Ch7 : Tetangga Sebelah
Saat Djanu bilang dia akan belajar menerima kehidupan barunya, dia memang bersungguh-sungguh. Namun, tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa tempat yang dia tinggali sekarang benar-benar berbeda dari tempat asalnya. Membuat Djanu merasakan apa itu culture shock yang sebenarnya.
Tidak ada yang namanya kepraktisan. Segala hal membutuhkan usaha lebih dari yang biasanya dia lakukan. Untuk mandi misalnya. Jika dulu dia hanya perlu menggeser keran dan berdiri di bawah shower untuk membasahi badannya, di tempat ini dia harus menarik tuas pompa tangan naik turun untuk mendapatkan air yang tidak seberapa. Minimal dua kali sehari dia melakukan itu.
Jika sedang cukup bosan, dia akan memilih untuk menggunakan sumur timba kerek yang terletak di sebelah pompa tangan berada. Sumur yang menggunakan ember yang diikat di ujung tali karet atau tali tambang untuk menampung air itu menggunakan roda kerekan untuk menariknya ke atas. Lebih memakan waktu, tapi Djanu sering melakukannya saat sedang bosan, ya bosan.
Hal lain lagi yang paling membuatnya terkejut adalah keluarga bapaknya yang ternyata adalah morning person. Jika di rumahnya dulu dia terbiasa bangun jam 7 atau 8 pagi saat tidak ada kelas, maka di sini dia harus bangun saat jarum pendek jam bahkan belum menyentuh angka lima. Retno dan Pram akan sibuk membersihkan rumah dan memasak, sedang Gani diberi tugas untuk mengisi bak-bak penampungan air dan menyapu halaman yang luasnya seperti lapangan voli.
Namun, ada satu rutinitas bangun tidur yang Djanu perhatikan melekat pada Gani muda sebelum menjalankan tugas rutinnya. Yaitu membuka jendela kamarnya bertepatan dengan azan subuh berkumandang.
Di subuh pertama saat Djanu melihat Gani melakukan itu, dia mengajukan pertanyaan karena penasaran. Gani menjawab bahwa suara azan dan pujian-pujian itu merdu. Membuat alarm di kepalanya seperti ter-setting begitu saja dan membangunkannya sebelum rutinitas subuh itu dilakukan. Pemuda tanggung itu duduk diam dengan kepala bersandar pada bingkai kayu. Terkadang, dia bahkan menutup matanya sambil menikmati pujian-pujian yang terdengar merdu di pagi yang masih sangat sunyi.
Beberapa menit berlalu setelahnya, Djanu melihat kepala Gani yang awalnya bersandar santai tiba-tiba menegak semangat saat suara gerendel jendela seberang dibuka. Penghuni kamar sebelah sepertinya juga punya rutinitas yang sama seperti pemuda di depannya.
"Selamat pagi, Sayang, " ucap Gani enteng yang membuat Djanu refleks mendengkus dengan keras. Benar-benar tidak menyangka jika bapaknya pernah se-cringe ini.
"Sayang sayang ndasmu peang, " Terdengar suara tegas seorang perempuan dari kamar sebelah. Membuat Djanu berdecih tidak suka.
Gani tertawa keras mendengar balasan gadis itu. Sudah khatam betul dengan sifat si gadis yang memang tidak suka hal-hal manis. Membuat Gani semakin suka menggoda teman masa kecilnya itu.
"Eh, nduk manis jangan galak-galak. Ndak payu kapok."
"Ndasmu habis kebentur opo to, Gan? Kok tiap hari makin ngelantur aja. "
Lagi-lagi Gani tertawa keras. Menikmati kesenangan menganggu mood si gadis pagi-pagi.
"Eh, Rabu jadi nggak?"
"Jadi lah. Kamu yang anter atau siapa?"
"Aku lah, siapa lagi. "
Gani tidak tahu saja, keakraban dirinya dan si teman masa kecil membuat Djanu yang saat ini juga menempati kamarnya merengut sebal. Anak itu memilih kembali merebahkan diri lalu berbalik membelakangi jendela. Dia bahkan mengambil bantal dan menutup telinganya agar tidak mendengar apapun yang dua sahabat itu bicarakan. Sahabat? Lagi-lagi Djanu mendengkus.
Djanu sudah diperkenalkan pada penghuni kamar sebelah secara resmi kemarin sore. Arinka Prajna namanya. Nama yang sama sekali tidak asing di telinganya. Nama yang menurutnya jadi akar masalah semua hal. Yang membuat orang tuanya bertengkar hebat, yang membuat dirinya kecelakaan dan yang paling baru, membuat dirinya terdampar di tempat asing ini. Semuanya salah Prajna.
Dengan setumpuk rasa benci itu, tidak mengherankan jika saat keduanya diperkenalkan, Djanu hanya menjabat tangan Prajna sekilas dengan tampang datar lalu pamit masuk ke rumah tanpa ingin berbasa-basi lebih. Membuat Gani dan Prajna kompak mengernyit heran.
Djanu sendiri tidak benar-benar tahu alasan kenapa dia menumpukan segala kesalahan pada Prajna. Padahal tidak ada yang salah dengan perempuan itu. Hubungan Prajna dengan Gani bahkan terjalin jauh sebelum kedua orang tuanya saling mengenal. Lantas kenapa dadanya mendadak sesak setiap kali melihat interaksi keduanya?
Djanu bahkan sadar betul bahwa salah satu alasan kenapa dia bisa sampai di tempat ini pasti berhubungan dengan perempuan itu. Tapi rasanya untuk sekarang masih sulit dilakukan.
Prajna di dunia nyata tidak jauh berbeda seperti yang Retno ceritakan dulu. Gadis 21 tahun yang gemar memakai atasan polos dengan rok rampel selutut itu memang manis secara penampilan.
Namun, Djanu bisa melihat ada sisi tegas dibalik penampilannya yang sangat perempuan sekali ini. Selama di sini, Djanu beberapa kali mendengar Prajna debat dengan sang ibu atau neneknya tentang banyak hal. Salah satu resiko memiliki rumah yang terlalu dekat, tidak banyak yang bisa benar-benar disembunyikan.
Tapi jika berada di luar rumahnya, apalagi saat bertamu ke rumah Gani, kesan Prajna benar-benar berbeda. Gadis itu tampak tenang dan seperti tidak mudah terbawa emosi. Matanya memancarkan kecerdasan dan tipe perempuan yang sadar betul dengan nilai dan potensinya. Hal itu diam-diam diakui oleh Djanu. Benar, diam-diam. Mana sudi dia memuji perempuan itu di depan orang lain. Bahkan dia sering memilih menghindar jika tanpa sengaja keduanya bertemu.
Seperti sore ini. Saat lagi-lagi Djanu dan Gani diberi tugas membersihkan halaman di depan rumah. Tanpa diduga ternyata Prajna juga ada di sana --tentu membersihkan halamannya sendiri yang memang berdekatan-- membuat Djanu seketika memutar arah dan memilih jarak yang paling jauh. Meninggalkan tanda tanya besar di kepala dua manusia yang lebih tua.
"Sebenarnya ada masalah apa to, Gan, temenmu itu sama aku? Kenapa setiap lihat aku bawaannya buang muka terus."
Bukannya langsung menjawab, Gani justru tertawa keras sampai membungkuk. Menepuk-nepukkan sapu lidinya ke tanah saking merasa gelinya dengan situasi di depannya.
"Nggak tau juga aku. Mungkin mukamu mirip mantannya. Makanya sengit kalo lihat kamu. "
Djanu yang mendengar percakapan Gani dan Prajna hanya bisa mendengkus sambil melanjutkan menyapu daun-daun kering di bawah pohon. Namun, karena perasaannya yang memburuk sejak melihat Prajna, dia justru semakin asal menggerakkan sapu lidi panjang yang gagangnya sudah ditambah kayu itu. Membuat daun-daun yang seharusnya dikumpulkan justru semakin berantakan.
"Siapa nama temenmu kemarin? Lupa aku, " tanya Prajna lagi. Kendati mulut dan pikirannya bilang tidak suka, nyatanya Djanu cukup tertarik untuk mendengarkan apa yang keduanya bicarakan.
"Dih, padahal baru kemarin dikasih tau. Namanya Djanu. Mikarael Djanu katanya, sih."
Djanu melihat bagaimana mata Prajna yang minimalis sampai memicing saat mendengar itu. Keterkejutan yang terlihat tampak nyata, membuat Djanu semakin penasaran. Apa namanya ada hubungannya dengan kisah mereka sebelumnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro