Bab 6 - Masuk babak baru
HOLAAA... ada yang masih bangun??
Kayaknya seminggu kedepan aku gak bisa update. Mau healing dulu kitaa.. xixixixi
--------------------------------------------
Menurutku cuek itu adalah karakter seseorang. Akan tetapi nyuekin itu adalah pilihan dari dalam diri seseorang.
Wow! Seruan itu terlepas keluar dari mulut Eve mana kala dia sampai di sebuah restoran mewah demi bertemu sutradara dan produser untuk membicarakan project film terbaru mereka. Ketika mereka sama-sama masuk ke dalam restoran tersebut, Vlor sempat menghentikan langkah Eve karena perempuan itu merasa artisnya terlihat kurang percaya diri.
Tubuh Eve yang sedikit membungkuk, dengan pandangan yang menunduk, adalah gambaran singkat yang Vlor tangkap dari kurangnya rasa percaya diri Eve.
"Lo kenapa sih?"
"Ah? Maksud lo?" tanya Eve bingung.
"Ke toilet dulu kita. Bikin malu aja," sembur Vlor.
Tangannya langsung menarik lengan Eve, kemudian menyeret cukup kencang tubuh Eve agar segera masuk ke dalam sebuah toilet.
"Lo bisa ngaca, kan? Lo tuh cantik Eve. Tapi kenapa lo enggak PD gitu sih?"
"Gue bukannya enggak PD, Vlor. Cuma gue gugup. Jujur ini buat kita pertama kali, kan?"
"Tapi kan lo udah sering muncul di depan kamera. Yah, walau cuma bolak balik doang kayak setrikaan, tapi sama aja enggak sih? Mereka orang film sama kayak kru-kru yang sering kita temuin waktu syuting. Gimana sih lo!"
"Yah, maafin deh, Vlor. Gue kan juga lagi belajar buat terbiasa dengan semua ini."
"Oke. Belajar yang cepat. Sekarang lo berdiri dengan tegak, terus lo lihat pantulan diri lo di cermin itu. Cantik, kan? Jadi lo enggak usah mikir macem-macem lagi. Lo tahu enggak hukum di muka bumi ini? Selama lo cantik, lo akan aman, walau lo bodoh sekalipun!"
"Tapi gue enggak cantik-cantik banget, ah!"
"Ngerendah aja lo kayak hidung babi. Udah jangan mikirin yang lain, lo tarik napas, terus tatap baik-baik diri lo dalam cermin. Dan yakini hati lo, kalau semua akan baik-baik aja."
Diberikan waktu sejenak oleh Vlor, Eve melakukan dengan baik perintah yang managernya itu katakan. Sambil menarik napas dalam berulang kali, kemudian diembuskan secara perlahan, rasa gugupnya mulai menghilang. Dan digantikan dengan bertambahnya rasa percaya diri. Hingga Eve lebih berani menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga, agar ke seluruhan wajahnya bisa terlihat dengan jelas.
"Udah?"
"Udah."
"Berhasil, kan?"
"Hm. Berhasil."
"Enggak sia-sia kan lo pilih gue jadi manager sekaligus sahabat yang paling ngertiin lo banget."
"Iya ... iya. Makasih banyak ya, mbak Manager."
"Ya udah, yuk masuk."
Melangkah bersisian untuk masuk ke dalam ruangan private yang sudah dipesan oleh sutradara tersebut, kedatangan Eve disambut dengan sangat baik. Semuanya menerima Eve dengan baik, walau Eve bukanlah seorang aktris besar.
"Halo, Eve."
"Halo, pak Tho."
"Kenalkan dia produser project ini, Eve. Namanya Gil. Kayaknya kalau dari usia enggak beda-beda jauh sama kamu deh," ucap sutradara tersebut sambil menggoda sosok laki-laki yang dikenalkan pada Eve bernama Gil.
"Aamiin, kalau pak Tho bilang usia saya enggak beda jauh sama kamu. Padahal anak saya udah SMP. Mana bisa usianya sama dengan Eve."
"Hahaha, harusnya pak Gil ngakunya single aja."
"Janganlah, Pak. Cukup kejadian dulu. Jangan diulang lagi," jawabnya tenang. Tatapannya langsung dia arahkan kepada Eve, kemudian mengangguk dengan hormat.
Eve yang duduk persis di hadapannya terpaku dan membeku mendapatkan sapaan hangat dari produser tersebut. Dari sekian banyak laki-laki yang berada di dalam ruangan ini, entah itu sutradara, penulis skenario, serta tim film lainnya, mengapa hanya dengan pak produser Eve merasa aman. Wajahnya yang terlihat seperti laki-laki kalem, ditambah kaca mata yang terpasang diwajahnya, semakin menambah kuat karakter dari pak Gil.
"Eve ...." Vlor sengaja menyenggol lengan aktrisnya itu karena sejak tadi tatapan mata Eve tidak bergerak dari wajah pak produser.
"Eve ... lo ditanyain," ringis Vlor masih mencoba tersenyum ke arah semuanya.
"Ah? Kenapa?"
"Waduh, belum apa-apa udah ada yang enggak fokus," sindir pak Tho sambil tersenyum paham mengapa aktris utamanya menjadi tidak fokus.
"Ma ... maaf, Pak."
"Enggak papa. Santai aja. Kita menjalani project ini akan sangat lama ya, Eve. Dan ini baru hari pertama, jadi wajar masih berusaha untuk saling kenal satu sama lain."
"Lama gimana ya, Pak?"
"Waduh, Vlor. Kamu belum jelasin ke aktrismu?"
"Belum sempet lah, Pak. Baru saya mau jelasin semuanya, eh ... pak Tho udah ajakin ketemuan begini. Ya, bingung lah dia."
"Jadi saya jelasin secara singkat ya, Eve. Kamu tanda tangan kontrak di bulan September ini. Lalu kemungkinan kita akan syuting di bulan November atau desember. Sekitar 2 bulan lagi dari sekarang. Sampai sini, paham?"
Mencermati ekspresi yang tergambar di wajah Eve, pak Tho tidak bisa menahan tawanya. "Pasti kamu bingung, kenapa baru syuting dua bulan lagi? Enggak sabar ya mau beradegan mesra?"
"Ah ... saya kan enggak tanya, Pak."
"Tapi ekspresi di wajahmu udah bisa menjelaskan semuanya, Eve. Hahaha, kamu kayaknya akan jadi fokus candaan kita semua nantinya."
Merengut tidak suka, Eve seolah menunggu penjelasan dari pak Tho, mengapa harus menunggu dua bulan kedepan untuk syuting?
"Jadi begini, Eve. Biasanya awal mula sebuah project dibuat, wajib ada naskah skenarionya. Kalau naskah sudah ada baru kita pilih-pilih pemainnya. Lalu cari lokasi yang tepat untuk syuting. Dan segala macam hal-hal kecil yang kita sebut printilan. Nah ... printilan itu yang enggak bisa diburu-buruin. Enggak bisa kayak bangun candi, semalam jadi. Enggak bisa gitu. Tapi harus pelan-pelan, diselesaikan satu demi satu printilan yang dibutuhkan itu, baru deh bisa syuting."
"Lagi pula ..." gantung pak Tho. Dia melirik Gil di sebelahnya seolah meminta persetujuan untuk penjelasan selanjutnya.
Disaat Gil memberikan izin dengan menganggukan kepala, pak Tho mulai kembali melanjutkan kalimatnya. "Lagi pula ... kamu tahu kan ada sedikit kendala dengan aktor yang akan menjadi lawan mainmu. Kami, maksud saya, tim project film ini masih belum tahu apakah aktornya akan diganti atau tidak. Belum ada keputusan final dari pak produser satu ini."
"Kok jadi ke gue?" lirik Gil merasa tidak suka.
"Yah intinya itu. Mungkin dengan alasan yang tadi saya sebutkan, kamu bisa sedikit ada gambaran kenapa syutingnya harus menunggu 2 bulan lagi."
"Owh, gitu ya, Pak."
"Tapi Eve kenal kan sama Ethan? Maksud saya, kamu pernah ketemu Ethan, enggak?"
Menggeleng pelan, Eve melirik Vlor di sebelahnya. "Belum, Pak."
"Owh, pas syuting di kampung aktris, belum pernah ketemu?"
"Ah ... kayaknya enggak pernah deh pak. Saya jarang di kampung aktris. Lebih sering yang di Gedung Temu sini."
"Oh alah. Kamu tuh seringnya di Gedung Temu. Gedung Temu sama siapa sutradaranya? Azile?"
"Iya. Pernah sama mas Azile."
"Waduh, Azile dipanggil mas. Dekat banget kayaknya."
Meringis tidak enak, Eve menggeleng pelan. "Ikutan aja panggil dia mas, karena semuanya panggil begitu juga."
"Hm. Gitu toh. Kalau di gedung Temu memang biasanya dipakai sama Azile untuk mini seri yang sering jadi project dia. Tapi kalau film, kita jarang pakai yang dalam kota. Biasanya langsung yang jauh. Biar apa? Biar bisa kita set lokasi syutingnya tanpa keganggu. Terus sekalian liburan lah. Hari gini kerja enggak sambil liburan?"
"YOK ... YOK, YANG KESINDIR, MENDING RESIGN AJA!!" Seru para kru film.
Eve menahan tawanya. Entah mengapa perlahan-lahan perasaan nyaman mulai dia rasakan. Ternyata tidak semengerikan apa yang ada dipikirannya. Dan yang dikatakan Vlor sebelumnya, benar adanya. Kru film dengan kru mini seri ataupun iklan yang pernah Eve bintangi, tidak ada bedanya. Sehingga dengan mudah Eve bisa beradaptasi dengan semuanya.
"Kalau boleh tahu, kira-kira kalau Ethan diganti, siapa kandidat kuatnya, Pak?"
Menepuk meja kayu yang berada di depannya, respon pak Tho membuat Eve kaget.
"Kayak gini nih yang gue suka. Ada responnya. Enggak cuma pasrah aja. Sekarang saya balikin ke kamu, kamu maunya siapa lawan mainnya?"
"Ah? Kok dibalikin ke saya, Pak?"
"Iya. Biar kamu nyaman nanti aktingnya."
"Ah? Saya ... saya..."
"Kalau sama pak Gil, gimana?"
Kedua mata Eve langsung membulat besar. Dia tidak menyangka sejelas ini ketertarikan tatapannya pada produser itu.
"Kemarin Eve bilang sama saya, Pak. Dia maunya Arlie?"
"Arlie?" Semuanya kompak saling tatap, kemudian tertawa lepas mendengar pilihan dari Eve.
----------------------------------------------------
Hayo, kenapa tuh pada saling tatap? Emang si Arlie kenapa? xixixixi
Yang mau lihat mukanya Arlie bisa ke KK ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro