Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. New Episode Adira-Axel

Maaf baru bisa update lagi. Aku sebenarnya masih ujian. Aku sempetin update. Mohon maaf selama ujian, aku nggak bisa update tepat waktu. Selain itu, mesti bagi-bagi waktu dengan banyaknya aktivitas. Alhamdulillah pesanan cireng juga jalan terus. Malam yang buat istirahat kadang masih dipakai aktivitas juga, nyuci baju, nyuci piring, bareng-bareng suami sih ngerjainnya. Jadi kadang mau ngetik, udah ngantuk duluan. Makasih banyak untuk yg mau ngertiin dan tetep setia baca cerita ini.

Mulai bab ini episode baru Adira-Axel ya, dan aku akan pakai POV orang ketiga.

Waktu terus berjalan, Ramadhan nan indah berlalu, berganti Syawal yang siap mengukir sejarah baru. Kehidupan Adira dan Axel semakin berwarna dengan hadirnya kado terindah yang bersemayam di rahim sang calon ibu.

Keduanya merasa seperti mendapat keajaiban, anugerah tak disangka-sangka datang, seperti melukis bianglala di cakrawala. Saat memeriksakan kehamilan ke dokter kandungan, dari layar USG, dokter menjelaskan ada dua kantung kehamilan, artinya ada janin kembar di rahim Adira.

Adira dan Axel merasa bahagia, terharu, tak percaya karena merasa tak memiliki keturunan kembar. Dokter menjelaskan bahwa kehamilan kembar tidak selalu disebabkan karena faktor genetik.

Di satu sisi Adira merasa agak cemas. Ia sendiri bingung menjelaskan seperti apa ketakutan yang kadang mendera. Ia hanya bertanya-tanya, apakah dia akan sanggup menjalani kehamilan yang kata orang akan lebih berat dibandingkan dengan kehamilan tunggal? Apa dia dan Axel sanggup mengemban amanah untuk mengurus dua anak sekaligus?

Idul fitri tahun ini menjadi Idul Fitri pertama untuk Axel. Dulu ia hanya bisa mengamati gegap gempita tetangga dan teman-temannya merayakan hari raya umat Islam itu, sekarang ia bisa merasakan langsung. Ada rasa lega sekaligus haru yang teramat kala ia teringat akan keberhasilannya menunaikan ibadah puasa sebulan penuh. Ia akui tak mudah untuknya beradaptasi dengan situasi dan kondisi di mana ia harus menahan diri dari makanan dan minuman yang dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tak mudah menepis segala godaan yang entah datang tiba-tiba atau diselancarkan oleh orang-orang yang tak suka dengan keputusannya masuk Islam.

Adira begitu bangga dengan keteguhan hati Axel untuk terus berjuang menjadi muslim yang taat. Suaminya cukup kuat menghadapi banyaknya hinaan, bully-an, dan caci maki dari orang-orang yang ia kenal, bahkan juga dari orang-orang yang hanya mengenal di media sosial. Axel mengabaikan komentar-komentar negatif itu. Axel lebih fokus pada orang-orang yang dengan tulus mendukung keputusannya dan mendoakannya. Bahkan banyak juga non Muslim yang ikut memberikan support karena menurut mereka, memeluk agama tertentu itu sebuah hak asasi yang tidak bisa dipaksakan.

Di hari kedua Idul Fitri ini, Adira dan Axel berkunjung ke rumah Bayu dan Firda. Hari pertama mereka beserta Bayu, Firda, dan Adika berkumpul di rumah Maulid, kerabat Bayu yang juga berdomisili di Purwokerto. Setiap Idul Fitri, rumah kerabat yang dituakan biasanya dijadikan tempat berkumpul keluarga besar. Rayga, Diandra, dan anak-anaknya juga turut serta berkumpul di rumah Maulid.

Menu lebaran masih tersaji. Axel menikmati opor ayam dengan lahapnya. Ia jarang makan masakan yang sering kali menjadi makanan khas lebaran ini. Kue-kue buatan Firda yang dalam proses pembuatannya dibantu Adira juga masih mengisi toples-toples yang terhidang di meja. Sayangnya Adira tak bisa menikmati semua makanan dengan bebas. Dari awal kehamilan hingga sekarang, ia sering kali mual, muntah, dan semua ini berakibat pada menurunnya selera makan. Saat ia sedang merasa enek, ia lebih banyak mengonsumsi buah-buahan segar untuk menetralkan rasa enek itu.

Axel sudah resign dari coffee shop karena ingin menghindari Tamara. Sekarang ia bekerja di distro milik Revan, menggantikan Adira yang sudah resign. Axel ingin istrinya punya waktu yang cukup untuk beristirahat di kontrakan. Alhamdulillah, menjelang lebaran kuliah diliburkan. Setelah lebaran juga masih ada sisa liburan cukup lama.

Ada kegiatan baru Axel dan Adira di sela-sela waktu luang, mereka belajar menekuni usaha tanaman hias dan sayuran. Axel yang lebih banyak mengerjakan. Usaha ini mereka harapkan mampu menjadi tambahan penghasilan untuk persiapan biaya persalinan dan membesarkan anak mereka kelak. Apapun akan Axel lakukan untuk mencukupi kebutuhan Adira dan calon anak mereka. Ia mau bekerja apa saja selama pekerjaan itu halal dan baik.

Kehangatan suasana keluarga terasa begitu kuat. Axel bahagia mendapatkan keluarga baru yang menerimanya dengan tulus. Sebenarnya Bayu dan Firda berencana mengunjungi orang tua angkat Firda yang sudah seperti orang tua kandung di Bandung, tapi mereka menunggu waktu hingga kondisi jalan tidak terlalu padat karena arus lebaran.

Adira kembali merasa mual. Rasanya ingin sehari saja bebas mual, apalagi ia tengah berkumpul dengan keluarganya, tapi mual itu tak bisa dicegah. Ia memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Firda dan Bayu merasa khawatir melihat putri sulung mereka sering muntah dan badannya pun terlihat kurus. Adika juga turut mengkhawatirkan kakak satu-satunya.

“Dir, muntah-muntahnya kayaknya sering banget, ya?” Firda memijit-mijit pundak Adira yang sudah duduk di ruang makan.

“Iya, Bun. Tiap malam juga sering kebangun dan muntah-muntah,” balas Axel yang tak tega juga melihat susah payah Adira menjalani kehamilannya.

“Dulu Bunda kayak gini juga nggak, sih? Apa yang dimakan kayaknya nggak tahan lama di perut. Nanti dikeluarin lagi lewat muntahan. Dira takut nutrisinya kurang mencukupi." Adira menatap Axel dan Firda bergantian dengan wajah yang pucat.

“Dulu Bunda juga kayak gini. Yang sabar, ya. Waktu Bunda hamil empat bulanan udah nggak mual-mual lagi dan enak makan. Jangan khawatir kurang nutrisi. Yang penting Adira tetap berusaha memenuhi kebutuhan nutrisi itu.”

Jawaban Firda selalu membuat Adira tenang. Bayu mengusap puncak kepala Adira yang tertutup kerudung.

“Jalani semua dengan ikhlas, sayang. Insya Allah semua ini akan menjadi pahala untuk kamu.” Bayu mengulas senyum khasnya.

Adira mengangguk, “Aamiin.”

Selang beberapa menit kemudian Maulid datang bersama putri bungsunya yang masih duduk di bangku SMA. Ia mengantar dua kotak brownies dan soto Sokaraja. Salah satu keahliannya adalah membuat soto Sokaraja yang sudah mendapatkan pengakuan “enak” dari para tetangga dan ibu-ibu arisan.

“Mbakyu repot-repot segala nih bawa segala macam. Terima kasih banyak lho,” ucap Firda sembari menerima pemberian Maulid.

“Nggak apa-apa, aku masak banyak, sekalian dibagi-bagi ke tetangga,” balas Maulid.

Adira merasakan mual lagi. Ia segera berjalan cepat ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya.

“Adira muntah-muntah terus, ya? Kemarin-kemarin waktu bikin kue di sini juga muntah.” Maulid melirik Axel yang duduk di hadapannya.

“Iya, Budhe,” jawab Axel singkat.

“Namanya juga hamil muda, Mbak,” timpal Firda.

Adira kembali duduk di sebelah Axel.

“Mau aku bikinin wedang jahe, Mah? Jahe bisa mengurangi mual,” ujar Axel yang menatap sang istri dengan sorot mata sayu.

Adira menggeleng, “Nggak usah, Pah.”

“Ya, udah minum yang banyak ya biar nggak dehidrasi.” Axel memberikan segelas air.

“Kecil-kecil udah pada nikah, jadinya gini. Yang lain masih petakilan, segar bugar ke sana kemari, lincah-lincah, ini hoek-hoek terus, bolak-balik muntah, lemes, pucet, nggak bersemangat. Ujung-ujungnya kuliahnya bakal cuti nanti dan jadi lebih lama lulusnya.” Maulid seolah tak puas mengomentari pernikahan muda keponakannya dengan kata-kata pedas.

Axel dan Adira seketika terdiam. Mereka sudah terbiasa mendengar celoteh pedas sang Budhe. Namun tetap saja, mendengar ucapan pedas yang memojokkan, menorehkan rasa tak nyaman. Terutama untuk Adira yang menjadi sensitif setelah hamil. Ia menjadi mudah bersedih saat mendengar komentar-komentar negatif.

Maulid melirik putri bungsunya yang duduk di sebelahnya.

“Kamu nanti nikahnya kalau udah kerja aja, udah mapan, baru nikah. Umur juga nunggu matang, jangan kemudaan. Kalau kuliah nanti selesaikan kuliah dulu, jangan keburu minta kawin. Puas-puasin main dulu, kerja dulu nyari duit, jalan-jalan cari hiburan, setelah puas baru nikah. Kalau udah puas main-mainnya, nikah lebih siap karena udah nggak gimiren lagi main-main di luar. Rumah tangga juga lebih harmonis karena usia yang matang biasanya udah nggak ada ego dan lebih memahami,” jelas Maulid panjang lebar. (gimiren : mupeng)

“Kalau udah ada jodohnya masa ditunda-tunda, Mbak. Namanya hamil, melahirkan, dan menyusui udah kodratnya perempuan. Adira di usia muda ini sudah diamanahkan janin di rahim. Ya tinggal disyukuri. Semua perjuangan yang dilalui ibu hamil insya Allah akan mendapat kebaikan dari Allah. Terus aku kok kurang setuju ya Mbak Maulid bilang semasa single digunakan untuk puas-puas bermain. Kalau belum ada jodohnya, ada banyak kegiatan positif yang bisa dilakukan di masa single. Mending dipakai untuk beribadah, bisnis, kegiatan sosial. Boleh bermain, seneng-seneng misal jalan-jalan, makan-makan, nonton ke bioskop, tapi secukupnya aja, untuk sekedar refresh pikiran, bukan dipuas-puasin. Karena masa muda atau waktu kita di dunia ini juga akan ditanyakan di akhirat, digunakan untuk apa saja.” Bayu menatap Axel dan Adira bergantian. Ia tahu anak dan menantunya kurang nyaman dengan kata-kata Maulid yang menyudutkan.

“Iya, sih, tapi tetep aja aku kasihan lihat Adira. Usia sekarang sebenarnya usia sedang mekar-mekarnya, sedang jaya-jayanya sebagai gadis cantik, pintar, mendapat beasiswa, berprestasi, tapi semua pencapaian ini bakal terhalang atau sulit dicapai lagi setelah nikah, keentub tawon terus wetenge njembling... Katone koh melasi temen..” Maulid kembali nyerocos. (Tersengat lebah terus perutnya melendung (hamil)... Kelihatannya kok kasihan banget).

Keentub tawone dengan jalan halal toh Mbakyu... Ya nek wetenge blendung ya wis rejekine. Pernikahan bukan penghalang untuk berprestasi. Mbak ora usah parno. Aku sing wong tuwane yo nyante. Aku percaya anakku, mantuku, pada bisa urip prihatin. Masa ora diwei dalan. Dhewek duwe Allah, ora usah wedi repot, wedi kekurangan. Sing penting usaha karo doa.” (Kalau perutnya melendung (hamil) ya udah rezekinya. Mbak nggak usah parno. Aku orang tuanya juga nyantai. Aku percaya anakku dan menantuku bisa hidup prihatin. Masa nggak dikasih jalan. Kita punya Allah, nggak usah takut repot, takut kekurangan. Yang penting usaha dan doa).

“Iya, Mbak. Doain aja buat Adira dan Axel,” lanjut Firda.

“Ya pasti didoakan. Axel mesti kerja keras. Biaya persalinan itu nggak murah. Apalagi ini dua bayi sekaligus. Biaya jadi double-double untuk dua bayi. Baju, selimut, popok, kasur bayi, mesti dua-dua...” Maulid melirik Axel dan Adira sepintas.

“Soal rezeki mah nggak usah takut. Selama diusahakan, pasti ada jalannya,” pungkas Bayu.

******

Malam ini Adira dan Axel menginap di rumah Bayu dan Firda. Axel mengusap perut Adira sembari mengajak calon bayi kembar mereka bicara.

“Dede kembar baik-baik di dalam perut ya. Papah bakal usaha yang terbaik buat Dede kembar.” Axel mengecup perut yang sudah terlihat agak buncit itu berulang, terlihat jelas betapa ia menyayangi calon anak kembarnya meski belum terlahir ke dunia.

Adira tersenyum melihat polah Axel. Bukan cuma calon ibu yang sudah mencintai calon anaknya sejak dalam kandungan, sang calon ayah pun demikian. Mungkin ini yang namanya cinta tanpa syarat, cinta tulus yang bahkan dengung kerinduan akan hadirnya makhluk suci itu di dunia sudah terasa gaungnya. Sehari saja tak mengusap perut Adira dan tak mengajaknya bicara, sudah terbitkan kerinduan yang memuncak.

Axel menatap Adira tajam dengan pendaran cinta yang masih bergelora hingga kini.

“Aku akan berusaha yang terbaik. Insya Allah kita pasti bisa. Entah bagaimana caranya, aku akan mengusahakannya. Kamu nggak perlu risau denger komentar orang yang meragukan kita. Apa sanggup kita biayain anak-anak kita nanti? Apa sanggup kita jadi orang tua yang baik? Apa sanggup kita membagi waktu untuk keluarga, kuliah, dan pekerjaan? Seperti yang sering kamu ingatkan, Allah nggak akan membebani kita di luar kesanggupan kita. Optimis saja.” Axel menyila rambut Adira ke belakang telinga, seakan tahu apa yang tengah bergelut di benak istrinya.

Adira mengangguk dan tersenyum. Terkadang ia memang merasakan kekhawatiran dan sensitif mendengar komentar yang tak enak. Ada saja yang nyinyir, meragukannya tak bisa menjadi ibu yang baik atau bahkan menakutinya bahwa proses melahirkan itu sulit dan seperti pertaruhan nyawa, terlebih melahirkan anak kembar. Tentu Adira berharap ia bisa melahirkan dua bayinya dengan lancar, baik ibu maupun bayi kembarnya selamat. Ia pasrahkan segalanya kepada Allah setelah ia mengusahakan semaksimal yang ia mampu. Adira bersyukur, Axel selalu ada untuk menguatkannya.

Axel mengecup kening Adira lembut. Ia tatap wajah Adira begitu serius.

“Tetap berpikir positif, ya. Ibu hamil harus selalu berpikir positif agar bisa menjalani kehamilan dengan nyaman dan bahagia.” Axel kembali melukis senyum.

Adira tersenyum dan menangkup pipi suaminya.

“Makasih, sayang. Makasih untuk semuanya. Kata-katamu selalu menenangkanku.”

Axel meraih telapak tangan Adira lalu menciumnya.

“Mah, aku kepikiran untuk ngajak kamu silaturahim ke rumah Papa di Jakarta. Setelah kondisi kamu membaik. Aku ingin ngasih tahu Papa kalau ada calon cucu kembarnya di rahimmu. Mudah-mudahan setelah tahu kamu hamil, Papa akan menerima kita.”

Adira senang mendengarnya. Axel tidak menyimpan kebencian pada papanya.

“Iya, Pah. Kita akan menemui Papa... Mudah-mudahan kehamilanku mampu membuka hati Papa.”

“Aamiin.”

Keduanya melempar senyum dan saling berpelukan. Mereka tahu ke depannya akan lebih banyak lagi tantangan dan rintangan yang mungkin kan menghadang, tapi keduanya menyadari segala permasalahan akan mendewasakan dan semakin mendekatkan mereka pada Sang Pencipta.

******

Udah dulu... Aku mau belajar lagi. Mohon maaf mungkin gak update sampai nanti tanggal 30. Kalaupun sempat ngetik, yg mau diupdate itu Dear, Pak Dosen 2 & Dear, Mas Duda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro