambar di bola matanya.
“Mbak, saya tidak masalah dengan berapapun jumlah maharnya. Anak ini punya niat baik,” sergah Ayah.
“Kalau memang maharnya ingin lebih, saya bisa mengusahakannya,” tukas Axel.
“Tidak apa, Axel. Mungkin sebaiknya kita membicarakan pernikahan kalian besok lagi, ya,” ucap Ayah sembari melirikku seolah meminta pengertianku.
Aku tahu maksud Ayah mengatakan hal itu semata untuk menghindari perdebatan dengan Budhe Maulid. Waktunya memang tidak pas. Aku tak menyangka Budhe Maulid akan datang ke sini. Aku lihat Bunda juga menunjukkan gelagat tak nyaman. Budhe Maulid terlalu mencampuri urusan keluarga kami.
“Mending sama Sakha saja, bibit bebet bobotnya jelas. Dia mapan, punya pekerjaan bagus, agamanya bagus, santun anaknya. Insya Allah hidup Dira bakal terjamin dan nggak perlu susah-susah. Realistis saja, hidup nggak cuma makan cinta.” Budhe Maulid kembali berceloteh.
Axel tertunduk. Rasanya aku ingin menangis. Aku tahu hati Axel terluka.
Hingga Axel berpamitan, wajahnya masih terlihat mendung. Aku mengantarnya hingga ke pelataran.
“Axel, tolong jangan dengerin omongan Budhe Maulid.”
“Apa yang dia bilang benar, Mah. Pak Sakha lebih segalanya dari aku. Mumpung belum terlambat, silakan dipikirkan lagi. Aku akan tetap pada pendirianku untuk menikahimu. Tapi seumpama kamu goyah dan lebih memilih Pak Sakha, aku ikhlas. Aku nggak punya apa-apa, Mah. Aku nggak akan ngebiarin kamu hidup sengsara saat nanti kita menikah meski kerjaanku nggak sebagus Pak Sakha. Silakan dipikirkan baik-baik. Aku siap apapun keputusanmu.” Tatapan Axel terlihat meredup.
“Aku sudah memutuskan, aku menerimamu, Xel. Jangan terprovokasi karena ucapan Budhe Maulid.”
Axel tersenyum, “Terima kasih, Mah. I'll try to do the best... Aku pulang dulu, ya.”
Aku mengangguk, “Hati-hati di jalan.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam."
Axel dan motornya melaju meninggalkan pelataran. Aku kembali masuk ke dalam. Ayah dan Budhe masih berbincang. Kurasakan atmosfer terasa kian panas.
“Pikirkan baik-baik, Bay. Masa iya kamu mau menyerahkan anakmu ke bocah kemarin sore. Ngidupin diri sendiri aja susah, ini mau ngidupin anak orang. Yang lebih mapan dan berkualitas juga ada, kok mau nyerahin anak ke orang yang ibaratnya ngurus badan sendiri juga belum becus.” Budhe Maulid mengembuskan napas kesal.
“Mbak, Axel ini sudah tidak punya ibu. Ibunya meninggal. Axel mualaf dan dia diusir sama papanya. Seluruh keluarga besar dilarang ngasih dia bantuan. Dia kuliah sambil kerja, alhamdulillah dapat beasiswa. Apa iya aku tega menolaknya? Ketika aku dan Firda menerima dia itu artinya aku menerimanya sebagai anak. Saat nanti dia nikah sama Adira, dia juga jadi anak kami. Aku lihat anaknya baik. Semangatnya dalam belajar agama tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari yang terlahir dari keluarga Muslim. Jika ada laki-laki baik datang melamar dan anaknya mau untuk menikah dengannya, aku akan berdosa jika menghalangi pernikahan mereka.”
Penjelasan Ayah membuatku lega dan tenang. Aku bersyukur memiliki seorang ayah yang bijak dan memahami perasaanku. Ayah tak pernah memaksakan kehendaknya.
******
Malam ini ayah dan bunda datang ke kamar di saat aku tengah melipat baju. Sepertinya ada sesuatu yang ingin mereka bicarakan.
“Dir, ayah ingin membicarakan soal wali nikah saat kalian menikah nanti...”
Aku mengernyit. Wali nikah? Bukankah ayah yang akan menjadi wali nikahku? Ayah hendak melanjutkan perkataannya, tiba-tiba bunyi telepon mengagetkanku.
“Diangkat dulu, Dir, siapa tahu penting,” tukas Ayah.
Panggilan telepon dari Dito. Ada apa gerangan? Aku mengangkatnya.
“Mah, Papah kecelakaan. Sekarang lagi di rumah sakit.”
Deg...
Seketika langit serasa runtuh, tepat mengenai kepalaku dan semua terlihat gelap...
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro