Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. My Name is Adira

Sekuel dari My Baby, My Strength. Adira adalah anak dari Bayu dan Firda. Ini untuk test drive ya. Dan aku akan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kayaknya ini pertama kali aku pakai sudut pandang orang pertama yang full dalam suatu cerita.

Sebuah bola basket menggelinding ke arahku, tepat berhenti di depan ujung sepatuku. Aku mengambil bola itu dengan kedua tanganku. Kulihat anak-anak basket putri melihat ke arahku, seakan memintaku untuk melempar bola itu.

Kutatap ring basket yang berdiri gagah. Kubayangkan ring itu bisa bicara dan menyuruhku melempar bola itu. Sejak kecil aku senang mengamati anak-anak bermain basket. Keinginan bergabung begitu kuat. Namun aku tahu, sejak kecil banyak teman yang tidak bisa menerima kehadiranku, kecuali anak yang benar-benar tulus berteman tanpa memandang fisik. Beruntung aku memiliki ayah terhebat. Dia membuatkan tiang ring basket di belakang rumah dan setiap sore, aku berlatih basket bersama ayah.

Kupandang tiang ring itu sekali lagi. Aku beranikan diri untuk melempar bola ke arahnya. Bisa kulihat semua anggota tim melongo melihat bola itu berhasil menembus ring. Seorang mahasiswi melangkah mendekat. Dia Cherise, leader tim basket putri yang namanya sudah tenar seantero kampus. Dia cantik dan unik, kadang terlihat maskulin tapi juga cute di saat yang bersamaan.

"Hai, kamu anak mana? Semester berapa? Pinter juga main basket. Kenalin, aku Cherise." Gadis berambut panjang yang dikucir kuda itu mengulurkan tangannya.

Aku tergugu. Kedua tanganku kusembunyikan di balik punggungku. Bukan aku tak mau menjabatnya. Namun aku takut dia akan bereaksi sama dengan orang lain saat pertama kali berkenalan. Awalnya tersenyum sumringah, tapi begitu bersalaman denganku, dahi mereka mengernyit. Mereka tampak kaget atau shock saat mengetahui bahwa kedua telapak tanganku tidak memiliki jari. Beberapa bahkan tak bisa melepas tatapannya dari tanganku. Ini semua membuatku enggan membuka diri dengan orang-orang baru.

"Cherise ayo main lagi..." Salah satu teman Cherise memanggil sang leader dengan lantang.

Cherise berbalik tanpa mengucap apapun. Aku merasa bersalah. Mungkin dia berpikir aku angkuh dan tak mau berkenalan dengannya. Padahal sudah lama aku mengaguminya. Dia tak hanya jago basket, cantik, dan kaya, tapi juga memiliki personality yang bagus. Tak heran dia memiliki banyak teman.

Aku kembali berjalan menuju pintu gerbang kampus. Setiap sore aku berkerja di salah satu distro. Aku akan berangkat ke sana. Aku sudah mengirim pesan whatsapp pada orang tuaku bahwa aku akan langsung pergi ke distro.

Aku adalah gadis biasa dengan sesuatu yang istimewa. Mungkin di mata dunia apa yang ada padaku bukan keistimewaan, melainkan kekurangan, keterbatasan, atau bahasa yang lebih eksplisit, "cacat". Kata ayah dan bunda, meromelia bukanlah kekurangan tapi keistimewaan. Di mata mereka aku istimewa.

Orang yang baru mengenalku atau bahkan ibu-ibu yang naik satu angkot denganku, ketika menyadari ada yang berbeda dengan tanganku, secara refleks mereka bertanya, 'tanganmu kenapa?' Kepada orang yang sudah tua biasanya aku hanya tersenyum atau aku jawab, 'sudah kehendak Allah, Bu'. Namun pada teman-temanku, aku jelaskan seperti cara ayah dan bunda menjelaskan. Apa kamu pernah mendengar phocomelia? Phocomelia adalah suatu kondisi defek lahir di mana kondisi bayi terlahir dengan tubuh tidak sempurna (ada lengan dan tungkai kaki yang hilang karena malformation atau pembentukan tak sempurna pada saat kehamilan). Phocomelia ini bisa bersifat sebagian (meromelia), bisa juga bersifat keseluruhan (amelia). Aku mengidap sindrom meromelia karena ketiadaan bagian tubuh hanya sebagian.

Jangan kau tanya apa penyebabnya. Kata ayahku, penyebabnya bisa dari genetik atau tidak diketahui. Ayah menjelaskan, saat aku lahir, dokter mengatakan bahwa sekitar 60 persen penyebab cacat lahir itu tidak diketahui.

Dulu aku merasa baik-baik saja. Dulu aku tetap percaya diri membaca puisi di depan kelas atau menyanyi. Aku bahkan menjuarai lomba melukis beberapa kali. Hingga saat aku duduk di bangku SMP, aku mulai mengalami krisis percaya diri. Keterbatasan fisikku sering kali menjadi objek bullying oleh teman-teman. Aku bisa menulis, aku bisa mengikuti pelajaran, aku bisa berprestasi dan mendapat ranking. Namun tetap saja aku manusia dengan tangan yang tidak berjari. Aku tidak seperti mereka yang bisa menulis dengan mudah, cepat, dan indah. Untuk menulis aku butuh kedua tanganku untuk mengapit pulpen. Selalu ada sekelompok orang yang enggan bergaul denganku.

Memasuki masa SMA, keluargaku mendapat cobaan yang berat. Salah satu rumah makan milik ayah kebakaran dan menderita kerugian yang sangat besar. Tak berapa lama kemudian, perusahaan oma Rida juga pailit karena ulah bawahannya yang berkhianat dan memakan uang perusahaan hingga perusahaan itu jatuh ke tangan pesaing bisnis oma. Ayah menjual satu rumah makannya yang masih tersisa untuk membayar hutang perusahaan oma. Aku tidak begitu paham akan permasalahan yang menimpa perusahaan oma. Ayah dan bunda juga tak mau menceritakan secara gamblang. Bagi mereka, aku dan adikku lebih baik fokus sekolah saja, tak usah memikirkan masalah yang mendera.

Saat aku lulus SMA, oma Rida meninggal. Ia menderita sakit liver. Ayah dan bunda begitu terpukul, begitu juga denganku. Kehilangan orang tercinta selalu goreskan luka mendalam.

Ayah dan bunda masih menggeluti usaha kuliner. Kata ayah, apa yang mereka usahakan sekarang sama seperti awal mereka membuka usaha nasi goreng saat bunda mengandungku. Mereka berjualan tenda di area kampus. Kalau tidak bekerja di distro, aku kerap membantu berjualan. Meski bukan usaha besar, hasil usaha itu mampu membiayai adikku, Adika yang masih duduk di bangku SMP dan juga membiayaiku yang baru saja masuk kuliah. Aku mengambil manajemen karena aku memang tertarik mempelajarinya.

Sebenarnya ayah dan bunda keberatan aku bekerja. Namun aku bersikeras untuk tetap bekerja karena ingin meringankan beban mereka. Ayah dan ibu akhirnya memberi izin. Sekarang aku tengah berusaha untuk mendapatkan beasiswa prestasi. Karena itu, aku belajar sungguh-sungguh agar mendapat hasil yang baik. Aku tak mau menyerah pada keterbatasan. Meski aku tak memiliki jari, aku punya hak yang sama seperti manusia lain yang memiliki anggota tubuh yang lengkap.

Aku terkadang minder, tak nyaman dengan tatapan orang yang terfokus pada tanganku. Namun aku tak pernah menyesali keadaanku. Allah selalu menganugerahi kelebihan pada manusia sepaket dengan kekurangan. Aku merasa bersyukur memiliki orang tua yang menerima dan menyayangiku dengan tulus. Mereka tak pernah menuntut apapun dariku. Yang mereka inginkan hanyalah anak-anaknya bahagia dan selalu berjalan di jalan yang Allah ridhoi.

Ayahku adalah pahlawanku. Saat aku menangis karena bullying verbal yang sering kali diselancarkan oleh teman-temanku, ayah selalu menghapus air mataku. Ia mengatakan, tidak apa aku tak memiliki jari, asal hatiku tidak mati. Tak mengapa memiliki kekurangan fisik, asal kita tidak mengkufuri nikmat yang diberikan Allah dan tidak membalas cacian mereka dengan hal negatif. Kata ayah, salah satu cara terbaik menghadapi orang yang bersikap buruk pada kita adalah mendoakannya. Mendoakan agar Allah membimbingnya di jalan yang benar. Ini adalah satu dari sekian banyak hal yang aku kagumi dari ayah.

Bundaku adalah bidadari berwujud manusia yang selalu siap berjuang untuk kebahagiaan anak-anaknya. Dia selalu mengatakan aku istimewa, aku cantik, dan aku tak boleh berkecil hati. Allah tidak memandang fisik. Manusia dilihat dari ketakwaannya.

Aku terus melangkah menuju pintu gerbang. Saat aku hampir mencapai gerbang, aku lihat Axel dan dua sahabatnya tengah berbincang di dekat pintu gerbang. Sepertinya mereka tengah menunggu seseorang. Oya, aku lupa bercerita tentang Axel. Dia mahasiswa urakan, rajanya titip absen, bandel, dan kerap mem-bully-ku. Jujur, aku selalu merasa tak nyaman tiap berpapasan dengannya. Ia kerap memojokkanku dan menilai cara berpakaianku yang kuno, seperti wanita tua. Sehari-hari aku mengenakan gamis dan kerudung lebar. Ia orang yang tidak percaya pada agama manapun. Dia percaya Tuhan tapi tak memeluk agama tertentu. Baginya Islam adalah agama paling ribet dan penuh aturan.

"Wuih ada Mamah Dedeh... Mau kemana, Mah?" Axel meledekku dengan tawa pongahnya.

Aku diam. Aku berdiri di trotoar untuk menunggu ojek online yang sudah aku pesan.

"Mau diantar sama Papah Axel nggak?" salah satu teman Axel yang bernama Dito ikutan meledek. Ia sering berkomplot dengan Axel untuk mengejekku.

Lagi-lagi aku membisu. Rasanya percuma menggubris ucapan mereka.

"Ayolah Xel, anterin dia. Kasihan nunggu ojeknya lama." Giliran Devano yang menggoda.

"Yang bener saja, masa aku nganterin manusia suci itu. Takutnya nanti badan dia gatal-gatal kalau dekat-dekat aku. Lagipula apa tuh namanya? Bukan mahram ya? Kagak mungkin lah dia mau boncengan sama laki-laki... Laki-laki ajnabi kalau nggak salah, ya? Bahasa ala per-akhwat-an." Axel menyeringai dan melirikku dengan senyum sinisnya. Buru-buru kupalingkan wajahku.

"Oh iya, ya. Lupa aku. Nanti dosa, masuk neraka lo kalau nyentuh wanita yang bukan mahram," tukas Dito.

Mereka tertawa, menertawakan sesuatu yang menjadi aturan agama. Bersentuhan dengan non mahram memang tidak diperbolehkan. Dengan gampangnya mereka menjadikan semua itu sebagai bahan tertawaan.

Aku masih bertahan dengan sikap diamku. Axel memang tidak pernah mem-bully verbal soal kekurangan fisikku, tapi dia kerap menilaiku terlalu radikal dan fanatik berlebihan. Ia tidak suka jilbab yang aku kenakan. Ia tidak setuju dengan konsep anti pacaran dalam agama. Ia tidak mau tahu dengan aturan untuk tidak meminum minuman keras karena baginya meminum alkohol asal tidak berlebihan dengan takaran yang pas bisa memberikan manfaat. Padahal sudah bukan rahasia, kadang ia mabuk di night club.

Aku tidak mempermasalahkan jika ada yang berbeda argumen denganku. Namun akan jadi masalah jika dia mengusik apa yang menjadi pilihanku. Terlebih jika memperolok syariat. Aku pernah mengatakan padanya bahwa jangan mencela sesuatu yang tidak ia tahu. Jangan menghina aturan suatu agama meski dia tidak beragama. Namun dia malah membalas dengan kata-kata pedas. Dia mengatakan hanya Islam agama yang aturannya seabrek. Sholat saja mesti lima kali sehari, harus wudhu dulu, harus menghadap kiblat, harus bangun pagi-pagi sekali untuk sholat Subuh, kenapa makan harus dengan tangan kanan, kenapa perempuan harus berjilbab, dan sederet pertanyaan lain. Dan setiap kali aku menjawab, dia selalu mementahkan. Aku simpulkan dia bukan ingin mencari tahu atau mencari kebenaran, tapi memang ingin memancing keributan dan memperolok. Karena itu, kadang aku memilih diam saat berhadapan dengannya.

Ojek online yang aku pesan datang juga. Aku terbantu sekali dengan ojek online khusus muslimah ini. Semua driver-nya perempuan. Akhirnya aku bisa bebas dari ledekan Axel dan teman-temannya.

"Mbak driver hati-hati ya. Jagain yayang mamah, kalau mamah kenapa-kenapa nanti papah Axel marah." Dito tertawa ngakak.

Axel memukul lengan Dito, "Ngawur kamu."

Aku mengenakan helm yang diberikan mbak driver. Rasanya lega luar biasa saat motor melaju, menjauh dari Axel dan teman-temannya. Aku anggap mereka seperti warna yang membuat hidup ini berjalan bergelombang, tidak datar. Orang-orang seperti mereka memang selalu ada. Dari mereka aku belajar untuk menjadi kuat. Aku kuat bukan karena tak ada pilihan lain selain menjadi kuat... Tapi aku kuat, karena aku memang membentukku untuk menjadi pribadi yang kuat.

******

Segini dulu. Ini untuk perkenalan dulu ya.... Updatenya kalau sempat haha. Cerita utama tetap Dear Pak Dosen dan Mengejarmu Sampai Halal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro