Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Di Balik Tabir

Maaf ya semalam mau ngetik eh ketiduran... Udah ngecewain pembaca yg udah nunggu. Tapi yg paling nyesek, ngecewain suami. Kawit tangi Subuhan, bojone nggrundeng bae, ditinggal bubu. Mungkin efek capek pas Pemilu, lembur ampe dini hari. Teman malah ada yang sampai sakit.

Sepertinya pembaca terbagi menjadi dua kubu yang sama kuat ya, tim Dira-Sakha vs tim Dira-Axel.

Happy reading...

Aku masih terpaku pada keterkejutanku. Apa Mas Sakha serius mengajakku ta'aruf?

“Kamu nggak harus menjawab sekarang, Dir. Sebelumnya Mas jelasin dulu kenapa Mas mengajakmu berta'aruf. Pertama kenapa aku memintamu di sini, bukan ke rumahmu, ke orang tuamu,” Mas Sakha mengembuskan napas, “aku ingin kamu memikirkan hal ini sendiri dulu. Aku yakin kalau aku langsung mengajakmu ta'aruf di depan orang tuamu, mereka insya Allah tak keberatan, mungkin akan menasihatimu untuk menerima karena orang tua kita berteman baik. Aku ingin kamu memutuskan dari hati kamu, tanpa terpengaruh pihak lain.”

Aku masih saja membeku.

“Kedua, sudah lama Mas mengagumi kamu. Usia kita terpaut sembilan tahun, cukup jauh. Tapi entah kenapa aku yakin sama kamu dan sifat kamu juga cukup dewasa untuk gadis seusia  kamu. Aku menyukai argumen-argumen kamu saat berdiskusi di kelas. Aku kagum pada semangat kamu. Aku kagum dengan keshalihanmu. Mas suka Dira apa adanya.”

Aku terdiam. Kata-kata Mas Sakha mungkin terlalu berlebihan. Aku merasa tidak sebaik itu.

“Ketiga, orang tua sudah menginginkanku untuk menikah. Aku juga sadar diri, usiaku sudah matang, sudah saatnya membangun keluarga.”

Aku masih sibuk mencerna semua penuturan Mas Sakha. Aku masih tak percaya. Selama ini aku menganggapnya seperti seorang kakak.

“Jadi gimana, Dir? Kalau kamu belum siap, atau nggak ingin berta'aruf denganku, aku nggak akan memaksa dan aku akan terima apapun keputusanmu.”

“Mas, boleh tidak aku minta waktu? Aku ingin memikirkan hal ini baik-baik. Saat aku rasa butuh pendapat orang tua, aku akan meminta pendapat mereka. Dan yang pasti, aku ingin sholat istikharah dulu, Mas.”

Mas Sakha mengangguk, “Tentu, aku akan memberimu waktu. Kalaupun kamu menerima tapi belum siap menikah, Mas akan menunggu sampai kamu siap.”

Aku tak merespons.

“Kenapa kamu diam? Kamu...”

“Maaf, Mas. Aku hanya belum percaya Mas Sakha mengajakku ta'arufan. Selama ini aku menganggap Mas Sakha seperti seorang kakak. Aku juga punya banyak kekurangan. Mas Sakha bisa mendapat perempuan lain yang jauh lebih baik.”

Mas Sakha tersenyum dengan lesung pipinya yang khas.

“Aku mengajakmu ta'arufan itu artinya kamu istimewa di mata saya. Aku tidak punya calon lain. Saat aku memikirkan pernikahan, yang ada di pikiranku itu nama kamu.”

Aku diam.

“Ya, udah, Mas, Dira keluar dulu, ya. Terima kasih udah kasih Dira waktu untuk memikirkan jawabannya.”

Mas Sakha mengangguk. Senyum kembali terkerling dari sudut bibirnya.

“Baik, Dira, silakan.”

Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam.”

Aku menemui Luna yang menungguku di luar. Kami berjalan menuju sekretariat Himpunan Mahasiswa Kreatif. Akan ada pelatihan membuat kerajinan berbahan dasar pelepah pisang. Jadi tiga orang wakil dari komunitas kami sudah survey ke desa, tempat kami akan mengadakan pelatihan. Di sana banyak sekali pohon pisang. Warga hanya mengambil buahnya saja. Kami akan mengajak warga untuk memanfaatkan pelapah pisang menjadi kerajinan tangan bernilai seni tinggi, seperti lukisan, tas, sandal jepit, tempat pensil, dan lain-lain. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan penghasilan warga.

Seusai mengikuti pelatihan, aku ke Masjid kampus untuk sholat Ashar, sebelum nanti berangkat ke distro. Selepas sholat, aku dan Luna berjalan kembali menuju pintu gerbang. Aku terkejut melihat Axel duduk di taman depan Masjid, seperti sedang menunggu seseorang. Benar saja dugaanku. Wajahnya sumringah saat Abizar, salah satu pentolan Rohis Kampus keluar dari Masjid. Selanjutnya mereka berjalan beriringan layaknya teman akrab. Aku tak menyangka mereka berteman dekat.

“Axel sama Abizar deket ya?” tanyaku pada Luna.

“Ciyee... Mamah penasaran. Setahuku mereka satu kost. Wajar sih kalau berteman akrab,” balas Luna.

Bisa diterima, sih. Hanya saja aku masih tak percaya bahwa dia bisa cocok berteman dengan orang yang berbeda jauh dengannya, baik dari segi karakter maupun prinsip hidup. Ya kemungkinan itu selalu ada. Bahkan aku lupa, seorang Axel pun bisa jatuh cinta padaku, seseorang bertolak belakang dengannya baik dari karakter maupun prinsip hidup.

******

Tiba di distro, aku langsung merapikan baju-baju yang berderet dan menggantung. Vida sudah berangkat lebih awal karena dia tak ada kuliah siang. Mas Revan keluar dari ruang pribadinya. Ia tersenyum dan menyapa kami ramah.

“Adira beli sepatu lagi? Mirip sama yang saya kasih, cuma warnanya beda ya.”

Aku tersentak, apalagi tatapan Mas Revan tak lepas menelisik ujung sepatuku.

“Sepatu ini dikasih teman,” balasku setenang mungkin.

“Oh.... Teman atau pacar?” Mas Revan tersenyum penuh arti.

Sebelum aku jawab, dia kembali bicara.

“Oya, Dir. Dulu cewek yang datang ke sini bareng satu cowok dan satu cewek, itu teman kamu? Yang ribut-ribut sama teman cowoknya.”

Aku mengernyitkan alis. Apa yang dimaksud Mas Revan itu Alea?

“Maksud Mas Revan, Alea? Dia saudara sepupu saya, Mas.”

“Oh, saudara sepupu. Jadi gini, kemarin saya mampir ke butik. Saya lihat koleksi baju muslimah bagus-bagus, termasuk tas, sepatu, dan yang lainnya. Waktu itu Alea ada di sana. Saya langsung ingat, dia pernah ke sini. Saya tertarik untuk bekerja sama bareng dia. Saya butuh menambah koleksi baju-baju muslimah, tas, dan sepatu di distro ini. Saya nggak menyangka ternyata dia yang merancang sendiri produk-produk yang dijual di butiknya.”

Alea memang meneruskan usaha butik mamanya. Dia berbakat merancang pakaian dan segala aksesoris perempuan. Ia juga menjalin kerja sama dengan Tante Nara. Dulu aku pikir, Mas Sakha tertarik pada Alea, ternyata.... Ah aku jadi teringat ajakan Mas Sakha untuk berta'aruf. Aku tahu dia laki-laki yang baik, shalih, dengan sederet kualitas yang ia miliki. Namun hati ini tak bisa berbohong, perasaanku masih kuat untuk Axel. Harusnya aku bisa melupakan laki-laki agnostik itu. Semakin berusaha mengenyahkannya, rasa itu semakin menguat. Astaghfirullah...

“Dira...”

Aku terhenyak.

“Maaf, Mas. Nggak fokus saya... Soal Alea, dia memang berbakat, rasanya tak salah jika Mas Revan bekerja sama dengannya. Produk-produk dia juga berkualitas dan modelnya bagus-bagus.”

“Iya, saya akan menghubungi dia lagi.”

Mas Revan berbalik menuju ruang pribadinya. Hari ini aku tak begitu fokus. Pikiranku terus bercabang memikirkan ajakan ta'aruf dari Mas Sakha sekaligus memikirkan Axel juga. Sebenarnya aku tak pernah menduga akan dibuat galau karena urusan asmara. Padahal aku sudah berjanji untuk fokus pada studi saja, tidak terusik dengan hal lain.

Sepulang dari distro, aku mengerjakan tugas kuliah. Kudengar Ayah dan Bunda bercakap-cakap di ruang tengah. Mereka belum tidur. Aku ingin menumpahkan segala rasa yang membuatku dilema. Namun banyak hal yang aku pertimbangkan. Bagaimana jika mereka mendukungku untuk berta'aruf dengan Mas Sakha? Sementara hatiku masih berlabuh pada Axel. Aku tak mau menjalani ta'aruf dengan Mas Sakha di saat hatiku masih bergelut memikirkan pria lain. Atau aku harus berusaha membunuh perasaanku untuk Axel? Karena perbedaan diantara kami tak akan bisa menyatukan kami.

Aku butuh pendapat dari orang tuaku. Mereka selalu memiliki petuah bijak dan membantuku untuk berpikir ulang. Kudekati Ayah dan Bunda. Aku duduk di sofa lain, sedangkan mereka duduk dalam satu sofa.

“Dira udah selesai ngerjian tugasnya?” tanya Bunda lembut.

Aku mengangguk, “Udah, Bun. Ehm... Dira ingin nanya sesuatu sama Ayah dan Bunda.”

Ayah mengernyitkan dahi, “Nanya apa, Dir? Tanya saja. Keluarga kita harus saling terbuka.”

Kusiapkan mentalku. Mungkin mereka akan terkejut mendengar pertanyaanku nanti. Di mata mereka aku ini gadis polos yang belum pernah tersandung urusan asmara. Sekarang aku akan menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan asmara.

“Ada laki-laki baik yang mengajak Dira ta'aruf...”

“Laki-laki siapa, Dira?” Ayah membelalakan matanya. Sepertinya ia terkejut, sama seperti Bunda. Ekspresi wajahnya terlihat kaget.

“Mas Sakha.”

Seketika senyum melebar di kedua sudut bibir Bunda. Wajahnya berseri-seri.

“Beneran, sayang? Wah bunda setuju banget kalau Dira mau berta'aruf sama Mas Sakha. Dia pemuda yang shalih, baik, sopan, sudah punya pekerjaan tetap, keluarga juga sudah saling kenal. Mas Sakha insya Allah bisa jadi imam yang baik.”

Ayah menatapku tajam.

“Dira sudah siap untuk menikah di usia sekarang? Untuk menikah butuh persiapan lahir batin. Minta petunjuk sama Allah.”

Aku tertunduk.

“Soal siap atau nggak, mungkin belum benar-benar siap karena Dira baru semester pertama. Tapi Dira juga nggak masalah dengan menikah muda, entah kapan itu. Hanya saja, Dira... Dira...” Aku tak kuasa untuk meneruskannya.

“Dira kenapa?” tanya Ayah segera.

Aku tak berani menatap Ayah dan Bunda.

“Dira mencintai cowok lain...”

Kulirik Ayah dan Bunda saling beradu pandang.

“Apa cowok itu Axel?” tanya Bunda penuh selidik.

“Axel siapa?” Ayah langsung menyela.

“Axel teman kuliah Dira....” jawabku pelan.

“Apa dia laki-laki yang baik? Agamanya baik? Bagaimana dengan akhlaknya?” pertanyaan beruntun dari ayah membuatku tak berkutik.

Aku merasa tengah diinterogasi dan aku takut mereka akan bereaksi lebih saat tahu bahwa Axel adalah seorang agnostik. Namun aku harus jujur mengatakannya.

“Dia seorang agnostik. Dia percaya Tuhan ada tapi tak memeluk satupun agama.”

Astaghfirullah...” Bunda mengelus dada seolah Axel adalah penjahat kelas kakap.

“Bunda tidak setuju kalau Dira dekat Axel. Bunda takut Axel akan membawa Dira pada hal yang buruk. Bunda khawatir, Dira akan mengikuti cara berpikirnya yang menganggap agama itu tidak penting. Jika ada laki-laki yang baik datang sebaiknya tidak menolak, sayang. Jarang-jarang ada laki-laki sebaik Sakha. Di mata Bunda, dia laki-laki yang cocok untuk kamu dan bisa membimbing kamu.”

Aku diam dan tak tahu harus berkata apa. Mas Sakha memang baik. Lalu apa aku berdosa jika menolaknya?

“Ayah, Bunda, apa aku harus menerimanya? Apa hukumnya jika wanita muslim menolak lamaran? Mungkin Mas Sakha belum melamar. Tapi jika Dira menerima ajakan ta'arufnya, itu artinya suatu saat dia akan melamar.”

Ayah tersenyum, “Tidak ada paksaan menikah dalam Islam, sayang. Ada haditsnya. Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Lalu mereka bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara mengetahui izinnya?” Beliau pun menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Sudah sangat jelas, bahwa untuk menikahkan anak gadis, kita harus meminta izin darinya, tidak boleh dipaksa. Jadi dalam Islam boleh menolak lamaran.”

“Tapi Mas Sakha ini laki-laki yang shalih, Ayah.” Bunda menyela.

“Rasulullah pernah menolak lamaran Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk putrinya Fatimah Az-Zahra. Siapa yang meragukan keshalihan dan kapasitas keduanya? Rasulullah menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, pemuda yang bermodalkan baju besi sebagai mahar. Dan setelah menikah, Fatimah berkata pada Ali bahwa sebelumnya ia pernah jatuh pada seorang pemuda. Ali bertanya kenapa Fatimah mau menikah dengannya? Dia menjawab, karena pemuda itu adalah dirimu. Jadi tidak ada yang salah menolak lamaran sekalipun pemuda yang melamar adalah orang shalih. Karena menikah itu harus dengan kerelaan dan hatinya tergerak. Tidak boleh dipaksakan. Wanita punya hak untuk menerima atau menolak lamaran.”

“Lalu bagaimana dengan hadits yang mengatakan bahwa jika ada pemuda yang shalih datang, maka nikahkanlah dia dengan wanita kalian, jika tidak akan terjadi fitnah, gimana?” Bunda mengernyitkan alis.

“Hadits itu ditujukan untuk wali nikah yang akan menikahkan wanita, bukan untuk wanita yang dilamar. Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”[HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022]

“Jadi maksudnya, sebagai wali nikah, dia tidak boleh menghalangi pernikahan dan sebaiknya menerima khitbahnya untuk menikahkan wanita dalam perwaliannya dengan pemuda itu jika memang wanita itu mau. Perlu digarisbawahi, bahwa hadits ini tidak lantas menjadi senjata bagi pemuda yang lamarannya ditolak, karena ini ditujukan untuk wali nikah. Sekali lagi wanita punya hak untuk menolak lamaran jika memang hatinya tidak sreg. Tidak apa menolak karena tidak cinta, yang salah itu menolak karena keshalihannya. Selama alasan menolak bukan karena ketakwaannya, tidak mengapa. Tidak ada paksaan untuk menikah jika hati tidak tergerak. Islam itu mudah dan tidak mempersulit. Karena itu, sebaiknya wanita mempertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan. Minta petunjuk pada Allah, sholat istikharah. Adapun hadits lain tentang pertimbangan menikahi pasangan. Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”

Aku dan Bunda mendengar penjelasan Ayah begitu serius. Ayah selalu bijak memandang sesuatu tanpa memaksakan, tanpa menghakimi. Ini yang membuatku nyaman mencurahkan apa yang berkecamuk di hatiku pada Ayah.

“Ayah cuma memberi pandangan. Agama menjadi kriteria utama mencari pasangan. Tapi sekali lagi, keputusan ada di tangan Adira. Kalau memang Adira belum siap, hati belum tergerak, jangan dipaksakan. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Minta petunjuk sama Allah. Dan untuk Axel, doakan dia agar tersentuh hidayah untuk memeluk agama Islam. Selama Axel masih pada keyakinannya, masih menjadi agnostik, Ayah nggak akan menyetujui jika kamu memilihnya. Jika suatu saat dia menjadi mualaf karena Allah, benar-benar tanpa paksaan, tulus dari hatinya yang terdalam dan dia mau belajar, Ayah tak akan memghalangi karena bisa jadi itu jalan Dira untuk membimbing Axel. Namun sekali lagi, jangan berharap pada manusia, berharaplah pada Allah. Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu dan seiring dengan sholat Istikharah yang Dira jalankan, Dira akan mendapat kemantapan hati untuk memutuskan.”

Hatiku merasa jauh lebih tenang setelah mendengar petuah dari Ayah. Aku merasa bersyukur memiliki orang tua yang demokratis dan tidak pernah memaksakan kehendak mereka.

“Terima kasih banyak Ayah dan Bunda. Sekarang Dira merasa jauh lebih tenang.” Kuulas senyum terbaik.

“Anak Ayah sudah besar ya. Sudah merasakan jatuh cinta. Yang harus kamu ingat, kendalikan perasaan kamu, jangan sampai kamu yang dikendalikan perasaan. Dan selalu ingat pada Allah, jaga langkah kamu tetap di jalanNya,” tukas Ayah sekali lagi.

Aku mengangguk. Akan selalu kuingat nasihat mereka.

******

Jam sepuluh pagi, cuaca terasa gerah. Biasanya menjelang sore mendung, bahkan hujan. Aku kibaskan kertas agar rasa gerah berkurang. AC dalam ruangan tidak berfungsi.

Tiba-tiba Axel menghampiriku dan duduk di depanku.

"Kerudungnya lebar amat, apa nggak gerah? Pakaianmu itu kuno, kayak emak-emak. Sesekali pakailah yang seksi." Axel menaikkan alisnya dan tersenyum padaku. Yang aku tak suka, ia mengedipkan mata.

Ternyata dia tak berubah. Masih saja usil. Aku pikir dia akan lebih cool menghadapiku.

"Seksinya perempuan itu untuk suaminya seorang," balasku tanpa menolehnya.

"Wow... Berarti aku harus jadi suamimu dulu ya, biar bisa lihat seksinya kamu." Lagi-lagi ia senyum penuh arti.

"Nikah yuk," lanjutnya sekenanya, seakan ajakan menikah bisa dijadikan bahan candaan.

Aku terdiam.

"Ayolah jawab. Aku mengajakmu menikah...."

Kutatap dia sepintas lalu kualihkan tatapan ke arah lain.

"Jangan bercanda," sahutku.

"Aku serius."

Dan aku masih membisu. Pria selengekan sepertinya tak pernah serius menjalani hidupnya. Kuliah saja buat mainan, begitu juga dengan hati perempuan.

Apa dia serius? Kemarin aku dilema saat Mas Sakha mengajakku berta'aruf. Sekarang Axel mengajakku menikah. Aku yakin dia hanya bercanda.

“Kamu tahu, kan, bagaimana hukum wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim? Kemarin Pak Sakha sudah menjelaskan.”

Axel mengangguk, “Ya, aku tahu. Beri aku waktu untuk mempelajari Islam. Kalau suatu saat nanti aku tertarik memeluk agama Islam, aku hanya ingin memastikan bahwa itu murni dari hati, bukan karena ingin menikahimu. Karena itu aku perlu waktu lebih untuk mempelajarinya. Jujur, sejak aku sering bertanya tentang aturan-aturan dalam agamamu, ditambah kemarin Pak Sakha menjelaskan tentang rahasia ilmiah di balik masa iddah, aku tertarik untuk mempelajari lebih dalam. Sebelumnya aku udah sedikit mempelajarinya, tapi sekarang keinginan itu semakin kuat."

Kali ini ia terlihat begitu serius, sangat jauh berbeda dengan keusilannya di awal dia menyapaku. Rasanya belum pernah aku melihatnya seserius ini.

Belum sempat aku menanggapi, Cherise masuk ke kelas kami dan memanggil namanya.

“Xel... Kamu sekarang kerja malam ya, di coffee shop?” tanya Cherise.

Axel melirikku sejenak.

“Iya, Cher.”

“Kamu sekarang getol banget nyari duit. Tapi aku seneng sih lihatnya.” Cherise menyunggingkan senyum.

“Iya dong, buat modal nikah.” Axel beranjak dan keluar kelas. Ia sempat menolehku dan mengedipkan mata.

Cherise duduk di depanku.

“Kayaknya Axel itu nurut kalau kamu yang nasihatin, Dir. Aku minta tolong ingetin dia untuk istirahat ya, jangan terforsir. Dia nggak hanya kerja di perusahaan coffee shop, tapi juga menulis artikel sepakbola di website sepakbola dan membuka jasa pembuatan website. Yang aku dengar, orang tua Axel, yang artinya kakek nenekku, bertengkar hebat dengan Axel. Saking marahnya, papanya nggak mau lagi transfer uang. Bahkan papa mamaku juga kompak nggak mau ngasih uang juga untuk Axel. Satu keluarga besar dilarang memberi bantuan untuk Axel. Makanya aku kadang ngasih sebagian uang sakuku untuk Axel. Tapi dia menolak, dan hanya menerima kalau lagi kepepet banget.”

Aku terkejut bukan kepalang. Membayangkan Axel yang harus bekerja keras membiayai hidupnya di sini, aku ikut merasa sesak.

“Apa yang terjadi pada Axel? Kenapa dia bertengkar hebat dengan orang tuanya?”

Cherise mengembuskan napas dan menatapku pias.

“Waktu Axel pulang ke rumah, orang tuanya memergoki ada Al-Qur’an dan terjemahannya di tasnya. Axel jujur kalau saat ini dia sedang mempelajari Islam. Orang tua Axel sangat membenci Islam karena bagi mereka Islam itu agama teroris. Kata mereka, silakan Axel memeluk agama manapun, asal jangan Islam. Mereka meminta Axel membuang Al-Qur’an itu, sedang Axel bersikeras mempertahankannya. Risikonya, mereka marah dan menghukum Axel dengan tidak lagi mentransfer uang ke rekening Axel.”

Deg..

Hatiku seketika retak mendengar perjuangan Axel untuk mempelajari Islam. Di balik ketengilan dan keusilannya, dia mengemban masalah yang begitu berat. Aku bersyukur dia sudah terbuka untuk mempelajari Islam, tapi di satu sisi, aku begitu bersedih, mungkin lebih dari sedih mendengar kesulitan yang tengah menderanya. Ya Allah lindungi dia....

******

Hari ini aku kuliah sampai sore, besok juga, jadi maaf kalau slow update.



Adira

Axel

Sakha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro