Bab 7 - Musuh dalam selimut
Kambeeekkkk....
Semoga masih ada yang nungguin buat baca...
Semangaattt
------------------------------------------
Kini aku boleh berencana, namun akhirnya tetap saldo yang jadi penentunya.
Bersidekap, dengan manik mata menatap lekat sosok laki-laki berusia senja di hadapannya, Ethan terlihat begitu serius mendengarkan penjelasan dari pengacara yang dikirimkan oleh managernya sendiri. Seakan lepas tangan dari kasus yang menimpa dirinya ini, sudah dua hari Ethan mendekam di penjara, namun yang paling menyebalkannya adalah sang manager belum juga datang menemuinya. Padahal pada hari pertama dijebloskan ke tempat ini, Ethan sudah menitip pesan kepada pihak berwajib untuk mendatangkan managernya. Tapi sayangnya, hingga detik ini manager bodoh itu tidak kunjung menemuinya.
"Jadi tidak ada yang bisa kita lakukan sampai menunggu waktu persidangan?"
"Benar, pak Ethan."
Menggeleng kecewa, Ethan meleparkan tatapannya ke arah lain. Ia pikir percuma pengacara bodoh ini datang menemuinya, bila hasil yang laki-laki itu janjikan hampir sama dengan apa yang akan diputuskan oleh pihak berwajib.
"Tapi lo tahu gue bukan pengguna, kan?"
Menggangguk pelan, Ethan mendapatkan ekspresi takut di wajah pengacaranya itu. "Saya tahu, Pak. Hanya saja dari hasil tes urin yang kemarin diinformasikan, ada kandungan obat terlarang di dalam tubuh pak Ethan."
Melipat kedua tangannya di atas meja kayu, dimana menjadi pembatas keduanya, Ethan mencoba memperluas pemikirannya. Kira-kira apa yang dilakukan pelaku sampai ia dinyatakan sebagai pemakai narkoba?
"Mungkin pak Ethan bisa memberikan penjelasan lebih mengenai hasil ini. Karena sejujurnya saya minim sekali info, hingga takutnya malah jadi boomerang ketika persidangan nanti."
"Apa ada yang Askar katakan?"
Menggeleng, "Belum, Pak. Karena itu saya katakan langsung bila saat ini saya minim info mengenai kasus ini."
"Begitu, kah?" ucap Ethan seakan tidak percaya. Ekspresinya seketika berubah, kini dia semakin yakin ada yang tidak beres dari semua ini.
"Benar, Pak."
"Kalau begitu, coba cari tahu kepada siapa saja gue jual obat terlarang itu? Lalu catat waktunya secara detail."
"Baik, Pak. Ada lagi?"
"Untuk saat ini cukup. Biarkan mereka menikmati keberhasilan sesaat yang sedang terjadi kini."
"Apa pak Ethan sudah tahu kira-kira siapa dalang dari semua ini?"
Sambil mengembuskan napas berat, Ethan menggelengkan pelan kepalanya.
"Gue enggak tahu pastinya siapa. Tapi bukan berarti gue enggak bisa curiga. Yang gue curigain banyak. Salah satunya, Gil."
Mencatatkan nama Gil di dalam note kecil, pengacara itu berusaha untuk memahami jalan pikiran Ethan, hingga bisa-bisanya Ethan menyebut nama laki-laki itu dengan mudah.
"Bukannya ... pak Ethan dan pak Gil masih saudara?" tembaknya dengan fakta yang ia ketahui.
Sedikit terjeda, senyum di bibir Ethan perlahan tergambar dengan nyata. Sambil meregangkan otot-otot tubuhnya, Ethan hanya bisa mengangguk, menerima fakta terburuknya itu.
"Lalu ... bukankah kedepannya kalian akan sering bertemu? Maksud saya ... project film terbaru yang diproduseri oleh pak Gil, memilih pak Ethan menjadi aktor utamanya? Lalu, bagaimana bisa pak Ethan curiga kepadanya?"
"Sekalipun gue sama dia masih ada hubungan darah, tetap aja dalam persaingan enggak kenal kata saudara!"
"Bisa dipahami alasan yang pak Ethan ucapkan. Hanya saja, selain pak Gil yang dicurigai, apakah ada orang lain?"
"Untuk saat ini tidak ada."
"Baik, Pak. Sudah saya catat semuanya, termasuk permintaan pak Ethan untuk mencari tahu siapa-siapa saja yang pernah membeli obat terlarang itu."
Bersiap untuk pamit atas kunjungannya hari ini, Ethan menahan gerakan pengacaranya dengan sebuah kalimat permintaan tolong kembali.
"Tolong bilang ke pak Thomas untuk datang ke sini. Bilang saja, ada hal penting yang ingin saya tanyakan."
"Pak Thomas? Sutradara?"
"Benar. Pak Thomas sutradara project film terbaru yang dipilih oleh Gil."
***
"Kenapa lo?" tanya Vlor merasa aneh dengan sikap dan gerak gerik Eve di dekatnya.
Posisi keduanya kini sudah sama-sama berada di rumah kontrakan, tentu saja setelah diantarkan pulang oleh salah seorang kru.
"Enggak papa."
"Masa sih? Gue lihatnya lo ada yang aneh," ucap Vlor sambil melepaskan semua pakaiannya, kemudian perempuan itu langsung melompat ke atas ranjang sempit dimana biasanya tempat Vlor dan Eve tidur.
"Aneh dari mana sih? Enggak ada kok."
"Alah, alasan lo! Gue yakin lo masih ngebayangin pak Gil, kan? Sini gue bilangin, mendingan stop deh perasaan lo sampai di sini aja. Kenapa gue kasih wejangan begini? Karena istrinya pak Gil galak banget sumpah. Yang gue tahu dulu dia mantan aktris juga. Cuma setelah dinikahin pak Gil, langsung lenyap kabar beritanya."
"Lenyap gimana? Terus lo tahu dari mana kalau istrinya pak Gil galak?"
"Ya ... lenyap. Karena emang enggak ada satu media pun yang berani update kabar tentang dia. Dan kalau soal istrinya galak gue tahu dari mana, hei ... lo lupa? Pergaulan gue luas. Gue kenal siapa aja. Bahkan kalau anterin lo syuting, gue bisa kenal semua orang yang ada di sana. Masa iya, hal kecil gini gue enggak tahu faktanya."
"Gila ... gila, keren banget lo. Kenapa lo enggak jadi aktris aja sih, Vlor? Lo kan terkenal gini. Pastinya lebih gampang buat dapat job!"
Mencibir kesal, Vlor menendang tubuh Eve cukup kuat, hingga Eve hilang kendali dan terjatuh dari ranjang sempit itu.
"Sakit bangke!"
"Lagian lo kalau ngomong enggak dipikir dulu. Eh, denger. Kalau gue jadi aktris terus kerja lo apaan? Lagi juga, gue emang lebih terkenal dari pada lo. Tapi muka gue kurang menjual. Nih lihat muka gue bopeng-bopeng gitu bekas cacar pas kecil, masa iya orang yang kayak gini jadi aktris. Gue mah sadar diri, Eve."
Tidak bermaksud menertawakan, Eve menutup mulutnya agar tawa itu tidak keluar terlalu kencang.
"Ketawain aja terus."
"Abis lo lucu, Vlor."
Kembali naik ke atas ranjang, dan duduk sambil memeluk kedua kakinya, Eve melamunkan wajah produser itu lagi.
"Tapi gue serius, emang setua apa sih pak Gil itu?"
"Paling 30an."
"Masa sih? Usianya baru 30an tapi anaknya udah SMP?"
"Loh mungkin aja. Contoh kalau dia nikah umur 24 atau 25, usia 38 tahun anaknya udah SMP. Gimana sih, lo?"
"Ah ... hampir 40 berarti."
"Astaga. Lama-lama gue minta pak Tho buat ganti aktor utama prianya dengan pak Gil deh. Biar lebih dapat feelingnya. Abis lo kayak kesetanan gitu."
"Bukan kesetanan, Vlor. Cuma gue ngerasa dia kayak punya kharisma gitu. Dan itu yang buat dia lebih memikat dibanding dua aktor yang kemarin lo tunjukkin ke gue? Siapa tuh, Arlie? Cadee? Enggak ada yang punya aura kayak pak Gil."
Mencibir sebal, Vlor sengaja bergerak mendekati Eve, kemudian dia berbisik pelan ditelinga Eve.
"Lo belum lihat Ethan secara langsung. Dia lebih-lebih dari pak Gil."
"Masa sih? Kemarin di TV dia biasa aja."
Eve bertahan atas pilihan hatinya, baginya kini produser Gil masih tetap sosok laki-laki terbaik. Entah itu dari caranya bersikap, sampai aura yang Eve rasakan ketika mereka bertemu, sangat membuat Eve terbuai dengan semuanya.
"Ih, ini anak satu! Tampilan TV sama langsung, beda! Kalau lo mau gue anterin ketemu dia."
"Dih, ngapain amat. Bisa jadi kan aktornya diganti, bukan dia lagi. Jadi enggak penting banget mau dia lebih-lebih sekalipun!"
"Awas ya, lo!"
-------------------------
Udah ada yang lihat cast pak Gil, Cadee dan Arlie?
Gimana?
Ganteng mana sama Ethan?
si Cantik Eve....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro