CH5 : Bargaining
Magani Reksa, laki-laki yang sebentar lagi merayakan ulang tahun ke-22nya itu berdiri sambil bersedekap di depan bengkel kecil di perempatan jalan. Bergantian mengamati motornya yang sedang ditutup skotlet dan anak laki-laki yang sedang duduk diam dengan air mineral di tangannya.
Awalnya Gani berpikir ingin membeli skotlet saja dan menempelnya sendiri agar lebih murah. Tapi body motornya yang lecet itu berada di bagian-bagian yang tidak rata, membuatnya ragu jika harus melakukannya sendiri. Mata tajamnya terus saja memperhatikan saat sang pemilik bengkel mulai mengerjakan tugasnya. Sedikit was-was dengan hasil akhirnya nanti.
Jujur saja sebenarnya dia tidak terlalu suka jika melihat motor kesayangannya tidak lagi original, tapi daripada Bapak tahu tentang kecelakaannya hari ini, dia terpaksa mengesampingkan sisi ketidaksukaannya itu. Apapun akan dia lakukan untuk membuat izin membawa motornya ke kampus tidak lepas dari tangan.
Pandangannya kembali beralih pada anak laki-laki yang tadi menyebut dirinya sebagai Djanu. Nama yang bahkan setelah tiga jam kebersamaan mereka sama sekali tidak familiar di ingatan Gani. Dia tidak kenal satu pun teman atau adik kelas dengan nama itu. Membuat Gani kembali mengerutkan kedua alisnya bingung, siapa anak ini dan mengapa Djanu seolah mengenal dirinya.
Keduanya sempat menjadi pusat perhatian ketika masih berada di pustu tadi. Saat Djanu yang baru sadar menunjukkan sikap penolakan pada keadaan sekitarnya. Anak itu tiba-tiba tertawa dan berteriak tidak jelas. Menyebut kata-kata asing seperti Garru, prank dan kamera tersembunyi yang membuat Gani dan Bu Bidan cukup kualahan.
Mereka keluar dari pustu dengan Gani yang terpaksa berbohong pada Bu Bidan bahwa adik sepupunya ini -- karangan juga tentunya -- tengah berkonflik dengan keluarganya dan kabur dari rumah. Kebohongan yang tidak sulit diterima oleh perempuan itu karena menurut beliau dirinya dan Djanu memang terlihat mirip.
Pernyataan sekilas dari Bu Bidan itu membuat Gani berpikir cukup keras. Adakah kemungkinan Djanu merupakan salah satu kerabat mereka yang lupa Bapak Ibunya kenalkan. Atau kemiripan mereka hanya kebetulan saja. Yang pasti, melihat keadaan anak itu yang cukup mengenaskan sekarang membuat Gani tidak tega meninggalkannya begitu saja.
"Kamu bener nggak mau nyebutin alamatmu di mana?" tanya Gani setelah motornya sudah siap untuk dibawa pulang. Menghela napas lega karena tidak banyak skotlet yang dibutuhkan untuk menutupi goresan-goresannya. Semoga saja Bapak tidak terlalu detail memperhatikan dan mengetahui perbedaannya.
Djanu melihat ke arah Gani sekilas dan membuang pandangan ke arah jalan, membuat Gani lagi-lagi menghela napas.
"Ok. Kamu ikut saya pulang. Gimana pun saya juga nggak bisa lepas tanggung jawab gitu aja,"ucap Gani sambil melihat luka di pelipis Djanu yang kini tertutup kapas dan diplester."Tapi ada syaratnya."
Kata-kata terakhir Gani membuat Djanu yang awalnya sibuk melihat sekitar kembali memusatkan perhatian padanya. Anak itu duduk lebih tegak dengan tangan bersedekap. Seolah siap dengan syarat apapun yang akan Gani berikan.
"Jangan protes dengan alasan apapun yang akan saya berikan ke Bapak Ibu. Sebisa mungkin saya harus bisa bikin mereka yakin. Dan soal kecelakan hari ini, tolong sekali, jangan sampai mereka tahu. Saya baru dapat izin buat bawa motor ke kampus. Kalau Bapak tahu saya habis nabrak orang, pasti izinnya langsung dicabut."
Dilihatnya Djanu yang mengangguk pelan. Anak itu seolah tidak peduli dengan syarat apapun. Gani menaiki motornya dan memberi isyarat agar Djanu segera naik juga. Saat dirasa Djanu sudah berada di belakangnya, Gani kembali berucap, "Waktu saya cuma seminggu lagi di kampung ini sampai balik ke kampus di luar kota. Dan itu batas maksimal saya bisa nampung kamu. Saya tahu saya salah nabrak kamu, tapi saya rasa saya sudah cukup bertanggungjawab. Jadi, setelah seminggu silahkan pikirkan kamu mau ke mana."
Gani yang merasa tidak ada tanggapan dari seseorang di belakangnya memilih acuh. Dia memasang helm lalu menyalakan mesin motornya. Setelah mengklakson si pemilik bengkel dua kali, motor yang mereka kendarai mulai bergerak ke arah jalan raya. Meninggalkan bengkel kecil di perempatan jalan tepat saat matahari mulai terbenam.
***
Djanu mengedarkan pandang dari satu tempat ke tempat lain saat motor itu melaju. Dilihatnya bangunan-bangunan di pinggir jalan yang mulai terlihat samar karena minimnya pencahayaan.
Berbeda dengan kota asalnya dulu, di sini jarak antar rumah cukup berjauhan. Dan tidak semua rumah memasang lampu jalan untuk penerangan. Alhasil, meskipun matahari baru saja terbenam, keadaannya di sekelilingnya tampak gelap dan cukup lengang.
Djanu bergidik ngeri saat jalanan yang mereka lewati tampak sepi. Jika kawasan bengkel tadi masih ada ruko-ruko dan bangunan lainnya, setelah hampir satu jam perjalanan Djanu hanya melihat rumah-rumah penduduk saja.
Bahkan rumah-rumah itu pun sudah tertutup rapat dan tidak tampak aktivitas apapun. Penggunaan listrik yang masih terbatas membuat desa-desa yang mereka lewati tampak seperti desa mati di mata Djanu.
Ketakutannya pada apapun yang ada di depannya membuat Djanu sempat melupakan sejenak tentang apa yang sedang dia alami. Dia terlalu sibuk melihat ke kanan dan kiri, mencoba merekam tempat-tempat asing yang tidak pernah dia bayangkan akan dia datangi itu.
Jantungnya kembali berdetak normal saat mereka kembali memasuki desa yang terlihat lebih hidup. Ada bangunan-bangunan tinggi, toko-toko dengan banyak penerangan dan juga pedagang kaki lima yang walaupun tidak banyak tapi cukup menunjukkan adanya aktivitas.
Djanu mengusap perutnya yang kelaparan saat melihat pedagang nasi goreng sedang menyusun bumbu-bumbu dan peralatan memasaknya di gerobak yang tampak sederhana.
Djanu tidak tahu berapa lama mereka berkendara. Saat kepalanya masih sibuk merekam tempat-tempat yang mereka lewati dengan harapan bisa mengingat salah satu tempat itu, disadarinya motor yang dinaikinya mulai berbelok ke sebuah rumah dengan halaman luas di depannya.
Gani terus membawa motor itu ke belakang rumah melewat jalan kecil di sisi kanan lalu berhenti di dekat sumur dan kamar mandi yang ada di luar bangunan. Djanu turun lebih dulu dengan tatapan yang terus saja berkeliling.
Rumah Gani tidak terlalu besar. Tapi halamannya luas sekali. Berbeda dengan rumah-rumah yang mereka lewati sebelumnya yang berjauhan, rumah ini punya tetangga yang rumahnya cukup berdekatan. Bahkan dinding kamar mandi mereka seperti menempel satu sama lain.
"Kok baru pulang kamu, Gan?" ucap sebuah suara dari arah pintu belakang dekat kamar mandi. Sesosok perempuan dengan rambut pendek sebahu yang berusia sekitar awal 40-an menarik perhatian Djanu seutuhnya.
Djanu terkesiap. Dia menyadari tidak banyak yang berbeda dari penampilan perempuan di depannya ini dengan yang beberapa jam lalu baru saja dia temui. Selain warna rambut dan keriput di beberapa tempat, mereka terlihat sama.
"Ada beberapa urusan dadakan tadi, Buk?" ucap Gani sambil mendekat dan mencium punggung tangan ibunya. Dia menyenggol Djanu yang tampak diam membeku menatap sang ibu untuk melakukan hal yang sama. "Ini Djanu, temen Gani. Mau nginep sini boleh, kan?"
Perempuan dewasa di depan mereka tersenyum ramah dan menyambut tangan Djanu yang menggantung di udara sambil berkata, "Ya boleh dong. Salam kenal, Nak Djanu. Nama Ibuk Retno, panggil aja Ibuk sama kayak Gani , ya? Ayo sini masuk. "
Djanu mengangguk kaku dan mengikuti keduanya dari belakang. Lidahnya cukup kelu dengan situasi canggung yang ada di depannya. Logikanya masih saja menolak menerima, tapi semua yang terjadi di depannya sekarang tampak lebih nyata dari apapun.
"Ke mana saja kamu, Gan?" Lagi-lagi suara yang cukup familiar di telinga Djanu terdengar. Dia menoleh ke arah sumber suara tepat saat sang pemilik kembali mengajukan pertanyaan, "Loh, ada siapa ini? Kok mukanya kayak nggak asing?"
*******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro