Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Dua Hati

Cerita Adira ini nggak cuma disukai para single, entah yang remaja atau dewasa, emak-emak juga banyak yang suka. Alhamdulillah. Aku pikir cerita genre fiksi remaja nggak akan dilirik sama teman-teman pembaca yang biasa baca genre romance atau bertema pernikahan di lapakku.

Yang aku suka saat nulis genre fiksi remaja itu lebih ringan, ada lucunya, ada baper ala-ala remaja, sweet gimana gitu ya...nggemesin. Karakter2nya juga nggemesin, masih yg labil, yg plin plan, yg konyol, usil, lucu, yg sedang belajar istiqomah dan memegang prinsip, dll.

Voment terus ya, aku up klo aku rasa vote & commentnya udah cukup banyak.

Happy reading...

Hari ini aku masih ada satu kuliah lagi, Pengantar Bisnis, mata kuliah yang diampu Mas Sakha. Dia mengajar beberapa mata kuliah. Kadang aku ikut merasa bangga saat banyak temanku mengatakan bahwa dia dosen yang cakap dan asik cara mengajarnya. Mungkin karena aku mengenalnya dari kecil dan dia sudah seperti sosok kakak untukku. Apalagi aku dan Kiara juga akrab. Sesekali Mas Sakha mengajakku dan Kiara jalan-jalan ke toko buku, membelikanku beberapa buku. Kami bertiga sama-sama senang membaca.

Biasanya aku bersemangat setiap kali mengikuti kelas Mas Sakha. Namun kali ini, aku tak begitu bersemangat. Aku masih memikirkan Axel. Astaghfirullah... Dulu aku pernah bertanya-tanya kenapa temanku bisa begitu galau hanya karena urusan asmara. Bahkan banyak yang menangis semalaman pasca putus cinta. Aku heran, kenapa mereka menyerahkan hati mereka begitu saja pada seseorang yang belum halal. Bahkan mereka juga bermudah-mudahan dalam berkhalwat dengan lawan jenis, berpacaran, dan sering hang out berdua.

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan," (H.R. Ahmad).

Sekarang aku merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, tapi di saat yang sama logika mematahkannya. Sungguh tak mudah... Jika sedang tak berada di tempat umum, mungkin bisa saja aku menangis seperti Sesha. Aku benci mengatakan ini, seperti menempatkan diri untuk menjadi bagian dalam jajaran cewek labil yang galau dan merana karena patah hati. Dan sayangnya, aku sudah menjadi bagian itu. Adira yang dulu merasa hidupnya baik-baik saja tanpa cinta, tanpa memikirkan laki-laki, kini seolah menjelma menjadi seseorang yang mau saja ditindas perasaan.

Kupejamkan mataku sejenak lalu membukanya lagi. Jika ditanya hal terburuk apa yang aku rasakan hari ini adalah, aku merasa tak mengenal dan memahami diriku sendiri. Aku seolah menjelma menjadi orang asing. Aku jatuh cinta di saat aku belum menginginkannya.

I'm only human... I'm only an ordinary girl... I'm just taking a step to the new phase of my life. Fase baru? Ya, fase di saat aku mengenal perasaan tertarik dan menyukai lain jelas. Mungkin telat dibanding teman-temanku yang sudah merasakan jatuh cinta saat usia SMP atau SMA. Bahkan banyak juga yang berpacaran di usia segitu. Namun, rasa ini memercikkan sensasi yang begitu berbeda. Aku tahu, dia bukanlah orang yang sempurna. Aku tahu kadang dia membuatku kesal. Namun nyatanya, aku tak melihat kekurangannya. Di mataku dia istimewa dengan segala sifatnya.

Aku masih berpikir jernih dengan mencoba mematikan rasa ini agar tak berlanjut. Aku tak mau menggantungkan harapan pada manusia, karena aku tak mau kecewa. Aku hanya akan berharap pada Allah. Jauh di lubuk hatiku, aku berharap Allah akan menunjukkan jalan pada Axel untuk mau belajar mengenalNya, mengenal indahnya agamaku. Meski dia begitu antipati terhadap agama, aku masih punya keoptimisan, suatu saat hatinya akan terketuk.

Silakan saja jika semesta berkonspirasi menertawakanku, menganggapku buta dan bodoh. Aku hanya ingin sejenak menepis semua idealisme yang bercokol di kepala. Izinkan aku sejenak untuk menjadi gadis biasa, benar-benar biasa... Untuk menjadi gadis yang optimis pada kisah cinta yang berakhir manis kendati terjanggal banyak perbedaan. Izinkanku mencintainya dalam diam dengan doa yang selalu tercurah untuknya... Beri dia kesempatan untuk mencari hidayahMu ya Allah... Aku mencintainya dan rasanya sangat manusiawi jika aku berharap bisa bersama dengannya dalam ikatan halal dan diridhoi olehMu...suatu saat nanti... Namun aku tak akan menolak untuk segala ketentuan yang telah Engkau tetapkan.

Aku memasuki kelas di saat banyak teman yang sudah berkumpul, menunggu kedatangan dosen. Masih lima belas menit lagi. Aku melihat Axel sepintas. Dia duduk di pojok belakang. Aku duduk di deret sebelahnya karena di situ ada Luna dan Syifa. Saat tatapannya tertuju padaku, seketika ia membuang muka. Aku tak sakit hati meski rasa sedih itu masih ada.

"Pah, aku minta nomor Cherise," ucap Devano yang duduk di depan Axel.

"Nggak," jawab Axel singkat dan ketus.

"Ya elah, pelit amat. Aku mau nanyain teater. Aku mau daftar jadi anggota teater."

"Nggak... Nggak... Nggak... Enggak," Axel masih saja sewot.

Axel begitu protektif pada Cherise. Dia tak ingin Cherise didekati atau diganggu oleh cowok manapun. Dia menjalankan tugasnya dengan sangat baik untuk menjaga Cherise.

"Huufff... Ama teman sendiri juga. Aku nanya ke teman-temannya pada nggak mau ngasih. Ke om-nya juga." Devano menggerutu.

"Justru karena aku tahu kamu orangnya kayak gimana, makanya aku nggak mau ngasih tahu. Awas aja kalau kamu deket-deket Cherise. Lagian kamu bisa nanya ke anak-anak teater lain. Ini mah cuma alasan doang buat dapetin nomor Cherise," Axel nyerocos. Ciri khasnya saat sedang kesal.

Tiba-tiba Sesha si ceriwis, masuk ke kelas dan duduk di sebelah Axel persis.

"Jangan di sini lah kamu. Males dengerin suara cempreng dan ceriwis," ketus Axel.

Aku lirik Sesha. Dia mengerucutkan bibirnya.

"Iiihhhh... Papah nyebelin amat. Biar suara cempreng begini, ayang bebebku sayang banget sama akuuuhhh. Katanya suaraku ngangenin." Seketika wajah Sesha berganti pucat.

"Tuh kan, Papah ngingetin aku sama mantan ayang bebebku. Padahal aku lagi berusaha untuk move on." Sesha beranjak dan mencari kursi lain dengan kesal.

"Ngapain mikirin cowok yang udah nyakitin kamu? Kalau kita disakiti orang, ya udah lupakan dia. Cari orang baru yang jauh lebih baik dan bikin kamu seneng." Axel melirikku sekilas. Aku segera mengalihkan tatapanku ke arah lain.

"Nggak semudah itu, Pah. Terlalu banyak kenangan yang udah pernah Sesha lalui bareng ayang bebeb. Nggak bisa dilupakan begitu saja. Semua membekas begitu kuat dalam ingatan," balas Sesha dengan penuh penghayatan.

"Ciyeee, puitis amat," Dito tertawa renyah.

"Terus untungnya buat kamu apa kalau masih terus mengingat kenangan bersama mantan? Terlalu berharga hati kita kalau kita terus-terusan mikirin seseorang yang bahkan nggak pernah mikirin perasaan kita karena mementingkan egonya."

Kata-kata yang terurai itu terdengar begitu menusuk untukku. Dia merasa hanya dirinya yang terluka. Dia tak akan pernah tahu, aku pun sama sepertinya. Mungkin aku lebih sakit.

Teman-teman lain bersorak.

"Ciyeee... Papah bijak juga ya. Kayaknya ini pengalaman sendiri, ya, Pah?" ledek Shelly.

"Pengalaman sendiri? Sejak kapan Papah punya mantan? Pacaran aja belum pernah." Dito tertawa ngakak, diikuti Devano.

"Masa Papah nggak pernah pacaran? Nggak percaya aku. Lagaknya kayak abis disakitin mantan," Luna tertawa cekikikan.

"Masa, sih? Tampang bengal gitu nggak pernah pacaran? Mungkin emang statusnya nggak pernah pacaran, tapi kalau icip-icip kayaknya udah." Giliran Kenzie tertawa renyah disambut tawa yang lain.

"Icip-icip apanya? Masih polos akuuuhhh." Axel menirukan gaya bicara Sesha yang manja.

Teman-teman tertawa, kecuali aku.

"Yang pasti sebagai cowok yang memiliki mental cowok sejati dan seorang pejuang, aku nggak akan buru-buru mengikat komitmen sebelum menemukan seseorang yang menurutku tepat. Sayangnya nggak semua cewek mau diperjuangkan, apalagi kalau alasannya bawa-bawa agama, beda keyakinan lah, segala macam. Mereka bicara seenaknya tanpa peduli perasaan kita gimana. Mungkin hati kita udah kayak barang rongsokan kali ya, yang bisa dipungut sewaktu-waktu, tapi juga bisa dibuang begitu saja jika merasa tak butuh."

Kata-kata Axel mungkin keluar dari hatinya yang terdalam. Aku tak sejahat itu untuk hanya menganggapnya barang rongsokan. Kenapa dia selalu berprasangka buruk padaku?

"Kalau udah beda agama memang susah, sih, Pah. Aturan di agamaku memang begitu. Wanita muslim harus menikah dengan laki-laki muslim juga," sahut Syifa sembari menyapu pandangan ke arahku.

Atmosfer kelas berubah menjadi serius.

"Kalian ada masalah?" Januar menatap Axel dan aku bergantian.

"Masalah apa? Memangnya aku ini siapanya Adira dan Adira siapanya aku? Kami nggak ada hubungan dan dia bebas menjalankan apa yang menjadi prinsipnya. Cuma rasanya nggak elegan aja. Dia bilang ingin menjaga jarak sama saja dia tak mau berteman. Segala yang menyangkut urusanku bukan urusannya. Begitu juga dengannya. Aku nggak mau tahu lagi segala urusannya."

Ada rasa sakit mendengarnya mengucap namaku, bukan dengan panggilan "Mamah". Dulu aku tak menyukai panggilan ini. Kenapa sekarang terdengar seperti ada yang hilang? Apa artinya aku sudah tak spesial lagi di hatinya? Astaghfirullah... harusnya aku senang karena dia sudah move on. Memang seharusnya begini. Kenapa malah aku jadi sedih?

"Aku bukan nggak mau berteman denganmu, Xel. Jangan salah paham. Mungkin untuk saat ini menjaga jarak dulu agar bisa menata hati sampai semua berjalan seperti biasa. Seperti saat pertama kali masuk kuliah, kita seperti orang asing dan setelah kenal, kita berteman biasa." Aku sebenarnya risih dengan tatapan penuh selidik dari teman-teman. Namun aku harus menjelaskan. Aku yakin, teman-teman sudah bisa menebak ada sesuatu antara aku dan Axel.

"Sebenarnya kalau Papah ingin bisa bareng Mamah membangun masa depan, Papah pelajari Islam, siapa tahu menemukan hidayah. Aku nggak memaksa lho, cuma menyarankan aja. Toh kamu agnostik, nggak punya agama. Kecuali kamu memeluk salah satu agama, aku nggak akan menyarankan hal ini," ujar Syifa.

Axel tak merespons.

"Tak ada paksaan memeluk agama Islam. Jika dia memang benar-benar berniat memeluk agama Islam, niatkanlah karena Allah, bukan karena manusia. Cinta manusia itu terbatas dan hatinya mudah berbolak-balik. Ketika kamu memutuskan menjadi mualaf karena seorang manusia, saat manusia itu tidak lagi mencintaimu atau bahkan saat kamu tidak lagi mencintainya, bisa saja cintamu pada agamamu akan luntur. Namun saat kamu menjadi mualaf karena Allah, kamu tak perlu takut Allah akan meninggalkanmu," ucapku tanpa menoleh Axel.

Di saat yang sama, Mas Sakha memasuki kelas. Teman-teman yang sebelumnya ada di kursi lain, kembali ke tempatnya masing-masing.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

"Selamat siang. Kayaknya tadi seru banget, lagi ngobrolin apa?" Mas Sakha menyapu pandangan ke segala sudut.

"Tentang cinta beda keyakinan," jawab Syifa dengan seulas senyum.

Aku menatap tajam Syifa. Dia menjawab apa adanya.

"Cinta beda keyakinan? Masalah yang sangat sensitif," ucap Mas Sakha ringan.

"Pak, saya boleh bertanya, nggak? Di luar materi kuliah. Soal cinta beda keyakinan tadi."

Semua menoleh pada Axel.

"Silakan Axel."

"Kenapa wanita muslim nggak boleh menikah dengan laki-laki non muslim?" tanya Axel tenang.

"Karena di agama Islam memang ada larangannya. Ada di surat Al-Baqarah ayat 221 . Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Semua mahasiswa tampak tenang mendengar penjelasan Mas Sakha.

"Dalam rumah tangga, laki-laki itu menjadi kepala keluarga. Istri harus taat sama suami. Kalau suaminya non Muslim, dikhawatirkan istrinya akan mengikuti agama suami. Ini akan merusak akidah seseorang. Karena pernikahannya tidak sah, otomatis hubungan keduanya juga haram, jatuhnya jadi zina seumur hidup. Naudzubillahimindalik..." Mas Sakha kembali mengedarkan pandangannya.

"Rumah tangga yang menjadi impian setiap muslim itu rumah tangga yang berpondasikan pada agama, menjadi ladang ibadah dan menjadi jembatan menuju Jannah. Sebagai kepala keluarga, seorang suami punya kewajiban untuk memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka, sesuai yang termaktub dalam surat At-Tahrim ayat enam. Bagaimana seorang suami bisa membimbing keluarganya menuju jannah Allah, jika dia tidak beriman kepada Allah? Bagaimana bisa ia menjalankan visi dan misi pernikahan yang berpondasikan agama jika dia berbeda agama dengan istri?"

Aku merenung dan mencerna semua uraian yang dijelaskan Mas Sakha. Apa yang diterangkan Mas Sakha benar adanya. Segala aturan yang ada itu dibuat untuk kebaikan manusia sendiri.

"Sudah jelas, Axel?" tanya Mas Sakha seraya menatap Axel tajam.

"Ya, mungkin agama memang punya aturan. Namun entah kenapa, rasanya ini tidak adil. Maaf, bukan berarti saya mencemooh hukum Islam, hanya saja saya kurang memahami dan nggak bisa menerima dengan logika," Axel menanggapi.

Mas Sakha tersenyum.

"Nggak adil? Sering kali nalar kita nggak sampai ke sana. Kita cukup percaya saja bahwa aturan yang tertera dalam Al-Qur'an itu ditujukan untuk kebaikan manusia sendiri. Misal Allah melarang kita melakukan zina karena memang zina hanya mendatangkan kerugian, misal penyakit seksual, kehancuran rumah tangga karena suami atau istri berselingkuh, moral semakin bobrok, banyak kehamilan di luar nikah yang pada akhirnya akan sangat merugikan terutama bagi perempuan."

Mas Sakha terdiam sejenak, para mahasiswa masih mendengar baik-baik.

"Ini sekedar tambahan saja sebelum saya masuk ke materi. Sering orang bilang bahwa banyak aturan di agama Islam yang tidak adil. Misal kenapa laki-laki diperbolehkan poligami sedangkan perempuan dilarang untuk poliandri? Kita bisa jawab pakai logika, kok. Laki-laki yang poligami saat istri-istrinya hamil, jelas ya status si anak itu anak dari siapa? Dari bapaknya, kan? Nasabnya jelas. Sedang kalau perempuan punya banyak suami, saat dia hamil, pertanyaan, siapa ayah dari anaknya? Nasabnya nggak jelas."

Teman-temanku tertawa kecil, ada yang nyengir.

"Kan bisa test DNA, Pak," celetuk Sesha.

"Okay, sekarang udah ada test DNA. Tapi ingat satu hal, hukum yang berlaku dalam Al-Qur'an itu berlaku sepanjang zaman. Meski ditemukan teknologi canggih sekalipun, tidak serta merta mengubah hukum yang sudah berlaku. Dari yang saya baca, ada pendapat yang mengatakan bahwa hasil test DNA tidak bisa dijadikan patokan seratus persen untuk menentukan nasab secara syari'i. Agama Islam memandang nasab itu sebagai urusan yang sangat krusial. Itu kenapa wanita yang dicerai atau suaminya meninggal, memiliki masa iddah, masa tunggu. Ini sekedar informasi saja. Masa iddah wanita yang dicerai itu tiga kali haid, sedang wanita yang ditinggal meninggal selama empat bulan sepuluh hari. Ternyata kalau ditelusuri secara ilmiah itu ada alasannya."

Aku semakin tertarik mendengar penjelasan Mas Sakha.

"Dari yang saya baca, sperma setiap laki-laki itu berbeda, sama kayak sidik jari manusia. Jadi tiap laki-laki memiliki kode sendiri. Nah perempuan yang dicerai atau ditinggal meninggal, memiliki masa iddah itu bukan sekedar membersihkan rahim. Jadi, dari penelitian yang dilakukan oleh ahli toksikologi di University of California dan Direktur Laboratorium Penelitian Hidup di Amerika Serikat, Dr Jamal Eddin Ibrahim, menyatakan bahwa perempuan memiliki sistem imun khusus yang mampu mengingat objek asing yang masuk ke dalam tubuhnya dan menyimpan karakteristik genetik objek tersebut selama 120 hari di dalam sistem reproduksi wanita. Jika ada objek asing lain masuk, misal sperma dari laki-laki lain sebelum 120 hari, hal ini akan mengganggu sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan resiko tumor ganas."

Kami semua manggut-manggut. Ini benar-benar ilmu baru untukku. Ini yang aku suka dari cara Mas Sakha mengajar, selalu informatif.

"Masih dari yang saya baca, Robert Guilhem, pakar genetika di Albert Einstain College masuk Islam setelah meneliti tentang masa iddah perempuan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa seorang laki-laki yang berhubungan intim dengan perempuan itu akan meninggalkan rekam jejak pada diri perempuan dan rekam jejak ini akan hilang setelah tiga bulan. Rekam jejak itu akan hilang perlahan sebanyak 25-30 persen setiap bulan setelah suami istri tidak berhubungan intim lagi. Jadi dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Islam sangat menjaga martabat perempuan."

Mendengar penjelasan Mas Sakha membuatku semakin mencintai Allah dan semakin yakin akan kebenaran Al-Qur'an. Tidak ada sedikitpun keraguan tentangnya.

"Pak, kenapa masa iddah wanita yang dicerai dengan yang ditinggal mati suaminya berbeda? Lebih lama yang ditinggal meninggal?" tanya Januar.

"Pertanyaan yang bagus. Ini masih dari sumber yang saya baca, bahwa katanya wanita yang ditinggal suaminya meninggal butuh waktu lebih lama untuk menghilangkan bekas kode suaminya karena kondisi psikis, misal karena sedih yang berlarut. Dan satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa sekalipun ada teknologi yang mampu menghilangkan kode laki-laki dalam waktu cepat, tidak akan mengubah hukum yang sudah tercantum dalam Al-Qur'an karena berlaku sepanjang zaman. Akal kita sering kali nggak sampai. Allah yang paling tahu segalanya."

Kami serius mendengarkan. Pembahasan apapun menjadi lebih menarik jika Mas Sakha yang menjelaskan.

"Jadi membahas banyak hal ya. Sekarang kita lanjut ke materi selanjutnya, ya..."

Aku dan teman-teman kompak mengeluarkan buku. Saat aku membalikkan badan untuk mengambil buku, tak sengaja mataku bertabrakan dengan matanya... Axel menatapku begitu tajam dengan ekspresi yang tak terbaca. Aku segera menghindari kontak mata dengannya.

Seusai kelas berakhir, Mas Sakha memintaku menemuinya di ruang dosen. Entah apa yang ingin dia sampaikan.

Aku dan Luna berjalan beriringan menuju ruang dosen.

"Dira...."

Aku membalikkan badan. Axel berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. Dia memanggilku dengan namaku... Kenapa justru terdengar aneh? Melihatnya semakin dekat membuat debaran di dadaku kian bergema.

"Aku minta maaf karena sempat menyudutkanmu dengan membawa-bawa agama. Aku hargai aturan agamamu."

Raut wajah Axel memancarkan ketulusan. Aku dan Luna sempat saling melirik.

"Nggak apa-apa. Wajar karena kamu belum tahu," jawabku datar.

"Kita masih bisa berteman, kan?" tanyanya seperti orang yang tengah memohon.

"Sure...", jawabku disertai anggukan kepala.

"Apa aku masih boleh manggil kamu Mamah?"

Aku bingung harus menjawab apa.

"Boleh, kok," sela Luna dengan senyum lebar.

Axel tersenyum. Ini pertama kali ia tersenyum setelah sebelumnya marah dan menghindariku.

"Makasih, ya, Mah. Meski kita udah putus, tapi aku ingin hubungan kita tetap baik. Aku masih sayang sama kamu."

Aku mengernyit. Putus? Sejak kapan kami pacaran? Aku bertanya-tanya, Axel sadar nggak sih dengan ucapannya? Halu banget... Tapi aku kok jadi baper gini. Aku nggak boleh lemah, aku nggak boleh luluh.. Hanya mendengarnya mengatakan sayang saja, aku gugup bukan main. Deg-degan luar biasa...

"Udah dulu, ya, Mah. Aku mau ke markas. Bye..." kutatap derap langkahnya yang menjauh.

"Kalian emang pacaran? Jadiannya kapan? Kok udah main putus aja?' Luna melongo.

"Aku nggak pacaran sama Axel. Aku juga bingung kenapa Axel ngomong kayak gitu."

Luna tertawa, "Dasar geblek tuh orang. Halu tingkat tinggi."

******

Aku sudah duduk di hadapan Mas Sakha. Pintu tetap terbuka. Di setiap ruang dosen memang selalu ada pintu dan letaknya saling berdekatan antara ruang yang satu dengan ruang yang lain. Ada beberapa mahasiswa yang tengah duduk di luar dan terlihat dari ruangan.

"Jadi bagaimana Dir, apa kamu mau ikut proyek Mas?"

Jika tidak ada orang lain, sekalipun di kampus, kami menggunakan sapaan pribadi.

"Maaf, Mas. Dira nggak bisa ikut karena waktunya bersamaan dengan ujian."

"Okay, nggak apa-apa. Oya ada satu hal yang ingin Mas tanyakan."

Aku bertanya-tanya, apa yang ingin Mas Sakha tanyakan. Mas Sakha menatapku begitu tajam.

"Dira mau nggak, ta'arufan sama Mas?"

Saking kagetnya, aku sampai bengong, kehabisan kata untuk menjawabnya.

******


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro