Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Masih Ragu

Hari ini aku ada kelas jam tujuh pagi. Seperti biasa, setiap kuliah pagi selalu saja sibuk mengurus segala sesuatu. Pagi ini aku menyiapkan bekal sendiri karena ingin belajar lebih mandiri. Aku menawarkan pada Adika untuk kubuatkan bekal juga, tapi ia menolak.

Jarak rumah dengan sekolah Adika cukup dekat, karena itu Adika jalan kaki ke sekolah. Sedang aku diantar ayah.

Setiba di kelas, sudah banyak teman yang datang. Aku tak melihat Axel. Ya Allah, kenapa aku selalu mencari keberadaannya di kelas. Rasanya ada yang kurang jika belum memastikan dia berangkat atau tidak. Kenapa perasaanku semakin bertambah dalam padanya? Apalagi setelah aku tahu dia rela tidak diberi transferan uang oleh orang tuanya demi bisa mempelajari Islam dengan mempertahankan Al-Qur’an dan terjemahannya. Aku tersentuh.

Jika boleh meminta, sebenarnya aku tak ingin jatuh cinta padanya. Mungkin semua akan lebih mudah bila aku tak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Logikaku tahu benar, Mas Sakha adalah laki-laki yang baik. Hubungan keluarganya dan keluargaku juga baik. Mungkin tidak akan ada halangan berarti jika aku menerimanya dan menikah dengannya. Namun aku tak tahu, ada keraguan yang begitu besar untuk menerima Mas Sakha. Apa karena aku terlanjur jatuh cinta pada Axel atau aku memang belum siap?

Bu Rohma, dosen Pengantar Ekonomi Mikro masuk ke kelas. Axel belum juga datang. Mungkin dia membolos.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

“Hari ini kita masuk ke teori perilaku konsumen ya. Sudah ada yang baca bukunya, belum, nih?” tanya Bu Rohma seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

“Beluuummmm,” jawab kami serempak.

“Ya sudah kita bahas bareng-bareng ya. Kegiatan ekonomi itu ada tiga, ya. Apa saja?”

“Produksi, distribusi, dan konsumsi," jawab kami kompak.

“Kalian sudah tahu kan definisi untuk masing-masing kegiatan ini? Kalau konsumen itu apa?”

“Orang yang melakukan kegiatan konsumsi,” jawab Januar lantang.

“Iya, betul. Nah dalam mengonsumsi barang dan jasa, akan tampak perilaku konsumen dalam melakukan kegiatan konsumsi tersebut. Ada perilaku konsumen rasional, ada yang irasional. Ada yang mau memberi contoh dari kedua perilaku ini?” tanya Bu Rohma menyapu pandangannya ke segala sudut.

Kuberanikan diri mengangkat tangan.

“Ya, silakan Adira.”

“Contoh perilaku konsumen yang rasional itu adalah membeli barang karena memang membutuhkannya, memperhatikan asas manfaatnya bukan sekedar beli tanpa memperhatikan kegunaan barang tersebut, membeli barang karena kualitas produk tersebut baik, dan membeli barang dengan harga yang sesuai dengan kemampuan. Sedangkan contoh perilaku konsumen yang irasional itu contohnya membeli barang karena gengsi atau prestise, berpatokan pada merk tertentu, yang terkenal, dan membeli sesuatu karena tertarik dengan promosi dan iklan. Jadi konsumen kadang membeli barang karena penasaran, hanya karena tertarik iklan, padahal dia tidak membutuhkan barang itu.”

“Ya, apa yang dijelaskan Adira itu sudah sangat jelas.”

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar menggema. Axel masuk ke ruangan dan meminta maaf pada Bu Rohma karena datang terlambat.

“Kamu tahu kan peraturan saya di kelas? Mahasiswa yang terlambat lebih dari sepuluh menit, maka silakan menunggu di luar. Tidak usah mengikuti kelas saya,” tegas Bu Rohma lantang.

Atmosfer terasa menegang.

“Iya, Bu, saya tahu. Mohon maaf sebelumnya.” Axel menunduk. Wajahnya terlihat pucat.

“Ya, sudah, silakan keluar,” ucap Bu Rohma datar.

Axel berjalan keluar kelas dengan gontai. Dia terlihat kurang sehat. Apa karena capek bekerja?

Bu Rohma meneruskan mengajarkan materi yang belum disampaikan. Pikiranku masih berkelana mencari jawaban, kenapa Axel terlambat datang dan wajahnya pucat? Aku mengkhawatirkannya.

Seusai mengikuti kelas, aku, Syifa, dan Luna keluar kelas beriringan. Luna pergi ke kantin, sedangkan aku dan Syifa berjalan menuju Masjid untuk sholat Dhuha. Luna tak ikut dengan kami karena sedang berhalangan.

Ada pemandangan yang cukup mengejutkan kala kulihat Axel terbaring di salah satu bangku di taman dekat Masjid. Matanya terpejam.

“Papah kenapa, ya, Mah? Kayaknya kecapaian ampe tiduran di bangku.” Syifa ikut mengawasi Axel dari posisi yang agak jauh.

“Aku juga nggak tahu.”

Kami berjalan mendekat, ingin tahu keadaan Axel.

“Papah...” celetuk Syifa.

Perlahan Axel membuka mata. Ia terkesiap begitu melihat kami. Dia bangun dari posisinya dan duduk menatap kami.

Astaghfirullah... Nggak sadar aku sampai ketiduran,” tukas Axel.

Dia beristighfar. Tak heran, aku sering mendengar teman non muslim mengucapkannya.

“Kamu masih ngantuk kayaknya. Semalam begadang ya?” tanya Syifa.

Axel tersenyum dan melirikku sepintas.

“Biasa nonton bola,” ujarnya ringan.

Kuperhatikan ada kulit yang melepuh di pergelangan tangan kirinya, seperti luka bakar.

“Tanganmu kenapa?” tanyaku akhirnya.

Axel terkesiap. Ia mengamati luka kecil itu.

“Oh, ini kena air panas waktu bikin kopi. Kalau nonton bola itu kan lebih pas ditemani kopi,” balasnya dengan sedikit terbata.

Aku berpikir sejenak, apa ia bergadang karena lembur bekerja? Tangannya kena air panas saat melayani pelanggan di coffee shop? Mungkin saja coffee shop buka 24 jam. Karena saat ini banyak coffee shop yang mengadakan acara nonton bola bareng.

“Kamu udah sarapan belum?” tanyaku lagi. Wajah pucatnya memancing rasa ingin tahuku. Sepertinya ia belum sarapan.

Axel menggeleng pelan.
Benar dugaanku. Aku ambil kotak bekalku dari dalam tas.

“Sebaiknya kamu sarapan dulu.” Kusodorkan kotak bekal itu padanya. Aku mengapit kotak itu dengan kedua telapak tanganku.

Axel tertegun dan menatap kotak bekal itu agak lama. Mungkin ia mengamati telapak tanganku yang tak berjari.

“Ini kan bekalnya Mamah, kok dikasihin sama Papah?” tanyanya seraya mengernyitkan alis.

“Aku udah sarapan. Aku nyiapin bekal sendiri, itung-itung belajar masak dan mandiri,” balasku.

Axel terdiam. Ia kembali mengamati kotak bekal dalam genggamanku. Apa dia gagal fokus memandangi telapak tanganku?

“Kamu ragu aku bisa masak? Kondisi tanganku emang nggak sempurna, tapi aku bisa masak,” ujarku.

“Iya, Mah. Papah percaya kok, Mamah bisa masak dan melakukan banyak hal. Jangan tersinggung, Mah. Papah nggak mempermasalahkan kondisi tangan Mamah. Papah hanya mikirin Mamah, gimana nanti makan siangnya kalau bekalnya dikasihin ke Papah.” Axel menerima kotak bekalku.

“Gampang mah soal makan siang,” ucapku sengan seulas senyum.

“Ciyee... Papah Mamah makin sweet,” Syifa meledek kami.

“Makasih banyak ya, Mah.” Axel tersenyum lebar lalu membuka kotak bekal di genggamannya.

“Wah masakan Mamah kayaknya enak, nih...” Matanya berbinar mengamati menu yang kutata dalam box. Ia memasukkan sesendok nasi dan lauk ke mulutnya lalu mengunyah pelan.

“Enak banget, Mah... Lebih enak lagi kalau disuapin,” ujarnya dengan wajah berseri.

“Huh, dasar nglunjak. Udah dikasih sarapan, masih minta disuapin.” Syifa tertawa kecil. Axel ikut tertawa.

“Ya, udah Xel, aku dan Syifa mau ke Masjid dulu.”

Okay, Mah. Makasih banyak ya bekalnya.” Dia kembali mengulas senyum.

Aku dan Syifa berlalu meninggalkannya. Melihatnya tersenyum dan memakan bekalku dengan lahap, aku merasa senang. Aku tak akan berharap banyak pada kisah kami ke depannya meski dia sudah terbuka untuk mempelajari Islam. Namun rasanya tak apa, jika aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Semalam aku sholat istikharah. Hingga detik ini hati ini masih diselimuti keraguan. Aku pasti akan mendapat petunjuk itu. Mungkin aku harus fokus dulu pada kuliahku. Jodohku sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Aku tak ingin memikirkan hal itu dulu dan sebaiknya aku konsentrasi pada studiku.

******

Setelah kuliah siang, aku melihat tim basket putri latihan di lapangan belakang. Kata Cherise, minggu depan mereka akan bertanding melawan tim basket putri dari fakultas Pertanian. Aku duduk di pinggir lapang.

Cherise mendekat ke arahku. Dia mengambil sebotol air lalu meneguknya.

“Kamu ada kuliah lagi, nggak Dir?”

Aku menggeleng, “Nggak ada Cher.”

Cherise mengusap keringat di lehernya dengan handuk kecil.

“Oya, Cher. Axel kerja di coffee shop itu selalu malam, ya?”

“Seringnya sih gitu, karena paginya kan kuliah. Kalau ada event kayak nonton bola bareng, dia lembur. Katanya lumayan dapat uang lembur. Semalam dia juga lembur.”

Aku terhenyak. Berarti benar dugaanku bahwa luka bakar kecil di pergelangan tangannya berasal dari air panas saat ia membuat kopi. Dia memang mengatakan semalam bergadang nonton bola dan tangannya terkena cipratan air panas. Namun dia tidak mengatakan lembur bekerja.

“Apa hubungan Axel dan orang tuanya masih memburuk?” entah kenapa aku begitu penasaran. Seperti ada rasa sakit ketika mengetahui orang yang kita sukai dalam keadaan tak baik.

Cherise mengangguk, “Masih memburuk. Hubungan Axel dan orang tuanya, terutama papanya udah memburuk sejak SMP, sejak keyakinan Axel goyah dan malas ibadah. SMA dia berani terang-terangan mengaku kalau dia memutuskan menjadi agnostik. Di kartu identitas ada status agama, tapi dia nggak menjalankan ritual agama manapun. Lulus SMA, sebelum masuk kuliah, sebenarnya dia emang udah penasaran dengan agama Islam. Setelah masuk kuliah dan bertemu kamu, cewek yang kata Axel itu beda, bikin dia semakin penasaran untuk tahu kenapa kamu begitu kuat memegang prinsip.” Cherise menatapku tajam.

“Lewat kamu dia belajar sedikit demi sedikit untuk mengenal seperti apa agama Islam. Dia mengagumimu sejak lama, sejak awal masuk kuliah. Dia baru cerita kemarin-kemarin. Dia beneran suka sama kamu, Dir.”

Aku terdiam, tak tahu harus menanggapi apa.

“Axel itu dari luar emang terlihat urakan, bengal, tapi sebenarnya hatinya baik. Meski dulu dia suka dugem, kadang minum, tapi dia masih nurut sama mamanya. Mamanya nglarang dia pacaran, dia turuti, nggak pacaran. Yang susah dihilangin itu kebiasaan dugemnya. Saat Opa mutusin untuk nggak transfer uang lagi ke rekeningnya, ini ngasih hikmah juga buat Axel. Axel jadi mau kerja dan nggak dugem lagi. Nggak hura-hura lagi. Hidupnya lebih tertata.”

Cherise menggenggam tanganku.

“Aku ingin kamu tetap support dia. Kehadiran kamu ngasih pengaruh yang baik buat dia. Kemarin aku nanya ke dia, apa dia nggak capek bekerja? Dia jawab, dinikmati saja demi modal nikah nanti, nikah sama Mamah.” Cherise tertawa.

Aku ikut tertawa kecil. Apa Axel memang benar-benar serius ingin menikahiku suatu saat nanti? Dia sedang mempelajari Islam. Dia juga bekerja. Apa ini tanda bahwa dia tengah memperjuangkanku?

Ponselku berbunyi. Lamunan singkatku buyar. Ada telepon dari Alea.

Assalamualaikum, Alea. Tumben telepon jam segini?”

Wa’alaikumussalam. Iya, Dir. Aku ada kantin, nih. Janjian sama Sakha mau balikin buku dia. Kamu ke sini, ya. Temani aku.”

“Iya, Alea.”

Aku menoleh Cherise.

“Cher, aku ke kantin dulu, ya.”

“Iya, Dir, hati-hati,” balasnya dengan senyum khasnya.

******

Aku dan Alea menunggu kedatangan Sakha. Aku baca judul buku yang diletakkan di meja, 'Panduan untuk Muslimah'. Tumben sekali Alea meminjam buku seperti ini pada Mas Sakha. Kata Om Rayga, diantara saudara-saudaranya, Alea ini yang paling mengkhawatirkan. Ia punya dua adik perempuan dari pernikahan mamanya dan Om Rayga, satu masih SMA, satu lagi masih SMP. Adik-adiknya mau menuruti nasihat orang tua untuk berjilbab, sedangkan Alea tidak mau menurut. Dari pernikahan papanya dan Tante Riana, ia punya dua adik laki-laki, satu sekolah di SMA, satu lagi masih SMP.

“Ada angin apa nih kamu minjem buku kayak gini ke Mas Sakha?” aku tersenyum ke arahnya.

“Bukan aku yang minjem. Sakha yang minjemin. Katanya biar aku taubat,” cetusnya santai.

Aku tertawa kecil, “Baguslah. Aku dukung kamu baca buku motivasi seperti ini.”

Alea menyila rambutnya ke belakang.

“Jangan bilang ke Sakha, ya. Aku nggak baca sampai selesai,” tukasnya dengan muka innocent.

Aku mengelus dada.

“Sayang sekali nggak dibaca sampai selesai.”

Assalamu’alaikum.”

Wa'alaikumussalam,” jawabku dan Alea serempak.

Dulu aku bisa bersikap biasa saja saat berhadapan dengan Mas Sakha. Namun sekarang, aku tak lagi bisa bersikap biasa. Rasanya canggung dan tak nyaman.

“Udah lama?” tanya Mas Sakha pada Alea.

“Belum, sih. Ini bukunya. Makasih, ya,” ujar Alea dengan senyum innocent-nya.

“Udah dibaca sampai habis, belum?” Mas Sakha kembali bertanya. Ekspresi wajahnya datar.

“Udah,” jawab Alea ringan seolah tanpa beban telah berdusta.

“Beneran? Coba jelaskan apa hak dan kewajiban seorang istri?” tanya Mas Sakha lagi dengan tatapan yang lebih gahar.

Setiap kali berhadapan dengan Alea, segala atribut dosen yang berwibawa, bijak, ramah, murah senyum, seolah lepas semua berganti menjadi sosok yang dingin, ketus, jutek, dan galak.

“Aku belum menikah, masa ditanya hal kayak gitu.” Alea bersedekap dan melotot.

“Di buku ini dijelaskan dengan lengkap. Ketahuan kamu belum selesai bacanya. Atau malah nggak dibaca sama sekali?” Mas Sakha memajukan buku itu lebih dekat ke arah Alea.

“Baca dulu sampai selesai, baru dibalikin,” ketus Mas Sakha.

Mata Alea terbelalak. Ia menatap tajam Mas Sakha dengan raut wajah penuh kesal.

“Kamu tuh sukanya ngatur-ngatur. Buku ini ngebosenin tahu nggak, sih? Mending baca novel romantis, yang tokoh cowoknya itu manis-manis, nggak kayak kamu.” Alea meninggikan volume suaranya.

“Silakan, kalau nggak mau baca. Di pertemuan dosen fakultas ekonomi nanti, insya Allah aku ketemu sama Om Alde. Apa aku cerita aja ya gimana kelakuan putri kesayangannya? Selama ini Om Alde kan ngiranya Alea ini anak manis, anak baik, nggak tahunya....”

“Ih, kamu ngancem aku?” Alea berdiri dan berkacak pinggang.

Aku jadi merasa serba salah terjebak di pertengkaran mereka untuk kesekian kali.

“Alea, Mas Sakha, jangan bertengkar di sini. Beberapa mahasiswa melirik ke sini. Malu-maluin,” ucapku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Banyak pasang mata tertuju ke arah kami.

Alea duduk kembali. Dengan terpaksa ia mengambil buku itu dan memasukkan kembali ke dalam tasnya.

“Oya, Dir, bos kamu yang namanya Mas Revan itu orangnya jujur nggak, sih? Dia ngajak aku kerja sama. Menurutmu aku terima, nggak, ya? Prospeknya kayaknya bagus sih.” Alea mengalihkan topik pembicaraan.

“Mas Revan itu jujur, baik, dermawan. Menurutku sih nggak ada salahnya bekerja sama dengannya.”

“Revan?” Mas Sakha mengernyitkan alisnya.

“Iya, namanya Revan Erlan Parahita. Orangnya baik, ramah, sopan, nggak galak, nggak jutek, nggak ngesok, tahu gimana cara menghargai perempuan, dan yang pasti ganteng pakai banget. Kalau aku kerja sama bareng dia, aku bakal sering ketemu dia.” Alea menyunggingkan senyum manisnya.

“Hati-hati zina mata. Hati-hati berkhalwat, berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram,” Mas Sakha mengingatkan. Ekspresi wajahnya tak terbaca.

“Mulai deh ceramah lagi,” ketus Alea.

Aku tergugu. Entah kenapa setiap melihat Alea dan Mas Sakha berdebat, aku bisa melihat ada chemistry yang kuat antar mereka. Itu kenapa, aku masih tak mengerti kenapa Mas Sakha mengajakku berta'aruf meski dia sudah menjelaskan semua.

“Oya, Dir, kalau semisal aku ngajak kamu makan di rumah besok gimana? Nanti aku jemput bareng Kiara.” Mas Sakha menoleh ke arahku.

Aku terpaku. Sungguh aku bingung mengambil sikap. Dulu aku mau-mau saja diajak Kiara ke rumahnya atau jalan-jalan bertiga bersama Mas Sakha juga. Namun sekarang keadaannya berbeda. Bagaimana ya menjelaskan... Seseorang yang dulu aku anggap seperti seorang kakak, sekarang mengajakku berta'aruf. Aku masih merasa aneh dan tak nyaman.

“Kita bicarakan masalah ta'aruf kita,” tandas Mas Sakha.

Alea yang tengah meneguk jusnya seketika tersedak, dan membulatkan matanya. Aku masih diam dan tak tahu harus menjawab apa. Rasanya sungkan untuk menolak undangannya. Aku sama sekali belum siap membicarakan ta'aruf yang ditawarkan Mas Sakha.

******

Aku lanjut kalau vote & commentnya udah cukup banyak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro