Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Masih Ada Kesempatan

Sebelum masuk cerita, aku ada work baru, Gege's Crafts. Isinya foto-foto crafts karya saya, banyakan DIY mainan anak. Silakan mampir bagi yang berkenan.


Yang suka masak atau ingin belajar masak, aku ada karya "Food-Art & Recipes, hasil masakan saya, masih belajar lah hahaha, masih abal-abal. Ada resepnya juga, ada bentonya juga.


Yang suka karya seni, seneng lihat gambar atau lukisan, atau seneng menggambar, silakan mampir ke karya saya "Gege's Art". Isinya hasil coretan tangan saya semua. Ada gambar doodle, lukisan, hand lettering, kaligrafi, dll.


Terbantu juga dengan adanya wattpad, selain nulis cerita, aku jadi punya work khusus mengumpulkan karya-karyaku, biar nggak tercecer di mana-mana. Itung-itung buat nyimpen file2.

Happy reading.....
Voment jangan lupa hehehe...

"Kalian ta'arufan?" Alea menatapku dan Mas Sakha bergantian dengan pandangan bertanya.

Aku hendak menjawab, tapi Mas Sakha seketika menjawab.

"Iya," jawabnya tanpa beban.

Aku melongo. Aku bahkan belum menerima ta'arufnya. Alea berdiri dan memasang wajah juteknya.

"Aku mau balik ke butik." Alea melangkah meninggalkanku dan Mas Sakha.

Mas Sakha beranjak dan menyusul langkah Alea, "Lea....," teriaknya.

Aku ikut menyusul mereka. Entah kenapa aku berpikir, ada sesuatu antara mereka.

"Kenapa kamu tiba-tiba pergi? Nggak kuat denger aku mau ta'arufan sama Dira?" tanya Mas Sakha yang tengah mencoba menghalangi langkah Alea dengan menghadang di depan tubuh Alea yang mematung.

Aku mengernyit. Apa Alea cemburu? Apa Alea suka sama Mas Sakha?

"Ya ampun, kamu nggak usah halu dan berasa jadi cowok yang paling ganteng dan baik. Cowok di dunia ini, bukan cuma kamu doang. Banyak yang antri buat dapetin cinta aku. Aku sampai sekarang masih jomblo, bukan karena nggak laku. Apalagi nungguin kamu. Nggak usah ngayal. Aku punya kriteria khusus dan sampai sekarang aku belum menemukan cowok itu. Jadi kamu mau ta'arufan sama siapa kek, itu bukan urusanku." Alea nyerocos tiada henti dan semakin menunjukkan bahwa dia memang benar-benar cemburu.

"Nggak usah sampai ngotot begitu kali. Kalau kamu nggak masalah aku ta'arufan sama siapa, kamu nggak perlu mencak-mencak kayak gini. Udah lah nggak usah ditutupi. Kamu masih ngarepin aku. Aku sebenarnya udah kasih kamu kesempatan untuk setidaknya ada perubahan atau perbaikan meski sedikit, tapi kamu sama sekali nggak berubah. Gimana bisa aku ngabisin seumur hidup aku sama orang yang nggak pernah sejalan sama aku?" Mas Sakha menjelaskan panjang lebar.

Aku masih tergugu di sini, menyaksikan pertengkaran dua orang yang sama-sama keras dengan pendirian masing-masing. Aku tak menampik, ada chemistry yang kuat antara keduanya.

"Apa yang harus kuubah? Kamu selalu saja buruk dalam menilaiku. Kita memang nggak sejalan, Kha. Aku ini cuma cewek yang banyak dosa, nggak pantes jalan bareng kamu, bukan level kamu. Aku nggak mau jadi orang lain hanya karena cowok. Untuk apa aku bersusah payah membentuk diriku seperti yang diinginkan orang lain. Aku adalah aku. I just want to be myself. If you want to find the perfect person, I make sure, that's not me!"

"Who is trying to find the perfect person? Aku nggak pernah bilang kayak gitu. Kamu kali yang sedang mencari seseorang yang sesuai kriteria kamu. Cinta itu bukan mencari seseorang yang memenuhi semua kriteria yang ada di daftar kita." Mas Sakha terus mendebat.

"Nah, itu tahu, kan? Terus untuk apa kamu bilang ke Om Argan kalau aku nggak memenuhi kriteriamu. Kamu pikir, aku nggak denger pembicaraan kamu? Kriteria itu tetap penting, kan?" Alea menajamkan matanya.

"Setidaknya ada satu dua kriteria yang masuk. Yang aku tekankan nggak harus memenuhi semua kriteria," tandas Mas Sakha.

"Ya, sudah sana, cari cewek yang memenuhi satu atau dua kriteria. Nggak usah nyuruh-nyuruh aku ngaji atau baca buku. Kamu memang cocok kok sama Dira." Alea beralih menatapku.

Posisiku serba salah. Aku tak mau memperkeruh permasalahan di antara mereka.

"Kalian sama-sama alim dan baik." Alea berlalu begitu saja.

Aku mengejarnya, "Alea... Aku belum memutuskan untuk menerima ta'aruf Mas Sakha..."

Alea berbalik dan menatapku tajam.
"Kalau kamu mau menerima, silakan, Dir. Apa hak aku melarang? Dia bisa bersikap baik dan manis padamu, itu artinya dia memang menyukai kamu."

Aku lihat mata Alea berkaca.

"Mata kamu berkaca, Lea.... Kamu sakit hati? Kecewa?" Aku perhatikan raut wajahnya seperti hendak menangis.

"Gimana aku nggak sakit hati, Dir. Selama ini aku sering banget di-judge begini begitu. Seolah aku nggak ada benernya. Mungkin karena dia merasa yang paling benar. Ngapain juga kan aku mesti berharap sama seseorang yang nggak bisa ngasih kepastian dan malah mencari orang lain yang menurut dia pantas. Jadi gimana ya jelasinnya....." Alea melirik Mas Sakha.

Aku lihat Mas Sakha juga menoleh Alea dan menunggunya bicara.

"Dia kayak ngikat hati kita, tapi dia masih terus mencari orang lain. Kalau nggak sreg dan ada masalah, ujung-ujungnya lari lagi ke kita. Bisa dibilang dijadiin ban serep atau pemain cadangan itu menyakitkan. Seakan kita adalah pilihan terakhir setelah dia berpetualang mencari yang sempurna. Dia mana ngerti gimana rasanya." Alea menatap Mas Sakha tajam.

Mas Sakha membisu.

"Aku ke butik dulu, ya, Dir." Alea memaksakan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lalu berjalan cepat meninggalkanku yang masih bingung.

Kini aku tahu, Alea menyimpan perasaan untuk Mas Sakha. Kemungkinan Mas Sakha juga menyimpan rasa. Atau itu hanya dugaanku saja? Yang jelas, Mas Sakha terlalu terburu-buru jika mengajakku berta'aruf, sementara ada hati lain yang harus ia urus. Alea meski sebengal apapun, aku tahu pasti selama ini dia bisa menjaga diri. Dia dekat sekali dengan Om Aldebaran, papanya. Aku sering mendengar Alea bercerita tentang nasihat papanya agar ia bisa menjaga diri.

"Dir, aku minta maaf soal keributan tadi. Aku dan Alea itu tidak ada hubungan apapun, sepertinya dia terlalu baper." Mas Sakha mengusap wajahnya.

"Cewek itu memang gampang baper, Mas. Aku bisa melihat, ada sesuatu antara kalian. Mungkin Mas Sakha belum menyadarinya. Aku tahu benar Alea tipe perempuan yang bisa menjaga diri. Seharusnya Mas Sakha nggak meragukannya. Dia kelihatan liar, tapi sebenarnya dia orang yang baik. Gaya hidupnya saja yang seperti sosialita."

"Kayaknya kamu salah paham, Dir. Aku nggak pernah bermaksud membuat Alea baper. Aku nggak menyangka reaksinya bakal seperti itu."

Aku tersenyum tipis.
"Mas Sakha nggak sadar... Mas Sakha udah bikin Alea cemburu."

Mas Sakha mengembuskan napas.

"Jadi gimana dengan rencanaku untuk ngajak kamu makan di rumah? Rasanya aku butuh kepastian kamu, Dir. Kamu sebenarnya mau aku ajak ta'aruf atau tidak?"

Aku menghela napas sejenak.

"Aku belum bisa menjawab. Karena ada hati lain juga yang harus aku urus...." Kusiapkan mentalku... Ini memang sulit. Tapi aku harus jujur.

"Aku mencintai orang lain."

Mas Sakha mengernyitkan alis. Dahinya berkerut. Sepertinya ia memendam sejuta tanya.

"Kalau Mas Sakha tidak bisa menunggu, lebih baik ta'aruf dengan Alea saja. Jujur, aku masih belum siap. Aku nggak mau memutuskan sesuatu dengan tergesa-gesa, apalagi menyangkut urusan yang sangat krusial."

Mas Sakha tak membalas apapun.

"Aku permisi dulu, Mas. Mau langsung ke distro. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku melangkah pelan menuju pintu gerbang. Segala yang menyangkut hati itu kadang membingungkan. Hati Alea, hati Mas Sakha, hatiku, dan hati Axel, seolah menjelma menjadi kumparan benang kusut yang belum juga bisa diluruskan. Rasanya aku hanya ingin menikmati hidup ini, menjalaninya mengalir tanpa memikirkan urusan asmara. Aku harus fokus pada studiku.

******

Esoknya aku berangkat kuliah jam setengah sepuluh karena kelas dimulai pukul sepuluh. Dosen tidak hadir karena ada tugas di luar kota. Ketua kelas menginstruksikan kami untuk mengerjakan tugas.
Axel datang mendekat, dengan seenaknya meminta Sesha yang duduk di depanku untuk pindah.

"Papah semena-mena, main usir saja." Sesha mengerucutkan bibirnya.

"Sebentar, aku mau ngomong sama Mamah," balas Axel dengan senyum terulas dari sudut bibirnya.

"Mah, ini kotak bekalnya." Axel menyerahkan kotak bekal berwarna ungu itu.

Aku menerimanya.

"Kok, berat? Ada isinya?"

Axel tersenyum manis, "Buka aja."

Aku buka kotak bekalku. Aku cukup terkejut melihat isi di dalamnya. Ada nasi goreng beserta telur ceplok, potongan timun, tomat, dan sosis.

"Ini kamu...."

"Aku yang masak. Mungkin nggak seenak bikinan ayah mertua. Tapi ini aku belajar dari Abizar. Diantara anak kost, dia yang paling pinter masak." Axel buru-buru menerangkan.

Axel belajar masak untukku? Sebenarnya aku ingin bereaksi biasa saja. Aku tak ingin histeris atau buru-buru melting. Namun jujur, aku baper, aku bahagia, aku tersanjung,... Ya Allah kenapa rasanya manis sekali? Apa salah kalau aku berkhayal menikah muda dengannya dan setiap hari mendapat kejutan manis darinya? Astaghfirullah... sepertinya jalan yang harus kami lalui masih jauh terbentang.

"Kok melamun, Mah? Ayo dicobain, enak, nggak?"

Aku tersentak mendengar ucapannya. Lamunanku buyar. Bismillah....Kumasukkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutku.

"Gimana, Mah?" Axel menunggu responsku.

Jujur rasanya agak aneh, tapi aku tak mau mengecewakannya.

"Aku suka...." balasku singkat. Ya aku suka....kamu... Bukan makanannya.

"Beneran Mamah suka? Enak nggak, sih?" tanya Axel antusias.

Aku cuma tersenyum dan terus mengunyahnya. Setidaknya telur ceploknya bisa menetralkan rasa nasi goreng yang tidak jelas.

"Ciyee... Papah sweet banget ya, masakin buat mamah," Dito meledek kami. Semua teman pun ikutan bersorak meledek.

"Bentar lagi nunggu undangan, hahaha," giliran Januar meledek.

"Mah, aku mau nanya dong." Axel masih duduk di depanku, sedang di sebelahku ada Syifa dan Luna.

"Nanya apa?"

"Kriteria cowok yang Mamah suka itu yang seperti apa?"

"Ehem..." Luna berdehem dan tertawa kecil.

"Harus ya dijawab? Aku nggak berani memasang kriteria karena ternyata jatuh cinta nggak butuh kriteria," balasku.

"Berarti aku bisa memenuhi kriteria? Oya, apa Mamah siap untuk menikah muda?"

Pertanyaannya kali ini membuatku kehabisan kata.

"Mamah siap kalau Papah juga siap. Yang pasti Mamah nggak mau nikah sama cowok yang nggak seiman," sahut Syifa menimpali.

Aku melirik Syifa dan mendelik ke arahnya. Syifa senyum-senyum penuh arti.

"Kalau semisal Papah siap, papah sudah seiman sama Mamah, apa Mamah siap hidup sederhana sama Papah? Tinggal di kontrakan dan mungkin kita harus banyak berhemat? Papah kerja di coffee shop dan serabutan jadi penulis artikel sepakbola, bikin website... Sekarang ini papah lagi usaha gimana caranya dapat beasiswa, meski otak papah pas-pasan. Papah pikir kalau kita sama-sama dapet beasiswa, kita nggak perlu mikirin biaya kuliah dan fokus untuk biaya hidup ke depan."

Aku tercenung mendengar semua penuturannya. Dia memikirkan sejauh ini? Dia betul-betul serius ingin menikahiku? Usianya bahkan belum genap sembilan belas.

"Papah serius?" Luna memicingkan matanya.

"Soalnya Mamah kan nggak mau terjebak hubungan yang nggak halal. Sementara aku udah terlanjur cinta sama Mamah. Aku merasa menemukan seseorang yang bisa diajak berbagi. Aku ingin berjuang bareng-bareng sama seseorang yang bersedia untuk berjuang bersama. Aku merasa nggak punya siapa-siapa lagi di kota kecil ini. Kalau aku menikahi Mamah, aku nggak hanya dapat istri tapi juga dapat keluarga. Aku butuh seseorang yang bisa membimbingku lebih baik."

Tutur kata Axel terdengar begitu serius. Tatapannya begitu tajam menatapku, sementara aku tak berani menatapnya balik. Syifa dan Luna terdiam. Jika suatu saat Axel menjadi mualaf, apa aku harus menerimanya dan menolak laki-laki lain yang ilmu agamanya lebih baik dariku?

"Aku ingin lihat perjuanganmu. Aku ingin ketika kamu memeluk Islam, itu benar-benar dari hati kamu, bukan karena ingin menikahiku."

Axel mengangguk.

"Iya, aku sedang berjuang untuk itu. Aku mohon tunggu aku, jangan terima pinangan orang lain lebih dulu."

Aku tercekat. Axel mungkin punya insting kalau ada laki-laki lain yang mengajakku berta'aruf.

Aku mengangguk pelan.

Axel tersenyum, "Makasih, Mah." Dia beranjak dan berbalik ke kursinya.

Syifa tersenyum padaku, "Laki-laki yang mau berjuang jangan dilepasin, Mah. Kasih Axel kesempatan untuk belajar Islam benar-benar dari hati. Beri dia kesempatan sampai nanti memeluk Islam pun benar-benar dari hatinya. Usia kalian juga masih sangat muda. Kalian punya kesempatan untuk berbenah, untuk mempersiapkan fisik dan batin. Menikah itu harus siap lahir batin."

Aku melirik Axel sepintas. Ya, mungkin aku harus memberinya kesempatan. Seorang yang terlahir dari keluarga Muslim pun harus berjuang untuk istiqomah dengan ke-Islamannya. Apalagi untuk seseorang yang baru belajar atau baru memeluk agama Islam. Ya Allah jika dia memang jodoh yang tepat untukku, mudahkanlah jalan kami, jaga langkah kami hingga waktu itu tiba... Lindungi dia dan beri dia kemantapan hati untuk memilih berjalan di jalanMu.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro