Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Patah

Kulangkahkan kaki menuju halaman rumah. Suasana lengang. Ayah dan bunda pasti tengah nenyiapkan dagangan untuk nanti sore. Adika sepertinya belum pulang dari sekolah.

Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Kudengar suara Ayah dan Bunda kompak menjawab salamku. Kubuka sepatuku, lalu aku letakkan di rak. Aku menuju dapur. Ayah dan Bunda tengah menyiapkan pesanan catering. Kucuci tanganku di wastafel. Aliran air kran terasa begitu menyejukkan.

“Sudah pulang, Dir?” Bunda tersenyum padaku.

“Iya, Bun. Dira nggak ada kuliah siang.”

“Makan dulu, ya,” ujar Bunda lagi.

Aku mengangguk. Setelah berganti baju, sholat Dhuhur, dan makan siang, aku membantu Bunda menyiapkan barang dagangan. Ayah mengantar pesanan catering. Ada kotak yang diletakkan di jok motor bagian belakang untuk memudahkan mengangkut kotak-kotak menu.
Ayah punya impian untuk kembali membangun rumah makan yang menyediakan jasa catering dan delivery order. Alhamdulillah meski belum ada rumah makan, usaha catering keluarga kami mulai diminati pelanggan-pelanggan baru. Saat ini Ayah dan Bunda masih mengerjakan berdua. Kata Ayah, dia berencana untuk merekrut pekerja untuk membantu usahanya.

Selesai membantu Bunda, aku duduk sejenak di ruang tengah. Masih ada waktu untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat kerja.

“Dira, bos kamu ngasih bonus sepatu dua pasang?” tanya Bunda melirik sepatu dari Axel yang aku letakkan di rak.

Aku mengerti kenapa Bunda bertanya seperti ini. Kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya? Apa yang harus kukatakan?

“Mas Revan cuma ngasih sepasang.”

“Terus itu sepatu dari mana? Perasaan yang dari Mas Revan warna abu-abu, ya? Ini warna navy.”

Aku gelagapan. Bagaimana menjelaskan semua ini ke Bunda?

“Ini...ini sepatu dari teman,” balasku dengan berusaha tetap tenang.

“Teman yang mana?”

Mendadak lidahku kelu. Apa yang harus aku jawab? Aku takut Bunda marah.

“Axel,” jawabku pelan.

Bunda mengernyitkan alisnya.

“Axel siapa? Cowok?”

Raut wajah Bunda tak terbaca, apakah dia marah atau tidak. Ekspresi wajahnya masih saja datar. Namun aku tahu, Bunda begitu penasaran.
Aku mengangguk, “Iya, cowok.”

“Dia ngasih Dira sepatu dalam rangka apa?”

Aku bisa membaca rasa ingin tahu yang begitu besar tergambar dari setiap gurat di wajahnya.

“Dia... Dia bilang termotivasi untuk mencari penghasilan mandiri. Dia terinspirasi Dira yang kuliah sambil bekerja. Dia belajar bekerja. Dia ingin Dira ikut menikmati hasil jerih payahnya.” Aku mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang tepat agar Bunda tidak berpikir macam-macam.

“Beneran itu alasannya? Dira menerima gitu aja barang pemberian cowok?”

Pertanyaan Bunda seakan menyalahkan sikapku yang menerima pemberian Axel.

“Dira terima karena untuk menghargai pemberiannya. Dia udah bekerja keras. Kalau Dira menolak, itu akan membuatnya sedih.”

Bunda terdiam sejenak. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiran Bunda. Kok aku jadi deg-degan gini ya?

“Terus sepatu yang bonus kinerja kamu mana?”

Aku kembali gelagapan. Pertanyaan Bunda terdengar seperti mengintogerasi.

“Dira kasihkan ke Luna.”

Bunda membelalakan mata.
“Kenapa dikasih ke Luna? Kalau memang Dira ingin menghargai pemberian orang, kenapa barang itu dikasihkan ke Luna? Kalau kata Bunda, alasan Mas Revan ngasih sepatu untuk Dira itu lebih profesional, karena alasan pekerjaan. Sedang Axel memberi karena alasan yang lebih pribadi. Toh Mas Revan juga ngasih ke Vida.”

Aku menghela napas, “Jadi Dira salah ya, Bun? Dira ngasih sepatu itu ke Luna soalnya...” Kata-kataku tercekat dan aku rasa sebaiknya aku tak meneruskan.

“Soalnya apa?”

“Ehm... Sepatu dari Axel dan Mas Revan kan merknya sama. Modelnya juga sama.” Aku agak terbata.

“Tapi warnanya kan beda...” sela Bunda.

Aku terdiam. Aku tak berani menatap Bunda.

“Dira menyukai Axel?”

Pertanyaan Bunda membuatku salah tingkah. Aku sendiri bingung dengan perasaanku.

“Lain kali jangan mudah menerima pemberian laki-laki non mahram tanpa alasan jelas, apalagi kalau alasan itu terlalu pribadi. Laki-laki memberikan hadiah untuk perempuan dengan alasan pribadi biasanya karena laki-laki itu menyukai perempuan tersebut.”

“Dira hanya ingin menghargai usaha Axel. Apa itu artinya Dira salah? Dira seharusnya tidak menerima sepatu dari Axel karena alasan Axel lebih personal dan Dira seharusnya tidak memberikan sepatu dari Mas Revan ke Luna? Karena sepatu dari Mas Revan diberikan dengan alasan pekerjaan?”

Bunda tersenyum menatapku.
“Bunda nggak menyalahkan Dira. Ya, Axel memang sudah bekerja keras. Kalau Dira menolak pemberian Axel itu akan menyakitinya. Tapi Dira mesti menjelaskan bahwa ketika Dira menerima pemberian itu, Dira menerimanya untuk menghargai kerja keras Axel dan untuk persahabatan. Dira juga seharusnya nggak menyerahkan sepatu dari Mas Revan ke Luna. Tapi karena udah terlanjur ya nggak apa-apa. Itu udah jadi rezeki Luna.”

“Sebenarnya Dira menyerahkan sepatu dari Mas Revan untuk Luna itu karena Axel... Axel marah.” Aku menunduk.

“Marah? Kok bisa marah? Emang Axel punya hak untuk marah?” Bunda menatapku penuh selidik.

Aku semakin terpojok. Bunda mungkin bisa menebak apa yang aku rasakan terhadap Axel. Ya Allah... Aku akui aku menyukai Axel. Aku merasa sangat bersalah. Tak seharusnya aku melabuhkan hatiku pada seseorang yang belum halal.

Aku kehabisan kata.

“Axel pacarnya Dira? Makanya Axel marah Dira dapat sepatu dari Mas Revan.”

Nada bicara Bunda tidak mengindikasikan amarah. Gaya bicaranya masih tertata dan tenang. Namun aku rasakan ada kekecewaan di hati Bunda.

“Dira sama Axel nggak pacaran....” Aku buru-buru menjelaskan, takut Bunda salah paham.

“Lalu kenapa Axel marah? Dan Dira juga nurut aja sama Axel. Dira takut Axel marah makanya sepatu dari Mas Revan dikasih ke Luna. Bunda tahu sekarang, Dira dan Axel saling menyukai.”

Aku tak membalas apapun. Aku tak tahu pasti bagaimana perasaan Axel padaku. Aku hanya mengira-ngira bahwa ia memang menyukaiku. Namun aku juga takut mengartikan perhatiannya selama ini. Kami memang kerap berbeda argumen. Setiap ada diskusi di kelas, kami sering berdebat. Namun entahlah... Perasaan ini mengalir tanpa bisa kucegah. Andai jatuh cinta itu bisa direncanakan, aku akan jatuh cinta di saat yang tepat. Aku tidak meminta untuk jatuh cinta sekarang. Kenapa waktunya tidak tepat? Kenapa aku harus jatuh cinta pada Axel? Sungguh aku bingung...

“Dira suka sama Axel?” Bunda tersenyum dan menatapku lembut.
Senyum Bunda sedikit mencairkan kecemasanku. Aku pikir, Bunda akan marah.

“Dia... Dia sebenarnya bukan tipe Dira... Kami hanya berteman dan tidak ada hubungan apapun...”

“Bunda hanya bertanya apa Dira suka sama Axel? Dira jawabnya panjang lebar.” Bunda tersenyum lebih lebar.

Aku tak berani menjawab.

“Anak Bunda sudah mulai suka sama cowok...”

“Bunda....”

“Apa yang membuat Dira jatuh cinta sama Axel?"

Pertanyaan Bunda begitu sulit untuk aku jawab. Aku sendiri tak tahu kenapa aku jatuh cinta padanya.

“Apa karena dia ganteng? Sholeh? Rajin ibadah? Baik?” tanya Bunda lagi.

Aku tertegun. Ya, dia ganteng, care, sebenarnya dia baik... Tapi dia non muslim...

“Tidak apa-apa, Dira. Jatuh cinta itu fitrahnya manusia. Tidak ada yang melarang jatuh cinta. Yang dilarang adalah cara mengekspresikan perasaan cinta dengan cara yang menyimpang koridor. Misalnya dengan berpacaran.”

Bunda masih menatapku lembut.

“Meski jatuh cinta itu tidak dilarang, tapi jangan sampai perasaan cinta kamu menjadi bumerang untuk diri kamu sendiri. Misalnya, kamu jadi susah tidur karena mikirin dia, kamu jadi mencuri pandang ke arahnya, bahkan mungkin menatapnya lebih lama. Hati-hati dengan zina mata. Kamu harus bisa mengendalikan perasaan kamu. Jangan sampai kamu yang dikendalikan perasaan. Ingat satu hal, Axel tetaplah laki-laki bukan mahram. Ada batasan yang harus ditaati.”

Aku tercenung. Kata-kata Bunda memang benar adanya.

“Fokuskan diri kamu untuk meraih masa depan, untuk hal-hal yang jauh lebih prioritas. Dira masih delapan belas. Banyak hal positif yang bisa kamu lakukan untuk mengalihkan pikiran kamu dari Axel.”

Aku mengangguk berulang. Nasihat bunda begitu berarti. Aku harus mengendalikan perasaanku. Aku harus menggunakan akal sehatku agar mampu menempatkan diri dalam menghadapi gejolak perasaan yang tengah berbunga. Aku tak boleh terbuai oleh sesuatu yang akan menjauhkanku dari Allah.

“Jangan lupa berdoa Dira. Mohon pada Allah untuk menjaga hati dan langkah kamu. Hati bisa menjadi sesuatu yang kuat, tapi di sisi lain juga bisa menjadi sedemikian rapuh. Istiqomah itu sulit tapi bisa diupayakan.” Bunda mengusap pipiku.

******

Kususuri sepanjang koridor. Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Banyak yang aku renungkan. Aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Aku tak tahu, kenapa aku sering memikirkannya. Bahkan terkadang bayangan wajahnya seolah menyelinap ke dalam benak. Aku takut perasaan ini akan semakin tumbuh secara tak wajar. Aku takut semua ini akan menjadi bumerang untukku. Aku takut rasa cintaku pada makhluk mengalahkan rasa cintaku pada Rabb-ku.

Kulihat di ujung koridor, Axel berjalan seorang diri. Dada ini tiba-tiba berdebar hebat. Ada gemuruh rasa yang tak dapat didefinisikan. Kenapa rasanya jadi deg-degan? Dan sekelebat rasa yang tiba-tiba menerjang seolah membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku memilih bersembunyi di balik tembok sebelum ia melihatku. Kuraba dadaku. Debaran itu masih terasa. Ya Allah melihat sosoknya saja, aku jadi begini. Aku senang melihatnya, tapi aku tak siap untuk bertemu dengannya. Ada rasa ingin dekat, tapi juga ada rasa ingin menghindar. Ini sudah tidak wajar lagi... Aku tak bisa begini... Aku harus bicara dengannya, demi kebaikanku dan juga kebaikannya.

Aku teringat semalam Axel mengirim pesan whatsapp. Dia mengucapkan ‘have a nice dream' dalam pesannya. Aku tersenyum dan bahagia saat dia kembali mengirim pesan, 'aku kangen kamu...'.Dan bodohnya aku membalas, 'I miss you too'. Sepanjang malam aku dihantui rasa bersalah. Ini sama saja dengan pacaran meski tak ada kata-kata eksplisit bahwa kami tengah menjalin hubungan. Aku harus mengakhiri semua ini sebelum rasa ini semakin dalam.

Setelah aku rasa aman, aku kembali berjalan menuju kelas.

Sepanjang mengikuti kuliah, aku menghindari menatapnya. Aku menghindar saat dia mengajakku bicara. Aku berusaha bersikap cuek dan menganggapnya tak ada. Aku tahu, dia berusaha mencuri pandang ke arahku beberapa kali. Aku bisa melihat ada rasa kecewa mendominasi wajahnya saat aku mengabaikan pertanyaan-pertanyaannya. Aku sedang mencoba untuk menata kembali perasaan di hati yang sudah kacau dan memporak-porandakan pikiran.

Seusai mengikuti kelas, aku pergi ke lapangan belakang. Ada Cherise yang tengah men-dribble bola dan beberapa kali menembak bola ke arah ring. Aku bergabung dengannya. Bermain basket dapat sedikit mengalihkan pikiran dan membuatku melupakan sejenak urusan batin yang sedang aku perangi.

“Mamah... Aku ingin bicara...”

Aku terkejut mendengar suara Axel. Aku melempar bola pada Cherise. Cherise menangkapnya. Aku lirik Axel yang berjalan mendekat.

“Bicara apa?” aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang meski debaran itu kian bertalu. Ya Allah, aku deg-degan. Aku berusaha menetralkan segenap rasa, tapi aku tak bisa mencegah desiran yang seakan menyentuh ujung hatiku yang terdalam.

“Aku ke kantin dulu, ya.” Cherise hendak melangkah tapi buru-buru aku menggandengnya.

“Kamu di sini dulu, ya. Nggak pantas kalau aku bicara dengan Axel berdua.”

Cherise menurut. Ia duduk di tepi lapang.

“Mah, aku rasakan hari ini kamu menghindariku. Kamu cuek banget dan nggak mau menjawab pertanyaanku. Kemarin kita udah baikan, kenapa hari ini kamu kembali jutek? Salahku apa? Apa kamu belum tulus maafin aku? Kamu masih marah soal kemarin?”

Aku bingung merangkai kata. Aku lihat, ada kesedihan yang terlukis nyata di sorot mata sayunya. Ya Allah, aku jadi tak tega. Namun aku harus mengatakan semuanya.

“Aku minta maaf, Xel. Aku nggak bermaksud menghindar atau nyuekin kamu. Aku hanya berusaha untuk menata hati aku.”

Axel mengernyit.

“Menata hati gimana?”

Kuhela napas. Kucoba untuk kembali menetralkan rasa yang tengah berkecamuk.

“Apa yang kita rasakan sepertinya sudah melebihi batasan. Kita tak memiliki status apapun, tapi rasanya kita seperti dua orang yang tengah menjalin komitmen. Kamu cemburu saat aku menerima hadiah dari laki-laki lain. Aku cemburu saat melihat kamu bareng cewek lain. Aku takut kamu marah-marah terus, makanya aku kasih sepatu dari Mas Revan untuk Luna. Aku memikirkan perasaanmu. Di rumah aku masih kepikiran kamu meski kamu udah nggak ada di hadapanku... Ini aneh...”

Aku menunduk sejenak. Aku tak berani menatapnya. Kuangkat kembali wajahku.

“Aku seperti bukan diriku. Aku nggak pernah merasakan hal kayak gini sebelumnya. Aku nggak ingin perasaan yang aku rasakan menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Aku tak mau menikmati semua ini hingga aku tak sadar bahwa apa yang terjadi antara kita akan semakin mengalir dan menerjang aturan yang ada. Aku merasa hati kita saling terikat, sudah seperti orang yang pacaran. Ini semua membuatku merasa berdosa...”

Axel mengusap wajahnya lalu menatapku tajam.

“Kenapa harus mematikan perasaan yang sedang tumbuh? Cinta nggak pernah salah, Mah. Aku sebenarnya lagi bahagia-bahagianya. Aku merasa telah menemukan seseorang. Semalam aku nggak bisa tidur setelah menerima balasan WA-mu. Aku bahagia banget sampai aku nggak bisa tidur. Pagi ini aku berangkat lebih pagi karena ingin cepat sampai kampus. Aku pingin cepat ketemu kamu. Dan sekarang kamu bikin aku jatuh sejatuh-jatuhnya.”

Aku tercekat mendengar penuturannya.

“Aku harap kamu ngerti, Xel. Agamaku memiliki aturan yang jelas akan interaksi antar lawan jenis. Interaksi kita sudah melebihi batasan. Aku nggak mau terjebak dalam hubungan yang tak halal. Aku nggak mau ikut terseret arus negatif dengan menjalin hubungan yang tak halal dengan laki-laki non mahram. Aku nggak mau pertahananku melunak dan bahkan roboh karena dikendalikan perasaan...”

Axel mengembuskan napas kesal.
“Lagi-lagi agama... Agama selalu dibawa-bawa. Makanya aku nggak beragama karena bagiku agama hanya menyusahkan manusia. Agama hanya berisi doktrin yang melarang ini itu dan membatasi, menghancurkan kebahagiaan manusia... Manusia punya hak untuk merasakan cinta, kita nggak bisa menghindarinya.”

Aku terdiam sesaat...

“Maafkan aku, Xel. Mulai sekarang lebih baik kita jaga jarak. Aku nggak mau meneruskan sesuatu yang salah. Tidak ada hubungan apapun yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan selain pernikahan.”

“Menikah? Kamu ingin kita nikah biar nggak terjebak dosa?” tanyanya begitu frontal.

Aku melongo.

“Bagaimana bisa menikah? Kita beda keyakinan. Ini kenapa aku memutuskan untuk menjaga jarak denganmu karena aku takut perasaan ini semakin dalam. Sementara untuk menikah juga tidak mungkin karena muslimah haram dinikahi laki-laki non muslim.”

Axel terdiam. Aku bisa melihat ia begitu bersedih. Aku harus kuat memegang prinsip. Jangan sampai aku kendor hanya karena iba melihat ekspresi wajah sendunya. Sungguh... Ini sangat berat untukku.

“Tolong hargai keputusanku, Xel... Lebih baik kita saling menjaga diri untuk nggak lagi meneruskan semua ini. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik, bukan semakin mundur. Istiqomah itu memang sulit tapi aku akan terus berusaha untuk istiqomah.”

Okay, kalau itu yang kamu mau. Mengenalku memang membuatmu semakin mundur, jadi kacau, jadi tak jelas... Aku bawa pengaruh buruk buat kamu. Aku memang bukan orang baik dan juga non muslim. Aku nggak pantes disejajarkan sama kamu. Aku nggak ada artinya di mata kamu...” Sorot mata Axel tampak berkaca.

Aku sakit melihatnya...

"Terima kasih untuk semuanya," Axel berbalik dan meninggalkanku dengan langkah cepat.

Aku mematung. Semua menjadi sedemikian runyam. Ya Allah.... Kenapa rasanya sakit begini... Membunuh rasa yang sedang mekar-mekarnya itu sangat sakit... Inikah rasanya patah hati? Kuatkan aku ya Allah... Beri aku kedewasaan dan kebijakan menyikapi semua ini. Jaga hatiku agar selalu berserah padaMu...

Aku manusia biasa... Aku sedih, sangat sedih... Aku juga nggak ingin dia pergi tapi aku harus merelakan untuk kebaikan kami. Aku harus tegas pada diriku sendiri. Tidak ada pacaran... Tidak ada hubungan dengan lawan jenis selain pernikahan... Dan aku percaya jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, insya Allah, Allah akan mengganti dengan yang jauh lebih baik.

******

Udah dulu ya. Siapa yg patah hati? Oya seharian aku nggak bisa update, aku bakal di TPS seharian, mungkin sampai malam. Jam enam pagi harus sudah standby di TPS.

Ke depan bakal lebih baper lagi nih. Jelas mereka akan semakin sering bertengkar dan berdebat gara-gara patah hati. Next part bakal ada ketawa-ketawanya lagi kok. Di part ini nyesek dulu haha...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro