CH3 : Tentang Dia
"Prajna?" ulang Retno. Kedua alisnya mengerut bingung. Cukup terkejut dengan pertanyaan yang baru saja diajukan Djanu. "Denger nama Prajna dari siapa?"
"Prajna sopo to, Bu?" kali ini Pram yang bertanya. Merasa tidak asing dengan nama yang dimaksud tapi juga tidak benar-benar ingat.
"Putune Mbah Cipto lho, Pak. Tetangga kita di Sumatra dulu. "
"Oalah. Iya baru ingat. Dulu kita manggilnya Arin ya. Kenapa sama Prajna, Le? Bapakmu sudah dapat kontaknya?"
Kali ini gantian Djanu yang mengernyit. Dia benar-benar awam dengan topik yang dia bawa sendiri. Membuatnya semakin ragu ingin menjawab apa. Jika dia jujur sudah mendengar nama itu dari pertengkaran orang tuanya, kedua eyangnya pasti akan lebih fokus pada masalah mereka dan enggan memberinya informasi tentang perempuan itu.
"Ndak tahu, Eyang. Waktu itu cuma pernah dengar Bapak nyebut nama Prajna. Memang siapa itu? "
"Kamu tahu, kan, Eyang dulu tugasnya di Sumatra sana. Prajna ini cucunya tetangga samping rumah. Satu sekolah terus sama Bapakmu dari SD sampai SMA."
"Ya temen ya saingan ya,Pak?" ucap Retno ikut menanggapi. Ada senyum hangat yang menghiasi wajahnya saat mengingat masa-masa itu. "Dulu itu ya, Le, waktu awal-awal masuk sekolah Bapakmu yang di zaman itu punya kesempatan ngerasain TK juara satu terus. Eh, catur wulan ketiganya mulai di geser sama Prajna. Hahaha, inget banget Bapakmu marah-marah waktu terima raport."
"Iya. Bapak inget itu, Bu. Nggak terima dia. Katanya, 'aku yang belajarnya siang malem dia yang juara satu'. Tapi lama-lama mereka malah jadi sering belajar bareng. Walau gitu Bapakmu nggak bisa geser peringkat Prajna. Cuma di catur wulan 1 sama 2 di kelas satu. Setelahnya Prajna terus yang juara umum. Pinter banget anak itu."
"Sayang banget nggak bisa lanjut kuliah anaknya ya, Pak," kata Retno sendu. Seperti ada beban yang tiba-tiba membuatnya menghela napas berat.
"Kenapa?" tanya Djanu penasaran.
"Eyang juga nggak tahu pasti alasannya. Sepertinya ada pertentangan dari keluarga besarnya. Prajna itu anak baik. Pinter dan nggak pelit ilmu. Tiap hari ada saja anak yang ke rumahnya buat minta belajar. Pendiam aslinya, tapi kalau udah deket cerewet banget. Waktu sama Eyang contohnya. Suka bantu-bantu masak, kan. Nah, itu anaknya nggak berenti ngomong. Lucu sekali. Dia pasti bisa berbagi banyak hal kalau dulu di kasih kesempatan buat lanjut kuliahnya. Sayang sekali. "
Ada sesak yang berusaha Djanu sembunyikan saat melihat kedua eyangnya yang menyimpan banyak memori tentang Prajna. Padahal pagi tadi dia baru saja mendengar sang ibu yang merasa cemburu dengan perhatian kedua eyangnya ini pada perempuan yang menjadi alasan bapak ibunya bertengkar itu.
Djanu penasaran apa kedua eyangnya juga berekspresi seperti ini saat bercerita di depan ibunya. Membuat dirinya langsung membayangkan rasa sesak yang harus ibunya rasakan setiap kali itu terjadi. Eyangnya mungkin tidak tahu jika pernah ada sesuatu yang spesial di antara anaknya dan cucu tetangganya itu.
Saat pulang dari rumah sang eyang, pikiran Djanu dipenuhi hal-hal buruk tentang Prajna. Bagaimana bisa seseorang yang bahkan tidak diketahui keberadaannya itu masih memiliki dampak yang cukup besar pada orang-orang yang mengingatnya.
Ditambah lagi tulisan-tulisan yang dia sempat baca tadi. Rasanya Djanu ingin kembali dan membakar semuanya. Dia tidak bisa membayangkan seandainya sang ibu menemukan kotak itu suatu saat nanti. Bagaimana perasaannya saat tahu sudah hidup puluhan tahun bersama seseorang yang masih menyimpan masa lalunya dengan sangat baik. Pasti sangat menyakitkan.
Djanu menghentikan mobilnya beberapa meter sebelum memasuki terowongan yang menjadi penghubung antarkabupaten tempat eyangnya tinggal dengan rumahnya berada. Dering ponsel yang sudah berkali-kali dia abaikan karena sibuk dengan isi kepalanya membuatnya memutuskan menepi terlebih dahulu. Saat melihat nama yang tertera, Djanu memandangnya sekilas sebelum menggeser ikon bergambar gagang telepon berwarna hijau itu ke atas.
"Dek, lo di mana? Satu jam lagi kelas Abang mulai. "
Hening. Djanu mendengar suara Abangnya dari seberang sana dengan cukup jelas. Tapi dia enggan untuk menanggapi. Kepalanya masih benar-benar berisik dengan banyak informasi yang baru saja dia terima.
"Dek? Halo? Lo nggak kenapa-kenapa, kan? Dek, jawab!"
Djanu mengerjapkan kedua matanya saat mendengar suara Garru yang semakin keras. Membuatnya seketika tersadar dengan situasi di sekitarnya. Dia berdeham pelan sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu.
"Bang, mau dengerin gua cerita nggak? Sekarang. "
Di seberang sana, Garru sadar jika Djanu sedang tidak dalam kondisi baik. Dia mengenal betul sifat adiknya. Djanu seharusnya dalam keadaan kesal dan mengumpatinya saat ini karena memintanya mengambil barang dan mengantarnya ke kampus, tapi anak itu justru lebih banyak diam dan tidak menanggapi apapun ucapannya. Jadi, alih-alih menanyakan berkas yang dia minta, Garru akhirnya menurut dan meminta Djanu bercerita.
Djanu menceritakan semua yang terjadi hari ini. Mulai dari pagi hari saat dia menemukan kedua orang tuanya bertengkar, lagi. Sampai menyebut satu nama yang membuat pertengkaran itu semakin memanas. Djanu juga menceritakan apa yang dia temukan di rumah eyang dan cerita yang eyang mereka sampaikan.
Bahkan saat sedang bercerita, matanya tidak berpaling dari dompet kulit coklat yang sengaja dia buka dan menampilkan foto usang seseorang di dalamnya. Tangan kirinya memegang dompet itu cukup erat, seiring dengan emosinya yang perlahan semakin naik kembali.
"Gua mau nemuin Bapak. Mau dia sendiri yang bakar atau gua balik lagi dan bakar itu pake tangan gua sendiri. "
"Jangan emosi dulu, Dek. Kita dengerin penjelasan Bapak dulu. Mungkin aja itu udah nggak berarti apa-apa,kan,buat Bapak?"
"Lo nggak ada di rumah, Bang. Lo nggak tahu gimana belakangan ini rumah udah nggak kayak dulu lagi. Ibu sensitif dan Bapak kayak yang nggak berusaha nyangkal. Dan pagi ini puncaknya. Kalau lo lihat apa yang terjadi pagi ini, gua yakin lo juga bakal emosi kayak gua. "
"Iya, Abang tahu Abang nggak ada di sana. Tapi, please, lo jangan gegabah. Kita nggak tahu apa yang terjadi dulu dan alasan Bapak masih nyimpen barang-barang itu. Tunggu Abang pulang, kita ngomong sama Bapak bareng-bareng, okay?"
"Memang kalau kita tahu apa yang terjadi dulu bakal ada yang beda? Nggak! Fakta kalau Bapak masih nyimpen barang-barang tentang masa lalu yang paling bikin ibu sakit dan biarin Ibu dengerin Eyang yang bahas perempuan lain di depannya udah nggak bisa dimaklumi! Itu keterlaluan, Bang!"
"Okay, okay! Tunggu Abang pulang. Lo tarik napas, jangan bawa mobil sambil emosi gitu. "
Djanu berusaha menuruti kakaknya, menarik napas dan membuangnya perlahan agar emosinya sedikit mereda. Namun, alih-alih tenang, dia justru mendengkus semakin kesal saat kembali melihat dompet yang terbuka di dasboard depannya.
"Gua tutup. Setengah jam gua tunggu lo di rumah. Kalau lo nggak dateng, gua yang ngomong sendiri ke Bapak."
Djanu meletakkan ponselnya asal setelah menekan ikon telepon berwarna merah. Dia menyalakan mesin dengan mata yang tetap memandang ke arah dompet di depannya. Saat mobilnya mulai melaju, diambilnya dompet coklat dengan foto yang sudah mulai kusam itu. Matanya melirik benci pada sosok berambut panjang yang bahkan tidak akan bisa membalas kebenciannya itu.
"Memangnya kalau gua tahu apa yang terjadi sama kalian dulu bisa ngurangin kebencian gua saat ini? Nggak! Siapa aja yang bikin Ibu sedih bakal nerima kebencian dari gua seumur hidup!"
Djanu selesai mengucapkan kalimat itu tepat saat dirinya mulai memasuki terowongan panjang yang cukup gelap. Dia yang masih dikuasai emosi menambah kecepatan mobilnya tanpa pikir panjang. Ditambah lagi suasana di sekitarnya yang sangat lengang. Membuat Djanu berani mengambil resiko itu.
Ujung terowongan hanya tinggal beberapa meter lagi saat dompet yang ada di tangannya terlepas. Djanu melihat ke sekeliling yang tidak ada kendaraan satu pun dan melirik ke arah dompet itu. Dia memegang kemudi dengan tangan kanan dan mengulurkan tangan kirinya untuk meraih benda yang tidak terlalu jauh dari jangkuannya itu. Untuk beberapa saat fokusnya teralihkan darqi arah depan.
Djanu bernapas lega saat dompet itu kembali ke tangannya. Dia melemparkannya ke dashboard di depannya bersamaan dengan mobilnya yang sampai di ujung terowongan. Perubahan cahaya yang cukup tiba-tiba membuatnya memicing sejenak. Dia kira itu hanya akan terjadi sebentar sampai matanya mulai beradaptasi dengan cahaya kembali.
Namun, dugaannya keliru. Cahaya menyilaukan itu bukannya menghilang justru semakin terang. Membuat Djanu mengangkat tangan kirinya untuk menghalau cahaya yang mulai membuatnya kesulitan melihat. Djanu sedikit panik saat mobil yang dia kendarai mulai bergerak tak beraturan karena tangannya yang sibuk menutupi cahaya. Dia berusaha mengendalikan mobilnya dengan penglihatan yang minim.
Saat cahaya itu tidak juga berkurang, Djanu memutar sedikit kemudinya ke kiri dengan kaki yang menginjak rem cukup kuat. Dia menutup matanya erat saat merasakan badan mobilnya membentur sesuatu yang keras bersamaan dengan bunyi decit roda belakangnya yang menyakitkan telinga. Mobil itu sudah berhenti sempurna. Setidaknya itu hal terakhir yang Djanu ingat sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. Badannya sakit semua.
******
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro