(2/...)
Bagian 2
🎇🎇🎇
Sepanjang malam, Leah habiskan dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Dimulai dari rasa bersalah, tidak enak, bahkan kecewa terhadap dirinya sendiri yang sudah secara tidak langsung mengusir dan menyakiti perasaan Ethan.
Apa tindakannya semalam kepada Ethan keterlaluan? Apa Ethan marah kepadanya? Apa setelah ini, Ethan masih ingin berteman dengannya?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu secara bersamaan menyerang isi pikiran Leah, membuatnya terjaga hingga matahari datang menggantikan bulan. Akibatnya, Leah yang seharusnya bangun dengan keadaan segar di pagi ini, berubah menjadi Leah dengan kantong mata menghitam layaknya panda.
Bedanya, jika panda tampak menggemaskan dengan lingkaran hitam di bagian matanya, maka Leah tampak mengenaskan. Tidak berbeda jauh memang, namun cukup untuk menggambarkan perbedaan yang besar.
Leah menyibak gorden yang menutupi jendela, lantas melepaskan kaitan besi pada jendela sehingga jendela terbuka dan angin dari luar dapat masuk ke dalam kamarnya. Dari lantai dua kamarnya, Leah dapat melihat jalanan yang masih bawah sebab diguyur hujan hampir semalaman. Dedaunan pohon juga tampak mengilap, dengan beberapa titik air yang ada di atasnya.
Di antara semua pemandangan bekas hujan tersebut, Leah kemudian terfokus pada laki-laki yang tengah berada di rumah seberang. Itu adalah Ethan. Sepertinya, lelaki itu tidak menyadari bahwa Leah tengah memandanginya dari atas sana. Tidak … atau belum ….
Sebab, di detik berikutnya, Ethan mendongakkan kepala dan melihat Leah. Tatapan keduanya bertemu untuk sekian detik, hingga akhirnya Ethan yang terlebih dahulu membuang wajah dan menatap ke arah lain. Sementara itu, Leah masih setia memandangi aktivitas Ethan. Bahkan, saat ada seorang perempuan seusianya yang datang menyapa Ethan dan mengajak lelaki itu berbincang, entah membahas apa.
Leah kenal perempuan tersebut. Itu adalah salah satu tetangganya. Sayangnya, Leah lupa nama perempuan itu atau mungkin Leah memang tidak pernah mengetahui namanya. Sebab, belasan tahun tinggal di kompleks perumahan ini, Leah hanya mengenal Ethan yang notabenenya merupakan anak dari sahabat orangtuanya. Selebihnya, Leah hanya sekadar mengenal wajah, tanpa nama. Itu pun jika pernah berpapasan dengan Leah di jalan.
Perbincangan antara Ethan dengan perempuan itu berlangsung sekitar sepuluh menit. Sialnya, Leah seperti tidak bisa memalingkan pandangannya dari sana. Tatapannya seolah terkunci, hanya menuju kepada Ethan.
Yang tak Leah pahami ialah dia merasa ada sekelumit perasaan tidak suka yang menguar begitu saja di hati Leah ketika melihat interaksi keduanya. Apa ini yang dinamakan cemburu? Tapi, Leah tidak mencintai Ethan. Gadis itu menyayangi Ethan selayaknya abang kandung, mengingat Leah yang tidak pernah memiliki sosok seorang abang. Hanya itu. Lantas, kenapa perasaan ini timbul?
Tidak ingin terlarut dalam perasaan yang tidak mengenakkan itu, Leah memilih untuk menutup kembali jendelanya. Kali ini, biar saja udara luar tidak bisa masuk melalui sana. Masih ada lubang ventilasi yang bisa dia harapkan untuk mendapatkan udara dingin dari luar.
Leah berjalan turun dari kamarnya, menapaki setiap anak tangga dengan perlahan. Matanya menjelajahi seisi rumah. Begitu sepi.
Meskipun sedari dulu rumah ini tidak begitu ramai, akan tetapi, semenjak kepergian Kitty dan papanya, rumah ini menjadi berkali-kali lipat terasa sepi. Tidak ada napas lain yang berembus di dalam rumah ini, selain Leah sendiri.
Pagi ini, Leah merasa malas untuk memasak sarapan. Maka dari itu, Leah membuka kulkas, mengambil susu kotak berperisa cokelat dari dalam sana dan menuangkannya ke gelas plastik yang tadi dia ambil dari rak piring.
“Kamu kenapa masih suka minum susu, sih? Kayak anak kecil aja, padahal udah tua.”
Leah nyaris tersedak ketika ucapan Ethan kala itu terputar di otaknya.
Leah berusaha menepis jauh-jauh nama Ethan dari pikirannya, namun tidak bisa. Yang ada, justru wajah Ethan semakin melekat, lengkap dengan suara laki-laki itu saat berceloteh.
“Kamu kenapa, sih, Leah? Ada yang salah dengan kamu?” tanya Leah pada diri sendiri. Gadis itu tidak habis pikir dengan dirinya. Baru kemarin saat dia mengusir Ethan dari rumahnya dan hari ini, dia malah terus-menerus kepikiran soal Ethan. Bahkan, tadi dia seperti merasa cemburu melihat Ethan dengan perempuan itu. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?
Leah menghela napas. Sepertinya, ada hal yang lebih rumit dibanding memahami materi reaksi elektrokimia, yakni memahami apa yang diinginkan oleh diri sendiri.
🎇🎇🎇
Leah mengoyak lembaran kalender hari ini secara perlahan, lantas meletakkannya di atas meja belajarnya bersama dengan pulpen bertinta biru yang sudah tergeletak di sana. Sementara itu, Leah menarik kursi untuk duduk, bersiap menuliskan apa saja tentang hari ini.
Sebelum jemarinya bergerak menulis, ada semacam keraguan di hati Leah, namun secepat mungkin gadis itu segera menepisnya.
30 Desember 2022.
Hari ini, aku bingung sama diri aku sendiri. Saat melihat Ethan berbincang dengan tetangga itu, ada perasaan sesak yang menguasai diriku. Aku tidak tahu pasti rasa apa itu. Yang pasti, itu sangat mengganggu dan hari ini menjadi hari terburuk di akhir bulan ini.
Leah mengakhiri tulisannya, mengangkat kertas itu, dan membacanya ulang. Setelah dirasa cukup mewakili kejadian hari ini, Leah lantas mengambil korek api kayu dari dalam laci meja belajar, mengambil sebuah korek lalu menggeserkkan ujung korek yang berwarna lebih cokelat ke bagian samping kotak. Setelah api menyala, Leah mengarahkan bagian korek tersebut ke ujung kertas kalender yang tadi dia gunakan untuk menulis. Membakarnya hingga habis tak bersisa.
Setelah membersihkan abu bekas pembakaran kertas tadi, Leah kemudian bersiap untuk tidur. Sebab, esok hari dia harus menjalankan agenda akhir tahun yang mengharuskannya keluar dari rumah serta menguras energi yang cukup banyak guna berjalan kaki …
yakni, mengunjungi makam kedua orangtuanya.
🎇🎇🎇
- Selasa, 13 Desember 2022
861 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro