Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CH16 : Think To Try Before You Die


Prajna mencoba peruntungannya seperti yang Djanu bilang. Entah kenapa dia bisa menuruti saran anak itu, sedang sehari sebelumnya dia yakin jika dia akan menyerah juga kali ini.

Namun, malam ini dia nekat menemui mbah putri yang sedang duduk di kursi ruang tengah dan mencoba mengajaknya bicara. Apapun hasilnya nanti, setidaknya dia sudah mencoba bicara dan tidak menyerah begitu saja.Itu akan mengurangi perasaan menyesal jika seandainya mbahnya itu tetap tidak memberikan izinnya.

Perlahan tapi pasti, Prajna bergerak mendekati kursi yang Rahayu duduki. Ada satu kursi lagi di ruangan itu. Tepat berada di sebelah kursi yang Rahayu duduki dan hanya terhalang sebuah meja dari anyaman bambu saja.

Rahayu melirik dari sudut matanya. Dia bisa melihat kegugupan yang ditunjukkan oleh cucu bungsunya itu. Namun, dia sengaja membiarkannya dan menunggu apa yang akan dikatakan anak itu.

"Kampusnya bukan di seberang, Mbah. Aku bisa pulang pergi setiap ada kelas. Dana juga ga usah dipikirin. Aku usahain sendiri dana masuknya. Dan kalau sudah resmi jadi mahasiswa aku akan belajar giat biar dapet beasiswa. "

Mbah Putri yang sejak awal percakapan tidak mengeluarkan sepatah katapun akhirnya angkat bicara.

"Kamu ngomongin soal biaya seolah-olah kuliah itu cuma tentang bayar semesteran aja. Memang ga beli buku, ga bayar uang gedung, nggak pergi-pergi ke mana-mana? Jangan sombong dan ngerasa mampu kalau kamu keluar jauh dari rumah aja belum pernah.Kamu nggak tahu seperti apa di luar sana yang sebenarnya. "

"Prajna nggak bermaksud gitu, Mbah. Tapi insyaallah soal biaya kuliah bakal aku usahain sendiri. Info dari temen-temenku kalau udah di dalam cari beasiswanya lebih mudah dan ada banyak pilihan."

Rahayu terdiam. Ada perasaan tidak nyaman saat melihat cucunya memohon. Tapi keras kepalanya masih mengalahkan segalanya. Dia masih yakin jika seorang perempuan tidak seharusnya sekolah tinggi-tinggi. Setinggi apapun pendidikannya, di akhir dia hanya akan menjadi pelayan untuk suaminya dan anggota keluarga yang lain.

"Mbah nggak tahu apa alasanmu ingin kuliah padahal sudah berhenti tiga tahun. Ngapain buang-buang waktu dan tenaga sedang lebih banyak hal yang harusnya bisa kamu kejar selama ini. "

"Tapi Mbah juga tahu kalau apa yang aku kejar memang di bidang ini."

"Andaikata kamu bisa kuliah tinggi, lulus, trus mau buat apa? Kamu ada niat pergi dari sini? "

Prajna sempat mengernyit mendengar kata-kata Rahayu. Kedua alisnya bertaut bingung.Lantas apa sebuah kesalahan jika seorang anak ingin keluar dari kehidupan orang tuanya suatu saat nanti.

"Jadi sebenernya Mbah Putri keberatan Prajna kuliah karena biaya atau karena nggak rela aku keluar dari rumah?"

"Kamu tahu kan di rumah ini cuma kamu yang bisa bawa motor? Inget gimana keadaan Mbah Kung? Bisa bayangin kamu kalau Mbah Kung kenapa-napa dan nggak ada seorang pun yang bisa nganter berobat?"

Prajna menghela napasnya. Dia hampir frustasi menghadapi kekeraskepalaan sang mbah yang justru melebar ke mana-mana.

Mbah selalu bisa membuat orang lain merasa sangat bersalah. Dan Prajna sedang merasakan itu sekarang.

"Tapi aku juga punya mimpi, Mbah. Aku juga punya cita-cita kayak abang dan kakak. Aku nggak mungkin selamanya bergantung sama Mbah Putri dan Ibuk. Aku harus mulai mikirin hidupku sendiri. Sekolah ini salah satu caraku buat mempersiapkan diri. Andaikata nanti aku diberi kesempatan buat jadi seorang ibu, ini bekel yang aku punya Mbah. Dan kalau Mbah ngira pendidikan tinggi nggak sia-sia dan nggak ada gunanya buat Mbak, Mbah salah. Lihat gimana Mbak berhasil didik anak-anaknya. Lihat gimana pendidikan itu nentuin gimana mereka tumbuh. Nggak ada yang sia-sia. Karena sebagai ibu, kita adalah sekolah pertama buat anak-anak kita. Sekolah Mbak bukan sama sekali nggak sia-sia.

Tepat saat Prajna dan Rahayu kompak terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, terdengar suara benturan dari arah belakang yang membuat keduanya kompak berdiri. prajna dan Rahayu saling pandang sebelum akhirnya melangkah cepat keluar ruangan.

Mereka berdua bergerak cepat menuju bagian belakang rumah.Melewati meja makan yang tampak sepi. Bergerak terus saat tidak menemukan sumber suara yang mereka cari.

Saat membuka pintu belakang yang tidak tertutup sempurna, keduanya terperajat saat melihat pemandangan di depannya.

Prajna sigap berlari ke luar saat mendapati Cipto sedang terbaring di dekat cecenya.

"Mbah Kung!"

Prajna dan Rahayu berusaha membantu Cipto untuk berdiri. Pelipis kepalanya mengeluarkan sedikit darah. Mungkin itu yang membentur lantai tadi. Keduanya cukup kesulitan karena badan Cipto cukup besar dan bertumpu sempurna pada keduanya.

Arum yang sempat mendengar suara juga ikut keluar dari kamarnya. Membantu ketiganya menuju dipan ruang santai dan membaringkan Cipto di sana.

"Mbah Kung? Mbah?"

"Pak. Bapak?"

"Buk, Bapak kenapa ini, buk! "

"Prajna, pergi ke tetangga sebelah. Minta bantuan buat bawa mbah ke klinik sekarang. Cepat?! "

Prajna melesat keluar bahkan tanpa memberikan jawaban. Dia membuka pintu depan dengan kasar, berlari ke rumah Gani seperti orang kesetanan. Ini sudah hampir jam malam, pintu rumah Gani sudah tertutup semua. Tapi Prajna tidak punya pilihan lain. Untuk kali ini, dia harus melibatkan orang lain lagi.

Saat sampai di depan pintu Gani yang tertutup, Prajna mengetuk nya panik. Berulang-ulang karena tidak ada pergerakan sama sekali dari dalam.

Prajna beringsut ke samping. Mengintip dari jendela kaca yang gorden nya tersingkap sedikit. Lagi-lagi dia menggedor pintu itu.

"Gan! Gani! Djanu! Djanu! Ibu
Pak, tolongin Prajna, Pak! "

Terdengar suara tergesa. Dari kaca jendela Prajna dapat melihat bagaimana Gani dan Djanu bergersk tergesa dari dalam kamar dan menuju ke pintu depan, tempat Prajna berada. Di belakangnya, tampak Bu Retno dan Pram denga pakaian santainya menyusul.

Saat pintu itu terbuka, Prajna langsung menarik tangan Gani bahkan membiarkan orang-orang itu mengatur napas dan mengajukan pertanyaan.

"Mbah Kung jatuh di deket kamar mandi. Pelipisnya berdarah. Bantu bawa ke klinik tolong. "

Mereka bergerak dengan cepat. Gani dan Djanu bahkan tidak membutuhkan banyak penjelasan lagi. Gani menuju tempat prajna menyimpan motor dan langsung mengeluarkannya. Menyiapkan tepat di depan pintu dekat ruang tengah berada.

Dari arah pintu terlihat Djanu dan Pram yang menopang tubuh Cipto yang sudah lemas. Mereka mendudukan nya di bangku belakang.

"Kamu yang apit, Nu. Aku yang di depan."

Djanu mengangguk dan langsung naik untuk mengapit tubuh seseorang yang belakangan ini sering menjadi lawan main caturnya itu.

"Kalian nyusul nya nanti saja. Tenangin diri dulu. Jangan berkendara dalam keadaaan panik. Mengerti? "

Gani hanya memberi nasihat singkat sebelum menghidupkan motornya menuju klinik yang menurut informasinya berjarak setengah jam dari sini.
Di belakangnya, Djanu memegang erat tubuh Cipto agar tidak terjatuh. Dalam hati berdoa semoga tidak terjadi hal buruk dan mereka tidak terlambat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro