Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ch6 : Harus Tetap Di Sini

Seperti apapun Djanu berusaha menyangkal, segala hal di sekitarnya memanglah nyata. Pintu yang dia sentuh, jendela kayu kamar Gani yang berhadapan dengan kamar tetangga sebelah, atau sakitnya gigitan nyamuk di malam pertama saat dia menolak tidur di dalam kelambu. Semuanya nyata.

Di malam kedatangannya, tepat setelah membersihkan diri dan mengisi perutnya yang kelaparan, Djanu memilih mengurung dirinya di dalam kamar Gani. Anak laki-laki yang sebentar lagi berusia 19 tahun itu telentang di kasur kapuk milik Gani dengan mata yang menatap kosong ke arah langit-langit. Berusaha mencerna segala yang terjadi walau logikanya benar-benar tidak sejalan. Bahkan, dia mengabaikan fakta bahwa kasur yang dia tiduri itu sangat keras saking lamanya tidak terpapar sinar matahari.

Ini mustahil, batinnya berkali-kali mengucapkan itu dengan kepala yang menggeleng konstan. Bagaimana mungkin dia terlempar pada masa di mana seharusnya dirinya bahkan belum ada. Dan yang paling tidak bisa dia pahami adalah untuk apa semua ini terjadi dan bagaimana caranya.

Malam itu, kepala Djanu rasanya ingin pecah karena terlalu ramai dengan berbagai kemungkinan. Dia bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi di tempat asalnya saat ini. Karena selain pakaian yang dia kenakan dan dompet tua milik bapaknya, Djanu tidak membawa apapun ke dunia ini.

Di hari kedua kedatangannya, Djanu lebih bisa menguasai diri. Dia mulai bersedia keluar dari kamar Gani dan sedikit berinteraksi dengan Retno dan Pram sebelum keduanya berangkat mengajar.

Dia memutuskan untuk mengikuti saja alurnya dan ingin melihat sampai sejauh mana kekonyolan ini akan membawanya. Jika ini mimpi, dia hanya berharap dia bisa kembali ke kehidupannya yang sebelumnya. Secepat mungkin.

Beberapa saat setelah Djanu berusaha menerima dan memutuskan mulai menjalani kehidupan barunya ini, dia mulai lebih memperhatikan sekitarnya. Dia harus mencari tahu tentang semua hal di sini agar segera menemukan alasan kenapa dia sampai di kirim ke tempat ini dan bertemu keluarganya saat masih muda. Djanu tahu selalu ada alasan dalam segala hal yang terjadi pada manusia, termasuk dirinya.

Djanu yakin dia sedang berada di rumah eyangnya saat masih dinas di Sumatra dulu. Djanu lahir dan besar di Yogya, dan kedua emangnya sudah pindah ke sana bahkan sebelum dia bisa merangkak. Membuatnya tidak memiliki ingatan apapun tentang temoar ini.

Di hari keduanya, saat kedua eyangnya pergi mengajar dan Gani entah pergi ke mana, Djanu berkeliling dari satu ruang ke ruang lain. Rumah eyangnya tidak cukup besar tapi cukup nyaman.

Rumah berdinding bata merah itu hanya memiliki dua kamar, sebuah ruang keluarga, ruang makan yang merangkap dapur dan satu ruangan yang difungsikan sebagai gudang oleh Retno dan Pram.

Di bagian depan, ada teras kecil yang lagi-lagi dipenuhi banyak tanaman seperti di rumah Yogya. Salah satu kebiasan Retno yang membuatnya sangat cocok dengan Puspa ibunya. Sepertinya kegemaran eyang pada tanaman memang sudah bermula sejak dulu.

"Sabtu ini saya harus berangkat ke luar kota, " terdengar sebuah suara mengejutkan Djanu yang sedang melamun. Membuatnya terperajat dan membalik badannya yang sedang mengamati tanaman hias Retno dengan cepat.

Djanu melihat dengan lekat sosok di depannya. Jika kemarin dia terlalu sibuk merutuki nasib, hari ini dia sedikit lebih peka pada sekitar.

Dipandanginya sosok yang sangat dia kenal itu dalam-dalam. Benar-benar seperti duplikat dari Garru. Rambut hitam lebat, alis tebal, mata tajam dan cara mereka bicara sangat mirip. Jika Garru ada di sini, Djanu yakin dia akan geleng-geleng tidak percaya.

"Trus masalahnya? " tanya Djanu kemudian setelah keduanya cukup lama terdiam.

"Masalahnya ya kamu harus mulai pikiran buat cari tempat penampungan lain, lah. Nggak mungkin, kan, mau di sini terus sedang saya nggak ada. "

Djanu terdiam sebentar. Hati dan pikirannya yakin jika dia harus tetap di sini. Tapi dia juga bisa memahami jika berada di sudut pandang Gani. Membawa seseorang yang tidak dikenal jelas bukan sesuatu yang terlihat umum. Wajar jika Gani menginginkan dia pergi dari sini. Dia harus memutar otak.

"Kamu bilang bakal tanggung jawab sampai satu minggu penuh. Baru juga dua hari udah nyuruh pergi."

Rasanya aneh. Djanu masih tidak terbiasa berbicara dengan nada seperti ini pada bapaknya walau dia tahu usia mereka sekarang tidak jauh berbeda.

"Saya tahu. Justru karena masih lama saya ingatkan dari sekarang biar kamu mulai pikirin langkah kamu selanjutnya apa. "

Lagi-lagi jawaban Gani membuat Djanu terdiam. Bukan berarti pasrah, Djanu justru sedang memeras otak kecilnya untuk mencari sebuah alasan agar dia tetap diizinkan berada di sini. Jadi alih-alih langsung menjawab,anak laki-laki itu memilih untuk kembali menghadap teras depan agar ekpresinya tersembunyi dari Gani.

"Jujur gua nggak tahu mau tinggal di mana, " mulainya dengan suara yang sengaja dia buat pelan. "Abang bener, gua memang kabur dari rumah. Bapak ibu sama keluarga besar maksa gua buat masuk kedokteran, padahal mereka tahu gua phobia darah. Jahat, kan?"

"Astaga... zaman gini masih ada orang tua yang sekolot itu?"

Djanu tahu serangan pertamanya berhasil. Dia berhasil membuat Gani, sang bapak, yang memang tidak tegaan pada siapapun itu mengeluarkan empatinya. Bapaknya adalah tipe yang tidak bisa melihat orang lain susah, makanya dia menggunakan cara ini untuk menarik simpati Gani.

"Gua butuh tempat tinggal sementara, Bang. Sampai mereka sadar dan mulai nyari gua. Bisa kan sementara waktu gua tinggal di sini? Gua janji bakal bantu-bantu bapak sama ibu Abang.Gua juga janji nggak akan ungkit-ungkit soal
Abang nabrak orang, janji."

Djanu kembali membalik badannya untuk menatap langsung mata Gani. Sejak tadi dia berusaha mengerjapkan matanya agar setidaknya terlihat embun di matanya. Tentu saja dengan maksud untuk lebih meyakinkan. Diam-diam dia memuji aktingnya yang seharusnya mendapat piala Citra ini. Djanu yakin sebentar lagi Gani akan goyah.

Gani diam. Di satu sisi dia merasa tidak nyaman karena membohongi orang tuanya sendiri. Tapi di sisi lain dia juga kasihan pada anak yang baru dikenalnya ini. Entah kenapa dia tidak menaruh curiga sama sekali padahal mereka baru saja bertemu.

"Okay. Nanti saya coba bilang ke bapak sama ibu buat ngizinin kamu sementara tinggal di sini. Dan, oh ya, sebisa mungkin jangan pakai lo gua di sini. Bapak ibu itu guru, dan mereka cukup ketat soal bahasa. Kalau kamu belum terbiasa pakai saya kamu, pakai aku juga nggak papa. "

"Makasih banget, Bang!"

Mereka terlibat beberapa obrolan setelahnya. Gani cukup penasaran tentang dari mana Djanu berasal. Dan Djanu memilih untuk jujur kali ini. Dia jujur jika dia berasal dari Yogya dan kabur begitu saja tanpa tujuan. Membuatnya harus mengumpulkan uang lebih dulu jika ingin kembali ke daerah asalnya.

Mereka sedang asyik bercerita saat tiba-tiba terdengar suara perempuan muda dari arah belakang rumah.

"Gan, aku pinjam gantungan baju, ya? Ok, ambil aja makasih. "

Djanu mengernyit bingung sedang Gani tertawa terbahak mendengar perempuan itu bertanya dan dijawab sendiri.

"Prajna, " ucap Gani berusaha menjawab kebingungan Djanu. "Tetangga sebelah. Mau tak kenalin nggak?"

Djanu menegang saat mendengar Gani menyebut nama perempuan itu. Perutnya tiba-tiba terasa mulas dan tidak nyaman sekali.

Prajna, batinnya.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro